BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Hasil Penelitian dan Pengamatan Wawancara
Pelaksanaan dan pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi dan wawancara yang berlangsung dari bulan April hingga Mei 2011. Setelah
mendapatkan persetujuan untuk melakukan penelitian, peneliti kemudian mengurus surat permohonan izin penelitian untuk diserahkan kepada bagian
Kemahasiswaan Biro Rektorat USU. Beberapa hari kemudian, peneliti mendapatkan surat balasan yang menyatakan persetujuan untuk melakukan
penelitian di lingkungan Universitas Sumatera Utara. Setelah mendapatkan surat persetujuan tersebut, kemudian peneliti diarahkan untuk menemui pegawai di
bagian Pusat Sistem Informasi PSI USU. Dari Pusat Sistem informasi USU inilah peneliti mendapatkan daftar nama mahasiswa asal Sumatera Barat.
Setelah mendapatkan daftar nama dari PSI USU, kemudian peneliti mengunjungi Sekretariat Ikatan Mahasiswa Imam Bonjol IMIB USU untuk
mendapatkan informasi tentang siapa saja dari daftar nama yang peneliti dapatkan dari PSI USU yang merupakan etnis Minangkabau. IMIB USU adalah organisasi
mahasiswa Minangkabau yang ada di USU. Setiap tahunnya, organisasi ini rutin melakukan pendataan terhadap mahasiswa Minangkabau yang baru di USU. Oleh
karena itu, peneliti melakukan pengecekan ulang dari data yang didapatkan di PSI USU dengan data yang ada pada IMIB USU.
Universitas Sumatera Utara
Setelah itu, peneliti memulai serangkaian pelaksanaan penyusunan skripsi. Sebelum melakukan proses wawancara, peneliti melakukan pengamatan ke
beberapa fakultas di USU. Di antara beberapa fakultas yang peneliti kunjungi memang merupakan fakultas yang jarang peneliti kunjungi sebelumnya, yaitu
Fakultas Hukum, Fakultas Teknik, Fakultas Pertanian, Fakultas MIPA, Fakultas Kedokteran dan Fakultas Psikologi. Dari hasil pengamatan yang peneliti lakukan,
memang tidak terlalu tampak perbedaan antara mahasiswa Minang dengan mahasiswa lainnya. Mereka tampak berbaur dengan mahasiswa yang lain. Akan
tetapi di Fakultas Kesehatan Masyarakat dan Fakultas Keperawatan, tampak beberapa mahasiswa Minang yang berkelompok di antara mahasiswa-mahasiswa
lainnya. Hal ini tampaknya dipengaruhi oleh situasi lingkungan kampus mereka. Selain jumlah mahasiswa Minang yang cukup banyak di dua fakultas ini, tidak
adanya pembagian jurusan di dalam fakultas juga membuat mereka lebih akrab dan lebih mudah untuk mengenali satu sama lain.
Peneliti melakukan penelitian terhadap mahasiswa etnis Minangkabau yang berasal dari Sumatera Barat di USU dengan menggunakan teknik penarikan
sampel snowball. Penentuan informan untuk penelitian ini pertama kali peneliti lakukan ketika berada di Sekretariat IMIB USU. Di sana, peneliti mendapatkan
informasi mengenai mahasiswa Minang yang memiliki kriteria sesuai dengan tujuan penelitian. Selanjutnya, informasi mengenai informan-informan berikutnya
peneliti dapatkan dari beberapa orang yang juga menjadi informan sebelumnya. Pencarian informan memang tidak terlalu sulit karena beberapa orang dari
informan sudah peneliti kenal sebelumnya, akan tetapi peneliti mengalami
Universitas Sumatera Utara
kesulitan dalam penentuan jadwal wawancara disebabkan jadwal perkuliahan beberapa informan yang masih sangat padat. Peneliti berhenti pada informan
yang kesepuluh karena data yang diperoleh sudah jenuh. Hal ini dikarenakan peneliti tidak memperoleh data baru lagi dan jawaban yang diberikan oleh
informan rata-rata sama. Dengan demikian informan dalam penelitian adalah 10 orang mahasiswa etnis Minangkabau asal Sumatera Barat.
Proses wawancara dilakukan di berbagai tempat sesuai dengan keinginan dan jadwal informan. Lokasi wawancara dilakukan di kampus dan di rumah kost.
Di setiap lokasi, peneliti juga selalu melakukan observasi, khususnya di rumah kost. Dalam proses wawancara peneliti dan informan menggunakan bahasa
Minang agar makna yang didapatkan sesuai dengan pandangan informan sebagai individu Minangkabau. Peneliti mendapatkan pengakuan tentang peran identitas
budaya dan kegiatan interaksi yang dilakukan oleh informan dengan masyarakat Medan, baik di kampus, di rumah kost, maupun di lingkungan masyararakat
umum. Proses wawancara berlangsung sesuai pedoman wawancara, yaitu dengan membiarkan informan bercerita untuk memperoleh informasi yang lebih banyak.
Ketika melakukan wawancara, peneliti tidak hanya mendapatkan informasi seputar komunikasi antarbudaya yang dilakukan informan, tetapi juga mengenai
culture shock yang dialami informan, tentang makanan, lalu lintas, tata kota dan sebagainya. Hal tersebut peneliti jadikan sebagai pelengkap informasi.
Tujuan pembuatan karakteristik informan usia, jenis kelamin, asal fakultas, lama menetap dan status tempat tinggal adalah untuk membantu peneliti
menemukan sejumlah kemungkinan terkait hubungan karakteristik informan
Universitas Sumatera Utara
dengan peran identitas budaya Minang yang dimiliki informan dan interaksi yang dilakukannya sehari-hari. Untuk itu, peneliti harus menemukan temuan yang dapat
dijadikan kesimpulan nantinya tentang seperti apa peran identitas budaya dalam komunikasi antarbudaya.
Tabel 2 Data Mahasiswa Etnis Minangkabau Asal Sumatera Barat yang
Menjadi Informan
No Nama
Jenis Kelamin
LP Kota Asal
Fakultas Angkatan
Lama Menetap
Alamat 1.
Rozi Afrilino L
Sungayang, Batusangakar
Ekonomi 2008
±3 tahun Jl. Jamin
Ginting Gg. Kamboja
No.22B
2. Zikri Azhari
L Kabupaten
Agam Ilmu-Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik
2008 ±3 tahun
Jl. Jamin Ginting Gg.
Kamboja No.22B
3. Winda Zulfi
P Padang Panjang
Kesehatan Masyarakat
2009 ±2 tahun
Jl. Dr. Sumarsono
3325 4.
Silmi Tresia P
Batusangkar Keperawatan
2009 ±2 tahun
Jl. Jamin Ginting Gg.
Sarman No.7Jl.
5. Frezi
Widianingsih P
Bukittinggi Hukum
2010 ±1 tahun
Jl. Jamin Ginting Gg.
Sarmin No.45A
6. Gally Angga
Ananta L
Kabupaten Agam
Ilmu Budaya 2010
±1 tahun Jl.
Pembangunan Gg. Rejeki No
5B
7. Dilla Sepri
Susanti P
Solok Ilmu-Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik
2008 ±3 tahun
Jl. Harmonika No.70
8. Dwi Putri
Oktaviance P
Sawah Lunto Farmasi
2009 ±2 tahun
Jl. Zulkarnain No.16
9. Masria
Umami P
Batusangkar Keperawatan
2009 ±2 tahun
Jl. Prof. M. Yusuf No.15
10. Wahyu Eko
Putra L
Padang MIPA
2010 ±1 tahun
Jl. Jamin Ginting, Gg
Kamboja No.27
Universitas Sumatera Utara
Dan berikut hasil wawancara dan pengamatan terhadap 10 informan:
Informan 1
Nama : Rozi Afrlino
Usia : 22 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Fakultas : Ekonomi
Angkatan : 2008
Lama Menetap : ±3 Tahun
Alamat Tempat Tinggal : Jalan Jamin Ginting Gang Kamboja No.22B
Tanggal Wawancara : 5 Mei 2011
Rozi adalah informan yang pertama kali peneliti wawancarai. Ia adalah mahasiswa Minang yang berasal dari daerah Sungayang, Batusangkar. Rozi
merupakan salah satu pengurus IMIB USU yang juga bertempat tinggal di Sekretariat IMIB USU. Di sana ia tinggal bersama adiknya Febrian dan tiga orang
pengurus IMIB USU lainnya, yakni Zikri, Adek dan Ficky. Ketika peneliti datang untuk wawancara, rumah kost yang juga dijadikan sebagai sekretariat itu sedang
ramai oleh mahasiswa Minang lainnya. Suasana kekeluargaan di tempat itu sungguh terasa. Peneliti memilih Rozi sebagai informan pertama karena Rozi
merupakan salah satu pengurus IMIB USU yang menjabat sebagai ketua bidang Pembinaan Anggota sehingga peneliti bisa mendapatkan informasi mengenai
informan-informan selanjutnya. Rozi merupakan salah satu mahasiswa Minang yang berasal dari
Batusangkar dimana adat istiadat Minang masih dilestarikan oleh masyarakatnya. Daerah Batusangkar termasuk ke dalam daerah Luhak Tanah Datar, di mana
dahulunya merupakan pusat pemerintahan Pagaruyung. Bahkan Rozi termasuk dalam keturunan datuk yang dianggap sebagai ninik mamak di daerah tersebut. Ia
Universitas Sumatera Utara
tumbuh dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga besar yang tinggal dalam satu Rumah Gadang. Di dalam lingkungan inilah secara tidak langsung ia belajar dan
mengenal bagaimana budaya etnisnya sendiri. “Kalau tentang budaya Minang, mungkin secara tidak langsung
sadonyo, sejak awaklah baru yang pindah dari rumah gadang, sabalum tu, nenek wak masih tingga di ciek rumah gadang yang
rami-rami tu, jadi secara tidak langsung, dek wak dari dulu tumbuahnyo di kampuang se dulu taruih, jadi secara dak langsung
lah baraja.” Kalau tentang budaya Minang, mungkin semuanya secara tidak
langsung di ajarkan, baru generasi saya yang pindah dari Rumah Gadang, sebelumnya, nenek saya masih tinggal di satu Rumah
Gadang yang ramai, jadi secara tidak langsung, karena sudah dari dulu tumbuh dan dibesarkan di kampung saja, jadi secara tidak
langsung sudah belajar.
Dari lingkungan yang seperti itu, Rozi memiliki persepsi sendiri tentang budaya etnisnya. Budaya sopan santun, tata krama dan sikap saling menghormati
sangat dipentingkan dalam interaksi sehari-hari. Aturan-aturan tersebut tak hanya dibentuk dari lingkungan tetapi juga melalui pelajaran Budaya Alam
Minangkabau yang dipelajari di sekolah. Oleh karena itu, dalam berperilaku sehari-hari pun ia tetap menerapkan budaya tersebut.
“Kayak yang diaja an yo yang samo-samo awak tau dulu lah, mungkin yo wak ado baraja BAM, caro ka urang yang labiah
gadang ba a, caro ka mamak ba a, caro menghadapi ipa wak ba a, jadi ka urang-urang tu beda gitu, ibaratnyo ka urang yang labiah
gadang, harus ado penghormatan wak, ba a penampilan wak, ba a caro ngecek wak, sadonyo kan ado kato nan ampek tu, jadi
sadonyo tu harus berlandaskan kayak-kayak gitu la menurut wak. Jan sumbarang-sumbarang se, kebanyakan di siko se, kadang-
kadang nyo duo tahun di bawah wak nyo santai-santai se, lah samo gadang se, lah samo tinggi se sawah jo pamatang”.
Seperti yang sudah diajarkan orang-orang dahulu lah, ketika dulu belajar Budaya Alam Minangkabau, bagaimana cara bersikap
kepada yang lebih tua, bagaimana bersikap kepada mamak, cara menghadapi ipar bagaimana, kita harus bersikap hormat,
bagaimana penampilan kita, bagaimana cara berbicara, semuanya
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan kepada kato nan ampek itu, jadi semuanya berdasarkan yang seperti itu lah. Tidak boleh sembarangan saja,
kebanyakan kalau di sini, masih dua tahun di bawah saya, santai- santai saja, sudah dianggap sejawat, sama tinggi sawah dengan
pematangnya.
Dari apa yang disampaikan oleh Rozi, tampak bahwa ia merasakan adanya perbedaan sikap antara masyarakat di daerah asalnya dengan masyarakat
di Medan. Ia menilai terkadang orang-orang di sini melupakan rasa hormat kepada yang lebih tua. Hal ini ia ungkapkan dalam pepatah minang Lah samo tinggi
sawah jo pamatang, maksudnya adalah antara yang lebih muda dan yang lebih tua, tidak lagi ada batasan-batasannya dan dianggap sama saja.
Rozi memiliki kebanggaan tersendiri dengan budaya Minangkabau yang dimilikinya. Menurutnya budaya Minangkabau adalah budaya yang unik, karena
garis keturunannya ditarik dari garis keturunan ibu tidak seperti yang lain yang kebanyakan ditarik dari garis keturunan bapak. Selain itu, adat budaya
Minangkabau juga sejalan dengan nilai-nilai agama Islam. Dari segi masakan juga, menurutnya masakan Minang bisa diterima oleh siapa saja.
“Yo, menurut wak unik lah, dan beruntung ajo rasonyo wak tu terlibat di budaya Minang, dilahirkan sebagai orang Minang,
urang tuo wak urang Minang, apa ama wak urang Minang duo- duonyo. Jadi deknyo beda, mungkin untuk seluruh dunia, kan cuma
minang silsilah matrilineal, masalahnyo secara dak langsung itu tu melindungi hak-hak wanita. Mungkin yo ado kebanggaan la kalau
awak tu urang Minang gitu. Trus dari masakannyo gitu kan , lebih diterima dima-dima, apo jo jenis etnisnyo, pasti suko masakan
Minang. Lagian nilai-nilai yang ditanamkan dak bertentangan kok samo nilai-nilai agama yang wak anut. Urang Minang kan harus
Islam, kalau dak Islam dak urang Minang do”. ya, menurut saya unik, dan beruntung rasanya terlibat dalam
budaya Minang, dilahirkan sebagai orang Minang, kedua orang tua saya juga orang Minang. Jadi karena berbeda, mungkin cuma
Minang yang menggunakan silsilah matrilineal, sehingga secara tidak langsung hal yang seperti itu menlindungi hak-hak wanita.
Universitas Sumatera Utara
Ya ada kebanggaan lah menjadi orang Minang. Kemudian dari masakannya, lebih diterima dimana-dimana, apa pun jenis
etnisnya, pasti suka masakan Minang. Lagian nilai-nilai yang ditanamkan tidak bertentangan kok dengan nilai-nilai agama yang
dianut. Orang Minang kan harus Islam, kalau tidak beragama Islam bukan orang Minang.
Dari penjelasan Rozi tersebut, sangat tampak bahwa ia memiliki kebanggaan yang sangat tinggi dengan budaya Minangkabau. Kebanggaan
tersebut ia tampakkan dalam kesehariannya sebagai orang Minang yang menjadi perantau di Medan. Misalnya, ketika di kampus walaupun sudah multietnis, tetapi
ia akan tetap menggunakan bahasa Minang dengan sesama teman Minangnya, sebagai identitas bahwa ia adalah orang Minang.
“Mungkin kalau dalam kehidupan sehari-hari yo ba a caro wak ka urang gitu a, misal kalau wak sobok samo urang tu ba a. Misalnyo
ka uda wak, jan sumbarang bagarah-garah se, yo bagarah-garah tapi caliak-caliak juo, atau mungkin dalam wak menggunakan
bahasa lah gitu. Seandainyo wak di kampus tu kan lah plural, lah rami, berbagai etnik, jadi kalau seandainyo ngobrol samo kawan
yang samo Minang tu, dak pernah wak pakai bahaso selain bahaso Minang, pasti bahaso Minang, itu menunjukkan kalau awak tu
emang asli urang Minang gitu”. Mungkin kalau dalam kehidupan sehari-hari ya bagaimana cara
kita bersikap kepada orang lain, misalnya ketika berhadapan dengan orang lain itu bagaimana. Misalnya kepada kakak, tidak
boleh sembarangan bercanda, bercanda boleh-boleh saja tetapi harus tetap diperhatikan, misalnya dalam menggunakan bahasa lah
gitu. Seandainya kalau di kampus kan sudah plural, dari berbagai etnis, jadi kalau seandainya mengobrol dengan teman yang orang,
tidak pernah menggunakan bahasa selain bahasa Minang, pasti menggunakan bahasa Minang, itu menunjukkan kalau kita memang
asli orang Minang begitu.
