h. Moral Moral dapat dipandang sebagai salah satu wujud tema dalam bentuk
sederhana, namun tidak semua tema merupakan moral. Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang
bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikannya kepada pembaca.
21
C. Mimetik
Abrams berpendapat mimetik adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya terhadap hubungan karya sastra dengan kenyataan
di luar sastra. Pendekatan yang memandang sastra sebagai imitasi dari realitas. Kajian semacam ini dimulai dari pendapat Plato tentang seni. Plato
berpendapat bahwa seni hanya dapat meniru dan membayangkan hal-hal yang ada dalam kenyataan yang tampak. Dunia empirik tidak mewakili kenyataan
yang sungguh-sungguh, hanya dapat mendekatinya lewat mimetik, peneladanan, pembayangan, atau peniruan. Bagi plato tidak ada pertentangan
antara realisme dan idealisme dalam seni. Seni yang terbaik lewat mimetik. Sedangkan bagi muridnya, Aristoteles, seniman tidak meniru kenyataan,
manusia, dan peristiwa sebagai mana adanya. Seniman menciptakan dunianya sendiri. Apa yang terjadi dalam penciptaan seniman masuk akal dalam
keseluruhan dunia ciptaan itu.
22
Dalam kebudayaan Barat, khususnya Abad Pertengahan, pikiran-pikiran Aristoteles mengenai peniruan diterima sebagai
dasar estetik dan filsafat seni. Karya seni meniru alam sebagai ciptaan Tuhan The Great Model, karya seni mencerminkan keindahan Tuhan, manusia
hanya menciptakan kembali, manusia sebagai homo artifex. Di Indonesia, tampak dalam puisi-puisi Jawa Kuno, melalui konsep persatuan antara
manusia dengan Tuhan lewat keindahan, sebagai penjelmaan Tuhan.
23
21
Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 320.
22
Siswanto, Op. Cit., h. 189.
23
Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Cultural Studies, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, h. 5.
Hubungan antara seni dan kenyataan bukanlah hubungan searah atau sederhana. Hubungan itu merupakan interaksi yang kompleks dan tak
langsung: ditentukan oleh konvensi bahasa, konvensi sosio-budaya, dan konvensi sastra.
D. Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra berasal kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari akar kata sosio Yunani socius berarti bersama-sama, bersatu, kawan,
teman dan logi logos berarti sabda, perkataan, perumpamaan. Selanjutnya terjadi perubahan makna, socius berarti masyarakat, logos berarti ilmu. Jadi,
sosiologi adalah ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan masyarakat. Sastra dari akar kata sas Sanskerta berarti mengarahkan, mengajar, memberi
petunjuk, dan intruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Jadi, sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar atau buku pengajaran yang baik.
Sesungguhnya kedua ilmu memiliki objek yang sama yaitu manusia dalam masyarakat. Perbedaan sastra dan sosiologi merupakan perbedaan
hakikat, sebagai perbedaan ciri-ciri, sebagaimana ditunjukkan melalui perbedaan antara rekaan dan kenyataan, fiksi dan fakta.
24
Teori-teori sosial sastra sesungguhnya sudah ada sejak zaman PlatoAristoteles abad ke-54 SM, filsuf Yunani. Dalam buku yang berjudul
Ion dan Republik dilukiskan mekanisme antarhubungan sastra dengan masyarakatnya. Menurut Plato, karya seni merupakan tiruan mimesis yang
ada dalam dunia ide. Jadi karya seni merupakan tiruan dari tiruan, secara hierarkis seni berada di bawah kenyataan. Filsafat ide Plato yang semata-mata
bersifat praktis di atas ditolak oleh Aristoteles. Menurutnya, seni justru mengangkat jiwa manusia, yaitu melalui proses penyucian khatarsis, sebab
karya seni membebaskan manusia dari nafsu yang rendah.
25
24
Nyoman Kutha Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, h. 2.
25
Ibid., h. 4.
Istilah sosiologi sastra pada dasarnya tidak berbeda pengertiannya dengan pendekatan sosiologis atau sosiokultur terhadap sastra.
26
Menurut Sapardi Djoko Damono, ada dua kecenderungan utama dalam telaah
sosiologis terhadap sastra. Pertama, pendekatan yang berdasarkan anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial ekonomi belaka. Pendekatan ini
bergerak dari faktor luar sastra untuk membicarakan sastra. Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelitian. Metode
yang digunakan dalam sosiologi sastra ini adalah analisis teks untuk mengetahui lebih dalam lagi gejala di luar sastra.
Masalah pokok sosiologi sastra adalah hubungan antara sastra dengan masyarakat, bagaimana hubungan tersebut terjadi, dan bagaimana akibat-
akibat yang ditimbulkannya baik terhadap karya sastra maupun masyarakat itu sendiri.
