Transendensi atau Eksistensi dan Gagasan Destruksi
konteks referensial, sebuah palu dapat meng-Ada to-be sebagai palu. Tanpa totalitas tersebut palu tidak dapat dipahami sebagai palu melainkan sebagai entitas
homogen tak terbedakan yang sekadar memiliki bentuk, warna, atau ukuran sebagaimana entitas-entitas lain. Contoh yang serupa dapat dibuat, misalnya:
kapur, penghapus, papan tulis, dan seorang guru yang sedang menerangkan pelajaran.
31
Gagasan terpenting dari Heidegger tentang fenomena pemahaman Ada adalah adanya entitas yang memahami Ada, yaitu, manusia. Pemahaman Ada oleh
manusia menunjukkan bahwa Ada itu tersingkap pada manusia, atau, manusia tersingkap pada Ada--terkadang Heidegger mengilustrasikan ketersingkapan Ada
ini sebagai peristiwa penyinaran lichtung di mana Ada menyinari manusia dan dengan sinar itu manusia menyinari entitas-entitas lain. Dalam ketersingkapan
Ada inilah manusia dapat memahami Ada-dirinya dan Ada-nya entitas-entitas lain.
32
Dalam Being and Time, Heidegger menggunakan istilah Dasein untuk menyebut manusia, yang berarti Ada-Di sana Da-Sein There-Being. Dengan
memakai istilah ini, Heidegger hendak menekankan dinamika pemahaman Ada manusia, bukan struktur biologisnya warna kulit, organ-organ tubuh, postur dan
sebagainya. Selain itu, dengan istilah ini pula, Heidegger hendak menekankan aspek ke-di-sana-an The ThereDa Da-sein yang berarti bahwa pemahaman Ada
Dasein atau ketersingkapan Ada itu selalu terjadi atau terikat dalam konteks dunia um welt gebunden.
31
Ilustrasi-ilustrasi yang lengkap dan mudah tentang ini dapat ditemukan dalam Hubert L Dreyfus, Being-in-the-World, A Commentary on Heidegger’s Being and Time Division I
Cambridge: The MIT Press, h. 89-107
32
Martin Heidegger, Being and Time, pen. Joan Stambaugh Albany: State University of New York, 1996, h.
125
Ini terjadi karena pemahaman Ada selalu berarti pemahaman akan cara atau modus Ada-nya sesuatu mode of Being of beings. Ketika Dasein
mengatakan “palu ini Ada”, Dasein mengerti “arti” Ada sekaligus modus Ada palu tersebut. Demikian halnya, ketika Dasein mengatakan “saya Ada”
menunjukkan bahwa dia mengerti “arti” Ada sekaligus cara Ada dirinya to be itself. Selanjutnya, karena setiap modus Ada itu selalu terbangun dalam totalitas
referensial modus-modus Ada—lihat kembali contoh di atas—yang sudah selalu tersedia dalam dunia mis, palu, gergaji, paku, rumah, guru, dokter, dan
sebagainya, maka pemahaman Ada tersebut hanya dapat terwujud dalam dunia. Tanpa dunia, pemahaman Ada hanya akan menjadi sejenis dorongan-dorongan
hampa. Dengan demikian, konsep Da-sein mencakup dua gagasan sekaligus: pemahaman Ada dan kebertempatan pemahaman tersebut dalam dunia.
33
Dalam Being and Time, Heidegger menyebut pemahaman Ada sebagai transendensi atau eksistensi yang keduanya memiliki arti sama atau setidaknya
berdekatan, yaitu, “melampaui”.
34
Pemahaman Ada atau ketersingkapan Ada adalah momen transendensi karena dalam pemahaman Ada, Dasein seolah seolah-
olah “melampaui” dimensi ontis dari pengada-pengada untuk memahami Ada- nya. Sebagaimana sudah dikatakan, Ada selalu berarti Ada-nya sesuatu Being of
beings atau cara Ada sesuatu way of Being of beings sehingga kenyataan Dasein memahami Ada berarti dia pada saat yang sama memahami cara Ada entitas-
entitas, termasuk cara Ada dirinya sebagai entitas yang memahami Ada.