Salah satu yang dianggap sebagai kebiasaan orang Minang adalah merantau. Rozi memiliki keinginan untuk merantau keluar Sumatera Barat sejak
masih SMA. Walaupun pada awalnya ia ingin merantau ke pulau Jawa, seperti yang ada pada lirik-lirik lagu Minang marantau ka pulau Jao. Alasannya yang
Universitas Sumatera Utara
kedua adalah ia menilai kalau di kampung, kebanyakan pola pikir masyarakatnya masih terlalu standar. Sehingga terkadang hal-hal baru yang diadopsi dari budaya
luar diterima secara berlebihan. Oleh karena itu, ia memiliki keinginan untuk merantau keluar dari daerah Sumatera Barat. Seperti halnya yang pernah
diceritakan dalam film “Merantau” yang dibintangi oleh Iko Uwais sebagai seorang pemuda Minang bernama Yuda yang pergi merantau ke pulau Jawa
Jakarta untuk mencari kehidupan yang baru di sana. Rozi diterima sebagai mahasiswa USU melalui jalur Ujian Masuk
Bersama UMB pada tahun 2008. Sebelum menjalani kehidupan di Medan, sebagaimana orang yang akan pindah ke lingkungan yang baru, Rozi memiliki
pemikiran sendiri tentang kota Medan. Ketika peneliti menanyakan hal tersebut, ia menceritakan bahwa saat itu ia menganggap bahwa Medan merupakan kota
metropolis yang kurang lebih sama dengan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Hal-hal yang menjadi stereotip kota Medan seperti orang Medan adalah orang
Batak yang kasar, keras dan jorok tidak terlalu ia pikirkan. Setibanya di Medan, ternyata Rozi baru mengetahui bahwa pada saat itu ia
terlalu cepat datang. Pada awalnya, kebanyakan teman-teman seangkatan Rozi saat itu adalah dari jalur PMP sehingga ia sedikit canggung ketika harus
bersosialisasi. Hal itu terjadi karena mahasiswa lain dari jalur PMP sudah menjalani masa matrikulasi terlebih dahulu dan sudah saling mengenal satu sama
lain. Sehingga ketika ia merasa seperti orang asing di antara teman-temannya. Setelah mahasiswa dari jalur UMB lainnya bergabung, barulah ia baru mulai tidak
Universitas Sumatera Utara
terlalu canggung. Menurutnya, mahasiswa yang juga dari jalur UMB lebih nyaman untuk diajak bergaul, karena mereka sama-sama belum saling mengenal.
Hal lain yang menyebabkan Rozi agak canggung dalam bersosialisasi adalah masalah bahasa. Bahasa Indonesia yang digunakan di Medan ternyata agak
sedikit berbeda dengan bahasa Indonesia yang biasa ia kenal. Baik dari logat maupun kata-kata yang digunakan. Seiring dengan berjalannya waktu, Rozi pun
mulai bisa membiasakan diri dengan bahasa yang digunakan di Medan. “Penggunaan bahasa Indonesia waktu tu agak cangguang,
takuiknyo pemilihan kato-katonyo kayak baso Minang yang di Indonesiakan lo beko”.
Penggunaan bahasa Indonesia ketika itu agak canggung, takutnya pemilihan kata-katanya nanti seperti bahasa Minang yang di
Indonesiakan.
Rozi yang memiliki mata sipit dan warna kulit yang cerah seringkali di sangka sebagai etnis Thionghoa, akan tetapi ia selalu membantahnya dan
menjelaskan bahwa ia adalah orang Minang bukan etnis Thionghoa. Ketika orang lain tahu bahwa ia adalah orang Minang, beberapa orang di antaranya ada yang
merasa simpati ada juga yang bersikap biasa saja. Sehingga identitas Rozi sebagai orang Minang tidak membuatnya mengalami diskriminasi, konflik ataupun
masalah yang signifikan karena perbedaan budaya. Culture Shock yang dialami Rozi tidak terlalu menimbulkan masalah
baginya. Ia bisa dengan cepat beradaptasi dengan situasi dan kebiasaan masyarakat di sekitarnya. Satu hal yang bermasalah baginya adalah makanan di
Medan. Bukan karena tidak suka dengan lauk pauknya, tetapi nasi yang pulen dan lengket tidak sesuai dengan seleranya. Berbeda dengan jenis beras yang terdapat
Universitas Sumatera Utara
di Sumatera Barat seperti jenis Kuriak Kusuik, 100 hari, Anak daro, Sokan dan beras Solok, yang biasa dikonsumsi masyarakat di sana tidak pulen, warnanya
lebih cerah dan lebih manis. “Kalau untuak masakan, emang, bukan masalah lauak pauak atau
sayuanyo gitu, tapi lebih ke nasinyo, nasinyo dak cocok do, lengket-lengket gitu”.
kalau untuk masakan, bukan masalah lauk pauk atau sayurnya, tapi nasinya tidak cocok, lengket-lengket.
Hingga saat ini, perubahan yang dirasakan Rozi selama ia berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda latar belakang adalah beberapa orang yang
sudah mengenalnya lebih dekat tidak lagi menggunakan kata “Kau” sebagai kata sapaan. Teman-teman dekatnya lebih memilih untuk menggunakan kata “Lae”
atau nama panggilan saja. Walaupun bagi Rozi sebenarnya tidak masalah ketika harus menggunakan kata “Kau” yang dianggap kasar dalam bahasa Minang. Kata
ini dianggap kasar karena lebih sering digunakan ketika seseorang sedang marah atau lebih sering digunakan oleh orang-orang pasar atau yang lebih dikenal
dengan sebutan baso balai. Setelah hampir tiga tahun Rozi menetap di Medan, ia menilai bahwa
masyarakat di kota ini lebih individualis, terbukti dengan kurangnya rasa saling menghargai dan kontrol sosial yang ada di masyarakat dan adanya
ketidakpedulian sosial. Hal ini sangat bertolak belakang dengan keadaan yang ada di daerah asalnya. Situasi seperti itu, kemudian membuatnya harus menyesuaikan
diri. Usaha untuk mendekatkan diri dengan lingkungan sekitar pernah ia lakukan. Akan tetapi karena tidak terlalu ditanggapi kemudian ia memilih untuk bersikap
acuh tak acuh saja.
Universitas Sumatera Utara
“Yo..itu lah..dak ado yang ka manegur do. Kontrol sosial kurang, harago maharagoi kurang, dak peduli se apo yang tajadi, awak
secara tidak langsung tu gitu lo jadinyo”. Ya..begitulah..tidak adayang akan menegur. Kurangnya kontrol
sosial, kurangnya rasa saling menhargai, tidak peduli dengan apa yang sedang terjadi, kita secara tidak langsung juga seperti
jadinya.
Kesimpulan Kasus
Rozi berasal dari keluarga yang budaya Minangnya masih kuat. Nilai-nilai dan norma-norma yang ia pelajari dari lingkungan dan sekolah ia pahami dengan
baik. Oleh karena itu, nilai-nilai itu pun sudah melekat dalam kesehariannya walapun ia hidup di lingkungan budaya yang berbeda. Karena menyadari dirinya
adalah sebagai pendatang, ia lebih memilih untuk bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada. Meskipun demikian, identitas budayanya sebagai etnis
Minangkabau tidak ia sembunyikan, bahkan ia memiliki kebanggaan tersendiri menjadi bagian dari etnis Minangkabau. Rozi tidak terlalu peduli dengan stereotip
yang ada di tengah masyarakatnya mengenai kota Medan. Hal ini mempermudah Rozi untuk menerima perbedaan yang ada, sehingga ketika berinteraksi pun hal
itu tidak menjadi masalah. Perbedaan bahasa yang awalnya membuatnya canggung tidak menghalangi niatnya untuk berinteraksi. Penerapan nilai-nilai
sopan santun dalam bergaul membantu Rozi untuk lebih mudah berbaur dengan orang-orang sekitarnya. Akan tetapi, lingkungan di Medan yang individualis
mempengaruhi sikap Rozi untuk bersikap acuh tak acuh pula.
Universitas Sumatera Utara
Informan 2
Nama : Zikri Azhari
Usia : 21 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Fakultas : Ilmu-Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Angkatan : 2008
Lama Menetap : ±3 Tahun
Alamat Tempat Tinggal : Jalan Jamin Ginting Gang Kamboja No.22B
Tanggal Wawancara : 3 Mei 2011
Zikri adalah mahasiswa Minang yang berasal dari kota Bukittinggi. Zikri merupakan salah satu pengurus IMIB USU yang juga bertempat tinggal di
Sekretariat IMIB USU. Zikri adalah sosok yang pendiam, tidak terlalu banyak bicara, begitu pula ketika di kampus. Sehingga ketika wawancara, peneliti harus
berusaha untuk mendapatkan informasi yang lebih banyak. Akan tetapi, ketika peneliti datang ia tetap berusaha untuk berbasa-basi dengan peneliti sehingga
suasana tidak terlalu kaku. Seperti biasa, ia menyapa peneliti dengan panggilan uni, sebutan untuk perempuan yang dianggap lebih tua dalam budaya Minang.
“masuak la ni, dari ma uni tadi? Duduak la dulu ni.” silahkan masuk kak, kakak dari mana tadi? Silahkan duduk dulu
Setelah beberapa saat berbasa-basi barulah kemudian peneliti memulai wawacara. Mulai dengan wawancara tentang keluarga informan dan bagaimana
nilai-nilai budaya Minang yang masih diterapkan di keluarganya. Kedua orang tua Zikri telah menunaikan ibadah Haji, sehingga norma-norma yang lebih
ditekankankan dalam keluarganya adalah norma-norma agama. “Kalau pembelajaran tentang budaya dak terlalu ditekankan
bana do ni. Lebih ditekankan norma agama daripado norma adaik”.
Pembelajaran tentang budaya tidak terlalu ditekankan. Yang lebih ditekankan adalah norma agama.
Universitas Sumatera Utara
Walaupun Zikri memiliki empat orang mamak saudara laki-laki ibu, tetapi nilai-nilai budaya Minang tidak terlalu banyak yang ia dapatkan dari
mamak-mamaknya yang telah pergi merantau ke luar Sumatera. Jika pun ada yang berada di kampungnya, hubungan Zikri dengan mamaknya juga tidak terlalu
dekat. “Mamak Zik kan lah mencar-mencar gitu, lah marantau, ado
yang di Jawa, jadi dak terlalu banyak interaksi. Samo mamak- mamak tu, paliang pas ado event-event di rumah, kayak baralek
atau a, hari rayo baru ado tibo ka rumah. Yang tingga di bukik ado, cuma dak terlalu dakek, dak terlalu acok datang ka rumah.
Mamak Zik kan sudah berpencar gitu, sudah merantau, ada yang di Jawa, jadi tidak terlalu banyak berinteraksi. Dengan mamak-
mamak itu, paling-paling ketika ada event-event di rumah, seperti baralek atau yang lain, hari raya barulah ada yang datang ke
rumah. Yang tinggal di Bukittinggi ada, tetapi tidak terlalu dekat, tidak terlalu sering datang ke rumah.
Secara ideal dalam budaya Minangkabau seharusnya fungsi seorang mamak adalah mengajarkan dan membimbing anak-keponakannya tentang nilai-
nilai kehidupan, budaya ataupun agama. Seperti yang diungkapkan oleh pepatah Minang “Kaluak paku, kacang balimbiang. Anak dipangku, kamanakan
dibimbiang”Kelok paku, kacang belimbing. Anak dipangku, keponakan dibimbing.
Zikri lebih banyak mendapatkan pembelajaran tentang nilai-nilai budaya ataupun adat sopan santun dari kedua orang tuanya.
“Kalau ketek-ketek dulu ado, kalau kini-kini ko ndak ado na do, yo lah mulai jarang sih kini-kini ko untuak manyabuik norma-
norma kayak gitu”. waktu kecil dulu masih ada, tetapi kalau sekarang ini tidak terlalu
sering, sudah mulai jarang untuk menyampaikan norma-norma seperti itu.
Universitas Sumatera Utara
Ketika akan melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi, pada awalnya Zikri memang belum mendapatkan informasi yang jelas tentang bagaimana
keadaan Medan atau lingkungan USU sehingga dia sendiri menjadi ragu dengan keadaan Medan yang ia kenal waktu itu. Apalagi dari orang tuanya juga tidak
terlalu yakin dengan pilihannya ini. “Patamo dari urang tuo dak apo bana do, ndak “ngeh” bana do,
cuma dari saudara-saudara dak ba a do. Kalau dari pribadi surang, agak ragu juo patamonyo. Taulah Medan ba a gitu kan.
Ba a caronyo di situ beko, lingkungan budayanyo kan masih asing.”
Awalnya dari orang tua tidak terlalu yakin, tidak terlalu ngeh tetapi dari saudara-saudara tidak apa-apa. Kalau dari pribadi
sendiri, agak ragu juga awalnya. Tahulah Medan itu gimana gitu kan. Bagaimana caranya nanti di sana, lingkungan budayanya
kan masih asing.
Informasi yang pertama kali ia dapatkan adalah dari seorang senior yang ia kenal di bimbingan belajar. Akan tetapi, dari informasi yang ia dapatkan, Zikri
masih tetap ragu bagaimana kehidupan di Medan nanti, karena budaya lingkungan Medan masih asing baginya .
“Patamonyo ado tampek bimbel di bukik dulu, jadi kakak di bimbel ado punyo kenalan adiaknyo kuliah di USU, Kak Dina,
politik 2005, anak HMI, Zik patamo diajaknya ka rumah nyo kan, pas di situ baru dicaritoannyo lah baa kuliah di Medan, ‘dak
payah ge do kuliah di Medan, bisuak ko masuak HMI la’. Trus dari kakak tu la dapek gambarannyo.”
Awalnya dulu ada tempat bimbel di Bukittinggi, jadi kakak di bimbel ada punya kenalan yang adiknya kuliah di USU, kak Dina,
politik 2005, anak HMI, awalnya Zik diajak ke rumah, ketika di sana dia menceritakan bagaimana kuliah di Medan, tidak susah
kok, besok ikut HMI aja’. Lalu dari kakak itu lah dapat gambarannya.
Persepsi Zikri tentang Medan pada waktu itu, sama seperti kebanyakan masyarakat di kampungnya. Stereotip tentang masyarakat Medan yang
Universitas Sumatera Utara
kebanyakan adalah dari suku Batak, kasar dan keras memang beredar di kalangan masyarakat Sumatera Barat seperti yang diungkapkan oleh Zikri berikut:
“Yo tau la, ba a persepsi urang di kampuang tentang Medan, kayak itu lo mungkin, yo tau la medan tu urang batak se, kristen,
urang Medan kareh”. Ya tau lah, bagaimana persepsi masyarakat di kampung tentang
Medan, seperti itu juga mungkin, ya tau lah Medan itu banyak orang Batak, Kristen, orang Medan keras.
Sesampainya di Medan, pada awalnya Zikri tinggal di rumah Saudara ayahnya selama 3 minggu. Pertama kali ia memasuki masa matrikulasi amat
berkesan. Ketika itu Zikri datang terlambat sehingga dosen yang sedang memberikan pengarahan pun memarahinya. Zikri sangat terkejut dengan dosen
yang memarahinya ketika itu. Ia sama sekali tidak menyangka orang Batak yang ia bayangkan nyatanya memang seperti itu.
“Culture shock yang patamo kali di siko tu pas di kampus, hari patamo masuak kuliah gitu. Patamo masuak samo buk Nurlela lo
kan, patamo masuak, yo tau la ba a ibuk itu, nampak bataknyo kali, langsung shock gitu. Shock takajuik, soalnyo waktu tu kan
talaik, langsuang kanai berang kali, langsuang shock. Baru sakali tu masuak talaik, cek keceknyo, pas lo pake jaket waktu tu,
disuruahnyo bukak jaket. Itulah yang patamo mungkin culture shocknyo”.
Culture shock yang pertama kali di sini itu ketika di kampus, hari pertama masuk kuliah situ. Pertama masuk dosennya bu Nurlela
pula, ya tau lah kan ibu itu bagaimana, langsung kelihatan bataknya, jadi langsung shock situ. SOC chalet, soalnya wak tu
itu kan telat, langsung dimarahi, jadi langsung shock. Baru pertama masuk, sudah telat, katanya. Waktu pake jaket pula,
disuruh buka jaketnya. Itulah culture shock yang pertama.
Selain karakter bahasa, Zikri juga merasa tidak cocok dengan kondisi makanan di Medan. Rasa yang kurang ia sukai karena masakan Medan yang
banyak menggunakan tauco. Zikri butuh waktu untuk beradaptasi dengan makanan yang seperti itu dan lama kelamaan ia sudah mulai terbiasa.
Universitas Sumatera Utara
Pertama kali di Medan, Zikri berteman dengan Dodi, mahasiswa Minang yang juga berasal dari Bukittinggi. Awalnya mereka berjumpa di loket Bus yang
mereka tumpangi ketika berangkat ke Medan. Setelah itu, Zikri pun menjadi akrab dengan Dodi dan kemudian menempati rumah kos yang sama. Setelah satu tahun
kemudian, barulah Zikri pindah ke Sekretariat IMIB USU bersama teman- temannya yang lain.
Dari wawancara terhadap Zikri dan juga pengamatan yang peneliti lakukan terhadap Zikri, ia memang sosok yang pendiam, tidak terlalu banyak bicara.
Ketika di kampus pun ia memang berinteraksi dengan teman-temannya yang lain tetapi itu pun tidak terlalu dekat, sebatas saling kenal sesama mahasiswa saja.
Zikri lebih sering berinteraksi dengan teman sesama mahasiswa Minang, baik di kampus maupun di rumah kos yang ia tempati sekarang.
