IMAJINASI TRANSENDENTAL DAN KEDUDUKAN RASIO DALAM DESTRUKSI HEIDEGGER
Pemikiran Heidegger dalam “Kant and the Problem” adalah pemikiran Kant yang dibaca dari perspektif terbalik. Dalam “Critique” Kant mengemukakan
gagasan imajinasi melalui pendekatan rasio dan intuisi; sebaliknya, dalam “Kant and the Problem” Heidegger justru berusaha melihat rasio murni dan intuisi murni
dari titik tolak imajinasi transendental. Pembacaan ini dilakukan karena menurut Heidegger, imajinasi transendental itu adalah pusat transendensi centre for
transcendence; fakultas yang memungkinkan sintesis murni melalui pembentukan skema transendental esensi sintesis murni. Menganalisis rasio
murni dan intuisi murni dari titik tolak imajinasi transendental, karenanya, berarti melihat bagaimana dua fakultas pengetahuan tersebut rasio dan intuisi terpusat
pada imajinasi transendental.
18
Dalam pembacaan Heidegger, imajinasi sebagai esensi sintesis murni atau sebagai pusat transendensi menunjukkan bahwa konsep-konsep murni yang
dihasilkan rasio murni memiliki dasarnya pada imajinasi transendental, sebagaimana waktu memiliki dasarnya pada imajinasi transendental. Alasannya
terletak dalam pembacaan Heidegger atas konsep skema Kant: Heidegger sepakat dengan Kant bahwa skema merupakan bentuk
representasi sintetis intuisi-rasio. Heidegger bahkan mempertegas bahwa apa yang direpresentasikan dalam skema bukanlah sesuatu yang dapat dianalisa atau
digambarkan dengan pendekatan rasio-intuisi. Terandaikannya skema bagi Heidegger menunjukkan bahwa representasi yang tampil dalam kesadaran subjek
bukanlah representasi rasio konsep-konsep atau pun representasi intuisi. Kant sendiri mengakui bahwa kita tidak pernah dapat mengetahui bagaimana skema itu
18
William J Richardson, Heidegger, Through Phenomenology to Thought The Hague: Martinus Nijhoff, 1963, h. 137
ditampilkan dalam kesadaran kesadaran subjek atau bagaimana ia terbentuk. Kita mungkin bisa menganalisis bentuk-bentuk dari representasi intuisi sebagai
berciri partikular sebagaimana kita juga dapat menganalisis representasi konsep sebagai sesuatu yang berciri umum. Tetapi representasi skema tidak dapat
dianalisis dengan cara demikian karena ia bukan konsep dan juga bukan data-data intuisi, melainkan sintesis keduanya. Sebagai sintesis keduanya, skema itu
melampaui keduanya. Heidegger tidak menjelaskan dalam Kant and the Problem apakah yang
dimaksud dengan “melampaui” tersebut. Namun demikian, bagi Heidegger jelas bahwa jika representasi skema mesti terandaikan mendahului a priori
representasi intuisi dan rasio untuk memungkinkan sintesis keduanya, maka itu berarti skema menjadi dasar origin bagi representasi intuisi dan rasio.
19
Hal ini berlaku juga bagi skema transendental yang didefinisikan oleh Kant sebagai
determinasi waktu time determination; sebagai momen sintesis murni yang memungkinkan konsep-konsep murni dapat diterapkan pada objek-objek
pengalaman. Karena itu, jika rasio murni adalah fakultas pengetahuan yang merepresentasikan konsep-konsep murni dan intuisi murni adalah fakultas yang
merepresentasikan waktu, maka baik konsep-konsep murni atau pun waktu memiliki dasarnya pada skema transendental. Tetapi skema transendental adalah
produk imajinasi transendental sehingga, menurut Heidegger, kita juga bisa mengatakan bahwa rasio murni dan intuisi murni waktu tidak lain adalah dua
momen imajinasi transendental.
