Transendensi Subjek dalam Momen Sintesis Murni: Analisis Skema Skematisme dan Peran Imajinasi

kata lain, pengetahuan a priori juga dinyatakan sebagai representasi sintetis antara rasio dan intuisi. Hanya saja, representasi sintetis yang terjadi adalah sintesis “intuisi murni” dan “pikiran murni” rasio murni, sehingga sintesis dalam pengetahuan a priori disebut “sintesis murni” atau “sintesis a priori”. Pertanyaan dapat dikemukakan: jika dengan “murni” berarti “tidak diperoleh dari pengalaman” lantas pengetahuan apakah yang dihasilkan dari sintesis intuisi murni dan rasio murni?; apakah yang diketahui dalam momen transendensi sebagai pengetahuan murni? Sebelum menjawab pertanyaan ini, kita perlu terlebih dahulu mengenal konsep kunci dalam pemikiran Kant tentang pengetahuan sebagai sintesis. Momen pengetahuan sebagai sintesis mengandung pengertian bahwa terbentuknya pengetahuan itu bukanlah ketika konsep itu terbentuk melainkan ketika konsep itu dapat diterapkan pada objek. Demikian halnya dalam pengetahuan murni atau transendensi sebagai hasil dari sintesis murni; ia terbentuk ketika konsep-konsep murninya dapat diterapkan pada objek-objek pengalaman. Pertanyaan Kant adalah “bagaimana sintesis semacam itu mungkin?”. Upaya Kant untuk menjelaskan mungkinnya “sintesis murni” baca: mungkinnya konsep-konsep murni diterapkan pada objek-objek pengalaman dapat ditemukan dalam salah satu bagian penting “Critique”-nya, The Schematism of The Pure Concept of Understanding, di mana Kant menjelaskan bahwa konsep-konsep yang diterapkan pada objek selalu mengandaikan pembentukan “skema”. 20 Skema adalah representasi prosedur universal yang dengannya suatu konsep dapat memberikan gambaran universal tentang objek secara tidak terbatas 20 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith New York: St Martin Press, 1964, h. 180 pada objek-objek tertentu. 21 Sementara konsep hanya menyatakan “ciri-ciri umum” ens commun suatu objek, skema menyatakan ciri umum tersebut sebagai aturan pemahaman rule bagi semua objek, yang aktual dan yang mungkin, dalam bentuk “gambaran” atau “citra” image skematik. ∗ Peristiwa terbentuknya skema dapat dengan mudah ditemukan dalam ilustrasi peristiwa pemahaman sehari-hari. Ketika saya melihat meja dan memahaminya, misalnya, hal itu menunjukkan terjadinya sintesis antara konsep meja dengan sensasi-sensasi meja warna, bentuk, kepadatan, bau dan sebagainya yang diintuisi. Namun demikian, meja yang saya pahami sekarang ini melampaui “sekadar” penggabungan konsep dan intuisi. Saya bukan hanya dapat menggambarkan “detail-detail” dari meja tersebut atau menangkap “ciri umum” dari detail-detail tersebut tetapi juga menangkap “aturan umum” tentang bagaimana meja itu seharusnya, “aturan” yang tidak hanya berlaku bagi meja yang sedang saya lihat tetapi bagi semua meja yang “mungkin” saya lihat. 22 Representasi skema merupakan gagasan niscaya dalam menjelaskan proses sintesis sebagai peristiwa penerapan konsep pada objek-objek pengalaman. Tanpa skema, tidak akan ada sintesis yang itu berarti penerapan konsep-konsep ke dalam pengalaman menjadi tidak mungkin. Dalam “Critique”, persoalan yang hendak dijawab oleh Kant adalah penerapan konsep-konsep murni pada objek-objek pengalaman. Penerapan konsep-konsep ini tidak seperti penerapan konsep-konsep empiris konsep meja, 21 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith New York: St Martin Press, 1964, h. 182-3 ∗ Secara harfiah, skema berarti diagram atau rancangan yang berisikan petunjuk-petunjuk dasar tentang sesuatu. 