“Kritik Rasio Murni” sebagai Filsafat Transendental
dalam “Kritik Rasio Murni” tidak digunakan untuk berspekulasi tentang wilayah- wilayah di seberang fenomena atau penampakan melainkan untuk melihat dirinya
sebagai fakultas pengetahuan yang berisikan prinsip-prinsip atau konsep-konsep a priori. Dalam kritik rasio murni, rasio digunakan untuk melihat rasio itu sendiri
dengan cara menganalisis cara kerjanya, pembentukan konsep-konsepnya dan hubungannya dengan pengalaman.
“Kritik Rasio Murni” oleh Kant disebut juga filsafat transendental di mana “transendental” berarti “tidak membicarakan objek” melainkan “cara”.
8
Dalam “Kritik Rasio Murni”, Kant tidak membicarakan “objek-objek” pengetahuan mis,
organ-organ tubuh, struktur materi, gerak benda, sifat-sifat cahaya, dan sebagainya melainkan “cara” bagaimana objek-objek tersebut “diketahui” oleh
subjek. Menurut Kant, cara subjek mengetahui objek adalah dengan merepresentasikannya. Representasi terjadi melalui intuisi dan rasio dan
pengetahuan adalah representasi “sintetis” keduanya. Representasi intuisi adalah representasi data-data pengalaman kepada subjek secara langsung immediate
representation—subjek berhubungan langsung dengan objek-objek
pengalaman—sementara representasi rasio adalah representasi determinatif atas data-data yang dihadirkan intuisi untuk membentuk konsep-konsep—karenanya
disebut representasi tak langsung mediate representation. Sintesis, sementara itu, berarti momen diterapkannya konsep-konsep rasio pada objek-objek yang
diintuisi. Sebagai filsafat transendental, apa yang menjadi perhatian Kant dalam “Critique”-nya adalah problem sintesis murni atau sintesis a priori
∗
, yaitu, sintesis
8
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith New York: St Martin Press, 1964, h. 59
∗
A priori berati “mendahului pengalaman” sementara “murni” berarti “tidak didapat dari pengalaman”. Dalam skripsi ini, dua istilah tersebut akan sering dipertukarkan dengan maksud
antara intuisi murni dan pikiran murni, karena menurut Kant dalam momen sintesis ini kita dapat mengetahui secara esensial “cara” subjek membentuk
seluruh pengetahuannya matematika, sains, bahkan metafisika, suatu tahap di mana subjek memperlihatkan kapasitas transendentalnya transendensi.
9
Filsafat transendental Kant sebagai penyelidikan terhadap “cara” subjek mengetahui objek modus pengetahuan subjek, dengan demikian, menemukan
arah penyelidikannya pada kemungkinan sintesis a priori. Pemikiran Kant tentang sintesis a priori ini merupakan gagasan yang bisa dikatakan cukup baru pada
masanya karena dalam pemahaman tradisional, sintesis selalu berarti a posteriori setelah pengalaman atau hasil dari pengalaman; bahwa semua konsep yang
diterapkan pada pengalaman sintesis adalah berasal dari pengalaman. Apa yang memungkinkan saya memahami konsep batu, misalnya, dan menerapkan konsep
tersebut dalam pengalaman adalah karena saya sebelumnya telah terlatih atau terbiasa mengalami melihat dan merasakan berbagai jenis batu. Semua konsep
itu berasal dari pengalaman, dan karenanya, tidak ada sintesis yang mendahului pengalaman. Dalam pandangan ini, rasio ditempatkan sebagai penerima data-data
pengalaman impressions dan hanya berperan merefleksikan data-data tersebut menjadi ide-ide atau konsep-konsep—termasuk konsep kausalitas juga lebih
merupakan refleksi rasio atas pengalaman; bukan sesuatu yang “secara niscaya” terjadi dalam pengalaman.
10
Salah satu konsekuensi fatal dari pandangan ini adalah bahwa semua gagasan keniscayaan, baik menyangkut “substansi” suatu
yang sama. Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith New York: St Martin Press, 1964, h. 43
9
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith New York: St Martin Press, 1964, h. 93
10
David Hume, An Enquiry Cocerning Human Understanding, dalam Walter Kaufmann Forrest E. Baird ed., Modern Philosophy, Pilosophic Classics, 2
nd
Edition, Volume III, New Jersey: Prentice Hall, 1997, h. 343-344
objek atau pun “relasi kausal” antar objek, karena tidak memiliki dasarnya dalam pengalaman, maka ide keniscayaan itu tidak lain semata-semata kebiasaan
custom. Pengalaman hanya memperlihatkan kepada kita fakta-fakta yang bergantian berupa kesan-kesan impressions, tidak lebih dari itu.
11
Dalam “Critique”, Kant menolak pandangan di atas dan menunjukkan bahwa tidak semua konsep itu berasal dari pengalaman. Kant melakukan analisis
“deduktif” dalam “Critique”-nya untuk memperlihatkan bagaimana ketika subjek merepresentasikan secara langsung objek-objek pengalaman melalui intuisi,
momen representasi tersebut selalu diikuti oleh determinasi rasio yang cara kerjanya tidak ditentukan oleh pengalaman melainkan berdasarkan “aturan-
aturan” yang dia sebut konsep-konsep murni. Kant menyebutkan dua belas konsep murni dalam “Critique”-nya yang terhimpun dalam empat kategori: kesatuan,
pluralitas, keseluruhan kategori kuantitas, realitas, negasi, limitasi kategori kualitas, substansi, kausalitas, komunitas kategori relasi, kemungkinan,
eksistensi, keniscayaan kategori modalitas.