20
19
Martin Heidegger, Kant and the Problem of Metaphysics, pen. Richard Taft Bloomington: Indiana University Press, 1997, h. 76, 79
20
Martin Heidegger, Kant and the Problem of Metaphysics, pen. Richard Taft Bloomington: Indiana University Press, 1997, h. 87-93,99
Dalam kaitannya dengan konsep-konsep murni, pandangan Heidegger di atas dapat dinyatakan secara ringkas sebagai berikut: bukan konsep-konsep murni
yang memberikan kontribusi bagi pembentukan skema transendental melainkan skema transendental itulah yang memberikan kontribusi bagi pembentukan
konsep-konsep murni. Selanjutnya, dengan mengatakan bahwa rasio memiliki dasarnya pada
imajinasi transendental atau bahwa konsep-konsep murni bersumber dari skema transendental, pembacaan Heidegger juga mengarah pada pandangan bahwa
pemahaman-pemahaman konseptual produk rasio tidak lain adalah derivasi dari pemahaman pada level skema transendensi. Tesis ini memang tidak
dikemukakan secara eksplisit dalam “Kant and the Problem”, tetapi indikasinya sangat gamblang terutama jika kita membandingkannya dengan konsep
transendensi yang dikembangkan Heidegger dalam “Being and Time”, di mana transendensi yang terbentuk melalui skema transendental dipahami sebagai
fenomena pemahaman Ada atau ketersingkapan Ada. Fenomena pemahaman Ada, sebagaimana dapat kita temukan dalam
“Being and Time” atau pun dalam “Kant and the Problem”, dicirikan setidaknya oleh tiga hal: Ada terpahami secara pra-ontologis, bersifat temporal mewaktu,
dan ditandai oleh keterlibatan dengan dunia.
21
Ketika Kant mengatakan bahwa pemahaman terbentuk melalui proses sintesis di mana rasio dengan konsep-
konsep murninya memiliki peran esensial, bagi Heidegger Kant telah mereduksi pemahaman Ada transendensi menjadi semata-mata pemahaman kategorial
substansi, kausalitas, dan sebagainya.
21
Karakter pemahaman Ada ini hanya secara jelas dan lengkap dijelaskan dalam “Being and Time”.
Suatu entitas menurut Heidegger tidak terpahami cara meng-Ada nya its mode of Being semata-mata berdasarkan konsep-konsep seperti substansi, esensi,
kausalitas, posibilitas, dan seterusnya, melainkan berdasarkan totalitas referensial entitas tersebut dalam merealisikan dorongan manusia Dasein untuk meng-Ada
drive-to-BeSeinkonnen. Misalnya, sebuah kapur, dalam perspektif Kant, dipahami karena substansinya yang berwarna putih, sementara dalam perspektif
Heidegger, kapur tersebut dipahami dalam totalitas referensialnya dengan papan tulis, penghapus, penggaris yang semuanya terungkap disclosed karena
dorongan Dasein untuk meng-Ada mis, meng-Ada sebagai dosen. Bentuk pemahaman yang terakhir ini bagi Heidegger bersifat pra-ontologis, terikat
dengan dunia kontekstual, dan mewaktu. Sementara dalam Kant, pemahaman berdasarkan konsep-konsep murni itu bersifat sadar reflektif, lepas dari
“dunia”
∗
, dan berada dalam rangkaian waktu “sekarang”.
22
Titik tolak penting yang perlu terus diingat dalam pemikiran Heidegger, baik dalam “Being and Time” atau pun dalam Kant and the Problem adalah
fenomena pemahaman Ada. Dalam pembacaannya terhadap Kant, Heidegger menemukan fenomena pemahaman tersebut pada doktrin penerapan konsep
skematisme, yaitu, momen terbentuknya skema transendental oleh imajinasi transendental—ini tentu saja terlepas dari apakah Kant sendiri memaksudkannya
demikian atau tidak. Secara konseptual, Heidegger menyejajarkan pemahaman Ada dengan skema transendental karena pada titik itulah transendensi terbentuk;
∗
Maksudnya: lepas dari konteks referensialitas cara meng-Ada entitas-entitas lain.
22
Bedakan dengan konsep “mewaktu” Heidegger.
dan Dasein sebagai entitas yang terbuka pada Ada disejajarkan dengan imajinasi transendental.
23
Apa yang membedakan Heidegger dari Kant adalah gagasan bahwa skema transendental atau pemahaman Ada itu adalah fakta terjelas dalam kehidupan
sehari-hari manusia Dasein dibandingkan fakta rasio yang ditafsirkan sebagai dasar pemahaman oleh Kant. Rasio yang ditafsirkan sebagai fakultas aturan bagi
pemahaman dan karenanya menjadi dasar pemahaman, menurut Heidegger, bisa “ya” bisa juga “tidak” perhaps ultimate intelligibility.
24
Kenyataannya, fenomena pemahaman Ada bagi Heidegger adalah fenomena yang jauh lebih
kompleks dari sekadar pembentukan konsep-konsep. Seorang jawa yang memahami dirinya sebagai jawa mengandaikan pemahaman akan keterkaitan
seluruh modus Ada entitas aksesoris, gestur, busana, bahasa dan sebagainya yang semua itu terungkap discovered dalam rangka realisasi-diri seorang jawa
meng-Ada sebagai jawa. Fenomena ini tentu tidak dapat dijelaskan dengan perspektif pembentukan konsep-konsep dan penerapannya ke dalam pengalaman
sebagaimana dalam paradigma Kant.