“Pas awal-awal anggap samo se, cuma ado raso dak picayo,hati- hati kalo samo urang, mungkin sampai kini pun masih, samo
urang yang dak dikenal”. Waktu awal-awal dulu menganggap semuanya sama saja, hanya
saja ada rasa tidak percaya, bersikap hati-hati kepada orang lain, mungkin sampai sekarang pun masih seperti itu kepada orang
yang tidak dikenal.
Zikri tidak terlalu terbuka dengan orang-orang asing yang baru ia kenal. Tidak begitu cepat mau mempercayai orang lain apalagi dengan orang-orang yang
belum ia kenal dekat. Zikri bersikap sangat hati-hati terhadap orang yang baru dikenalnya, bahkan hingga saat sekarang ini ia masih seperti itu. Sikapnya yang
seperti itulah yang akhirnya membuat Zikri tidak terlalu akrab dengan teman- teman yang berbeda latarbelakang budaya dengannya. Ia tetap lebih percaya
dengan orang-orang yang memiliki kesamaan latar belakang budaya.
Universitas Sumatera Utara
Zikri sendiri juga tidak memiliki ketertarikan untuk lebih mengenal budaya orang lain yang berbeda dengannya. Untuk menunjukkan identitasnya
sebagai orang Minang, Zikri sering menggunakan baju kaos dengan stiker yang identik dengan orang Minang. Dengan cara seperti itu, ia berharap orang lain bisa
mengetahui bahwa ia adalah orang Minang.
Kesimpulan Kasus
Zikri memiliki latar belakang keluarga yang lebih menekankan nilai-nilai agama Islam daripada nilai-nilai adat budaya Minangkabau. Akan tetapi, karena
nilai-nilai budaya Minang juga berdasarkan kepada nilai-nilai agama Islam, maka secara tidak langsung, Zikri tetap mendapatkan pengajaran tentang nilai-nilai
budayanya. Walaupun pengajaran itu tidak ia dapatkan dari mamaknya tetapi dari kedua orang tuanya.
Sikapnya yang tidak terlalu terbuka dengan orang-orang yang baru ia kenal, membuatnya tidak terlalu banyak berinteraksi dengan orang lain yang
berbeda budaya. Selain itu, ia tetap merasa lebih nyaman dan lebih percaya dengan orang-orang yang memiliki latar belakang budaya yang sama dengannya.
Seperti yang dikemukakan oleh Ting Toomey dalam Rahardjo 2004: 10 yaitu Intergroup Boundary Regulation Function adalah fungsi budaya sebagai
pembentuk sikap seseorang tentang in-group dan out-group berkaitan dengan orang yang secara kultural tidak sama. Dari kasus Zikri, dapat disimpulkan bahwa
Zikri lebih nyaman dan terbuka dengan lingkungan in-groupnya daripada out- groupnya yang memiliki perbedaan budaya.
Universitas Sumatera Utara
Ketika pertama kali Zikri memasuki lingkungan kampus, ia memang mengalami culture shock yang disebabkan oleh karakter bahasa yang berbeda.
Selain bahasa, Zikri juga tidak terbiasa dengan makanan yang banyak menggunakan tauco. Tetapi setelah berjalannya waktu, ia sudah mulai terbiasa
dengan keadaan tersebut. Walaupun sudah menetap lebih kurang tiga tahun di Medan, Zikri tidak
merasakan begitu banyak perubahan yang ada pada dirinya. Tentunya karena Zikri tidak terlalu dekat dengan orang-orang yang berbeda latar belakang budaya serta
adanya rasa tidak percayanya pada orang lain. Ia juga tidak terlalu tertarik untuk berbagi informasi tentang identitas budayanya dengan orang lain.
Informan 3
Nama : Winda Zulfi
Usia : 19 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Fakultas : Kesehatan Masyarakat
Angkatan : 2009
Lama Menetap : ±2 Tahun
Alamat Tempat Tinggal : Jalan Dr. Sumarsono 3325
Tanggal Wawancara : 5 Mei 2011
Winda adalah informan ketiga yang peneliti wawancarai. Peneliti mendapatkan informasi tentang Winda dari data yang diperoleh di sekretariat
IMIB USU. Winda adalah mahasiswa Minang yang berasal dari Kota Pasaman. Sebelum merantau ke Medan, ia telah tinggal berpisah dari orang tuanya sejak
menempuh pendidikan Tsanawiyah setara SMP dan SMA di Kota Padang Panjang selama lebih kurang 6 tahun. Wawancara berlangsung di kampus
Fakultas Kesehatan Masyarakat, tepatnya di sanggar FKM. Ketika peneliti datang
Universitas Sumatera Utara
menghampiri informan, Winda sedang berdiskusi dengan mahasiswa Minang lainnya, yakni Hengki, Ririn serta beberapa orang teman lainnya. Tutur katanya
lembut dan sopan. Selama wawancara berlangsung, ia pun ekspresif dalam menggambarkan suasana hatinya.
Di dalam keluarga Winda, bahasa Minang masih tetap digunakan, baik dengan sesama anggota keluarga maupun dengan masyarakat sekitarnya. Ketika
Winda berada di Medan pun, ia juga tetap menggunakan bahasa Minang dengan sesama teman Minangnya. Winda yang sering menyebut dirinya Inda mengatakan
sebagai berikut: “Kalau di keluarga iyo masih pake bahaso Minang, paliang ciek-
ciek katonyo yang pakai bahaso Indonesia. Di siko kalau samo- samo urang Minang Inda sobok jo kawan-kawan yang ndak
Minang, pake bahaso Indonesia, tapi kadang pake bahaso Minang”.
Kalau di keluarga, iya, masih menggunakan bahasa Minang, paling satu-satu kata saja yang menggunakan bahasa Indonesia.
Di sini kalau bersama teman-teman Inda yang Minang kalau bertemu dengan kawan-kawan yang bukan, menggunakan bahasa
Indonesia, tapi kadang menggunakan bahasa Minang.
Selain itu, keberadaan mamak di dalam keluarga Winda juga masih berperan dalam penyampaian dan pengajaran tata krama dan sopan santun
kepada Winda. Termasuk ketika Winda menghadapi masalah, mamaknya lah yang lebih dahulu berperan dalam pemecahan masalah tersebut. Kedekatan ia dengan
mamaknya sudah terbentuk sejak Winda kecil karena mamak dan ibunya masih tinggal di rumah yang sama.
“Ketika wak bersikap jo urang gitu, kalau ado yang salah langsung inyo capek tanggap gitu, mangecekan langsung ka Inda
sabalum ka ama, kadang labiah acok nyo dulu mengecekan ka Inda daripado ama mengecekan ka Inda. Soalnyo dakeknyo tu
katiko Nda ketek-ketek nyo lah tingga jo ama Nda, jadi lah
Universitas Sumatera Utara
dakek”. Ketika kita bersikap kepada orang lain gitu, kalau ada yang salah
dia langsung cepat tanggap, menyampaikan langsung kepada Inda sebelum kepada mama, kadang dia lebih sering yang
menyampaikan langsung kepada Inda, bukan mama. Karena kedekatannya dulu ketika Nda masih kecil dia sudah tinggal
bersama mama, jadi sudah dekat.
Ketika Winda hendak melanjutkan pendidikannya di Medan, ia pun masih ingat dengan nasehat-nasehat mamaknya. Salah satunya adalah bagaimana
menjaga sikap ketika bergaul dengan orang lain. Mamaknya berpesan agar ia berpandai-pandai dalam bergaul, jangan menggunakan kata-kata yang kasar.
Seperti yang disampaikannya kepada peniliti berikut ini. “Kalau ka urang tu pandai-pandai lah, jan kasa-kasa gitu a,
pandai-pandai la bakawan di rantau”. Kepada orang lain berpandai-pandai lah, jangan kasar-kasar,
pandai-pandai lah berteman di rantau.
Akan tetapi, setibanya di Medan Winda mengalami culture shock yang membuatnya terkejut. Mulai dari suasana lingkungan Medan hingga dialek yang
kasar. Bahkan ia menangis ketika pertama kali disapa dengan kata “Kau’. Hal ini tampak dari ekspresi wajahnya yang memelas ketika bercerita kepada peneliti.
“Medan ko kasa, ndak nio do, sumpah ndak nio do. Di siko kumuah, angek, banyak debu, polusinyo terlalu banyak, angek
bana ko a, lameh Inda patamo di siko. Pas awal matrikulasi, ampia manangih Nda di pa kau an nyo dek urang, takajuik la
Inda gitu a.”Kau dari mana?” eh…ya Allah, di pa kau an nyo Inda. Agak cangguang Inda mandanganyo patamo, tapi nyo
biaso-biaso se, inyo santai-santai se, Inda yang respon Inda takajuik. Urangnyo, ba a tu, dek awak baru-baru tu, mandanga
dialeknyo mangecek gitu kan, apolagi supir angkot, takuik Nda. Apolagi pas ospeknyo tu a, Inda kanai berang, talambek, tu ado
kakak manyapo Inda, tu Inda sapo, tu diberangan dek urang. Nangih Nda”.
Medan ini kasar, tidak mau, sumpah tidak mau. Di sini jorok, panas, banyak debu, polusinya terlalu banyak, panas sekali, lemas
Inda ketika pertama kali di sini. Waktu awal matrikulasi, Inda
Universitas Sumatera Utara
hampir menangis, Nda di panggil “Kau” oleh orang lain, terkejut waktu itu. “Kau dari mana?” eh…ya Allah, di panggil kau. Agak
canggung Inda pertama kali mendengarnya, tapi dia biasa-biasa saja, respon Inda yang kaget waktu itu. Orangnya gimana ya,
karena kita baru-baru gitu, mendengar dialeknya seperti itu, apalagi supir angkot, Inda takut. Apalagi ketika ospek, Inda
dimarahi, terlambat, lalu ada kakak yang menyapa, Inda sapa, terus dimarahi sama yang lain. Inda nangis.
Pada masa awal menjalani kehidupannya di Medan, Winda merasa canggung dengan bahasa yang digunakan orang-orang di sekitarnya. Baginya dan
bagi sebagian besar orang Minang, kata “Kau” memang dianggap kata sapaan yang kasar. Sehingga dalam situasi percakapan sehari-hari kata itu memang jarang
digunakan dalam lingkungan Minangkabau. Selain itu, Winda juga mengeluh tentang keadaan cuaca yang panas karena ia terbiasa dengan cuaca Kota Padang
Panjang yang relatif sering hujan dan dingin. Culture shock yang dialami Winda membuatnya merasa takut kepada
beberapa orang yang memiliki perawakan agak kasar, misalnya seperti supir angkot dan tukang becak. Winda bahkan takut untuk menyewa jasa tukang becak
saat itu. Di lingkungan kampus, Winda mengaku lebih sering bergaul dengan
orang-orang di luar etnis Minangkabau. Pada awalnya, karena teman-temannya yang sesama orang Minang berbeda kelas dan hanya dialah yang berbeda di antara
teman-temannya yang lain. Oleh karena itu, Winda lebih sering berinteraksi dengan orang-orang di luar etnis Minangkabau. Lama kelamaan, kondisi ini
membuatnya merasa lebih nyaman berada bersama orang-orang di luar kelompok etnisnya sendiri. Winda menceritakan, bahwa hal ini dikarenakan ia merasa orang-
orang tersebut lebih peduli terhadapnya daripada teman-teman yang seetnis
Universitas Sumatera Utara
dengannya. Ada persaingan yang ia rasakan ketika bergaul dengan sesama orang Minang sehingga ada rasa ketidakpedulian. Misalnya, dalam berbagi bahan
kuliah, Winda lebih banyak mendapatkan bantuan dari teman-temannya yang lain daripada teman-teman etnis Minangkabau.
Akan tetapi di samping hal itu, Winda tetap merasa senang dengan teman- teman Minangkabaunya. Suasana kekeluargaan dan kebersamaan yang ia rasakan
bersama anak-anak Minang lainnya menjadi kebanggaan tersendiri bagi Winda. Walaupun dalam kesehariannya Winda lebih sering bergaul dengan teman-
temannya yang di luar etnis Minangkabau, ia tetap menerapkan nilai-nilai budaya yang ia terima selama ini. Dengan menjaga sopan santun dan tata krama dalam
bergaul Winda dapat beradaptasi dengan lingkungan baru dan mendapat teman- teman baru. Salah satu falsafah Minang yang mengajarkan tata krama bergaul
adalah kato nan ampek, seperti yang juga diceritakan Winda ketika peneliti menanyakan tentang bagaimana ia menerapkan budaya Minang dalam
kehidupannya sehari-hari. “Kalau dek Inda dari sopan santun la bisa dikatokan ba a caro
wak bergaul jo urang gitu, ba a caro wak bersikap jo urang yang lebih tuo dari awak, kan kalau misalnyo di Minang itu tu bana
nan dipacik gitu a, kato nan ampek”. Kalau bagi Inda bisa dikatakan dari sopan santun bagaimana cara
kita bergaul dengan orang lain begitu, bagaimana caranya bersikap dengan orang yang lebih tua dari kita, kalau di Minang
hal itu sangat dipegang teguh, kato nan ampek.
Selain kato nan ampek, Winda tetap menggunakan bahasa Minang dengan sesama teman seetnisnya. Dengan begitu, ia membiarkan orang lain tahu bahwa ia
adalah orang Minang. Bahkan ia mendapatkan panggilan “Dindo” oleh teman- teman di kampusnya. Bagi Winda ketika bergaul, jika kita ramah dan bersikap
Universitas Sumatera Utara
positif kepada orang lain, maka orang lain akan baik juga kepada kita, bahkan mungkin lebih baik. Oleh karena itu, kita harus pandai-pandai dalam bergaul. Hal
ini tampak ketika peneliti sedang mewawancarai Winda, banyak teman-teman yang kebetulan lewat menyapa dan melontarkan senyum kepadanya.
Ketika berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda kebudayaan dengannya, Winda juga saling bertukar informasi tentang latar belakang
budayanya. Salah satu cerita menarik adalah ketika Winda menceritakan seorang teman dari Padang Sidempuan yang memiliki stereotip terhadap orang Minang.
Menurut temannya ini, orang Padang itu curang dan pelit padahal di Medan juga ada stereotip “Manipol, Mandailing Polit”, tetapi Winda tidak mengatakan hal itu
kepada temannya. Mendengar hal ini, Winda mencoba menjelaskan kepada temannya bahwa tidak semua orang Padang seperti itu. Winda berusaha untuk
mengubah pandangan yang seperti itu terhadap orang Minang dengan membuktikan kepada temannya bahwa ia adalah orang Minang dan tidak seperti
hal yang disangkakan oleh temannya itu. Selama lebih kurang dua tahun menetap di Medan, Winda merasakan
beberapa perbedaan yang membedakan antara kelompok etnisnya dengan orang- orang di luar kelompok etnisnya sendiri. Misalnya dari cara berpakaian, menurut
Winda teman-teman etnis Minangkabaunya lebih rapi dan harum daripada orang- orang dari etnis lain seperti etnis Batak.
“Misalnyo kayak dari caro berpakaian la, kalau menurut Inda dari kawan-kawan yang Nda caliak di siko, lai la rapi-rapi gitu,
harum, kalau urang di siko, urang bataknyo dak harum do, Inda se duduak di sabalah urang tu, mual gitu, ntah ba a dak tau Nda
do, kalau untuak tampilannyo dari kawan-kawan Inda yang urang Batak dak rapi do”.
Universitas Sumatera Utara
Misalnya seperti dari cara berpakaian, kalau menurut Inda dari kawan-kawan yang Inda perhatikan di sini, rapi-rapi gitu, harum,
kalau orang di sini, orang Bataknya tidak harum, Inda kalau duduk di sebelah mereka, mual gitu, ntah kenapa, Nda juga tidak
tahu, kalau untuk penampilannya dari kawan-kawan Inda yang orang Batak tidak rapi.
Seiring dengan berjalannya waktu Winda sudah bisa menerima perbedaan- perbedaan yang ada antara budaya yang dimilikinya dengan budaya yang ada di
Medan. Sekarang Winda sudah tidak lagi sedih jika ada yang menyapanya dengan kata “Kau”, ia juga sudah tidak takut lagi untuk pergi sendiri dengan menyewa
becak ataupun menggunakan jasa angkot.
Kesimpulan Kasus
Winda memiliki latar belakang keluarga yang masih menerapkan budaya Minangkabau dalam kehidupan sehari-hari. Winda juga memiliki seorang mamak
yang sangat berperan dalam penanaman nilai-nilai sopan santun dan tata krama kepadanya. Winda merupakan sosok pribadi yang suka bergaul, hal ini
dikarenakan ia sudah memiliki pengalaman hidup jauh dari orang tua dan lingkungan keluraganya sejak masih Tsanawiyah. Sehingga ia sudah memiliki
pengalaman merantau walaupun masih di dalam provinsi Sumatera Barat. Culture shock yang ia alami, karena banyak perbedaan yang tidak
disangka-sangka Winda sebelumnya. Tidak cukupnya informasi yang ia miliki tentang daerah baru yang akan ia tempati juga menjadi salah satu faktor
keterkejutannya. Seperti bahasa yang ia anggap lebih kasar dan keadaan lingkungan yang panas, kotor dan banyak polusi. Akan tetapi, karena sikap Winda
yang ramah, sopan dan suka bergaul, ia diterima dengan baik oleh teman-teman
Universitas Sumatera Utara
barunya yang berbeda latar belakang budaya. Situasi seperti ini sangat membantu Winda untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan barunya.
