Destruksi Heidegger atas “Critique” Kant: Sebuah Tinjauan Umum

murni. 41 Dalam pembacaan Heidegger, gagasan ini sebenarnya merujuk pada fenomena pemahaman Ada atau pengetahuan ontologis karena sebagaimana dalam pengetahuan murni, apa yang diketahui dalam pengetahuan ontologis juga “bukanlah apa pun” nothing. Ada itu sendiri adalah bukan apa pun. Dengan titik tolak pemahaman Ada, terdapat beberapa tesis dasar dalam destruksi Heidegger atas skematisme yang perlu dikemukakan di sini. Pertama, menurut Heidegger esensi transendensi terletak pada imajinasi transendental, bukan pada rasio murni. Itu berarti bahwa pemahaman Ada sebagai momen transendensi subjek tidak terbentuk melalui rasio murni melainkan imajinasi transendental. Pembacaan ini sebenarnya didasarkan pada argumen Kant sendiri ketika dia mengatakan dalam doktrin skematismenya bahwa penerapan konsep- konsep murni ke dalam pengalaman sintesis murni hanya mungkin oleh adanya mediasi skema transendental yang dibentuk oleh imajinasi transendental. Dengan demikian, Kant sendiri sebenarnya mengakui bahwa imajinasi memiliki peran sentral dalam membentuk pengetahuan transendental pengetahuan murnisintesis murni, walaupun dalam kenyataannya, Kant tidak banyak membicarakan imajinasi transendental dalam “Critique”-nya melainkan justru cenderung menekankan aspek rasio sebagai faktor esensial dalam pembentukan sintesis murni transendensi. Kedua, menurut Heidegger, karena Kant cenderung menekankan rasio murni sebagai faktor esensial dalam pembentukan sintesis murni atau skema transendental pengetahuan murni, Kant menurut Heidegger telah mereduksi konsep pemahaman Ada ke dalam salah satu modus pemahaman Ada, yaitu 41 Pengetahuan murni berarti pengetahuan yang tidak diperoleh dari pengalaman akan objek-objek. Itu berarti dalam pengetahuan murni tidak ada pengetahuan apa pun tentang ciri fisik suatu objek. Apa yang diketahui dalam pengetahuan murni “bukanlah apa pun” nothing. modus pemahaman kategorial, di mana pemahaman atau pengetahuan ditafsirkan sebagai proses determinasi konseptual atas waktu time-determination berdasarkan aturan-aturan konsep murni substansi, kausalitas, kualitas dan seterusnya; sesuatu dianggap terpahami karena sesuatu tersebut tercakup dalam konsep atau kategori. Dalam destruksi Heidegger sementara itu, karena skema transendental adalah momen sintesis orisinal sebagaimana Kant sendiri secara implisit mengakuinya, maka pemahaman Ada tidak terbatas pada pemahaman kategorial. Orisinalitas skema transendental bagi Heidegger menunjukkan bahwa apa yang direpresentasikan dalam skema tersebut mestilah lebih luas dari sekadar determinasi rasio. Dengan demikian, dalam destruksi Heidegger, gagasan Kant tentang rasio sebagai dasar pengetahuan transendental, dipersoalkan. Ketiga, destruksi Heidegger juga berusaha meradikalkan gagasan Kant tentang waktu dalam kaitannya dengan imajinasi transendental. Kaitan ini sudah dapat dilihat dalam “Critique” ketika Kant mengatakan bahwa skema transendental tidak lain adalah determinasi waktu dan bahwa imajinasi transendental merupakan faktor esensial dalam proses determinasi tersebut. Atas dasar pandangan ini, Heidegger meradikalkan gagasan waktu Kant dengan menegaskan bahwa waktu sebenarnya adalah momen temporal dari imajinasi transendental. Berbeda dari Kant, Heidegger tidak mendefinisikan waktu sebagai rangkaian “sekarang” sequence of nows yang bergantian, melainkan proses mewaktu temporalitas yang mencirikan imajinasi transendental dalam aktivitas sintetisnya. Perlu diketahui bahwa dengan pembacaan ini, Heidegger sebenarnya hendak memperlihatkan bagaimana konsep waktu berkaitan dengan pemahaman Ada, sebuah tema yang menjadi motif pemikiran Heidegger dalam “Being and Time” Ada dan Waktu. Keempat, imajinasi transendental adalah konsekuensi keterbatasan, yaitu, keterbatasan intuisi, dan sebagai konsekuensi keterbatasan, imajinasi transendental itu sendiri bersifat terbatas. Konsekuensinya, transendensi sebagai pemahaman Ada juga terbatas dan merupakan konsekuensi keterbatasan. Sekadar untuk diketahui, Heidegger mengungkapkan konsep transendensi terbatas ini dalam “Kant and the Problem” dan “Being and Time”. Dalam “Kant and the Problem”, Heidegger memperlihatkan keterbatasan transendensi sebagai keterbatasan imajinasi transendental dalam kaitannya dengan intuisi terbatas manusia; imajinasi terandaikan karena intuisi manusia tidak menciptakan objek yang diintuisinya. Dalam “Being and Time”, sementara itu, ide keterbatasan berkaitan dengan sifat temporal pemahaman Ada, yaitu karakter proyektif yang terarah pada masa depan yang tidak pernah terpenuhi dan selalu ditandai oleh kebeluman not yet. Dalam bab berikutnya, saya akan menjelaskan poin-poin destruksi Heidegger atas doktrin skematisme sebagaimana disebutkan di atas. Perlu diingat bahwa apa yang terpenting dalam pemikiran Heidegger adalah gagasan tentang Ada, modus-modusnya, bentuk-bentuk dan karakter pemahamannya. Gagasan ini selalu menjadi motif utama pemikiran Heidegger, dalam “Being and Time” atau pun dalam pembacaan destruktifnya atas doktrin skematisme Kant. Dalam “Critique”, sebagaimana telah dikatakan, Heidegger menemukan gagasan pemahaman Ada dalam analisis skematisme Kant, sebuah analisis dimana konsep-konsep seperti skema transendental, imajinasi transendental, rasio murni, dan intuisi waktu dijelaskan hubungan-hubungannya. Heidegger menekankan faktor imajinasi transendental dalam hal ini dan berusaha melihat konsep-konsep lain dalam hubungannya dengan imajinasi transendetal. Pembacaan ini beralasan bagi Heidegger karena imajinasi transendental adalah fakultas sentral yang memungkinkan terbentuknya sintesis murni; terbentuknya pemahaman Ada. Hasilnya adalah suatu pemikiran Kant dalam terang yang lain. Jika pemikiran Kant dalam “Critique” adalah pemikiran tentang hakikat rasio murni dan batas- batasnya, maka pemikiran Kant yang didestruksi dalam “Kant and the Problem” adalah pemikiran tentang esensi imajinasi transendental dan batas-batasnya.