33
Martin Heidegger, Being and Time, pen. Joan Stambaugh Albany: State University of New York, 1996, h. 54
34
Martin Heidegger, Being and Time, pen. Joan Stambaugh Albany: State University of New York, 1996, h. 10, 110. Lihat juga William J Richardson, Heidegger, Through
Phenomenology to Thought The Hague: Martinus Nijhoff, 1963, h. 39, 114
Pemahaman Ada tentu saja bukan pemahaman eksplisit atas Ada karena jika kita Dasein ditanya apa itu Ada tentu kita tidak dapat menjawabnya secara
memuaskan, atau lebih buruk lagi, tidak dapat mengungkapkan gagasan apa pun dari kata tersebut. Namun demikian, pemahaman Ada adalah fakta yang jelas.
Fakta ini dapat ditemukan dalam semua modus pemahaman sehari-hari manusia. Kita terbiasa mengatakan “batu ini ada”, “palu ini [adalah] berat”, “saya adalah
Ki Joko”, dan sebagainya, yang semua itu menunjukkan bahwa kita telah mengerti arti Ada walaupun secara tidak eksplisit. Heidegger menyebut pemahaman Ada
yang tidak eksplisit ini “pemahaman pra-ontologis”, suatu tahap pemahaman di mana Ada belum dibicarakan atau ditafsirkan secara diskurif yang di sepanjang
sejarah pemikiran disebut ontologi on: Ada, logos: diskursus atau pembicaraan.
35
Dalam Being and Time, Heidegger berusaha mendiskursuskan Ada, karenanya, melakukan semacam penyelidikan ontologis. Namun demikian,
ontologi Heidegger bukan semacam pendefinisian secara lengkap arti Ada, sebagaimana dalam ontologi tradisional di mana Ada sering ditafsirkan dengan
berbagai cara: monad, res cogitans, roh absolut, kehendak untuk berkuasa, ego transendental dan sebagainya. Sejak awal dalam Being and Time, Heidegger
menegaskan secara terbatas bahwa: 1 Ada itu adalah konsep yang paling universal. Semua pengada atau entitas, apa pun itu, selalu dapat dilekatkan kata
Ada padanya mis, batu ada, manusia ada, Tuhan ada, jin ada, payung ada, dan sebagainya. 2 Ada itu adalah konsep yang jelas dengan sendirinya self-evident
concept; setiap orang sudah begitu saja menggunakan kata “ada” dalam
35
Martin Heidegger, Being and Time, pen. Joan Stambaugh Albany: State University of New York, 1996, h.
10-11
pembicaraannya tanpa dia tahu secara tegas arti dari kata tersebut. 3 Ada adalah konsep yang tidak dapat didefinisikan undefinable concept berdasarkan jenis
genus dan cirinya differentia seolah-olah Ada itu semacam entitas yang memiliki perilaku tertentu, bentuk tertentu atau warna tertentu.
36
Lalu bagaimana Ada itu diselidiki jika ia bukanlah pengada sama sekali? Heidegger memahami
ontologinya sebagai fenomenologi, yaitu, diskursus tentang fenomena pemahaman Ada dan, menurutnya, setiap pembicaraan tentang Ada ontologi harus dimulai
dari fenomena pemahaman Ada fenomenologi. Fenomena pemahaman Ada adalah satu-satunya petunjuk untuk memulai pembicaraan tentang Ada. Dia
mengatakan: “Hanya sebagai fenomenologi, ontologi itu mungkin”.