22 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith New York: St Martin Press, 1964, h. 182 batu, buku, kuda dan sebagainya yang mengandaikan skema empiris— sebagaimana sudah dijelaskan di atas dengan contoh konsep meja. Untuk konsep- konsep murni, penerapannya pada objek-objek pengalaman sintesis murni mengandaikan pembentukan skemanya sendiri yang oleh Kant disebut skema transendental. Skema ini, karena sifat murninya transendental, tidak merepresentasikan aturan-aturan konseptual bagi objek-objek inderawi skema empiris. Skema transendental, menurut Kant, “tidak lain adalah determinasi waktu” berdasarkan aturan-aturan konsep murni dalam kaitannya dengan rangkaian waktu time-series, isi waktu time-content, urutan waktu time- order, dan cakupan waktu time-scope dari suatu objek. 23 Skema substansi, misalnya, menyatakan hubungan antara yang tetap dan yang berubah dalam waktu. 24 Skema ini merupakan determinasi waktu suatu objek dalam kaitannya dengan tatanan waktunya time order. Contoh lain dari kategori yang sama adalah skema kausalitas—substansi dan kausalitas berada dalam satu kategori, yaitu, kategori relasi. Skema kausalitas menyatakan hubungan urutan waktu time order dari dua peristiwa objek di mana ketika yang satu dialami mis, air dimasak, yang lain menyusul mis, air menjadi panas. Demikian, determinasi waktu merupakan wujud penerapan konsep-konsep murni pada objek-objek pengalaman. Kant mengantisipasi kemungkinan pandangan bahwa konsep substansi, atau konsep-konsep murni lainnya, itu muncul dari determinasi waktu. Karena itu, dia menegaskan bahwa determinasi waktu hanya mungkin sejauh ia mengikuti 23 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith New York: St Martin Press, 1964, h. 185 24 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith New York: St Martin Press, 1964, h. 184-185 aturan-aturan determinasi konsep-konsep murni yang sudah sejak awal a priori terbentuk. Dalam contoh skema substansi misalnya, determinasi tentang apa yang bertahan dan yang berubah dalam waktu hanya mungkin dalam kaitannya dengan konsep substansi. Tanpa konsep substansi, tidak ada aturan untuk menentukan apa yang bertahan dan apa yang berubah dalam waktu. 25 Konsep-konsep murni bagi Kant adalah aturan-aturan determinasi yang terbentuk mendahului peristiwa determinasi. Sekarang kita sudah sampai pada posisi untuk menjawab pertanyaan “apakah yang diketahui dalam pengetahuan murni?”. Dari penjelasan di atas, pertanyaan ini dapat dinyatakan dalam bentuk lain: “apakah yang diketahui dalam skema transendental?”. Dalam kasus skema konsep empiris skema empiris, apa yang direpresentasikan adalah aturan-aturan konseptual bagi objek dan karena setiap konsep empiris memiliki sumbernya dalam pengalaman, maka tidak sulit untuk menemukan kesejajaran antara skema konsep empiris dengan objeknya; misalnya, “aturan” binatang berkaki empat skema dengan kucing yang berkaki empat objek penerapan. Skema transendental, sementara itu, hanya merupakan determinasi waktu dan apa yang diketahui dalam determinasi waktu tersebut adalah “bukan apa pun” nothing. 26 “Bukan apa pun” di sini jangan ditafsirkan “semata-mata ketiadaan” mere nothing karena dalam kenyataannya “nothing” di sini memiliki peran konstituif dalam pengetahuan empiris. Karena sifat murninya dan karena fungsi konstitutifnya terhadap pengetahuan empiris, Kant menyebut 25 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith New York: St Martin Press, 1964, h. 184 26 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith New York: St Martin Press, 1964, h. 137, 267-268 representasi jenis ini sebagai pengetahuan murni—kadang-kadang disebut juga pengetahuan a priori atau pengetahuan transendental. Menarik memperhatikan gagasan Kant tentang skema. Setidaknya ada dua hal yang bisa ditekankan di sini. Pertama, representasi skema, sebagai representasi yang memediasi penerapan konsep pada pengalaman, memiliki sifat intelektual nalarrasional, di satu sisi, dan sensibel di sisi lain intuitif. Kedua, sebagai representasi yang memiliki karakter ambivalen, representasi skema adalah representasi