2. Marginaliti hidup bersama budaya mayoritas tetapi sebagai orang asing
dan tidak diterima. 3.
Separasi memisahkan diri dari budaya ayoritas dan tetap memakai budaya sendiri.
4. Bikulturalisme mengadopsi nilai-nilai mayoritas dan minoritas secara
berbarengan. Daphne A. Jameson dalam jurnalnya Reconceptualizing Cultural Identity
and Its Role in Intercultural Business Communication 2007: 281-285 menyebutkan bahwa identitas budaya memiliki atribut sebagai berikut:
1. Cultural identity is affected by close relationship identitas budaya
dipengaruhi oleh hubungan dekat. 2.
Cultural identity changes over time identitas budaya berubah sesuai dengan waktu.
3. Cultural identity is closely intertwined with power and privilege
idenitas budaya erat kaitannya dengan kekuasaan dan hak istimewa. 4.
Cultural identity may evoke emotions identitas budaya bisa membangkitkan emosi.
5. Cultural identity can be negotiated through communication identitas
budaya bisa dinegosiasikan melalui komunikasi.
I.6.4 Teori Interaksi Simbolik
Perspektif interaksi simbolik sebenarnya berada di bawah payung perspektif yang lebih besar yang sering disebut perspektif fenomenologis atau
Universitas Sumatera Utara
perspektif interpretif. Maurice Natanson menggunakan istilah fenomenologis sebagai suatu istilah generik untuk merujuk kepada semua pandangan ilmu sosial
yang menganggap kesadaran manusia dan makna subjektifnya sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial. Selanjutnya padangan fenomenologis atas
realitas sosial menganggap dunia intersubjektif terbentuk dalam aktivitas kesadaran yang salah satu hasilnya adalah ilmu alam. Interaksionisme simbolik
mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis manusia. Bagi perspektif ini, individu bersifat aktif, reflektif dan kreatif, menafsirkan,
menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Paham ini menolak gagasan bahwa individu adalah organisme pasif yang perilakunya ditentukan oleh
kekuatan-kekuatan atau struktur yang ada di luar dirinya. Oleh karena individu terus berubah maka masyarakat pun berubah melalui interaksi. Jadi interaksilah
yang dianggap variabel penting yang menentukan perilaku manusia, bukan struktur masyarakat. Struktur itu sendiri tercipta dan berubah karena interaksi
manusia, yakni ketika individu-individu berpikir dan bertindak secara stabil terhadap seperangkat objek yang sama Mulyana, 2001: 59-61.
Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Perspektif
interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai
proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi
mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek dan
Universitas Sumatera Utara
bahkan diri mereka sendirilah yang menentukan perilaku mereka. Manusia bertindak hanya berdasarkan definisi atau penafsiran mereka atas objek-objek di
sekeliling mereka. Dalam pandangan interaksi simbolik, sebagaimana ditegaskan Blumer, proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan
menegakkan aturan-aturan, bukan sebaliknya. Dalam konteks ini, makna dikonstruksikan dalam proses interaksi dan proses tersebut bukanlah suatu
medium netral yang memungkinkan kekuatan-kekuatan sosial memainkan perannya melainkan justru merupakan substansi sebenarnya dari organisasi sosial
dan kekuatan sosial Mulyana, 2001: 68-70. Menurut teori interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah
interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Secara ringkas, interkasionisme simbolik didasarkan pada premis-premis berikut: pertama,
individu merespons suatu situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik dan sosial berdasarkan makna yang dikandung komponen-
komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Kedua, makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan
dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Ketiga, makna diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi
yang ditemukan dalam interaksi sosial.
I. 7 Kerangka Konsep