37
Analisis pemahaman Ada, atau disebut juga analisis eksistensial, adalah gagasan orisinal Heidegger. Dia sendiri mengakui bahwa titik tolak analisisnya
belum pernah dilakukan oleh para filsuf di sepanjang sejarah filsafat Barat, dan itu bukan tanpa alasan. Menurutnya, luputnya fenomena pemahaman Ada dari
perhatian para filsuf adalah karena mereka telah melupakan pertanyaan tentang arti Ada question of Being. Kelupaan ini adalah efek dari kelupaan yang lebih
fundamental, yaitu, kelupaan akan perbedaan antara Ada dan pengada perbedaan ontologis. Benarkah demikian? Dalam skripsi ini saya tidak akan mengulas
tahap-tahap kelupaan tersebut. Apa yang terpenting dalam pandangan Heidegger ini adalah bahwa, walaupun Ada itu terlupakan, pemahaman Ada selalu
terandaikan dalam penyelidikan para filsuf. Bahkan, pemahaman Ada sang filsuf sendiri selalu terikat oleh konsep-konsep tradisi di mana dia hidup, yang dengan
36
Martin Heidegger, Being and Time, pen. Joan Stambaugh Albany: State University of New York, 1996, h.
2-3
37
Martin Heidegger, Being and Time, pen. Joan Stambaugh Albany: State University of New York, 1996, h.
31
itu dia membangun sistem pemikirannya.
38
Karena itu, menurut Heidegger, kita dapat membaca ulang suatu teks pemikiran untuk memeriksa fenomena
pemahaman Ada yang terimplikasi dalam teks tersebut, dan melihat seberapa kuat jejaring konseptual tradisi yang menghambat seorang filsuf untuk melihat
fenomena tersebut secara jelas dan mempertimbangkannya sebagai potensi pemikiran.
Heidegger menyebut pembacaan semacam ini “destruksi” yang secara harfiah berarti “merusak”.
39
Namun demikian, kenyataannya, destruksi Heidegger justru memiliki nilai korektif terhadap teks yang didestruksi walaupun benar juga
bahwa dalam cara pembacaannya Heidegger kerap membahasakan ulang cara argumentasi dari teks yang didestruksi, yang pada taraf tertentu terkesan merusak.
Terlebih dengan destruksinya, Heidegger tidak bermaksud menemukan intensi sesungguhnya dari sang pengarang melainkan elemen utama persoalan yang
memberi orientasi pada sang pengarang, betapapun sang pengarang tidak menyadarinya. Destruksi berusaha mengangkat unsur vital dari suatu pemikiran
yang seringkali tersamarkan oleh konsep-konsep tradisi yang sudah mengakar kuat. Dalam konteks destruksi, unsur vital tersebut tidak lain adalah fenomena
pemahaman Ada, atau, ketakterhindaran persoalan tentang arti Ada. Dalam Being and Time, Heidegger merencanakan destruksinya atas tiga
filsuf: Aristoteles, Descartes dan Immanuel Kant, yang sebagaimana kita tahu urung diwujudkan.
40
Rencana pembacaan destruktif tersebut baru terealisasi
38
Martin Heidegger, Being and Time, pen. Joan Stambaugh Albany: State University of New York, 1996, h.
17-18
39
Martin Heidegger, Being and Time, pen. Joan Stambaugh Albany: State University of New York, 1996, h.
20-21
40
Martin Heidegger, Being and Time, pen. Joan Stambaugh Albany: State University of New York, 1996, h.
35
kemudian dalam karya yang berbeda, salah satunya adalah Kant and the Problem of Metaphysics selanjutnya ditulis “Kant and the Problem” yang terdiri dari
empat bab pembacaan Heidgger atas pemikiran Kant dalam “Critique”. Dalam “Kant and the problem”, Heidegger menjelaskan motif pemikiran Kant sebagai
ontologi fundamental, atau, penyelidikan terhadap kapasitas transendental subjek yang dengannya metafisika sebagai ilmu atau pun kecenderungan alamiah dapat
dikemukakan batas-batasnya bab I. Penyelidikan ini tentu saja memiliki nilai epistemologis pada akhirnya, karena kapasitas transendental tersebut bukan hanya
memungkinkan metafisika tetapi juga pengetahuan secara umum, tidak terkecuali sains-sains positif. Dalam tiga bab terakhir, Heidegger menjelaskan tahap-tahap
penyelidikan Kant tentang keniscayaan terbentuknya skema oleh imajinasi transendental bab II; imajinasi sebagai esensi transendensi dalam kaitannya
dengan waktu bab III; konsekuensi pemikiran Kant tentang imajinasi terhadap ide keterbatasan bab IV.