orisinal; ia bukan hasil dari penggabungan antara intuisi dan rasio. Karena itu, walaupun Kant memperkenalkan konsep sintesis dan bahwa skema adalah produk sintesis, dia tidak memaksudkan dengan kata “sintesis” itu sebagai produk kombinasi intuisi dan rasio. Sejak dalam pengantar “Critique”, Kant sudah mengantisipasi kemungkinan salah penafsiran atas konsep sintesis yang diperkenalkannya ini: “Sebagai pengantar atau antisipasi kita hanya perlu mengatakan bahwa ada dua sumber pengetahuan manusia, yaitu, sensibilitas ∗ dan pemahaman, yang mungkin keduanya berasal dari sumber yang sama common root yang kita tidak mengetahuinya”. 27 Kant memang tidak mengatakan apakah “sumber yang sama” tersebut. Namun maksudnya cukup jelas, Kant hendak mengatakan bahwa ada kemungkinan sintesis itu tidak terbentuk sebagai hasil penggabungan intuisi-rasio; sebaliknya, rasio dan intuisi justru adalah produk atau momen ganda dari sintesis. ∗ Sensibilitas dari kata inggris “sensible” yang berarti “dapat terindra” adalah kapasitas penerimaan objek secara langsung oleh subjek. Bagi Kant kapasitas ini menunjukkan bahwa subjek memiliki intuisi untuk menerima afeksi-afeksi dari objek. Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith New York: St Martin Press, 1964, h. 65 27 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith New York: St Martin Press, 1964, h. 61 Menurut hemat saya, hal ini juga menjadi alasan mengapa dalam salah satu sub- bab “Critique”-nya, Transcendental Doctrin of Schematisme, dia mengisyaratkan keterbatasan analisanya terhadap fenomena skema sebagai representasi sintetis, sebagai berikut: “skematisme pemahaman kita, dalam penerapannya terhadap penampakan- penampakan appearances dan bentuk-bentuknya, adalah seni yang tersembunyi di kedalaman jiwa manusia, yang modus-modus nyata dari aktivitasnya tidak mengizinkan kita untuk mengungkapnya, dan membiarkan kita mengamatinya dengan seksama”. 28 Bersamaan dengan analisisnya atas skema skematisme, Kant juga menunjukkan adanya fakultas lain, yang sebagaimana skema, memiliki karakter ambivalen. Kant menyebutnya “imajinasi” dan menurutnya fakultas kekuatan mental inilah yang memungkinkan terbentuknya skema, dan, karenanya sintesis. Fakultas ini niscaya terandaikan karena setiap jenis representasi selalu mengandaikan fakultasnya tersendiri. Sebagaimana representasi data-data partikular mengandaikan fakultas intuisi atau representasi konsep mengandaikan fakultas rasio, demikian halnya dengan representasi skematik yang mengandaikan fakultas imajinasi. Selanjutnya, pada level pengetahuan murni, di mana sintesis yang terbentuk adalah sintesis murni dan skema yang direpresentasikan adalah skema transendental, Kant mengasumsikan adanya fakultas imajinasi transendental, lawan dari imajinasi empiris, yang memungkinkan pembentukan skema transendental, dan karena itu, sintesis murni. 29 28 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith New York: St Martin Press, 1964, h. 183 29 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith New York: St Martin Press, 1964, h. 142-143 Dengan demikian, sejauh ini kita dapat membuat kesimpulan bahwa konsep transendensi Kant melibatkan tiga jenis fakultas pengetahuan: rasio murni, intuisi murni waktu, dan imajinasi transendental. Tiga fakultas ini secara bersamaan membentuk apa yang oleh Kant disebut sintesis murni yang tidak lain adalah transendensi atau pengetahuan murni, suatu tahap pengetahuan di mana skema transendental direpresentasikan. Konsep transendensi ini rupanya masih menyisakan banyak persoalan. Persoalan tersebut terutama berkaitan dengan hubungan antara rasio, intuisi dan imajinasi, dan hakikat imajinasi itu sendiri sebagai faktor pembentuk sintesis melalui skema, yang sebagaimaan akan kita lihat, menjadi perhatian utama dalam pembacaan destruktif Heidegger.

