tertarik dengan budaya Minang. Culture shock yang dialami Wahyu hampir sama dengan yang dialami oleh informan yang lain, begitu juga dari segi makanan dan
lingkungan Medan. Wahyu sangat menyadari statusnya sebagai pendatang, ia belajar untuk memahami dan menerima berbagai perbedaan yang ada.
IV.2 PEMBAHASAN
Dari penelitian yang telah peneliti lakukan, maka dapat dibuat pembahasan sebagai berikut:
Peneliti hanya mengambil sampel 10 orang informan dengan metode penarikan sampel bola salju snowball sampling. Dari 10 orang informan ini,
peneliti mendapatkan jawaban yang rata-rata sama mengenai peran identitas budaya yang mereka rasakan dan alami, peneliti tidak mendapatkan data baru lagi
sehingga peneliti menghentikan pencerian informan. Dari 10 informan tersebut, maka peneliti membuat pembahasan yang dikaitkan dengan tujuan dari penelitian
ini, yakni untuk mengetahui identitas budaya yang terbentuk, perubahan identitas budaya yang mungkin terjadi dan untuk mengetahui bagaimana peran identitas
budaya dalam menjalin komunikasi antarbudaya yang efektif pada mahasiswa etnis Minangkabau USU dengan orang lain yang memiliki perbedaan identitas
budaya, sebagai berikut: 1.
Mengetahui identitas budaya yang terbentuk Seperti yang telah dijelaskan dalam uraian teoritis bahwa identitas
budaya mengacu pada pengertian individu yang berasal dari keanggotaan formal atau informal dalam kelompok yang meneruskan dan menanamkan
Universitas Sumatera Utara
pengetahuan, keyakinan, nilai, sikap, tradisi dan cara hidup. Perhatian identitas budaya adalah mengenai apa yang telah dipelajari seseorang di
masa lalu dan bagaimana mereka menggunakannya untuk mempengaruhi masa depan Jameson, 2007: 207-208. Demikian pula yang dialami oleh
informan, yakni mahasiswa etnis Minangkabau asal Sumatera Barat yang menempuh pendidikan di USU. Sebagai individu yang berasal dari
lingkungan budaya yang berbeda dengan membawa segala bentuk budaya yang sudah tertanam dan melekat dalam diri individu tersebut, maka ketika
ia memasuki lingkungan budaya yang berbeda merupakan suatu pengalaman baru dan tentunya mereka menghadapi perbedaan-perbedaan
nilai-nilai budaya. Dikaitkan dengan pembentukan identitas budaya yang diungkapkan
oleh Liliweri 2003: 35-46, dari hasil wawancara dan pengamatan, seluruh informan melalui proses pembentukan identitas budaya yang tidak
disengaja. Informan memperoleh identitas budaya mereka melalui interaksi dengan orang-orang yang ada di lingkungan asalnya yakni
budaya Minangkabau. Hanya saja pewarisan nilai-nilai budaya yang ada di antara mereka yang berbeda-beda. Misalnya seperti Rozi yang dibesarkan
dalam lingkungan yang masih kental dengan adat dan budaya Minang, pemahamannya mengenai nilai-nilai budayanya juga lebih mendalam.
Jika dibandingkan dengan Zikri yang dibesarkan dalam keluarga yang lebih religius, sehingga nilai-nilai yang ia terapkan dalam kesehariannya
pun lebih mengacu kepada ajaran agama Islam.
Universitas Sumatera Utara
Kebanyakan informan mendapatkan pengetahuan mengenai nilai- nilai budaya dari pendidikan di sekolah. Sedangkan penerapannya
dipengaruhi oleh situasi lingkungan dan masyarakat tempat mereka berasal.
2. Mengetahui perubahan identitas budaya yang mungkin terjadi
Seperti yang diungkapkan oleh Liliweri 2003: 81, identitas memiliki sifat yang dinamis, tidak pernah stabil dan prosesnya pun sering
berubah. Setiap orang selalu berubah sepenjang waktu baik secara pasif maupun aktif. Demikian juga halnya yang dialami oleh para informan.
Perubahan-perubahan yang terjadi itu dipengaruhi oleh atribut identitas budaya yang ada, seperti yang disampaikan oleh Jameson 2007: 218-225
dapat dikemukakan pembahasan sebagai berikut: a.
Identitas budaya dipengaruhi oleh hubungan dekat Dari hasil wawancara dan pengamatan, beberapa informan mengalami
perubahan budaya. Hal ini dapat dilihat dari cara ia bersikap dan berbicara. Misalnya seperti Dilla dan Gally yang sangat sering
berinteraksi dengan orang Medan, mereka kemudian merasa nyaman dengan lingkungan yang ada karena bisa berbaur dan memiliki teman
dekat dengan teman-teman yang berasal dari Medan. Perubahan itu seperti logat bahasa dan nada bicara. Bahkan ketika mereka kembali
ke kampung halaman, perubahan-perubahan itu dapat dirasakan oleh orang dekat mereka di sana.