27
Pendekatan sosiologi bertolak dari asumsi bahwa sastra merupakan pencerminan kehidupan masyarakat, melalui karya sastra seorang pengarang
mengungkapkan problem kehidupan yang pengarang sendiri ikut di dalam karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu
memberi pengaruh terhadap masyarakat bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra yang hidup di suatu zaman, sementara
sastrawan itu sendiri yang merupakan anggota masyarakat tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang
membesarkannya dan sekaligus membentuknya.
28
Lebih lanjut Goldmann mengemukakan bahwa semua aktivitas manusia merupakan respon dari subjek kolektif atau individu dalam situasi tertentu
yang merupakan kreasi atau percobaan untuk memodifikasi situasi yang ada agar cocok dengan aspirasinya. Sesuatu yang dihasilkan merupakan fakta
26
Ibid., h. 2.
27
Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Cultural Studies, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, h. 268.
28
Atar Semi, Kritik Sastra, Bandung: Angkasa, 1989, h. 73.
hasil usaha manusia untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik dengan dunia sekitarnya.
29
Sosiologi sastra berdasarkan prinsip bahwa karya sastra kesusastraan merupakan refleksi pada zaman karya sastra kesusastraan itu ditulis yaitu
masyarakat yang melingkupi penulis, sebab sebagai anggotanya penulis tidak dapat lepas darinya.
Selain itu, Laurenson
30
mengemukakan ada tiga perspektif yang berkaitan dengan sosiologi sastra, antara lain:
1. Perspektif yang memandang sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut
diciptakan; 2. Perspektif yang mencerminkan situasi sosial penulisnya;
3. Model yang dipakai karya tersebut sebagai manifestasi dari kondisi sosial budaya atau peristiwa sejarah.
Wellek dan Warren mengemukakan tiga klasifikasi yang berkaitan dengan sosiologi sastra yaitu:
1. Sosiologi pengarang 2. Sosiologi karya sastra
3. Sosiologi pembaca Menurutnya, hubungan sastra dengan masyarakat dapat diklasifikasikan
sebagai berikut: Pertama, sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan situasi sastra. Masalah yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi, produksi sastra,
latar belakang sosial, status pengarang dan ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan di luar karya sastra. Kedua, isi karya sastra, tujuan,
serta hal-hal lain tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial. Ketiga, permasalahan pembaca dan dampak sosial
karya sastra. Sejauh mana sastra dikembangkan atau tergantung dari latar sosial, perubahan dan perkembangan sosial adalah pertanyaan yang termasuk
29
Fananie, Op. Cit., h. 117.
30
Ibid., h. 133.
dalam ketiga jenis permasalahan di atas: sosiologi pengarang, isi karya sastra yang bersifat sosial, dan dampak sastra terhadap masyarakat.
31
Kemudian Jabrohim mengungkapkan sasaran dari sosiologi sastra, yaitu sebagai berikut.
a. Konteks sosial sastrawan Konteks sosial sastrawan ada hubungannya dengan posisi sosial
sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam bidang ini termasuk juga faktor-faktor sosial yang
dapat mempengaruhi sastrawan sebagai individu di samping dapat mempengaruhi karya sastranya. Dalam hal ini kaitan antara sastrawan
dan masyarakat sangat penting, sebab seringkali didapati bahwa macam masyarakat yang dituju itu menentukan bentuk dan isi karya sastra
mereka. b. Sastra sebagai cerminan masyarakat
Sejauh mana sastra dianggap sebagai mencerminkan keadaan masyarakatnya. Dalam hubungan ini terutama harus mendapat
perhatian yaitu: 1 sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis, 2 sifat “lain dari
yang lain” seseorang pengarang atau sastrawan sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya, 3 genre
sastra sering merupakan sikap sosial seluruh kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh masyarakat, 4 sastra yang berusaha
menampilkan keadaan masyarakat yang secermat-cermatnya mungkin saja tidak bisa diterima atau dipercaya sebagai cerminan masyarakat.
Demikian juga sebaliknya, karya sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat secara teliti barangkali
masih dapat dipercaya sebagai bahan untuk mengetahui keadaan masyarakat. Pandangan sosial sastrawan harus dipertimbangkan apabila
sastra akan dinilai sebagai cermin masyarakat.
31
Rene Wellek dan Austin Warren, Teori kesusastraan diindonesiakan oleh Melani Budianta, Jakarta: PT Gramedia, 1995, h. 111.
c. Fungsi sosial sastra Ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu: 1 sudut pandangan
yang menganggap bahwa sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi. Dalam pandangan ini tercakup juga pandangan bahwa sastra
harus berfungsi sebagai pembaharu atau perombak, 2 sudut pandangan lain yang menganggap bahwa sastra bertugas sebagai
penghibur belaka. Dalam hal ini gagasan “seni untuk seni” misalnya, tak berbeda dengan usaha untuk melambungkan dagangan agar menjadi
best seller. 3 sudut pandangan kompromistis seperti tergambar dalam slogan “sastra harus mengajarkan dengan cara menghibur”.
32
E. Kritik Sosial