Walaupun awalnya memang terdapat berbagai stereotip antara Winda dan orang-orang yang berbeda budaya dengannya, akan tetapi hal ini perlahan-lahan
dapat diatasi dengan adanya interaksi di antara mereka. Bahkan Winda menjadi lebih nyaman dekat dengan orang-orang yang berbeda budaya dengannya karena
adanya rasa saling peduli antara satu sama lain. Winda bisa saling terbuka, percaya dan berbagi informasi tentang diri dan latar belakang budaya yang
dimilikinya. Dengan lamanya waktu yang dilalui, perbedaan-perbedaan itu kemudian dapat dipahami dan diterima sebagai sebuah kondisi sosial yang ada.
Informan 4 Nama
: Silmi Tresia Usia
: 19 Tahun Jenis Kelamin
: Perempuan Fakultas
: Keperawatan Angkatan
: 2009 Lama Menetap
: ±2 Tahun Alamat Tempat Tinggal
: Jalan Jamin Ginting Gang Sarman No.7 Tanggal Wawancara
: 5 Mei 2011 Silmi adalah mahasiswa Minang asal Kota Batusangkar. Peneliti sudah
mengenal informan sebelumnya ketika Kegiatan Penyambutan Mahasiswa Baru IMIB USU. Kesan pertama ketika peneliti mengenal Silmi adalah ia sosok yang
pemalu, dan tidak terlalu banyak berbagi cerita apalagi untuk memulai percakapan. Pada saat itu, ia belum mengenakan kerudung seperti sekarang.
Peneliti memilih Silmi sebagai informan berikutnya, karena ia memiliki karakteristik yang berbeda dengan informan sebelumnya. Selama ia menetap di
Universitas Sumatera Utara
Medan, peneliti sendiri dapat melihat beberapa perubahan yang terjadi pada diri Silmi. Sekarang ia tidak lagi malu-malu untuk berbicara, bahkan ketika
diwawancarai, ia mau bercerita panjang lebar kepada peneliti. Di keluarga Silmi budaya Minang memang tidak begitu ketat. Hanya saja
nilai-nilai kesopanan dan tata krama masih sangat ditekankan dan bahasa Minang masih tetap digunakan sebagai bahasa sehari-hari. Akan tetapi, karena beberapa
orang di antara mamak-mamaknya sudah banyak yang merantau, pengajaran nilai- nilai budaya yang harusnya didapatkan oleh keponakan seperti Silmi, tidak terlalu
banyak ia dapatkan. Kalaupun ada yang tinggal di dekat rumah, hubungan Silmi dengan mamaknya ini juga tidak terlalu dekat. Karena peran mamak tidak terlalu
berfungsi dalam pewarisan nilai-nilai budaya, maka yang menggantikan posisi ini di dalam kehidupan Silmi adalah ayahnya.
“Pengajaran tentang budaya Minang buliah dikecek an dak ado do, soalnyo mamak-mamak Sil lah pai marantau, ado di
Pakanbaru, Bandung, Jakarta, yang ado dakek rumah, cuma yo saketek-saketek gitu, dak terlalu”.
Pengajaran tentang budaya Minang bias dikatakan tidak ada, karena mamak-mamak Sil sudah pergi merantau, ada yang di
Pekanbaru, Bandung, Jakarta. Ada yang di dekat rumah, tetapi hanya mengajari sedikit-sedikit saja.
Silmi memiliki pandangan yang positif terhadap identitas budaya yang dimilikinya. Bahkan menurutnya, budaya Minang memiliki keunikan. Selain
karena budayanya yang juga menerapkan nilai-nilai Islam, juga karena budaya Minang sangat menekankan nilai-nilai moral. Walaupun di zaman modern seperti
sekarang, kebudayaan tradisional Minang pun masih tetap menarik untuk dinikmati.
Universitas Sumatera Utara
“Menurut Isil, budaya Minang itu, emang yo bana-bana Islamnyo kuek gitu, kayak urang lain tau kalau urang Minang pasti urang
Islam, kalau adaik Minang kan adaik basandi syarak, syarak basandi kitabullah, jadi emang lebih kental ka ajaran agamanyo,
trus nilai-nilai moralnyo, yo bana-bana diparatian. Walaupun kini lah zaman modern, tapi pas ado acara-acara tu lah lamo dak
ditampilkan tetapi tetap menarik, dak di siko, dak di padang, tetap menarik gitu, punyo keunikan surang-surang la.
Menurut Isil, budaya Minang itu, memang benar-benar kuat Islamnya, seperti orang lain menilai kalau orang Minang itu pasti
beragama Islam, adat Minang mengajarkan adaik basandi syarak, syarak basandi kitabullah, jadi memang lebih kental ke ajaran
agamanya, kemudian nilai-nilai moralnya, memang benar-benar diperhatikan. Walaupun sekarang ini sudah zaman modern, tetapi
kesenian Minang tetap menarik, tidak peduli di sini atau pun di Padang, memiliki keunikan tersendiri.
Ketika berada di Medan, ia sering mengingatkan pada dirinya sendiri bagaimana seharusnya ia sebagai orang Minang dalam bersikap. Nilai-nilai yang
diajarkan oleh orang tua terutama oleh Ayahnya menjadi pegangan Silmi dalam bertingkah laku dan menjaga sikap. Hal ini sudah ia tekankan sendiri dari dulu
dalam dirinya. Perjalanan Silmi untuk mengambil keputusan melanjutkan pendidikan di
Medan ternyata tidak mudah. Ia banyak mengalami tekanan dalam dirinya karena apa yang terjadi tidak sesuai dengan keinginannya. Apalagi ini adalah pertama
kalinya ia harus jauh dari orang tua. Silmi memang memiliki keinginan untuk merantau keluar daerah tetapi bukan USU melainkan ke UI. Tetapi karena ia
sudah lulus di USU dari jalur PMP, akhirnya ia tidak lagi mengikuti ujian saringan masuk universitas yang lain. Kurangnya informasi tentang USU dan
tidak pernah membayangkan akan melanjutkan pendidikan di Medan membuatnya ragu untuk melanjutkan perkuliahan di sini. Silmi menceritakan kepada peneliti
Universitas Sumatera Utara
bagaimana kecewanya ia ketika harus melanjutkan pendidikan di USU. Ia terkejut dengan keadaan dan fasilitas yang ada di Fakultas Keperawatan pada saat itu.
“Dak tau, soalnyo sosialisasi USU ko dak ado dulu do. Iyo bana- bana kurang pengetahuan tentang USU, dak tau do. Apalagi pas
tibo di kampus keperawatan, kayak hutan belantara, ndak ado lai”.
Tidak tau, karena sosialisasi USU dulu tidak ada. Pengetahuan tentang USU sangat kurang, benar-benar tidak tau. Apalagi ketika
sampai di kampus Keperawatan, seperti hutan belantara.
Kekecewaan yang ia rasakan dan perbedaan nilai-nilai masyarakat di Medan membuatnya enggan untuk bersosialisasi. Ia lebih memilih untuk tidak
peduli. Hal ini sangat ia rasakan ketika pertama kali mengalami ospek di kampus. Kata “Kau” yang digunakan oleh sebagian besar orang di Medan memang
bermakna kasar bila dipandang dari budaya Minang sehingga Silmi pun pernah merasa sakit hati karena diperlakukan seperti itu. Ini adalah salah satu bentuk
culture shock yang ia alami. Karena kejadian itu, Silmi kemudian memilih untuk berteman dengan sesama etnis Minangkabau saja. Bahkan ia menjaga jarak
dengan orang-orang yang ia anggap kasar dan lebih banyak bergaul dengan sesama muslim.
Pada saat Silmi mulai menetap di Medan hampir setiap malam ia menangis. Untungnya ketika itu, Silmi sudah berteman dengan Memi, teman
sesama etnis Minangkabau yang juga berasal dari Batusangkar. Ketika itu, ia masih sangat tergantung dengan Memi, ke mana pun pergi harus ditemani. Memi
memiliki peran tersendiri untuk membantu Silmi bisa beradaptasi dengan lingkungan Medan. Silmi tidak mau terlalu memusingkan bagaimana
bersosialisasi di Medan ketika itu, ia hanya ingin fokus dengan kuliah yang akan
Universitas Sumatera Utara
dijalaninya. Dengan cara itulah perlahan-lahan Silmi bisa menerima keadaan, walau awalnya ia merasa terpaksa harus kuliah di Medan. Lama kelamaan karena
keterpaksaan itulah ia mulai mengubah cara pandangnya terhadap kehidupan di Medan. Mau tak mau ia harus bergaul dengan orang-orang yang memiliki nilai-
nilai budaya yang berbeda dengan dirinya. Misalnya dalam mengerjakan tugas kelompok di kampus, tentu ia harus bisa berbaur dengan teman-teman
kelompoknya. Sejak Silmi pindah ke rumah kos yang baru, ia jadi lebih banyak bergaul
dengan orang-orang dengan latar belakang budaya yang berbeda-beda pula. Di rumah kos yang baru itu pula ia lebih sering berinteraksi dengan orang lain.
Mereka saling berbagi cerita sehari-hari dan juga saling menceritakan kebudayaannya masing-masing. Ketika peneliti berkunjung ke rumah kos Silmi
untuk wawancara, memang terlihat keakraban antara Silmi dengan penghuni rumah kos yang lain. Walaupun sesekali di rumah kos tersebut pernah terjadi
perselisihan, tetapi Silmi memilih untuk tidak ikut campur dengan permasalahan tersebut.
Memang ada beberapa perbedaan nilai-nilai yang dirasakan oleh Silmi antara masyarakat di Medan dengan masyarakat di daerah asalnya. Seperti
penerapan tata krama yang ia nilai kurang dalam sopan santun, cara bersikap dan berbicara yang kasar serta adanya rasa individualis. Menyikapi hal –hal seperti itu
Silmi biasanya hanya membiarkannya, tetapi jika memang sudah benar-benar dianggap keterlaluan barulah ia bertindak.
Universitas Sumatera Utara
Silmi memiliki sikap sendiri terhadap perbedaan-perbedaan nilai budaya yang ia alami. Dikelilingi dengan orang-orang yang berbeda budaya dengannya
tidak begitu saja mengubah identitas budaya yang ia miliki. Silmi menunjukkan identitas budayanya dalam berinteraksi melalui sikap dan bahasanya.
“Kalau berkomunikasi samo urang tu yang jaleh dari caro ngecek, caro ngecek urang Minang tu lebih beradab, tau sopan santun,
kareh kayak gitu rasonyo ba a yo, kareh-kareh dak manantu se”. Kalau berkomunikasi dengan orang lain jelas dari cara berbicara,
cara berbicara orang Minang itu lebih beradab, tahu sopan santun, keras seperti itu rasanya bagaimana ya, keras tidak menentu saja.
Dari berbagai hal yang ia alami, Silmi mengakui bahwa ketika ia hidup di antara orang-orang yang lebih beragam, ia tidak bisa langsung akrab begitu saja
dengan orang lain. Silmi butuh waktu untuk terlebih dahulu mengenal dan bisa percaya untuk kemudian menerima orang lain yang berbeda latar belakang budaya
dengannya.
Kesimpulan Kasus
Kuliah di Medan menjadi pengalaman merantau yang pertama kalinya bagi Silmi. Hidup jauh dari keluarga dan berada di lingkungan yang berbeda
dengan daerah asal memberikan banyak pelajaran baginya. Banyak pengalaman baru yang ia alami yang kemudian mengubahnya menjadi lebih berani dan
mandiri. Perbedaan bahasa, nilai-nilai budaya dalam sopan santun bergaul memang
menjadi culture shock yang sempat membuat Silmi pesimis untuk mau berinteraksi dengan orang lain di sini. Akan tetapi, karena ia mau membuka diri
dengan keadaan yang baru, Silmi kemudian berusaha untuk menerima keadaan
Universitas Sumatera Utara
yang ada. Walaupun awalnya ia terpaksa, tetapi hal itu juga yang kemudian menyadarkannya untuk tidak terus menerus menutup diri dengan lingkungannya.
Identitas budayanya sebagai orang Minang tetap ia tunjukkan melalui sikap dan tutur katanya dalam berbicara. Memang pada awalnya perbedaan
identitas budaya yang ada membuatnya enggan untuk berinteraksi. Namun kemudian, nilai-nilai dari budaya itu pulalah yang kemudian membantunya untuk
dapat berkomunikasi dan diterima di lingkungannya yang baru.
Informan 5
Nama : Frezi Widianingsih
Usia : 19 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Fakultas : Hukum
Angkatan : 2010
Lama Menetap : ±1 Tahun
Alamat Tempat Tinggal : Jalan Jamin Ginting Gang Sarmin No. 45A
Tanggal Wawancara : 6 Mei 2011
Frezi merupakan informan yang berasal dari daerah Ampek Angkek Canduang, Kabupaten Agam. Ia merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.
Menetap di Medan adalah pengalaman pertamanya jauh dari keluarga. Pada awalnya Ayah Frezi tidak mengizinkan anak pertamanya ini untuk melanjutkan
pendidikannya di USU, karena beberapa pertimbangan. Tetapi berkat dukungan Ibu dan saudaranya yang lain, Frezi akhirnya diizinkan untuk merantau ke Medan.
Frezi berasal dari keluarga yang masih menanamkan nilai-nilai budaya Minangkabau kepada anggota keluarganya. Tetapi uniknya, bahasa ibu yang ia
gunakan bukanlah bahasa Minang, melainkan bahasa Indonesia. Frezi
Universitas Sumatera Utara
menceritakan bagaimana ia dan generasi dari garis keturunan ibunya diajarkan untuk menggunakan bahasa Indonesia sejak mereka kecil, tak terkecuali
kakeknya. Frezi justru belajar berbahasa Minang dari tetangganya dan dari teman- teman sekolah. Ia juga mengatakan bahwa tidak hanya dirinya yang menggunakan
bahasa Indonesia di sekolah, teman-temannya yang lain pun juga begitu. Apalagi ketika SMA, justru lebih banyak yang menggunakan bahasa Indonesia dalam
percakapan sehari-hari daripada bahasa Minang walaupun mereka sama-sama orang Minang dan masih berada di dalam lingkungan masyarakat Minang.
Pada saat peneliti melakukan wawancara dengan Frezi, memang logat Minang yang dimiliki Frezi tidak begitu jelas terdengar. Bahkan dari pilihan kata-
kata yang ia gunakan lebih banyak menggunakan kosa kata bahasa Indonesia. Walaupun di dalam keluarganya bahasa Minang tidak menjadi bahasa mereka
sehari-hari tetapi kakek, ayah dan ibunya tetap mengajarkan kepada anak-anaknya tentang nilai-nilai budaya Minang, terutama mengenai tata krama dan sopan
santun. Ibu Frezi tidak memiliki saudara laki-laki sehingga dari garis keturunan
matrilineal ia tidak mempunyai mamak. Pengajaran tentang tradisi adat budaya Minangkabau lebih banyak ia dapatkan dari kakeknya. Selain itu, pelajaran di
sekolah juga menambah pengetahuan Frezi tentang budaya Minang. Sementara itu, nilai-nilai sopan santun lebih banyak ia dapatkan dari kedua orang tuanya.
Frezi juga mengakui, budaya Minangkabau tidak terlalu ia terapkan dalam kehidupannya, hanya dari sisi tata krama dan sopan santun lah yang lebih
menonjol.
Universitas Sumatera Utara
“Kalau Zi pribadi kurang menerapkan sih ni, budaya Minang, paliang cuma sopan santun, tata kramanyo se lai kan, kalau kayak
pakaian, cara berbicara tu lah agak beda, lah agak maninggaan”. Kalau Zi pribadi sih kurang menerapkan kak, budaya Minang,
paling hanya sopan santun dan tata kramanya saja, kalau seperti pakaian, cara berbicara itu sudah agak berbeda, sudah agak
meninggalkan.
Ketika Frezi akan melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi, ia awalnya merasa agak takut untuk memilih USU karena takut tidak diizinkan oleh
Ayahnya. Sedangkan pilihan pertamanya adalah ingin melanjutkan ke Universitas Indonesia. Setelah hasil pengumuman diumumkan, ternyata Frezi memang harus
melanjutkan pendidikannya di USU. Setelah itu, barulah ia mendapat restu dari orang tuanya. Sebelum berangkat ke Medan, Frezi mencari informasi tentang
kehidupan di Medan dari beberapa orang temannya keturunan etnis Batak. Dari temannya itu Frezi kemudian mendapatkan gambaran tentang orang-orang di
Medan yang dinilai keras. Dari gambaran tersebut, ia membayangkan akan sulit nantinya bagi dia untuk bersosialisasi, karena adanya perbedaan budaya.