12
Konsep-konsep ini menurut Kant tidak didapat dari pengalaman pure karena tidak satu pun dari konsep-konsep ini
menyatakan ciri fisik suatu objek. Sebaliknya, konsep-konsep ini mendahului prior pengalaman dan menjadi syarat conditions of possibility bagi
terbentuknya pengetahuan. Kant sepakat bahwa pengalaman itu hanya mengajarkan kepada kita fakta-fakta matters of fact. Namun, karena itu pula
Kant berpendirian bahwa mesti ada aturan-aturan normatif yang menstruktur pikiran atau rasio subjek yang dengannya aktivitas determinasi determinasi
11
David Hume, An Enquiry Cocerning Human Understanding, dalam Walter Kaufmann Forrest E. Baird ed., Modern Philosophy, Pilosophic Classics, 2
nd
Edition, Volume III, New Jersey: Prentice Hall, 1997, h. 367
12
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith New York: St Martin Press, 1964, h. 113
rasio atas pengalaman memiliki “bentuk” form. Keniscayaan mungkin tidak dapat ditemukan dalam fakta-fakta pengalaman tetapi ia dapat ditemukan dalam
struktur rasio subjek yang menyertainya.
13
Struktur rasio yang berisikan konsep- konsep murni itulah menurut Kant yang memungkinkan terbentuknya sintesis a
priori. Namun demikian, gagasan sintesis adalah gagasan keterikatan konsep pada
pengalaman. Suatu konsep dapat dikatakan sah jika konsep tersebut dapat diterapkan pada pengalaman. Karena itu, bagi Kant, walaupun konsep-konsep a
priori itu adalah konsep-konsep yang mendahului pengalaman, konsep-konsep tersebut hanya memiliki “arti” sejauh mereka dapat diterapkan pada pengalaman
pada objek-objek pengalaman. Dengan kata lain, konsep-konsep murni tersebut tidak memiliki validitasnya ketika mereka dipisahkan dari pengalaman. Pada titik
ini, Kant menegaskan batas-batas rasio, dan itulah yang dia maksud dengan “kritik” rasio murni. Rasio murni—fakultas yang mensuplai konsep-konsep
murni—dieksplorasi secara menyeluruh untuk dipertimbangkan kritik kemampuan dan batas-batasnya dalam membentuk pengetahuan.
14
Sebagai kritik rasio murni, filsafat transendental Kant memperlihatkan antinomi-antinomi rasio
untuk melihat mungkin tidaknya rasio memiliki pengetahuan tentang hal-hal di luar pengalaman meta-fisika. Kant menemukan dalam analisis antinominya,
bahwa ketika rasio dibiarkan berspekulasi tentang hal-hal di luar pengalaman, tesis-tesis rasio menyangkut hal-hal tersebut akan selalu menemukan anti-
13
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith New York: St Martin Press, 1964, h. 44
14
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith New York: St Martin Press, 1964, h. 14, 32
tesisnya, yang keduanya tesis dan antitesis sah secara rasional.
15
Dari sudut pandang inilah, Kant berkesimpulan bahwa metafisika sebagai salah satu produk
kerja rasio tidak dapat dikatakan “ilmiah” karena konsep-konsep yang dikemukakannya tidak dapat diterapkan dalam pengalaman.
Tentang sikapnya terhadap metafisika, Kant sejak awal dalam pengantarnya sudah menunjukkan sikap ketidakpuasan. Baginya metafisika
adalah spekulasi sembarang atas kenyataan-kenyataan di luar pengalaman yang tidak bisa dibuktikan dan selalu berakhir pada antinomi, sebagaimana yang dia
uraikan di beberapa sub-bab terakhir “Critique”-nya The Antinomy of Pure Reason. Sikap kritis ini terutama terbangun di bawah pengaruh Hume, seorang
eksponen mazhab empirisme radikal yang mempertanyakan kapasitas rasio dalam membentuk pengetahuan secara a priori, dan bahwa pengalaman merupakan
sumber ultim bagi pengetahuan.
16
Namun demikian, walaupun Kant berpandangan kritis terhadap metafisika dan sepakat dengan empirisme dalam
beberapa tesis tentang rasio dan pengalaman, dia menunjukkan bahwa metafisika merupakan gejala transendensi yang sudah selalu ada pada manusia. Hal ini bisa
dilihat dari pertanyaan-pertanyaan yang biasa diajukan: “Apakah yang dapat kita ketahui?”, “apakah yang harus kita lakukan?”, dan “apakah yang dapat kita
harapkan?”. Bagi Kant, pertanyaan-pertanyaan ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang mengimplikasikan bahwa manusia selalu terarah pada hal-hal yang
15
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith New York: St Martin Press, 1964, h. 385
16
Ernst Cassirer, Kant’s Life and Thought, pen. James Haden Yale University Press,
1981, h. 84-85
melampaui pengalaman, melampaui fakta-fakta, dan itu adalah sejenis kemampuan transendental bagi Kant.
17
Persoalannya bagi Kant adalah: “apakah hakikat dari transendensi tersebut?”. Dalam “Critique” kita menemukan jawabannya dalam analisis
pembentukan sintesis murni di mana rasio memiliki peran krusial. Transendensi bagi Kant adalah momen terbentuknya sintesis murni sintesis a priori, dan rasio
murni adalah faktor esensial dalam proses tersebut yang berfungsi menyuplai konsep-konsep murni sebagai aturan determinasi pikiran.