LATAR BELAKANG MASALAH PENDAHULUAN
saja apa yang kita lihat, dengar dan rasakan ini adalah ilusi atau pantulan dari kenyataan yang sesungguhnya; bisa jadi apa yang kita lihat dan rasakan ini adalah
tipuan sempurna dari sesosok roh jahat.
1
Semua hal yang tertangkap oleh indera, menurut Descartes selalu dapat diragukan dengan cara seperti ini; sebuah fakta
yang menunjukkan bahwa pengalaman inderawi kita adalah sesuatu yang tidak kokoh, tidak sempurna dan senantiasa membutuhkan semacam fondasi yang ajeg.
Hanya ada satu hal yang tidak bisa diragukan menurutnya, yaitu fakta “aku yang meragukan”. Kita dapat meragukan semua hal yang kita alami, tetapi “aku yang
meragukan” itu sendiri bukanlah sesuatu yang dapat diragukan. Pada titik ini, Descartes sampai pada gagasan tentang “aku yang meragukan” sebagai “aku
berpikir” cogito. Menurutnya, substansi “aku berpikir” inilah yang merupakan fondasi bagi pengalaman. Sebagai fondasi yang self-evident, substansi “aku
berpikir” res cogitans bukanlah sesuatu yang berkeluasan sebagaimana dunia yang kita alami res extensa; ia melampaui transcende atau berada di seberang
meta kenyataan inderawi physica.
2
Kita dapat menyebut cogito Descartes sebagai “yang transenden”.
Bersamaan dengan lahir dan berkembangnya sains-sains positif, pandangan Descartes di atas selanjutnya memancing perdebatan baru di wilayah
epistemologi dan metafisika. Kita dapat menyebut filsuf-filsuf seperti Leibniz, Kant, Hegel, Hume, atau Husserl yang masing-masing melahirkan mazhab-
mazhab baru pemikiran. Namun demikian, perspektif cogito Descartes rupanya
1
Walter Kaufmann Forrest E. Baird ed., Modern Philosophy, Pilosophic Classics, 2
nd
Edition, Volume III, New Jersey: Prentice Hall, 1997, h. 26
2
Walter Kaufmann Forrest E. Baird ed., Modern Philosophy, Pilosophic Classics, 2
nd
Edition, Volume III, New Jersey: Prentice Hall, 1997. H. 30. lihat juga David West , An Introduction to Continental Philosophy, Cambridge: Polity Press, 1996, h. 13
masih terus dipertahankan sehingga pemikiran mereka tampak seperti sebuah penafsiran ulang konsep cogito tersebut.
3
Upaya-upaya manusia untuk menafsirkan “yang transenden” barangkali tidak dengan sendirinya menegaskan adanya “yang transenden” sebagai substansi
rahasia yang menjadi fondasi kenyataan--entah itu subek cogito, roh absolut, tabula rasa, atau pun ego transendental--, tetapi jelas bahwa munculnya penafsiran
semacam ini menunjukkan bahwa manusia memiliki kapasitas transendental. Dengan kata lain, adanya penafsiran ini menunjukkan bahwa manusia mampu
melampaui transcend apa yang hadir sebagai fakta. Menurut saya, kapasitas semacam ini penting dan menarik untuk diselidiki. Pasalnya, kapasitas
transendental ini tidak hanya terimplikasi dalam peristiwa penafsiran tentang adanya “yang transenden” tetapi juga ditunjukkan dalam peristiwa pemahaman
sehari-hari manusia. Pemahaman manusia adalah sejenis kapasitas transendental. Ketika
seorang penulis menulis sebuah karya dengan penanya, dia memahami apa itu pena, buku, meja tempat dia menulis, dan pemahaman atas dirinya sebagai
seorang penulis. Aspek transendentalnya terletak pada kenyataan bahwa pena, buku, atau pun meja yang hadir dalam indera-indera sensorisnya sebagai
kumpulan sensasi berupa warna, bentuk, kepadatan, bau, atau pun keluasan itu tidak hadir dalam kesadarannya sebagai sensasi-sensasi inderawi yang berserakan
chaotic, melainkan “melampaui”-nya transcend, yaitu sebagai “sesuatu” yang utuh, tertentu, dan dapat digunakan.
3
David West , An Introduction to Continental Philosophy, Cambridge: Polity Press, 1996, h. 8-41
Jika kita mengartikan transendensi sebagai “kemampuan untuk melampaui”, kita juga akan menemukan bahwa transendensi memiliki dimensi
keterarahan. Merujuk kembali pada contoh di atas, mungkinnya sang penulis memahami pena yang digunakannya sebagai sesuatu yang utuh, tertentu dan dapat
digunakan, adalah karena pemahaman dia bukan hanya terarah pada sensasi- sensasi inderawi yang hadir dalam pikirannya, tetapi juga terarah pada “yang
bukan sensasi-sensasi inderawi” atau, lebih tepatnya, pada yang “bukan-entitas” non-entity. Dengan kata lain, kapasitas yang mengarahkan pikirannya pada non-
entitas memungkinkan dia memahami sensasi-sensasi inderawi yang hadir kepadanya sebagai “entitas” yang tertentu. Di sini, kita karenanya dapat
mendefinisikan fenomena transendensi lebih spesifik, yaitu sebagai keterarahan pada yang bukan-entitas non-entity, yang karena bukan-entitas, ia tidak dapat
didefinisikan. Tetapi, jika pengetahuan dimungkinkan oleh adanya keterarahan pada non-
entitas yang tak terdefinisikan, maka apakah yang dapat kita bicarakan tentang non-entitas tersebut? Penyelidikan filosofis seperti apakah yang dapat dibangun
untuk menunjukkan bahwa keterarahan pada non-entitas ini bersifat konstitutif terhadap pengetahuan akan entitas? Dalam pergulatan filsafat modern yang secara
umum dipengaruhi oleh paradigma Cartesian, pertanyaan semacam ini hampir tidak ada sama sekali. Benar bahwa ketika Descartes meragukan representasi
inderawi sebagai representasi yang mensyaratkan adanya fondasi self-evident, dia telah menangkap dimensi transendensi dalam pemahaman. Tetapi, segera setelah
Descartes menegaskan fondasi itu adalah “aku berpikir” sebagai res cogitans res = sesuatuentitas yang di dalamnya terkandung ide-ide bawaan innate ideas,
hakikat transendensi sebagai keterarahan pada non-entitas menjadi luput dalam penyelidikannya.