“Kalau yang Zi bayangan, Medan tu kareh-kareh gitu urangnyo, siap tu agak susah bersosialisasi, soalnyo kan budaya nyo lah
beda bana, agama se mayoritasnya lah beda samo yang disitu. Zi dapek gambaran tu dari tanyo-tanyo ka kawan Zi yang keturunan
Batak di bukik, nyo caritoan kayak gitu, urang di siko lumayan kareh urangnyo, siap tu Zi tanyo-tanyo samo kakak yang tingga di
siko, memang kayak gitu, jadi mental wak harus siap, kalau misalnyo ka berinteraksi samo urang di siko”.
Kalau yang Zi bayangkan, Medan itu keras-keras orangnya, terus agak susah bersosialisasi, karenan kan budayanya sudah sangat
berbeda, agama mayoritasnya pun berbeda dengan yang di kampung. Zi mendapatkan gambaran itu dari teman yang
keturunan Batak di Bukittinggi, dia bercerita seperti itu, orang- orang di sini lumayan keras orangnya, lalu Zi juga bertanya kepada
kakak yang tinggal di sini, memang seperti itu, jadi harus siap mental, kalau misalnya mau berinteraksi dengan orang di sini.
Universitas Sumatera Utara
Selain mendapatkan gambaran dari temannya, setibanya di Medan Frezi juga bertanya dan mencari informasi dari kakak sepupunya yang tinggal di
Medan. Sehingga ketika ia mulai mengawali interaksi dengan ia tidak terlalu terkejut dengan logat, bahasa maupun sikap orang-orang yang ia temui. Hanya
saja ia merasa sedikit takut dan canggung ketika mulai berinteraksi karena ia belum terbiasa dengan perbedaan logat bahasa Indonesia biasa digunakannya
dengan logat bahasa Indonesia teman-temannya di sini yang sedikit berbeda. Karena itu, ia sedikit takut nantinya ada salah dalam pemilihan kata-kata.
“Enggan sih indak ni, cangguang yang lai nyo, dek faktor bahasonyo beda yang patamo ni, siap tu dek baru di siko kan,
berarti pengetahuan tentang daerah di siko alun banyak bana lai, beko takuiknyo salah-salah mangecek atau ba a.”
Enggan sih tidak kak, canggung saja yang ada, karena faktor perbedaan bahasa yang pertama, lalu karena masih baru di sini kan,
berarti pengetahuan tentang daerah di sini belum terlalu banyak, nanti takutnya salah-salah bicara atau bagaimana.
Ketika baru masuk di Fakultas Hukum USU, Frezi memang bukan satu- satunya mahasiswa baru yang berasal dari etnis Minangkabau. Akan tetapi
kebanyakan dari mereka memang bukan berasal dari Sumatera Barat, tetapi keturunan Minangkabau yang sudah lama tinggal dan menetap di Medan. Pada
waktu Frezi mengetahui hal tersebut, sebetulnya ia merasa senang, karena mendapatkan teman yang seetnis dengannya, akan tetapi ia juga merasa canggung
karena aneh baginya ketika mengetahui lawan bicaranya adalah orang Minang tetapi tidak menggunakan bahasa Minang. Frezi menceritakan hal ini ketika
peneliti menanyakan bagaimana perasaannya ketika pertama kali memasuki kampus.
Universitas Sumatera Utara
“Patamonyo takuik sih, urang Minang di kampus ado, tapi lah keturunan, ngeceknyo lah ngecek bahasa Indonesia, jadi agak-
agak cangguang stek, namonyo wak urang Minang, tapi ngeceknyo bahasa Indonesia, agak cangguang stek”.
Awalnya takut sih, orang Minang di kampus ada, tapi keturunannya saja, berbicaranya sudah bicara bahasa Indonesia,
jadi agak-agak canggung sedikit, namanya kita orang Minang, tapi bicaranya bahasa Indonesia, jadi agak sedikit canggung.
Sedangkan ketika ia mulai berinteraksi dengan orang-orang lain yang berbeda budaya dengannya, ia merasa senang bahwa orang-orang di sini walaupun
keras-keras dan tegas tetapi mereka kompak dalam berteman. Terlihat dari ekspresi wajahnya yang langsung tersenyum ketika menceritakan hal tersebut.
Menurut Frezi, ketika kita berteman dengan orang-orang di sini, mereka benar- benar menjaga temannya tersebut. Di kampus Frezi memang lebih banyak bergaul
dengan orang-orang di luar etnisnya sendiri. “Ternyata memang kareh urangnyo, tapi urangnyo solid gitu ni,
kalau dicaliak pas bakawan di kampus se kan banyak kawan Zi yang dak urang Minang, dicaliak dari kesehariannyo urang tu
memang tegas-tegas, tapi nyo solid, kalau lah bakawan jo urang siko, nyo jago la kawannyo tu”.
Ternyata orang-orangnya memang keras, tapi mereka solid gitu kak, kalau dilihat ketika berteman di kampus, kebanyakan teman Zi
kan bukan orang Minang, dilihat dari kesehariannya mereka itu orangnya memang tegas-tegas, tapi mereka itu solid, kalau sudah
berteman dengan mereka, ya mereka jagalah temannya.
Frezi memiliki seorang sahabat yang ia kenal ketika melakukan registrasi mahasiswa baru. Dari temannya inilah kemudian Frezi mulai memahami
bagaimana kebiasaan orang-orang Medan. Selama lebih kurang dua bulan, Frezi sudah tidak merasa canggung lagi dengan lingkungan barunya. Frezi tidak segan-
segan untuk berbagi informasi kebudayaan dengan temannya, sehingga
Universitas Sumatera Utara
pengetahuan dan informasi yang ia dapatkan juga membantunya untuk memahami perbedaan-perbedaan budaya yang ada.
Selama lebih kurang satu tahun Frezi menetap di Medan, ia merasa sudah mulai terpengaruh dengan beberapa kebiasaan yang ada, seperti bahasa dan
logatnya. Tetapi, ketika ia berinteraksi dengan orang Minang lain di kampusnya, ia masih tetap menggunakan bahasa Minang. Ketika peneliti menanyakan kepada
Frezi perbedaan apa saja yang ia rasakan setelah menetap di Medan, ia menjawab bahwa adanya perbedaan norma-norma yang ada. Kemudian kurangnya sopan
santun dari teman-temannya terhadap dosennya di kampus. Bagi Frezi, dosen atau guru adalah orang-orang yang harus disegani dan dihormati.
“Norma-normanyo beda, di siko Zi caliak, kalau pas di Minang, kesopanan tu iyo bana di apoan, kalau di siko lah mulai bakurang,
tata kramanyo kalau di kampus yang nampak bana caro ngecek samo dosen, kalau kawan-kawan yang di siko agak-agak kurang
sopan, beda kalau di kampuang awak, kalau guru tu yo, yo bana diharagoi bana”.
Norma-normanya berbeda, kalau di Minang, kesopanan itu benar- benar ditekankan, kalau di sini sudah mulai berkurang, tata
kramanya kalau di kampus yang jelas sekali cara berbicara dengan dosen, kalau teman-teman yang di sini agak-agak kurang sopan,
sangat berbeda kalau di kampung kita, kalau guru itu ya, benar- benar dihargai.
Sedangkan culture shock yang dialami Frezi adalah adanya perbedaan cuaca antara Bukittinggi dan Medan, di Medan cuacanya lebih sering panas. Lalu
masalah makanan, Frezi tidak menyukai kondisi beras yang agak pulen. Masakan pedas di sini juga kebanyakan rasanya manis, tidak pedas seperti yang ada di
kampungnya. Sehingga kalau makan, ia harus pilih-pilih dulu yang sesuai dengan seleranya.
Universitas Sumatera Utara
Kesimpulan Kasus
Frezi dan keluarganya tidak lagi menggunakan bahasa Minang sebagai bahasa percakapannya sehari-hari. Frezi mempelajari bahasa Minang justru dari
lingkungan tetangganya dan teman-teman di sekolah. Walaupun demikian, nilai- nilai budaya dalam bergaul dan bersikap sesuai adat Minangkabau masih
disampaikan oleh kedua orang tuanya terutama oleh kakeknya. Selain itu, pembelajaran tentang nilai-nilai budaya Minangkabau juga ia dapatkan di sekolah.
Menurut Frezi, budaya Minangkabau seperti dari segi adat istiadat, pakaian atau bahasa memang tidak banyak yang ia terapkan dalam kehidupannya sehari-hari.
Tetapi, dari segi sopan santun dan tata krama masih ia terapkan. Ketika mulai bergaul dengan masyarakat di Medan, Frezi juga tidak terlalu
banyak mengalami kesulitan atau masalah yang berarti. Karena sebelumnya Frezi sudah mencari tahu tentang bagaimana kehidupan di Medan, informasi tersebut ia
dapatkan dari teman dan juga kakak sepupunya. Perasaan canggung memang dirasakan oleh Frezi ketika mulai berinteraksi, karena ia masih baru dalam
lingkungannya dan adanya perbedaan bahasa yang digunakan. Setelah lebih kurang dua bulan, Frezi tidak lagi merasa canggung untuk bergaul dengan orang-
orang lain. Hal ini berkat bantuan teman dekatnya yang berbeda budaya dengannya. Selain itu, Frezi juga tidak menutup dirinya untuk bergaul dengan
orang-orang yang berbeda latar belakang budaya dengannya. Culture shock yang dialami Frezi seperti perbedaan cuaca dan makanan yang ada di Medan. Namun,
hal ini tidak terlalu menjadi masalah baginya. Seiring dengan berjalannya waktu, ia sudah terbiasa dengan kondisi yang ada.
Universitas Sumatera Utara
Frezi tidak menutup-nutupi identitasnya sebagai orang Minang. Ia berusaha menampilkan identitas budayanya melalui sikap dan tata kramanya
dalam bergaul. Sesuai dengan apa yang telah ia dapatkan dari lingkungan asalnya. Ketika bergaul dengan orang Minang di kampusnya ia masih tetap menggunakan
bahasa Minang. Ia juga tidak mengalami masalah dalam berinteraksi karena identitas budayanya ini.
Informan 6
Nama : Gally Angga Ananta
Usia : 18 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Fakultas : Ilmu Budaya
Angkatan : 2010
Lama Menetap : ±1 Tahun
Alamat Tempat Tinggal : Jalan Pembangunan Gang Rejeki No.5B
Tanggal Wawancara : 7 Mei 2011
Sebelum melakukan wawancara, peneliti sudah mengenal informan pada saat penyambutan Mahasiswa Baru yang diadakan oleh IMIB USU pada tahun
2010. Akan tetapi, peneliti tidak kenal dekat dengan informan. Hanya sekedar tahu wajah dan namanya. Informasi tentang informan peneliti dapatkan dari
teman-teman Gally yang ada di sekretariat IMIB USU. Setelah itu, peneliti menghubungi informan untuk melakukan wawancara. Akan tetapi, karena
kesibukan organisasi informan pada saat itu, jadwal wawancara diundur dari jadwal sebelumnya yang sudah disepakati. Wawancara berlangsung di rumah kos
teman peneliti sesuai keinginan informan. Awalnya peneliti menawarkan untuk
Universitas Sumatera Utara
menemuinya di kampus atau di rumah kos, tetapi informan menolak karena alasan kenyamanan wawancara.
Gally merupakan mahasiswa Minangkabau yang berasal dari kota Bukittinggi. Ia adalah anak ketiga dari empat orang bersaudara. Menurut Gally, di
dalam keluarganya budaya Minang yang ada sudah modern, dalam berbicara tidak lagi menggunakan kata-kata kiasan, namun masih menggunakan bahasa Minang.
Gally memiliki dua orang mamak, tetapi keduanya sudah lama merantau ke Batam dan hanya pulang sesekali ketika Idul Fitri. Sehingga interaksi Gally
dengan mamaknya sangat jarang. Orang-orang yang berperan dalam keluarga Gally untuk menyampaikan nilai-nilai budaya adalah kedua orang tuanya. Ketika
Gally berniat untuk melanjutkan pendidikannya di luar Sumatera Barat, barulah Ibunya mulai sering menyampaikan nasehat-nasehat misalnya agar anaknya
pandai-pandai dalam bergaul di rantau nanti. Gally sendiri memang mempunyai keinginan untuk kuliah jauh dari
kampungnya, selain itu ia juga mendapatkan dukungan untuk merantau ke luar Sumatera Barat dari keluarga, terutama dari abangnya. Gally menceritakan
bagaimana abangnya memberikan dukungan agar adiknya lebih baik kuliah di luar Sumatera Barat.
“Abang Gally la di Padang lo, tu keceknyo apo la di padang ko, dak berkembang, dak lamak do, baso wak baso Minang juo, bisuak
ko wak ndak nio ka mode-mode itu ce do, ncak kalua lai, iyo tu Gally nio lo kalua”.
Abang Gally juga sudah di Padang, lalu katanya apa la di Padang ini, tidak berkembang, tidak enak, bahasanya bahasa Minang juga,
besok-besok tidak mau seperti ini terus, lebih baik keluar, iya itu Gally juga mau keluar.
Universitas Sumatera Utara
Awalnya Gally ingin melanjutkan kuliahnya di Bandung. Ia juga sudah mengikuti tes SMUP Saringan Masuk Universitas Padjajaran dan lulus di
jurusan ilmu perpustakaan. Akan tetapi, Gally memilih untuk tidak melanjutkan pendidikannya di sana. Alasannya adalah karena kebanyakan teman-teman SMA
nya juga memilih untuk kuliah di Bandung, itu berarti ia akan berinteraksi dengan orang-orang yang sama lagi, walaupun sudah di luar Sumatera Barat. Gally
menginginkan pergaulan yang baru dengan orang-orang yang baru pula. Akhirnya Gally pun memutuskan untuk memilih USU sebagai pilihannya dalam formulir
PMP. “Awalnyo Gally tanyo-tanyo kawan-kawan, Banduang, Banduang,
Banduang keceknyo, ee..kok Banduang se urang sadonyo ko. Ndeeh…suruik se jadinyo, bukan dek banyak saingan, berarti
rami-rami, itu juo urangnyo, bakawan nyo jo itu juo tu, Gally pengen dapek yang baru, pas PMP Gally isi ka Medan ka USU.”
Awalnya Gally bertanya pada teman-teman, Bandung, Bandung, Bandung katanya, ee..kok Bandung saja semuanya.
Ndeeh…mundur aja jadinya, bukan karena banyak saingan, berarti ramai-ramai, itu juga orangnya, bertemannya juga itu-itu saja,
Gally ingin dapat yang baru, pas PMP Gally isi ke Medan ke USU.
Sebelum ia berangkat ke Medan, Gally mencari informasi tentang Kota Medan dan USU melalui internet. Dari informasi yang ia dapatkan, Medan
merupakan kota terbesar ketiga di Indonesia. Kepada peneliti Gally mengatakan bahwa ia ketika itu, membayangkan hal-hal yang indah tentang Medan. Terutama
tempat hiburannya seperti Bioskop 21. Gally tidak terlalu memikirkan kesulitan yang mungkin akan ia hadapi di Medan. Ia ingin senang-senang di Medan, bahkan
ketika baru saja sampai di Medan, tempat yang pertama kali ia kunjungi adalah Bioskop 21 Sun Plaza. Kemudian ia juga menikmati wisata kuliner yang ada di
Universitas Sumatera Utara
Medan. Namun, ada hal yang tidak ia sukai tentang Medan yaitu cuaca yang panas, angkot yang tidak tertib lalu lintas, dan sikap masyarakatnya yang
terkadang egois dan juga keras. “Gally ba ayo, pengen rancaknyo se, pengen lasuah se, pengen
cari hiburan se Gally dulu. Ma tampek nan lasuah Gally jajaki se sadonyo, wisata kuliner gai dulu, jalan-jalan. Asik, tapi angek,
Medan tu kareh, cingik-cingik urangnyo, angkotnyo sumbarang cucuak se”.
Gally bagaimana ya, ingin bagusnya saja, senangnya saja, pengen cari hiburan saja Gally dulu. Di mana tempat yang asik, gally jajaki
saja semuanya, wisata kuliner dulu, jalan-jalan. Asik, tapi panas, Medan itu keras, orangnya egois, angkotnya sembarang masuk
saja.
Ketika diadakan kegiatan ospek di kampusnya, Gally memilih untuk tidak mengikuti kegiatan tersebut. Begitu juga ketika kegiatan matrikulasi diadakan, ia
hanya mengikuti kegiatan tersebut selama tiga hari. Ketika itulah, pertama kalinya Gally dipanggil dengan sapaan “Kau” oleh orang yang baru ia kenal di kampus.