Universitas Sumatera Utara
b. Identitas budaya berubah sesuai dengan waktu
Lamanya waktu menetap juga dapat mengubah identitas budaya seseorang. Kebanyakan informan pada awalnya memang merasa agak
canggung di awal-awal mereka menetap di lingkungan baru. Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu, mereka mulai memahami
status mereka sebagai pendatang, bukan warga asli setempat. Sehingga keadaan tersebut menuntut mereka untuk bisa beradaptasi
dengan perbedaan-perbedaan nilai-nilai yang ada. Sedangkan bagi mereka yang baru satu tahun menetap, biasanya rasa etnosentrisme
masih sangat terasa. Perasaan untuk tidak menerima perbedaan- perbedaan itu masih bergejolak dalam diri mereka.
c. Identitas budaya terkait erat dengan kekuasaan dan hak istimewa
Kekuasaan dan budaya erat kaitannya dengan hak istimewa maupun kemampuan mengendalikan persepsi eksternal identitas budaya
menjadi terbatas ketika seseorang tidak memiliki lembaga atau kelompok. Dari hasil wawancara dan pengamatan, beberapa orang
informan lebih memilih untuk tidak terlalu menampakkan identitas budayanya karena faktor lingkungan. Ketika mereka berada di
lingkungan yang mayoritas bukan dari kelompok identitas budaya yang sama, identitas budaya itu cenderung tidak dimunculkan.
Sebaliknya, ketika berada di dalam kelompok yang homogen dengan identitas budaya mereka, barulah identitas budaya itu dimunculkan.
Universitas Sumatera Utara
Misalnya para informan biasanya menggunakan bahasa Minang ketika mereka berada dalam kelompok mahasiswa Minang juga.
d. Identitas budaya bisa membangkitkan emosi.
Orang mungkin memiliki perasaan positif, negatif, netral atau ambigu terhadap komponen identitas orang lain. Ketika seseorang bersikap
negatif terhadap identitas budaya orang lain, beberapa kemungkinan bisa saja terjadi. Adanya stereotype negatif yang beredar dalam
lingkungan masyarakat mengenai Kota Medan juga mempengaruhi persepsi informan dalam melakukan interaksi. Persepsi yang negatif
inilah yang kemudian menimbulkan masalah dalam komunikasi antarbudaya misalnya enggan untuk memulai komunikasi dan
menjaga jarak sosial seperti yang dialami oleh Silmi dan Zikri. e.
Identitas budaya dapat dinegosiasikan melalui komunikasi Identitas budaya dapat dinegosiasikan melalui komunikasi tetapi
hanya dalam keadaan tertentu. Seperti yang dialami oleh Memi dan Dilla ketika merasa tidak nyaman dengan sikap kawan-kawannya
yang lain, ia mencoba untuk menegosiasikannya. Sebagai hasilnya setelah dikomunikasikan dengan baik, antara ia dan kawan-kawannya
yang lain kemudian bisa saling menghormati dan menghargai perbedaan yang ada di antara mereka.
3. Mengetahui peran identitas budaya dalam menjalin komunikasi
antarbudaya yang efektif.
Universitas Sumatera Utara
Dalam masyarakat Minangkabau dikenal pepatah adat yang dijadikan sebagai falsafah hidup dan menjadi identitas budaya tersendiri bagi orang
Minangkabau. Pepatah adat ini juga memberikan pedoman bagaimana seharusnya seorang individu Minangkabau bersikap di perantauan, seperti
pepatah berikut: Kok manyauak di hilie-hilie Kalau menimba air di hilir-hilir
Kok mangecek dibawah-awah Kalau bicara bersahaja Tibo dikandang kambiang Tiba di kandang kambing mengembek
Tibo dikandang kabau manguak Tiba di kandang kerbau menguak Dimano bumi dipijak Di mana bumi dipijak
Disinan langik dijunjuang Di sana langit dijunjung Disitu rantiang dipatah Di situ ranting dipatah
Sebagai perantau yang hidup dalam lingkungan yang berbeda budaya, maka sebagai kelompok minoritas, budaya Minang mengajarkan
masyarakatnya yang merantau harus tahu diri dan pandai menempatkan diri sebagai pendatang di daerah orang lain. Falsafah Minang ini sejalan
dengan yang dikemukakan oleh Lewis dan Slade dalam jurnal.pdii.lipi.go.id terkait dengan beberapa variabel dari kriteria pribadi
sebagai penentu keberhasilan komunikasi antarbudaya yang efektif, yaitu: a.
