IMAJINASI TRANSENDENTAL DAN GAGASAN TENTANG TRANSENDENSI TERBATAS

keterbatasan dalam pemikiran Kant sudah sejak awal ditegaskan oleh Heidegger dalam bab pertama Kant and the Problem. Dia menafsirkan bahwa salah satu “motif” dari upaya filsofis Kant dalam “Critique” tidak lain adalah menentukan batas-batas pengetahuan metafisis-dogmatis. 25 Upaya tersebut, menurut Heidegger, ditempuh dalam bentuk penyelidikan terhadap struktur rasio karena menurut Kant rasio adalah fakultas pengetahuan yang mensuplai konsep-konsep murni pemahaman, sebagai faktor esensial dalam pembentukan pengetahuan. 26 Sebagai faktor esensial pengetahuan, Kant menunjukkan pada saat yang sama bahwa rasio itu terbatas. Keterbatasan rasio itu terletak pada kenyataan bahwa konsep-konsep murni yang dihasilkan rasio bukanlah konsep-konsep yang memberikan informasi tentang kenyataan eksternal, melainkan semata-mata aturan pemahaman yang hanya berfungsi sebagai aturan jika mereka diterapkan ke dalam pengalaman. Karena itulah, menurut Kant, suatu pemikiran yang semata- mata mendasarkan dirinya pada rasio mere reason semisal metafisika tidaklah memberikan pengetahuan apa pun tentang kenyataan, kecuali sebagai spekulasi- spekulasi yang diselubungi antinomi-antinomi. 27 Dalam destruksi Heidegger, sementara itu, ketergantungan rasio pada intuisi yang ditegaskan oleh Kant menunjukkan bahwa esensi keterbatasan itu terletak pada intuisi. 28 Pada level intuisi lah menurut Heidegger pengetahuan manusia mula-mula terbentuk, suatu pandangan yang Kant sendiri menyetujuinya 25 Penafsiran ini kenyataannya sudah mulai umum bahkan di kalangan komentator- komentator pemikiran Kant sendiri. Lihat misalnya salah satu komentar Paul Guyer dalam pengantarnya untuk The Cambridge Companion to Kant Cambridge: Cambridge University Press, 1996, h. 1-25 26 Martin Heidegger, Kant and the Problem of Metaphysics, pen. Richard Taft Bloomington: Indiana University Press, 1997, h. 9 27 Martin Heidegger, Kant and the Problem of Metaphysics, pen. Richard Taft Bloomington: Indiana University Press, 1997, h. 6 28 Martin Heidegger, Kant and the Problem of Metaphysics, pen. Richard Taft Bloomington: Indiana University Press, 1997, h. 14-16 dalam beberapa paragraf “Critique”-nya. Karena itu, menurut Heidegger, penyelidikan terhadap esensi keterbatasan pengetahuan manusia harus bertolak dari keterbatasan intuisi sebagai aspek fundamental pengetahuan: Intuisi manusia itu terbatas karena intuisi manusia tidak menciptakan objek yang diintuisinya. Intuisi manusia sekadar bersifat reseptif menerima. Ia adalah sejenis fakultas pemahaman yang memungkinkan manusia Kant: subjek terafeksi oleh objek-objek di sekitarnya yang memang sudah ada. Lawan dari intuisi terbatas manusia finite intuition adalah intuisi ilahi yang tak terbatas Divine Intuition. Intuisi ilahi, Heidegger mengutip Kant, bersifat kreatif, yaitu, menciptakan objek yang diintuisinya. Karena itu, intuisi ilahi tidak memerlukan fakultas lain semisal rasio yang berfungsi menyatukan data-data atau objek-objek intuisi dalam rangka membentuk pemahaman. Rasio adalah konsekuensi langsung dari intuisi terbatas finite intuition. 29 Bagi intuisi ilahi, proses “pemahaman” atau pengetahuan adalah efek dari keterbatasan. Intuisinya sudah lebih dari memadai dibandingkan pemahaman rasional berdasarkan nalarrasio, karena itu intusi ilahi tidak membutuhkan pemahaman demikian. Jika kita mengikuti alur logis dari pengandaian ini, maka apa yang terintuisi dalam intuisi ilahi adalah keseluruhan kenyataan-pada-dirinya numenathing in itself. Sementara apa yang terintuisi dalam intuisi terbatas adalah kenyataan parsial yang berjarak terhadap subjek, yang kompleksitasnya tidak terkuasai oleh intuisi terbatas subjek. Karena itu kenyataan yang tampak pada intuisi terbatas hanyalah kenyataan sebagaimana ia ditampakan fenomenaappearance, bukan kenyataan pada dirinya 29 Martin Heidegger, Kant and the Problem of Metaphysics, pen. Richard Taft Bloomington: Indiana University Press, 1997, h. 17 numenathe thing-in-itself. Intuisi terbatas hanya menerima “pantulan” dari kenyataan yang sesungguhnya. 