Dalam pikirannya ketika itu, ia menganggap orang-orang di sini ternyata kasar, tapi ia tetap bersikap biasa-biasa saja. Setelah kejadian mengalami hal tersebut,
Gally menceritakan kepada teman-teman etnis Minang lainnya yang telah lama menetap di sini. Dari temannya itulah, Gally kemudian memahami bagaimana
kebiasaan orang-orang di Medan, termasuk menggunakan “Kau”. Setelah memahami hal itu, Gally pun menggunakan sapaan itu jika bergaul dengan teman-
temannya yang berbeda identitas budaya. Di kampus Gally tak hanya berteman dengan temannya yang sesama etnis
Minangkabau, tetapi ia juga berteman dengan orang-orang yang berasal dari Medan, sedangkan dengan teman-teman yang berasal dari etnis Batak ia tidak
Universitas Sumatera Utara
terlalu dekat, hanya sekedar tahu nama dan wajahnya saja. Dalam pergaulannya dengan orang Medan ini, Gally juga saling bertukar informasi tentang budaya
mereka masing-masing. Bahkan saling bertukar ejekan-ejekan yang berasal dari daerah mereka. Gally mengakui, karena sesama teman yang sudah dekat ejekan-
ejekan itu dijadikan bahan bercandaan saja. Ada satu hal yang membuat Gally kagum dengan teman-temannya ini.
Ketika mereka ingin menanyakan sesuatu hal tentang budaya atau agama, mereka selalu mengatakan “Maaf” terlebih dahulu sebelumnya. Bagi Gally sendiri, hal ini
ia anggap agak berlebihan mungkin karena ia adalah orang Minang, sehingga teman-temannya takut jika Gally merasa tersinggung dengan pertanyaan tersebut.
“Urang tu pake maaf mananyo, ba a tu, suko lo gally caliak gaya nyo. Padahal nanyo yang biaso-biaso se nyo, takuik tasingguang
urang tu”. Mereka itu kalau bertanya pakai maaf, gimana gitu, Gally suka
denga gayanya itu. Padahal bertanya yang biasa-biasa saja, mereka takut tersinggung.
Walaupun Gally sudah terbiasa dengan sikap dan cara teman-temannya bergaul, tetapi tetap ada beberapa hal yang menurutnya tidak sesuai dengan nilai-
nilai yang pernah diajarkan kepadanya. Di antaranya seperti kurangnya nilai-nilai kesopanan. Menuurt Gally, pergaulan di Medan itu lebih bebas antara laki-laki
dan perempuan. Semuanya disamakan saja, apalagi rasa segan menyegani juga kurang. Sementara jika di daerahnya, segan menyegani antara satu dengan yang
lain itu, sangat diperhatikan. Apalagi ketika bergaul, batasan-batasan antara laki- laki dan perempuan itu harus ada.
“Ba a yo, kalau di siko tu bebas. Urang tu samo se dek nyo urang sadonyo. Dak sagan-sagan gai urang tu do. Kalau awak kan kalau
cowok tu ado sagan-sagannyo, ko dak ado.
Universitas Sumatera Utara
Bagaimana ya, kalau di sini itu bebas. Mereka itu menganggap orang lain sama saja. Tidak ada segan-segannya. Kalau kita kan
kalau cowok itu ada segan-segannya, ini tidak ada.
Tetapi, hal ini kebanyakan dari teman-temannya yang berasal dari Medan, sedangkan yang berasal dari daerah seperti orang Karo, mereka ternyata lebih
menjaga sopan santun dan jika berbicara pun mereka lebih lembut. Gally merasa lebih tidak suka bergaul dengan orang Batak. Karena Gally tidak nyaman dengan
sikap mereka yang kasar sehingga ia terlalu sering berinteraksi dan hubungan mereka pun tidak terlalu dekat.
Setelah menetap di Medan selama lebih kurang satu tahun, Gally merasakan ada perubahan logat ketika ia menggunakan bahasa Indonesianya. Tak
hanya itu, kosa kata yang ia gunakan ketika berbahasa Indonesia juga sudah banyak yang menggunakan istilah-istilah lokal masyarakat Medan. Kedekatan
Gally dengan teman-temannya yang di Medan juga membawa pengaruh terhadap cara ia bersikap dengan orang yang berbeda budaya dengannya.
Kesimpulan Kasus
Penerapan nilai-nilai budaya di dalam keluarga Gally sudah tidak terlalu kental. Gally lebih banyak mendapatkan informasi mengenai budaya Minang dari
pendidikan sekolah, sedangkan mamaknya telah lama pergi merantau ke luar Sumatera Barat sehingga interaksi antara Gally dan mamaknya tidak terlalu
sering. Keinginan Gally untuk pergi merantau juga didukung oleh keluarganya terutama dari abangnya.
Gally tidak banyak mempermasalahkan hal-hal yang ada di Medan karena Gally lebih fokus kepada hal-hal yang menyenangkan tentang Medan. Di kampus
Universitas Sumatera Utara
ia lebih sering berinteraksi dengan teman-temannya yang juga berasal dari luar kota. Mengetahui dirinya adalah orang Minang, teman-teman Gally tampaknya
berusaha menjaga agar kawannya tidak tersinggung. Hubungan Gally dengan teman-temannya ini bisa dikatakan cukup dekat. Baru beberapa bulan saja ia
berada di Medan Gally sudah terbiasa dengan logat dan bahasa orang Medan karena pengaruh dari lingkungan pergaulannya. Gally juga tidak terlalu
memunculkan identitasnya sebagai orang Minang. Ia tampak sangat membaur dengan lingkungannya yang baru di Medan. Walaupun demikian, ia tetap
mengingat statusnya sebagai warga pendatang di sini. Ia tetap berhati-hati dalam bergaul seperti yang pernah dinasehatkan orang tuanya.
Informan 7
Nama : Dilla Sepri Susanti
Usia : 20 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Fakultas : Ilmu-Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Angkatan : 2008
Lama Menetap : ±3 Tahun
Alamat Tempat Tinggal : Jalan Harmonika No.70
Tanggal Wawancara : 9 Mei 2011
Dilla merupakan mahasiswa Minang yang sudah hampir 3 tahun menetap di Medan. Ia berasal dari Solok, namun kampung halaman kota kelahirannya
adalah Muaro Bodi, Sawah Lunto Sijunjung. Peneliti telah mengenal informan sebelumnya, sejak penyambutan Mahasiswa Minang IMIB USU pada tahun 2008.
Peneliti tertarik memilih Dilla sebagai informan berikutnya atas rekomendasi dari Zikri, informan sebelumnya. Selain itu, menurut pengamatan peneliti sendiri,
Dilla termasuk sangat akrab dengan teman-teman kampusnya yang berbeda latar
Universitas Sumatera Utara
belakang budaya. Berdasarkan pertimbangan inilah kemudian peneliti menghubungi Dilla dan menyusun jadwal untuk melakukan wawancara.
Wawancara dengan Dilla pertama kalinya dilakukan pada tanggal 9 Mei 2011, di lingkungan kampus FISIP USU. Tetapi, karena informan harus
mengikuti kuliah tambahan pada hari itu, wawancara kemudian dilanjutkan pada tanggal 11 Mei 2011, bertempat di rumah kos salah satu teman Dilla yang
lokasinya berdekatan dengan kampus FISIP USU. Ketika itu, Dilla dan tiga orang temannya yang lain, sedang beristirahat menunggu jadwal perkuliahan
selanjutnya. Pada awal wawancara, peneliti menanyakan bagaimana budaya
Minangkabau yang diterapkan di dalam keluarga Dilla. Menurut penuturan Dilla, budaya Minang yang ia rasakan lebih kental di kampungnya di daerah Sijunjung
daripada di lingkungan rumahnya di Solok. Di Solok, budaya Minang itu sendiri sekarang tidak terlalu diterapkan, hanya sekedar mengetahui adat istiadat saja.
Kalau dari segi bahasa, memang bahasa percakapan sehari-hari di sana masih menggunakan bahasa Minang, termasuk Dilla dan keluarganya. Dengan kata lain,
budaya yang masih sering diterapkan sehari-hari adalah bahasa daerah. Sebelum Dilla menetap di kota Medan, Dilla sudah memiliki keinginan
untuk pergi merantau. Kepada peneliti Dilla menceritakan bahwa ia ingin keluar daerah awalnya karena sebuah alasan klise, ingin mengetahui daerah lain dan
tidak hanya tinggal di daerah yang itu-itu saja. “Yo…alasan klise sih ni, alasannyo pengen nengok di lua, jan lah
tau nyo cuma nagari-nagari awak se gitu, tengok lah nagari urang, trus ado perbandingan gitu”.
Universitas Sumatera Utara
Ya…alasan klise sih kak, alasannya ingin melihat dunia luar, janganlah tahunya hanya daerah-daerah kita saja gitu, Lihatlah
negeri orang, trus ada perbandingan gitu.
Pada awalnya, Dilla ingin merantau ke Pulau Jawa dan kuliah di Universitas Indonesia. Tetapi, karena orang tuanya tidak mengizinkan untuk
merantau ke luar pulau Sumatera, akhirnya Dilla memilih USU. Setelah lulus, Dilla merasa senang, bisa lulus di jurusan yang ia inginkan. Kemudian ia
berangkat ke Medan melalui jalur udara. Ketika mendarat di Bandara Polonia, awalnya Dilla masih merasa kagum dengan kota Medan, tetapi lama kelamaan
ketika memasuki daerah rumah kosnya, Dilla merasa terkejut. Tata kota yang tidak rapi, kumuh, macet, bahkan sampah banyak yang berserakan di mana-mana
membuat Dilla merasa kecewa, situasi di sini ternyata tidak seperti yang ia bayangkan sebelumnya. Selain itu, Dilla juga mengalami kesulitan untuk mencari
tempat makan yang enak dan terjaga kebersihannya. Ketika memasuki kampus, Dilla juga mengalami shock dengan cara bicara
orang-orangnya yang keras dan sering berteriak-teriak. Pada saat perkenalan dalam kelas matrikulasi, Dilla memperkenalkan dirinya. Saat itulah, ia mendapat
olok-olokan “Padangkik” dari kawan-kawan yang lain. Dilla sendiri merasa bingung, bahkan tidak mengerti dengan istilah tersebut. Setelah mencari tahu,
ternyata maksud istilah itu adalah “orang Padang pelit”. Merasa tidak nyaman dengan olok-olokan seperti itu, Dilla kemudian berusaha menjelaskan kepada
kawan-kawan yang mengolok-oloknya. Ia menjelaskan, mungkin karena kebanyakan orang Minang itu adalah pedagang, jadi wajar saja sangat
Universitas Sumatera Utara
perhitungan, bukannya pelit dan tidak semua orang Minang seperti itu. Setelah itu hingga sekarang, tidak ada lagi yang mengejek Dilla dengan istilah itu.
Di dalam lingkungan kampus, Dilla memang sering berinteraksi dengan teman-temannya yang bukan orang Minang. Teman baru Dilla yang pertama di
sini adalah orang Medan. Di lingkungan rumah kosnya, bahkan tidak ada kawan- kawan yang satu etnis dengannya. Kebanyakan dari mereka berasal dari Riau,
Lubuk Pakam dan Kisaran. Karena situasi seperti inilah yang kemudian membuat Dilla menjadi lebih cepat beradaptasi dan membaur dengan orang-orang yang
berbeda budaya. Menurut pengakuan Dilla, sekarang ia merasa lebih nyaman bergaul dengan kawan-kawannya di sini. Alasannya, ia lebih suka dengan cara
bergaul orang Medan yang tidak berbasa-basi dan jika bicara langsung pada intinya saja, daripada orang Minang sendiri yang memiliki kebiasaan bermanis-
manis kata. Menurut Dilla hal itu karena ia sendiri dalam bergaul memang lebih suka bicara langsung pada pokok permasalahan saja, sehingga lebih jelas apa
maksudnya. “Dilla raso labiah lamak samo urang siko, misalnyo kan
pergaulan urang disiko tu jaleh, kalau iyo-iyo, indak-indak, dak kayak di Padang do, urang tu ba a yo, banyak na kilik-kilik kato,
awak dak pandai mode-mode tu do”. Dilla rasa lebih enak sama orang di sini, misalnya kan pergaulan
orang di sini itu jelas, kalau iya itu iya, tidak ya tidak, tidak seperti di Padang, orangnya bagaimana ya, banyak silat-silat kata, saya
sendiri tidak pandai yang seperti-seperti itu.
Dari pengamatan peneliti ketika melakukan wawancara, tampak jelas Dilla adalah tipe orang yang tegas, ketika berbicara pun, ia langsung menjelaskan pada
intinya, tidak seperti informan-informan sebelumnya yang sering memberikan isyarat atau perandaian untuk menjelaskan sesuatu. Sikap Dilla yang seperti itulah
Universitas Sumatera Utara
yang kemudian membuatnya merasa nyaman dan mudah berbaur dengan orang- orang Medan dibandingkan dengan informan-informan yang lain.
Untuk debradaptasi dengan lingkungannya di sini, Dilla mengakui bahwa ia lebih sering memperhatikan, mengamati, bagaimana kebiasaan-kebiasaan
orang-orang di sekitarnya. Ia memang tidak langsung bertanya untuk mendapatkan informasi atau sekedar penjelasan, tetapi ia menyimpulkan sendiri
kejadian sehari-hari yang ia alami. Dari sanalah ia kemudian belajar memahami dan beradaptasi dengan lingkungannya yang baru.
“Mancari tau sih indak ni, tapi mamparati-paratian se, jadi tau sorang se, oo..urang tu mode tu”.
Mencari tau sih tidak kak, tapi memperhatikan saja, jadi tau sendiri saja, oo..orang itu seperti itu.
Dari hasil pengamatannya itu Dilla kemudian bisa memahami dan menarik kesimpulan bagaimana karakter orang lain yang ia hadapi dan bagaimana ia harus
bersikap. Selama masih saling menghargai perbedaan-perbedaan, semuanya bisa berjalan dengan baik. Menurut Dilla, pada situasi dan kondisi tertentu ia juga
harus mengikuti kebiasaan-kebiasaan orang di sini, bahakan ketika mereka berteriak-teriak kepadanya, ia pun akan bersikap seperti itu pula.
“Tanggapannyo sih biaso-biaso ajo, berarti nyo karakter nyo kayak gitu, karakter wak mode ko, jadi ya uda la, selagi saling
maharagoi dak ba a, di sikon-sikon tertentu awak harus lo ngikuik- ngikuik an urang tu. Urang tu ngecek ma ariak-ariak, tu awak pun
kadang-kadang ma ariak-ariak lo”. Tanggapannya sih biasa-biasa saja, berarti mereka karakternya ya
seperti itu, karakter kita seperi ini, jadi ya sudah lah, selagi saling menghargai tidak apa-apa, disikon-sikon tertentu kita juga harus
mengikuti mereka. Mereka bicaranya teriak-teriak, ya kita pun kadang-kadang juga teriak-teriak.
Universitas Sumatera Utara
Dalam berinteraksi dengan teman-temannya di kampus, Dilla lebih sering menggunakan bahasa Indonesia, walaupun dalam situasi yang sama juga ada
temannya yang etnis Minang Dilla tetap menggunakan bahasa Indonesia. Ia menggunakan bahasa Minang, hanya ketika berinteraksi dalam lingkungan orang-
orang Minang, malah terkadang bahasanya menjadi bercampur. Ketika peneliti menanyakan lebih lanjut mengapa ia lebih sering menggunakan bahasa Indonesia,
Dilla hanya menjawab hal itu sudah mengalir begitu saja. “Kalau samo-samo urang-urang awak kadang campua-campua ni,
kadang bahaso Indonesia, kadang kalau tampek yang rami bahaso Indonesia, kalau tampek awak-awak se baru baso Minang. Ntah
lah ni lah mode itu se jalannyo”. Kalau sesama orang Minang kadang-kadang campur-campur kak,
kadang bahasa Indonesia, kadang kalau di tempat yang ramai bahasa Indonesia, kalau kita-kita saja barulah berbahasa Minang.
Ntah lah kak, sudah seperti itu saja jalannya.
Dilla sudah tinggal di kota Medan selama lebih kurang tiga tahun. Selama itu pula, ada beberapa perubahan dan hal-hal baru yang ia dapatkan. Seperti
perubahan logat dalam berbicara. Terkadang tanpa ia sadari, ia berbicara dengan suara yang keras. Dilla mengakui itu karena ia sudah terbiasa dengan teman-
temannya seperti itu, sehingga jadi terbawa-bawa. Selain itu, Dilla menjadi lebih mengerti bagaimana orang-orang lain di luar lingkungan etnisnya sendiri.
Kesimpulan Kasus
Dilla merupakan pribadi yang sederhana dan tegas. Ia tidak suka hal yang berbelit-belit atau berbicara panjang lebar, ia lebih suka membicarakan hal yang
jelas-jelas saja. Pribadi Dilla ini memang berbeda dengan orang-orang Minang kebanyakan. Tetapi hal inilah yang kemudian membuatnya nyaman untuk berbaur
dengan orang Medan. Walaupun banyak yang berpendapat bahwa orang-orang di
Universitas Sumatera Utara
Medan itu keras dan kasar-kasar, tetapi Dilla menanggapinya dengan belajar memahami kebiasaan-kebiasaan tersebut.
Culture shock yang dialami oleh Dilla ternyata tidak menghambatnya dalam berinteraksi dengan orang lain. Walapun Dilla mengaku awalnya terkejut
dengan situasi lingkungan kota Medan yang menurutnya tidak rapi, kumuh dan macet, tetapi hal itu tidak membuatnya merasa kecewa karena harus melanjutkan
pendidikannya di Medan. Pada saat awal-awal ia mulai berkomunikasi dengan teman-temannya di kampus, Dilla mengalami hal yangtidak menyenangkan
karena diolok-olok. Tetapi, setelah ia memberikan penjelasan, mereka mengerti dan tidak lagi mengolok-oloknya.