Kemampuan penyesuaian diri dan kualitas pertumbuhan pribadi pelaku komunikasi itu sendiri. Beberapa informan yang memiliki
pandangan negatif dan tertutup terhadap lingkungan barunya terbukti lebih lama dalam beradaptasi dan canggung dalam berkomunikasi
Universitas Sumatera Utara
antarbudaya pada masa awal mereka menetap dibandingkan dengan mereka yang memiliki pandangan terbuka dan berpikir positif
terhadap lingkungannya. Misalnya seperti Silmi dan Zikri yang awalnya agak terutup, mereka cenderung untuk berinteraksi dengan
teman-teman yang identitas budayanya sama sedangakan Memi, Gally dan Dilla mereka lebih mudah bergaul.
b. Sikap, pengetahuan tentang budaya lain dan perilaku mitra
komunikasi yang dapat teramati. Kebanyakan informan mahasiswa Minang memang lebih banyak melakukan pengamatan terhadap
lingkungannya. Proses ini tentunya berjalan seiring dengan kehidupan mereka di Medan. Dari hasil pengamatan itulah,
kemudian mereka menyimpulkan bagaimana watak orang-orang yang mereka hadapi dan bagaimana harus bersikap.
c. Kualitas komunikasi, pemersepsi dan sistem dyadic yang dibentuk
para pelaku komunikasi. Semakin sering informan tersebut berinteraksi dengan orang lain, maka makin banyak pemahamannya
mengenai komunikatornya, dan kualitas komunikasi yang dirasakan pun semakin baik seperti yang dirasakan oleh Dilla, Memi, Gally,
Winda, dan Wahyu. Silmi pun demikian, yang awalnya menutup diri karena adanya penolakan dalam dirinya, setelah menetap beberapa
bulan barulah ia mau membuka dirinya dan meningkatkan interaksi dengan yang lain.
Universitas Sumatera Utara
Mengenai karakteristik informan, dari penelitian ini ditemukan bahwa perempuan lebih sensitif dalam menanggapi perbedaan-perbedaan budaya yang
ada. Perbedaan yang ada sedikit banyaknya mempengaruhi perasaan dan kondisi mereka. Sedangkan bagi yang laki-laki, perbedaan yang ada tidak terlalu menjadi
masalah, mereka lebih cepat beradaptasi dan menerima kondisi yang ada. Lama menetap menjadi faktor dalam perubahan identitas yang mereka
alami. Terbukti dalam penelitian ini, informan yang telah lama menetap di Medan identitas budaya mereka sudah sedikit bergeser dari identitas budaya Minang ke
budaya orang Medan. Sedangkan faktor usia tidak berpengaruh dalam penerapan identitas budaya dalam komunikasi antarbudaya. Wahyu yang berumur 18 tahun
lebih memahami identitas budayanya sendiri dibandingkan dengan Gally yang juga seumuran dengannya.
Sementara itu, status tempat tinggal juga berpengaruh terhadap identitas budaya mereka. Informan yang tinggal dengan mahasiswa Minang yang lain,
identitas budayanya lebih lama berubah dibandingkan dengan mahasiswa yang di kosannya tidak terdapat mahasiswa Minang. Seperti Zikri dan Rozi yang
bertempat tinggal di rumah yang sama, mereka cenderung lebih sering berinteraksi dengan sesamanya dibandingkan dengan orang lain sehingga budaya
yang ada dalam proses interaksinya masih tetap menggunakan budaya Minang. Dikaitkan dengan teori interaksionisme simbolik, maka dapat disimpulkan
bahwa memang benar individu bersikap aktif, reflektif dan kreatif serta menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Peneliti meyakini
perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut
Universitas Sumatera Utara
pandang subjektif. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur
perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Informan seperti Wahyu, Gally, Memi, Rozi, Frezi dan
Dilla memang lebih cepat memahami lingkungannya karena memaknai Kota Medan dan masyarakatnya sebagai sesuatu yang posistif. Hal itu mendorong
mereka untuk melakukan interaksi komunikasi antarbudaya, meskipun awalnya mereka mendapatkan stereotip yang negatif mengenai Kota Medan. Sedangkan
informan yang memberikan penilaian yang cenderung negatif seperti Zikri, Puput dan Winda dalam memaknai situasi dan perilaku orang Medan mereka awalnya
agak enggan untuk berinteraksi, sulit untuk percaya dengan orang lain dan lebih suka bergaul dengan sesama mahasiswa Minang lainnya.
Selain memberikan definisi terhadap mitra dalam berinteraksi, definisi yang mereka berikan terhadap diri mereka sendiri juga mempengaruhi perilaku
mereka. Informan yang mampu memberikan definisi yang lebih tepat tentang identitas budayanya sendiri, lebih cepat mendefinisikan orang lain yang berbeda
budaya dengannya dan memberikan pedoman pada mereka untuk bersikap, bertindak, berdasarkan definisi yang mereka peroleh. Di sinilah terbukti peran
identitas budaya dapat mengarahkan informan dalam mengambil keputusan untuk bertindak dalam lingkungan sosialnya.
Universitas Sumatera Utara
BAB V PENUTUP