B. MARTIN HEIDEGGER: TRANSENDENSI SEBAGAI PEMAHAMAN ADA

1. Sekilas Biografi Hidup dan Karya

Martin Heidegger 1889-1976 dikenal sebagai filsuf paling orisinal dan berpengaruh abad 20. Lahir di Messkirch, Baden, Jerman, dia belajar teologi Katolik Roma dan kemudian filsafat di Universitas Freiburg, di mana dia menjadi asisten Edmund Husserl, seorang pendiri fenomenologi. Heidegger memulai karir mengajarnya di Freiburg pada tahun 1915. Sejak 1923 sampai 1928 dia mengajar di Universitas Marburg. Dia kemudian kembali ke Freiburg pada tahun 1928, menggantikan posisi Husserl sebagai profesor filsafat. Karena dukungan publiknya atas Adolf Hitler dan Partai Nazi pada tahun 1933 dan 1934, aktivitas profesional Heidegger terbatas hingga tahun 1945, dan kontroversi menyangkut pendirian universitasnya terus berlanjut hingga pensiunnya pada tahun 1959. Di antara Karya-karya Heidegger adalah sebagai berikut: Basic Problems of Phenomenology; Being and Time; Early Greek Thinking; Existence and Being; History of the Concept of Time; Kant and the Problem of Metaphysics; The Essence of Truth.

2. Transendensi atau Eksistensi dan Gagasan Destruksi

Seperti Critique of Pure Reason bagi Kant, Being and Time adalah karya utama Heidegger yang menandai puncak karir pemikirannya. Di dalamnya Heidegger mengemukakan analisis transendensinya dengan bertolak dari fenomena pemahaman atas Ada pemahaman ontologis, yang dia bedakan dari pemahaman atas pengada pemahaman ontis—Heidegger menegaskan perbedaan antara Ada dan pengada yang selanjutnya dia sebut “perbedaan ontologis” ontologische differenz. 30 Jika saya memahami bahwa benda yang saya pegang ini adalah palu maka itu berarti saya memahami palu tersebut secara ontis sekaligus ontologis. Pemahaman ontis atas palu adalah pemahaman terhadap ciri- ciri fisik atau material pada palu tersebut: warna, bobot, bentuk, kehalusan atau ukuran. Sementara pemahaman ontologis atas palu berarti saya memahami modus Ada mode of Being palu tersebut; memahami Ada-nya. Modus-Ada palu yang saya pahami ini, dalam perspektif Heidegger, didefinisikan berdasarkan keberfungsian palu dalam suatu konteks referensial; yakni dalam hubungannya dengan gergaji, kayu, paku yang semua itu memiliki referensi terakhir, yaitu, pembuatan rumah saya dan pemenuhan diri saya sebagai si pembuat rumah. Totalitas referensial inilah yang menjadikan palu Ada sebagai palu; hanya dalam 30 Heidegger, Martin, Basic Problems of Phenomenology, pen. Alfred Hofstadter Bloomington: Indiana University Press, 1982, dalam “Translator Introduction” oleh Alfred Hofstadter, h. xviii