Dilla menanggapi perbedaan budaya yang dialaminya dengan baik. Hal ini ia tunjukkan dengan berusaha untuk berbaur dengan orang-orang yang berbeda
etnis dengannya, bahkan ia mau mengikuti gaya interaksi mereka. Sikap yang ditunjukkan oleh Dilla ini, seperti pepatah Minang “Dima bumi dipijak, di situ
langik di junjuang Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Di lingkungan mana kita berada, maka adat atau budaya yang berlaku di tempat
itulah yang harus dihormati. Oleh karena itu, ia juga tidak mengalami banyak kesulitan ketika harus beradaptasi dengan perbedaan budaya. Bagi Dilla, asalkan
orang lain bisa menghargai perbedaan-perbedaan yang ada padanya, maka ia juga akan menghargai mereka.
Informan 8
Nama : Dwi Putri Oktaviance
Usia : 19 Tahun
Universitas Sumatera Utara
Jenis Kelamin : Perempuan
Fakultas : Farmasi
Angkatan : 2009
Lama Menetap : ±2 Tahun
Alamat Tempat Tinggal : Jalan Zulkarnain No.16
Tanggal Wawancara : 9 Mei 2011
Dwi Putri Oktaviance adalah informan ke delapan yang peneliti wawancarai. Ia biasa disapa dengan panggilan Puput. Peneliti melakukan
wawancara di rumah kos informan. Kamar Puput berada di lantai dua, di sana ia tinggal bersama tiga orang mahasiswa Minang lainnya. Peneliti sudah mengenal
informan sebelumnya sejak penyambutan mahasiswa Minang tahun 2009. Informasi mengenai Puput, peneliti dapatkan dari sekretariat IMIB USU.
Puput merupakan mahasiswa Minang yang berasal dari Kota Sawah Lunto. Pilihannya untuk melanjutkan pendidikan di USU adalah atas saran dari ibunya.
Awalnya puput ingin melanjutkan pendidikannya di UI, tetapi berkat anjuran ibunya, Puput memilih jurusan Farmasi USU sebagai salah satu pilihan ketika
mengikuti ujian tes UMB. Budaya Minangkabau masih diterapkan di dalam keluarga Puput, terutama
dari keluarga ibunya yang berasal dari Batusangkar. Kakek Puput dari ibunya berperan sebagai datuak di dalam kaumnya. Selain itu, Puput juga memiliki 7
orang mamak, walaupun 3 orang di antaranya telah pergi merantau, akan tetapi 4 orang mamak Puput lainnya masih menetap di kampungnya dan masih sering
berinteraksi dengan Puput. Pengajaran nilai-nilai budaya didapatkan Puput dari mamaknya secara tidak langsung. Dengan demikian, Puput mendapatkan banyak
pelajaran mengenai adat budayanya.
Universitas Sumatera Utara
Di Medan, Puput memiliki keluarga, saudara dari suami adik Ibunya. Dari keluarga inilah Puput pertama kali mendapatkan informasi dan mengetahui hal-hal
lainnya tentang masyarakat Medan. Hubungan Puput dengan keluarganya ini cukup dekat. Setiap akhir minggu dan hari-hari libur lainnya Puput selalu datang
berkunjung. Selain dari keluarga, Puput juga mendapatkan informasi tentang Medan dari senior-senior yang berada di Medan.
Sebelum ke Medan, Puput membayangkan bahwa di medan itu kebanyakan masyarakatnya adalah orang Batak dan yang sebagian kecil saja yang
memeluk agama Islam. Tetapi setelah ia datang dan melihat sendiri, ternyata tidak semua anggapannya itu benar, ternyata di sini juga banyak orang Minang dan
tentunya juga banyak yang memeluk agama Islam. Ketika melakukan proses registrasi ulang, Puput senang disambut oleh mahasiswa Minang lain yang
tergabung dalam IMIB USU. Ikatan Mahasiswa Minang inilah yang kemudian menjadi keluarga keduanya di sini.
“Pas pendataan tu, rasonyo ado se keluarga di siko kan, setidaknyo ado lah tampek nan samo samo awak, awak tu dak
surang gitu”. saat pendataan itu, rasanya seperti ada keluarga di sini kan,
setidaknya ada tempat sesama kita, kita tidak sendiri.
Ketika penyambutan itu lah, kemudian Puput saling berkenalan dengan mahasiswa Minang yang lain. Kebetulan ada 2 orang mahasiswa Minang lainnya
yang seangkatan dan juga di jurusan yang sama dengannya. Puput semakin akrab dengan teman-temannya ini setelah menjalani hari-hari mereka di kampus.
Hal yang membuat ia terkejut pertama kali ketika di Medan adalah pada saat ia melakukan registrasi ulang. Puput menceritakan, saat itu ada salah seorang
Universitas Sumatera Utara
mahasiswa yang juga melakukan registrasi tiba-tiba menyapanya dengan sapaan “Kau”. Puput yang tidak terbiasa disapa dengan panggilan seperti itu spontan
terkejut. “Patamo kali yang Put kana bana, urang tu ba “Kau-kau” ngecek
nyo, waktu pendaftaran patamo kali, ado urang nanyo kan, pokoknyo pake “kau” la, takajuik Put, Put dak pernah di pa kau-
kau an urang soalnyo do. Put dak buliah ba kau-kau dek ama do kan. Tu takajuik dek uni gara-gara kawan ko kan, raso nio nangih
dek uni”. Pertama kali yang Put ingat betul, orang itu pakai “Kau-kau”
bicaranya, waktu pendaftaran pertama kali, kan ada orang yang bertanya, pokoknya pakai “kau” begitu, Put kaget, karena Put tidak
pernah dipanggil pakai “Kau” sama orang lain kan. Karena Put tidak boleh bicara pakai kau-kau oleh mama. Lalu kaget kan kak
gara-gara kawan ini, rasanya ingin menangis kak.
Puput terkejut karena ia tidak terbiasa disapa dengan panggilan seperti itu. Kata “Kau” jika digunakan ketika berinteraksi dengan orang Minang, memang
dianggap kasar dan tidak sopan. Apalagi orang tua Puput juga menekankan pada Puput untuk tidak menggunakan kata tersebut. Walaupun ia mengetahui
bagaimana watak orang Batak, tetapi itu merupakan pengalaman pertamanya berhadapan langsung dan berinteraksi dengan orang Medan. Setelah ia
memperhatikan lebih lanjut dan memahami bahwa sapaan “Kau” itu memang sangat lazim digunakan orang Medan, ia pun bisa menerima keadaan tersebut.
Walaupun demikian, hingga sekarang ia tetap tidak mau menyapa orang lain dengan sapaan “Kau”.
Di kampus, Puput lebih memilh berinteraksi dengan orang-orang yang berlatar belakang sama dengannya, paling tidak sama-sama beragama Islam. Hal
ini tampak dari teman-teman Puput yang juga merupakan orang-orang perantauan, beragama Islam dan juga mengenakan kerudung seperti dirinya. Walaupun
Universitas Sumatera Utara
demikian, ia tidak menutup diri untuk berinteraksi dengan orang lain di luar kelompoknya. Bahkan Puput juga beradaptasi dengan bahasa dan logat yang
digunakan teman-temannya. “Dek samo-samo urang Islam, kami saketek yang padusi yang
Islam di kelasnyo, yang pakai jilbab la gitu kan, yang samo la alirannyo, yang dakek, yo samo-samo ajo wak rasonyo kalau
samo-samo bajilbab. Dek gara-gara itu dakeknyo”. Karena sama-sama orang Islam, kami hanya sedikit yang muslim
di kelas, yang pakai jilbab gitu, yang aliran nya sama, yang dekat, ya sama rasa lah sama berjilbab. Karena itulah jadi dekat.
Menurut Puput, ligkungan pergaulan di Medan tidak jauh berbeda dengan daerah asalnya di Sawah Lunto. Masyarakat perantauan di sana juga sudah
banyak, sehingga adat budaya lokalnya sudah tidak terlalu ketat. Hanya saja, bedanya di Medan pergaulannya terasa lebih bebas. Pergaulan antara laki-laki dan
perempuan sudah hampir tak ada batasnya, dianggap sama rata saja. “Bedanyo dak terlalu banyak do ni, soalnyo Put ni di sawah lunto
tu kan lah dak terlalu ketat bana do peraturan-peraturan adatnyo. Yo lah kayak kota juo pergaulannyo. Tapi kalo Put maraso,
pergaulan di siko ampiang-ampiang samo. Yang babeda bana samo di siko, samo kawan-kawan tu lamak-lamak se ba a, samo
kawan-kawan cowok la, lamak-lamak se, kalau di siko lah ampiang samo se, kalau ndak pandai-pandai jago diri wak paliangan bisa
ba a la. Jadi harus pandai-pandai la jago diri”. Bedanya tidak terlalu banyak kak, karena Put kak di sawah lunto
itu kan sudah tidak terlalu ketat peraturan-peraturan adatnya. Ya sudah seperti pergaulan di kota juga. Tapi kalau Put merasa,
pergaulan di sini hampir-hampir sama. Yang sangat berbeda dengan di sini, yaitu dengan kawan-kawan itu seenaknya gimana
gitu, dengan kawan –kawan cowok lah, seenaknya saja, kalau di sini sudah hampir sama saja, kalau tidak pandai-pandai menjaga
diri kita bisa bagaimana la. Jadi jarus pandai-pandai la menjaga diri.
Puput menyadari ada perbedaan nilai-nilai pergaulan antara di tempat asalnya dan di Medan, tetapi ia tidak cepat terpengaruh dengan situasi dan kondisi
Universitas Sumatera Utara
lingkungannya. Ia tetap mempertahankan nilai-nilai yang telah diajarkan kepadanya. Ia bersikap lebih hati-hati dalam bergaul dan lebih selektif dalam
memilih lingkungan pergaulan dan teman-teman dekatnya. Puput tidak banyak mengalami kesulitan dalam berkomunikasi. Hanya
perbedaan logat bahasanya saja yang berbeda dan sekrang ia sudah mulai terbiasa. Saat awal menetap di Medan, seperti juga informan lainnya Puput pun tidak
menyukai makanan khususnya nasi yang ada di sini, karena perbedaan rasa dan tekstur nasi antara yang di sini dengan yang biasa ia konsumsi. Bahkan Puput
membawa sendiri beras untuk dikonsumsi sehari-hari dari rumah. Selama lebih kurang dua tahun Puput menetap di Medan, menurutnya
perubahan yang ia rasakan tidak terlalu banyak. Hanya saja ia merasa lebih mandiri dari sebelumnya. Selain itu ia juga lebih membuka diri untuk bergaul
dengan orang lain yang berbeda identitas budaya dengannya.
Kesimpulan Kasus
Puput adalah pribadi yang ramah dan santun. Ia memegang teguh nilai- nilai budaya dan agama yang diajarkan kepadanya. Puput beruntung memiliki
mamak dan lingkungan keluarga yang masih melestarikan budaya Minang. Walaupun ia dan keluarganya menetap di daerah Sawah Lunto yang adat
budayanya sudah tidak terlalu kental lagi, tetapi Puput tidak meninggalkan nilai- nilai budaya Minangkabau dan agama Islam yang diajarkan kepadanya. Misalnya,
sopan santun dalam bersikap dan wawasannya mengenai adat istiadat Minangkabau. Lingkungannya yang seperti inilah yang kemudian membentuk
identitas Puput sebagai orang Minang.
Universitas Sumatera Utara
Demikian juga ketika Puput berada di Medan, identitasnya sebagai orang Minang, membantunya untuk bersosialisasi dengan orang lain. Misalnya ketika ia
sampai di Medan, ia merasa senang ketika disambut oleh mahasiswa lainnya membantu Puput mendapatkan teman baru dan beradaptasi dengan lingkungan
baru. Dalam bergaul dengan teman-temannya di kampus, Puput tidak menutupi identitasnya sebagai orang Minang, bahkan ia merasa bangga dan senang ketika
orang lain merasa tertarik dengan budaya Minang. Pada awalnya, Puput memang mengalami culture shock dari segi bahasa maupun makanan. Tetapi ia menyadari
statusnya sebagai seorang pendatang, Puput belajar untuk memahami dan menerima berbagai perbedaan yang ada. Selain itu, ia juga lebih suka bergaul dan
membuka diri dengan orang lain.
Informan 9
Nama : Masria Umami
Usia : 20 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Fakultas : Keperawatan
Angkatan : 2009
Lama Menetap : ±2 Tahun
Alamat Tempat Tinggal : Jalan Prof. M. Yusuf No.15
Tanggal Wawancara : 12 Mei 2011
Wawancara dengan Masria Umami yang biasa disapa Memi berlokasi di kampus Fakultas Keperawatan USU. Peneliti menghubungi Memi setelah peneliti
mewawancarai teman Memi, Silmi. Dari hasil wawancara dengan Silmi, peneliti merasa tertarik untuk mewawancarai Memi. Sebelum wawancara berlangsung,
peneliti telah mengenal Memi dari organisasi IMIB USU. Ia termasuk salah satu anggota yang aktif dalam organisasi tersebut. Pada saat diwawancarai, Memi
Universitas Sumatera Utara
ditemani oleh sahabatnya Tiara yang juga mahasiswa Minang. Mereka sedang beristirahat menunggu jadwal perkuliahan berikutnya dimulai.
Bagi Memi, ini adalah pengalaman pertamanya menetap di Kota Medan. Sebelumnya, Memi juga sudah pernah tinggal bersama orang tuanya di Riau
hingga kelas 3 SD. Tetapi, atas pertimbangan faktor lingkungan di sana yang dinilai kurang baik bagi perkembangan dan pendidikan anak-anaknya, orang tua
Memi kemudian memutuskan agar Memi dan kakaknya melanjutkan pendidikannya di Sumatera Barat saja, tepatnya di kampung halaman Ibu Memi,
kota Batusangkar. Di sana Memi dan kakaknya hanya tinggal berdua saja di sebuah rumah yang telah disiapkan kedua orang tuanya. Walaupun mereka hanya
tinggal berdua, tetapi anggota keluarga Memi yang lainnya juga tinggal berdekatan dengan rumah mereka, sehingga bisa saling menjaga dan membantu.
Memi memiliki 3 orang mamak, di kampungnya Memi sangat dekat dengan salah satu dari 3 mamaknya ini, terutama sejak ia dan kakaknya tinggal di
sana. Kebetulan pada saat itu, keluarga mamak Memi tersebut bertempat tinggal di dekat Sekolah Dasarnya, karena itu setiap kali pulang sekolah, Memi dan
kakaknya selalu singgah ke sana. “Kakak mama ado 3 urang, cuma yang dakek sorangnyo, dulu
tingga di sangka, tapi memi lah SMA, nyo pindah ka Sawah Lunto. Jadi hubungan lewat telpon se lai. Dulu rumahnyo dakek SD
Memi, jadi main ka situ, jadi kalau misalnyo ba a-ba a yo mamak Memi lah yang ma aja an Memi. Kalau misalnyo ba a-ba a yo
mamak Memi la yang ma aja an Memi gitu a”. Kaka mama ada 3 orang, tapi yang dekat hanya 1 orang, dulu
tinggal di Batusangkar, tapi ketika Memi SMA, dia pindah ke Sawah Lunto. Jadi hubungan lewat telepon saja. Dulu rumahnya di
dekat SD Memi, jadi main ke sana, jadi kalau misalnya ada apa-apa ya mamak Memi lah mengajari Memi. Kalau misalnya ada apa-apa
mamak Memi juga yang mengajari Memi, seperti itu lah.
Universitas Sumatera Utara
Orang tua Memi hanya pulang sebulan sekali ke kampungnya, sehingga yang sangat berperan dalam penanaman nilai-nilai budaya Minangkabau, maupun
nilai-nilai agama Islam adalah keluarga yang di kampung, terutama mamaknya. Ketika mereka menghadapi masalah, orang yang pertama maju untuk
menyelesaikannya adalah mamaknya ini. Demikianlah hubungan Memi dengan mamaknya, hingga Memi SMA mamaknya harus pindah ke Kota Sawah Lunto.
Walaupun demikian, Memi tetap sering berkomunikasi dengan mamaknya meskipun hanya lewat telepon.
Kemudian, peneliti menanyakan kepada Memi, bagaimana pendapatnya sendiri tentang budaya Minangkabau. Menurut Memi, kebudayaan Minangkabau
itu adalah kebudayaan yang unik karena menganut sistem keturunan matrilineal. Walaupun di satu sisi status Ayah memang berperan dalam adat, tetapi ketika ia
memiliki status sebagai seorang mamak, ia akan memiliki peran yang lebih besar. Meskipun demikian, di sisi lain seorang tetap berperan penting dalam
keluarganya. “Unik, soalnyo dari sadoalah suku-suku yang Memi tau, cuma
Minang yang matrilineal, walaupun di satu sisi ayah kurang berperan dalam adat, tapi peran mamak labiah gadang daripado
peran ayah, walaupun di sisi lain ayah tetap berperan penting dalam keluarga”.