BAB III DESTRUKSI SKEMATISME:

MEMBACA ULANG RELASI ESENSIAL ANTARA IMAJINASI, INTUISI WAKTU DAN RASIO MURNI Sebagaimana telah diulas sebelumnya, transendensi dalam pemikiran Kant dinyatakan dalam gagasan sintesis murni, di mana konsep-konsep murni dapat diterapkan pada objek-objek pengalaman melalui representasi skema transendental. Kant menyebut doktrin penerapan konsep-konsep ini “skematisme” dan pada doktrin inilah Kant mengemukakan kaitan antara imajinasi, waktu dan rasio murni. Dari titik tolak doktrin skema skematisme ini, Heidegger menemukan bahwa intuisi murni—dalam hal ini waktu—dan konsep-konsep murni yang dibentuk oleh rasio murni, tidak dapat dilepaskan dari peran imajinasi transendental dalam pembentukannya. Kenyataannya, dalam destruksi Heidegger, waktu dan rasio murni itu sendiri bersumber dari imajinasi transendental Einbildung-Kraft. Penafsiran ini tentu saja amat radikal dan melampaui tesis pemikiran Kant sendiri. Namun menurut Heidegger gagasan ini sebenarnya sudah implisit dalam pandangan Kant ketika dia mengatakan bahwa imajinasi transendental, sebagai fakultas yang terandaikan dalam proses sintesis, berciri intelektual rasional sekaligus sensibel intuitif. Bab ini akan menguraikan bagaimana Heidegger, dengan minat pemikirannya pada fenomena pemahaman Ada, membaca ulang secara destruktif hubungan antara rasio murni dan intuisi murni dengan imajinasi transendental. Dalam bagian pertama bab ini, saya akan mengulas hubungan imajinasi transendetal dengan waktu yang diawali dengan klarifikasi konsep waktu Kant. Bagian kedua mengulas hubungan antara imajinasi transendental dengan rasio murni. Bagian ketiga berisikan pembacaan Heidegger atas konsep imajinasi transendental sebagai konsekuensi keterbatasan. Pembacaan ini saya sisipkan dalam bab ini karena gagasan keterbatasan Heidegger berkaitan langsung dengan karakter intuitif dan intelektual dari imajinasi. Selanjutnya, pada bagian terakhir saya akan memberikan ulasan ringkas tentang implikasi pemikiran transendental Heidegger dalam pemikiran etika dan keagamaan; tinjauan singkat tentang keunggulan dan kelemahan analisis Heidegger dan pembacaannya atas Kant. Penting untuk terus diingat bahwa pembacaan Heidegger bagaimanapun dilatarbelakangi oleh minatnya pada fenomena pemahaman Ada. Sebagaimana telah dikatakan, motif destruksi Heidegger adalah mengeksplisitkan fenomena pemahaman Ada dalam teks yang didestruksi. Karena itu, pembacaannya atas imajinasi transendental dan hubungannya dengan intuisi murni dan rasio murni, harus juga dilihat sebagai ikhtiar menegaskan fenomena transendensi sebagai pemahaman Ada, karakternya dan kedudukannya dalam struktur pemahaman atau struktur eksistensi manusia.

A. WAKTU DAN IMAJINASI TRANSENDENTAL: PEMBACAAN KE ARAH TEMPORALITAS TRANSENDENSI

Kant memahami waktu sebagai sejenis intuisi murni. Kant menyebutnya intuisi karena menurutnya waktu dihadirkan secara langsung atau terberi begitu saja dalam bentuk afeksi ∗ . Waktu juga disebut “murni” karena waktu tidak lain ∗ Afeksi berasal dari bahasa Latin “afficere” yang berarti pengaruh atau dorongan yang biasanya diasosiasikan dengan timbulnya perasaan. Intuisi adalah fakultas pengetahuan yang dengannya objek-objek atau hal-hal lain mengafeksi subjek secara langsung. Waktu adalah sejenis afeksi yang bersifat murni. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 1996, h. 19