30 Dalam Kant and the Problem, pembacaan Heidegger menyangkut tema keterbatasan diarahkan pada ciri terbatas imajinasi transendental. Sebagaimana rasio adalah konsekuensi lebih jauh dari keterbatasan intuisi, demikian halnya dengan imajinasi transendental. Imajinasi transendental bersifat terbatas karena imajinasi tidak menciptakan objek apa pun. Walaupun imajinasi transendental sebagai fakultas yang mengkonstitusi transendensi memiliki fungsi pengetahuan, dalam transendensi itu sendiri tidak ada “sesuatu” pun yang diketahui. Dalam bahasa Kant, apa yang diketahui dalam transendensi sintesis murniskema transendental adalah ketiadaan, nothing. Heidegger menafsirkan “ketiadaan” tersebut sebagai Ada non-beingsbukan-sesuatu dan transendensi karenanya adalah pemahaman Ada. Tetapi itu tidak mengubah arti “ketiadaan” sebagaimana yang dipahami oleh Kant. Ada, bagi Heidegger, juga bukanlah apa pun nothing. Perbedaannya, dengan menggunakan kata “Ada” Heidegger menjadi lebih mudah untuk menunjukkan bagaimana “ketiadaan” tersebut mengkonstitusi pemahaman atau pengetahuan empiris Dasein. Demikian misalnya, Heidegger akan selalu mengatakan bahwa pemahaman terhadap suatu entitas adalah karena entitas itu Ada; karena entitas tersebut terpahami cara-Adanya dan bahwa cara Ada suatu entitas selalu terkait secara referensial dengan cara Ada entitas-entitas lain. Tentu saja transendensi adalah sejenis kemampuan. Namun kemampuan di sini bukanlah kemampuan untuk membuat objek, melainkan kemampuan 30 Namun demikian, bagi Heidegger, “kenyataan pantulan” atau pun “kenyataan yang sesungguhnya” adalah kenyataan yang sama. Istilah penampakan pantulan dan kenyataan sesungguhnya bagi Heidegger sebenarnya adalah perbedaan intuisi ilahi dan intuisi terbatas. Martin Heidegger, Kant and the Problem of Metaphysics, pen. Richard Taft Bloomington: Indiana University Press, 1997, h. 22-23. memahami objek, memahami cara meng-Ada nya. Ada hanya memiliki fungsi pemahaman, bukan fungsi penciptaan. Menjadi paham bagi Heidegger tidaklah membuat intuisi terbatas subjek menjadi tidak terbatas. Karena itu, alih-alih mengatakan bahwa transendensi adalah keistimewaan yang dimiliki subjek, bagi Heidegger lebih tepat mengatakan bahwa transendensi adalah ciri keterbatasan. Transendensi adalah konsekuensi keterbatasan. 31 Pada level ini, kita tentu dapat membuat pertanyaan spekulatif: apakah transendensi itu diperlukan jika manusia menciptakan objeknya sendiri? Ide tentang transendensi terbatas finite transcenedence tampak juga dalam sifat temporal imajinasi transendental. Sebagaimana telah sedikit disinggung, temporalitas imajinasi transendental berbeda dari konsep waktu Kant yang dipahami sebagai urutan “sekarang” sequence of nows. Temporalitas atau kemewaktuan bagi Heidegger adalah gagasan keterarahan imajinasi transendental pada kemungkinan; sejenis antisipasi atau ekspektasi yang terarah pada masa depan—dalam terminologi Kantian disebut sintesis rekognisi murni. Kemewaktuan semacam ini harus dipahami sebagai ciri keterbatasan menurut Heidegger, karena “keterarahan pada kemungkinan” yang dimaksud di sini bukanlah semacam perencanaan yang dengan rencana tersebut manusia memegang kendali atas dirinya atau entitas-entitas selainnya. Antisipasi itu lebih tepat digambarkan sebagai semata-mata dorongan atau impuls untuk meng-Ada drive-to-beseinkonnen. Dalam “Being and Time”, Heidegger menerapkan konsep