Unik, karena dari semua suku-suku yang Memi ketahui, hanya Minang yang Matrilineal, walaupun di satu sisi ayah kurang
berperan dalam adat, tapi peran mamak lebih besar daripada peran ayah, walaupun di sisi lain ayah tetap berperan penting dalam
keluarga.
Ketika Memi akan melanjutkan pendidikan ke jenjang universitas, orang tua atau pun mamak Memi memberikannya kebebasan untuk memilih ke mana ia
Universitas Sumatera Utara
akan melanjutkannya. Sedangkan dari Memi sendiri ia juga sudah memiliki keinginan untuk merantau ke luar daerah Sumatera Barat, terutama ke pulau
Jawa. Ia mengatakan jika ia bisa pergi merantau, maka ia bisa melihat dunia luar dengan kebudayaan dan orang-orang yang berbeda dan juga mendapatkan
pengalaman baru. Oleh karena itulah, pada saat mengisi formulir pendaftaran UMB, Memi memilih beberapa perguruan tinggi di pulau Jawa yaitu UI dan
Universitas Padjajaran, sedangkan untuk di pulau Suamtera sendiri ia memilih USU sebagai salah satu pilihannya, karena Universitas Andalas pada saat itu
belum termasuk dalam universitas peserta UMB. “Pengen bana kalua. Kalau awak cuma di sekitar Sumbar, awak tu
jadi dak bisa melihat dunia lua, mungkin kebudayaan urang lain beda, pengen caliak yang lain, pengen cari pengalaman gitu”.
Sangat ingin pergi ke luar. Kalau kita hanya di sekitar Sumbar saja, kita jadi tidak bisa melihat dunia luar, mungkin kebudayaan
orang lain berbeda, ingin lihat yang lain, ingin cari pengalaman.
Dari penuturan Memi tersebut, tampak bahwa Memi memiliki rasa keingintahuan yang tinggi tentang orang-orang di luar lingkungannya sendiri. Dalam
perkembangannya, rasa keingintahuannya inilah yang membantunya untuk beradaptasi dengan lingkungan baru.
Memi mengakui awalnya ia agak sedikit kecewa karena tidak bisa lulus di salah satu Universitas di Jawa, tetapi ia tetap bersyukur karena bisa lulus di
USU. Hal itu, karena awalnya USU memang tidak masuk dalam daftar universitas yang diinginkannya karena kurangnya informasi tentang USU. Sebelum datang ke
Medan, Memi membayangkan kota Medan adalah kota yang metropolitan dengan segala keunikannya pula. Ia tidak mau terlalu mempermasalahkan bagaimana
situasi lingkungannya nanti dan lebih fokus pada kuliah. Memi tidak seperti
Universitas Sumatera Utara
kebanyakan informan sebelumnya yang menggambarkan kota Medan menurut stereotype yang beredar di masyarakat. Hal ini menunjukkan bagaimana Memi
menyikapi hal-hal baru dari sisi yang positif. Hal yang menarik ketika Memi menceritakan pengalamannya ketika baru
saja datang ke Kota Medan adalah melihat ekspresinya yang menggambarkan perasaannya ketika itu. Awalnya, ia membayangkan bahwa kota Medan sebagai
kota metropolitan dengan segala kelebihannya, bahkan tampak ia menaruh harapan yang besar tentang Kota Medan. Akan tetapi, ternyata apa yang ia
dapatkan tidak seperti yang ia bayangkan sebelumnya. Ia menceritakannya sambil tertawa dan cemberut, merasa kecewa dengan kenyataan yang ada. Menurut
Memi, Kota Medan terkesan tidak rapi, kumuh karena sampah yang bertebaran dimana-mana, tukang becak yang parkir seenaknya, ditambah lagi dengan
keadaan gedung kampus Fakultas Keperawatan yang kurang dirawat saat itu. Keadaan yang jauh berbeda jika dibandingkan dengan lingkungan Kota Padang di
mana Memi mengikuti bimbingan belajar. “Dek dulu kan bimbel di Padang, Padang kan lumayan barasiah,
tertata lah kotanyo, jadi patamo kali datang ka Medan, wah… kok jorok gitu kan, emang kumuh lah kesannyo, tukang becak
bertebaran dima-dima, dak jaleh se do raso tatanan kotanyo, jadi agak illfeel patamo kalinyo dan patamo kali masuak kampus pun
kayak gitu. Fakultas Keperawatan dak kayak giko dulu doh, masih lumuik dulu sado catnyo, masih banyak rimbo. Dak sasuai jo apo
yang dibayangkan”. Karena dulu kan bimbel di Padang, Padang kan lumayan bersih,
tertata lah kotanya, jadi pertama kali datang ke Medan, wah… kok jorok gitu kan, memang kumuh lah kesannya, tukang becak
bertebaran dimana-mana, tidak jelas saja rasanya tatanan kotanya, jadi agak illfeelkecewa pertama kalinya dan pertama kali masuk
kampus pun begitu. Fakultas Keperawatan tidak seperti ini dulu, dindingnya masih dilapisi lumut, masih banyak semak. Tidak
sesuai dengan apa yang dibayangkan.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan untuk culture shock yang dialami oleh Memi, ternyata tidak terlalu berbeda jauh dengan informan sebelumnya yakni dari segi logat dan
bahasa. Memi juga merasa terkejut ketika tiba-tiba seseorang bertanya dan menyapanya dengan kata “Kau”. Tetapi setelah Memi memahami bahwa kata itu
memang kata yang lazim digunakan di kalangan teman-temannya, ia pun sudah terbiasa. Tetapi pada saat ia menjalani masa ospek, Memi sempat merasa tidak
nyaman dengan sikap beberapa seniornya yang suka membentak-bentaknya. Karena kejadian itu, hingga sekarang ia masih merasa enggan untuk bergaul
dengan mereka. Selain itu, Memi juga pernah menegur beberapa orang temannya yang makan dan minum sesukanya pada saat bulan Ramadhan. Karena merasa
tidak dihargai, Memi langsung menegur mereka saat itu. Bagi Memi, bergaul dengan siapa pun sebenarnya tidak ada masalah, selama bisa saling menghargai.
Di kampus, Memi tidak mau membeda-bedakan temannya dalam bergaul. Ia termasuk orang yang suka berteman dan aktif dalam beberapa
organisasi di kampusnya. Memi tidak banyak mengalami kesulitan dalam berkomunikasi. Dalam berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda latar
belakang budaya dengannya, Memi mencoba untuk mengerti dan memahami bagaimana kebudayaan mereka. Saling bertukar informasi mengenai kebudayaan
juga sering dilakukan Memi. Beberapa orang teman dekat Memi yang bukan orang Minang bahkan memanggilnya dengan panggilan “Uni” sehingga mereka
merasa lebih akrab. Pengalamannya selama menetap di Medan mengajarkannya untuk hidup
lebih mandiri lagi, walaupun sejak kecil ia sudah terbiasa untuk tinggal jauh dari
Universitas Sumatera Utara
keluarganya. Selain itu, seiring dengan berjalannya waktu ia juga merasa lebih berani dan lebih dewasa dalam menyikapi masalah-masalah yang muncul.
Kesimpulan Kasus
Sejak kecil, Memi sudah terbiasa hidup mandiri dan suka bergaul dengan lingkungan sekitarnya. Walaupun ia tidak tinggal bersama kedua orang tuanya,
tetapi lingkungan tempat tinggalnya masih menerapkan nilainilai budaya Minang dan agama Islam. Mamak Memi berperan sebagai penjaga, pendidik, dan juga
membimbing Memi dan kakaknya dalam menerapkan nilai-nilai budaya dan agama dalam kehidupan mereka.
Oleh karena itu, ketika Memi harus melanjutkan pendidikannya di Medan, ia tidak terlalu kesulitan dalam menghadapi perbedaan-perbedaan yang
ada. Wataknya yang ramah, suka bergaul dan berpikiran positif membantunya dalam proses adaptasi dengan lingkungannya. Memiliki identitas budaya sebagai
orang Minang tidak menghalanginya untuk berinteraksi dengan orang lain, justru dengan adanya proses komunikasi ia bisa saling bertukar informasi budaya
dengan yang lain.
Universitas Sumatera Utara
Informan 10
Nama : Wahyu Eko Putra
Usia : 18 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Fakultas : MIPA
Angkatan : 2010
Lama Menetap : ±1 Tahun
Alamat Tempat Tinggal : Jalan Jamin ginting, Gang Kamboja No.27
Tanggal Wawancara : 11 Juni 2011
Wahyu adalah mahasiswa Minang asal Padang yang melanjutkan pendidikannya di departemen Ilmu Komputer. Peneliti mengenal Wahyu dari
Dika, mahasiswa Minang yang saat itu peneliti jumpai di sekretariat IMIB USU. Ia tinggal di gang yang sama dengan alamat sekretariat IMIB USU sehingga saat
itu peneliti memutuskan untuk melakukan wawancara di tempat yang sama. Peneliti baru mengenal Wahyu pada saat wawancara, tetapi karena kesamaan latar
belakang budaya peneliti dan informan bisa lebih cepat membaur. Terlihat dari penampilannya, Wahyu adalah mahasiswa yang rapi ia mengenakan celana
panjang dan kemeja berlengan pendek. Ternyata cara ia berpakaian ini juga dilatarbelakangi oleh pendidikan sebelumnya. Setelah berkenalan, ternyata Wahyu
adalah tamatan dari Pesantren Hamka dan melanjutkan pendidikan di SMA Cendekia yang juga menerapkan sistem asrama seperti di pesantren.
Wahyu mengakui, sekarang di Kota Padang budaya Minang itu sudah mulai pudar. Walaupun ia sekeluarga menetap di Kota Padang, tetapi karena sejak
6 tahun belakangan ia masuk asrama, pergaulan dan nilai-nilai masyarakat di Kota Padang yang sudah mulai luntur itu tidak terlalu mempengaruhinya. Apalagi
Wahyu memiliki seorang mamak yang masih sering mengingatkannya akan nilai-
Universitas Sumatera Utara
nilai budaya, ditambah dengan pengetahuan yang ia dapatkan di sekolah juga masih mengajarkan dan mendidik siswa-siswanya untuk memahami budaya
Minangkabau. Sama seperti beberapa informan sebelumnya, Wahyu juga memilih
universitas di Pulau Jawa sebagai pilihan pertamanya sedangkan USU adalah pilihan terakhirnya. Persepsinya tentang Medan sebelum berangkat ke sini juga
relatif sama dengan informan sebelumnya. Berdasarkan informasi yang ia dapatkan dari beberapa senior yang ada di Medan, mereka mengatakan Medan itu
keras, pergaulannya bebas, jadi harus pandai-pandai menjaga diri. Tetapi menurut Wahyu, setelah ia menetap di sini ternyata tidak separah yang ia bayangkan.
Walaupun memang watak orang Batak itu keras, tetapi tidak semua masyarakat Medan adalah orang Batak juga ada orang Aceh, Melayu, Jawa dan Minang. Di
lingkungan tempat tinggalnya kebanyakan adalah orang Melayu dan Aceh. “Sabalum pai kamari, danga-danga kecek urang, katonyo kareh,
lah carito-carito lo samo senior-senior yang ado di Medan ko, keceknyo Medan ko kareh, trus ciek lai pergaulannyo terlalu
bebas, jadi elok-elok se di Medan, kecek senior-senior tu. Tapi lah pai ka siko, indak lo bantuak tu bana do, lingkungannyo biaso-
biaso se nyo. Basobok jo urang Batak saketeknyo, kebanyakan urang Aceh, atau urang Melayu, kalau di lingkuangan Wahyu kini
ko yo, kebanyakan urang Melayu atau urang Aceh”. Sebelum datang ke sini, mendengar kata orang, katanya keras,
juga sudah cerita-cerita dengan senior-senior yang ada di Medan, katanya Medan ini keras, trus satu lagi pergaulannya terlalu bebas,
jadi hati-hati saja di Medan, kata senior-senior itu. Tapi setelah pergi ke sini, tidak terlalu seperti itu, lingkungannya biasa-biasa
saja. Bertemu dengan orang Batak juga sedikit, kebanyakan orang Aceh atau orang Melayu, kalau di lingkungan Wahyu yang
sekarang ini ya kebanyakan orang Melayu atau orang Aceh.
Awal-awal ia datang ke Medan, ia memang terkejut melihat watak-watak orang Medan, apalagi orang Batak yang tidak hanya keras tetapi juga tidak mau
Universitas Sumatera Utara
mengalah apalagi di jalanan. Wahyu bahkan pernah ditipu oleh tukang becak yang mengantarnya dari loket ALS ke lokasi rumah kosnya. Sejak saat itu hingga
sekarang Wahyu tidak mau lagi menyewa jasa tukang becak. Beberapa bulan pertama ia tinggal dan bergaul dengan orang-orang di
Medan, Wahyu mengalami kesulitan dengan bahasa. Walaupun di Medan bahasa percakapan sehari-hari yang digunakan adalah bahasa Indonesia, tetapi banyak
istilah lokal yang tidak ia ketahui. Selain itu, perbedaan logat dan susunan kata- kata yang ia gunakan sangat jelas menggambarkan ia berasal dari luar kota
Medan. Adanya perbedaan-perbedaan itu tidak membuat Wahyu enggan untuk berinteraksi dengan orang lain, bahkan ia berusaha untuk mencari tahu dari
kawan-kawannya tentang hal-hal yang tidak ia ketahui. Jika bagi sebagaian besar informan pada awalnya terkejut ketika disapa dengan kata “Kau”, tidak begitu
halnya dengan Wahyu. Baginya ini bukan pertama kalinya ia bergaul dengan orang Medan, ia sudah terbiasa dengan kata itu karena semasa SMA dulu juga ada
teman-temannya yang berasal dari Medan. Sehingga untuk masalah kasar atau tidaknya, Wahyu tidak terlalu mempermasalahkannya. Hanya saja, ia terkadang
merasa tidak nyaman dengan kurangnya rasa sopan santun. Walaupun ia sadar, nilai-nilai budaya di setiap daerah itu berbeda menurut budaya masyarakatnya
masing-masing, tetapi karena ia menilai budayanya lebih halus dan sopan karena itu ia harus membiasakan diri dengan perbedaan-perbedaan tersebut.
“Budaya Minang itu haluih lah, kalau dibandiangan jo Batak, tu lebih sopan. Kan kalau kesopanan tu dalam konteks budaya itu
relatif, misalnyo dek urang Batak tu ngecek kareh-kareh tu sopan mah, tapi kalau dek awak tu lain”.
Budaya Minang itu lebih halus, kalau dibandingan dengan Batak tentu lebih sopan. Kan kalau kesopanan itu dalam konteks budaya
Universitas Sumatera Utara
itu relatif, misalnya kalau orang Batak biacara keras-keras itu sopan saja, tapi kalau kita kan tentunya berbeda.
Menyadari dirinya sebagai pendatang di Medan, Wahyu lebih berhati-hati dalam bersikap. Jika ada hal-hal yang tidak sesuai dengan budayanya, Wahyu
lebih memilih untuk diam saja dan menerima hal itu. Akan tetapi, jika hal itu ia rasa sangat mengganggu dan merasa tidak nyaman dengan situasi dan kondisi
yang ada, barulah ia bertindak. Tetapi, selama hampir dua tahun ia berada di Medan, Wahyu lebih banyak menerima saja. Pengalamannya selama beberapa
tahun tinggal di Medan mengajarkannya untuk lebih memahami watak orang- orang yang berbeda identitas budaya dengannya. Ia menjadi lebih terbuka dan
lebih sering berinteraksi dengan orang lain.
Kasimpulan Kasus
Wahyu yang memiliki latar belakang pendidikan pesantren memegang teguh nilai-nilai budaya dan agama yang diajarkan kepadanya. Nasehat-nasehat
yang disampaikan oleh orang tua dan mamaknya selalu ia ingat dan membimbingnya dalam berinteraksi dengan orang yang berbeda latar belakang
budaya dengannya. Walaupun ia mengakui budaya Minang di Padang sudah tidak terlalu kental lagi, tetapi Wahyu tidak meninggalkan nilai-nilai budaya
Minangkabau dan agama Islam yang diajarkan kepadanya. Lingkungannya yang seperti inilah yang kemudian membentuk identitas Wahyu sebagai orang Minang.
Wahyu sempat mengalami kesulitan ketika berinteraksi dengan masyarakat Medan karena faktor bahasa dan logat yang ada. Ketika bergaul
dengan teman-temannya di kampus, Wahyu tidak menutupi identitasnya sebagai orang Minang, bahkan ia merasa bangga dan senang ketika orang lain merasa
Universitas Sumatera Utara
tertarik dengan budaya Minang. Culture shock yang dialami Wahyu hampir sama dengan yang dialami oleh informan yang lain, begitu juga dari segi makanan dan
lingkungan Medan. Wahyu sangat menyadari statusnya sebagai pendatang, ia belajar untuk memahami dan menerima berbagai perbedaan yang ada.
IV.2 PEMBAHASAN