ini secara lebih jelas, di mana Dasein sinonim dari imajinasi transendental yang selalu terarah pada kemungkinan menunjukkan bahwa Dasein 31 Martin Heidegger, Kant and the Problem of Metaphysics, pen. Richard Taft Bloomington: Indiana University Press, 1997, h. 53 tidak pernah mengalami sudah; dorongan untuk meng-Ada bukanlah semacam dorongan yang dapat dipenuhi seperti halnya dorongan rasa lapar atau haus. 32 Dalam Heidegger, dorongan untuk meng-Ada adalah dorongan primordial yang selalu hadir dalam setiap aktivitias pemahaman manusia. Dorongan tersebut tidak hilang disebabkan seseorang telah mencapai cita-citanya. 33 Ketika seorang guru sedang mengajar, dia selalu berada dalam dorongan tersebut dan hanya jika dorongan itu tetap ada, dia dapat mempraktikkan memahami perannya sebagai guru. Dengan demikian, Dasein tidak pernah mengalami sudah; Dasein selalu mengalami kebeluman yang dengan kebeluman tersebut Dasein selalu berada dalam kondisi realisasi-diri terus menerus, sebuah kenyataan yang bagi Heidegger menunjukkan bahwa Dasein selalu berada dalam keterbatasan. Tapi tidakkah dengan mengatakan itu menunjukkan bahwa transendensi bukan semata-mata konsekuensi keterbatasan, melainkan keterbatasan itu sendiri? Kenyataannya Heidegger berpendapat demikian. Bagi Heidegger, transendensi adalah keterbatasan itu sendiri. 34

D. IMPLIKASI KONSEP TRANSENDENSI HEIDEGGER TERHADAP PEMIKIRAN ETIKA DAN KEAGAMAAN

Di luar konteks pemikiran Heidegger, kita dapat menemukan beberapa konsekuensi pemikirannya yang signifikan dalam berbagai tradisi pemikiran. Terkait dengan model pembacaan yang diperkenalkannya, pemikiran Heidegger memiliki kontribusi besar terhadap munculnya tradisi tafsir baru yang dikenal 32 William J Richardson, Heidegger, Through Phenomenology to Thought The Hague: Martinus Nijhoff, 1963, h. 38-39 33 Hubert L Dreyfus, Being-in-the-World, A Commentary on Heidegger’s Being and Time Division I Cambridge: The MIT Press, h. 187 34 Martin Heidegger, Kant and the Problem of Metaphysics, pen. Richard Taft Bloomington: Indiana University Press, 1997, h. 61. Lihat juga William J Richardson, Heidegger, Through Phenomenology to Thought The Hague: Martinus Nijhoff, 1963, h. 135. sebagai hermeneutika filosofis, suatu model pembacaan yang motif utamanya tidak diarahkan pada intensi pengarang melainkan pada tegangan persoalan yang terkandung dalam teks. Eksponen utama dari tradisi tafsir ini adalah Hans Georg Gadamer, seorang murid langsung Heidegger. Selain itu, tidak bisa dihindarkan juga kontribusi model pembacaan destruktif Heidegger terhadap dekonstruksi Derrida, sebuah strategi pembacaan yang mengusut jalinan oposisi biner dalam sebuah teks dan proses diseminasi makna yang terjadi di dalamnya. Pemikiran Heidegger memang memiliki potensi pemikiran yang sangat besar. Pengaruhnya cukup sepadan dengan pemikir-pemikir lain seperti Kant, Hegel, Nietzsche atau pun Husserl. Tidak heran, jika pemikirannya sering diklaim memberikan titik tolak penting bagi upaya-upaya baru dalam pemikiran filsafat, terutama yang dewasa ini sering disebut-sebut sebagai posmodernisme. Namun demikian, terkait dengan konsep transendensi dan praktik destruksi atas pemikiran Kant, saya hanya akan menggarisbawahi beberapa implikasi penting pemikiran Heidegger, yaitu dalam wilayah pemikiran etika dan keagamaan. Bersamaan dengan pembahasan ini, saya juga hendak mengemukakan keterbatasan konsep transendensi Heidegger, di samping potensi pemikirannya yang terbuka untuk ditafsirkan ulang. 1. Destruksi atas “Critique” sebagai Ontologisasi Pemikiran Kant: Konsekuensi Penting dalam Pemikiran Etika Dalam “Kant and the Problem”, Heidegger tidak banyak berbicara tentang etika. Heidegger hanya membicarakan etika tidak lebih dari lima halaman dalam