b. Apakah terjadi pembauran identitas budaya?
c. Apa saja yang meliputi perubahanpembauran yang terjadi?
I. 3 Pembatasan Masalah
Untuk menghindari lingkup penelitian yang terlalu luas maka perlu dibuat pembatasan masalah. Adapun pembatasan masalah dari penelitian ini
adalah: 1.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan studi kasus.
2. Subjek penelitian dikhususkan pada mahasiswa dengan etnis Minangkabau
di Universitas Sumatera Utara angkatan 2008-2010. 3.
Subjek penelitian ini dibatasi lagi pada mahasiswa Minangkabau yang berasal dari Sumatera Barat dan belum pernah menetap di daerah lain di
luar Sumatera Barat sebelumnya. Pembatasan ini bermaksud agar penelitian berfokus pada mahasiswa Minangkabau asli yang baru menetap
di daerah lain.
I. 4 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui identitas budaya yang terbentuk pada mahasiswa etnis Minangkabau asal Sumatera Barat baik dalam
Universitas Sumatera Utara
memaknai serta memahami identitas budaya etnis mereka maupun identitas budaya etnis lain.
2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan identitas budaya
yang mungkin terjadi di kalangan mahasiswa etnis Minangkabau Universitas Sumatera Utara.
3. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana peran identitas
budaya dalam menjalin komunikasi antarbudaya yang efektif antara mahasiswa etnis Minangkabau USU dengan orang lain yang memiliki
identitas budaya yang berbeda.
I. 5 Manfaat Penelitian
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi dan
memperkaya khasanah penelitian tentang komunikasi antarbudaya dengan metodologi kualitatif.
2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu memperluas dan
memperkaya penelitian kualitatif dalam bidang ilmu komunikasi. 3.
Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi bahan referensi bersama dalam memahami konteks komunikasi antarbudaya yang terjadi di sekitar kita.
I. 6 Kerangka Teori
Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu, perlu disusun
Universitas Sumatera Utara
kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian akan disoroti Nawawi, 1991: 39-40.
Ketika suatu masalah penelitian telah ditemukan, maka peneliti mencoba membahas masalah tersebut dengan teori-teori yang dipilihnya yang dianggap
mampu menjawab masalah penelitian Bungin, 2008: 31. Teori digunakan peneliti untuk menjustifikasi dan memandu penelitian
mereka. Mereka juga membandingkan hasil penelitian berdasarkan teori itu untuk lebih jauh mengembangkan dan menegaskan teori tersebut Mulyana, 2001: 16.
Dalam penelitian ini, teori-teori yang relevan adalah Komunikasi, Komunikasi Antarbudaya, Identitas Budaya dan teori Interaksi Simbolik.
I.6.1 Komunikasi
Istilah komunikasi berasal dari bahasa Latin yaitu communicatio, yang bersumber dari kata communis yang artinya ”sama” dan communico,
communication, atau communicare yang berarti ”membuat sama” Istilah yang paling sering disebut sebagai asal usul kata komunikasi yang merupakan akar dari
kata-kata Latin Communis. Sedangkan Everet M. Rogers mendefinisikan komunikasi sebagai proses suatu ide dialihkan dari satu sumber kepada satu atau
banyak penerima dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka Effendy, 2003: 30.
Secara umum, komunikasi dinilai efektif bila rangsangan yang disampaikan dan yang dimaksud oleh pengirim atau sumber, berkaitan erat
dengan rangsangan yang ditangkap dan dipahami oleh penerima. Semakin besar
Universitas Sumatera Utara
kaitan antara yang komunikator maksud dengan yang komunikan terima, maka semakin efektif pula komunikasi yang dilakukan.
Menurut L. Tubbs dan Moss Rakhmat, 2005: 13 komunikasi efektif menimbulkan:
- Pengertian
- Kesenangan
- Mempengaruhi sikap
- Hubungan sosial yang baik
- Tindakan
Dengan demikian dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi merupakan proses penyampaian pesan dari komunikator kepada
komunikan dengan atau tanpa perantara dengan tujuan untuk mengubah sikap, pendapat dan perilaku komunikan.
I.6.2 Komunikasi Antarbudaya
Liliweri 2004: 9-15 mengemukakan bahwa komunikasi antarbudaya sendiri dapat dipahami sebagai pernyataan diri antar pribadi yang paling efektif
antara dua orang yang saling berbeda latar belakang budaya. Dalam rangka memahami kajian komunikasi antarbudaya maka kita mengenal beberapa asumsi,
yaitu: 1.
Komunikasi antarbudaya dimulai dengan anggapan dasar bahwa ada perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan.
2. Dalam komunikasi antarbudaya terkandung isi dan relasi antarpribadi.
3. Gaya personal mempengaruhi komunikasi antarpribadi.
Universitas Sumatera Utara
4. Komunikasi antarbudaya bertujuan mengurangi tingkat ketidakpastian.
5. Komunikasi berpusat pada kebudayaan.
6. Efektivitas antarbudaya merupakan tujuan komunikasi antarbudaya.
Mengutip pendapat Habermas, bahwa dalam setiap proses komunikasi apapun bentuknya selalu ada fakta dari semua situasi yang tersembunyi di balik
para partisipan komunikasi. Menurutnya, beberapa kunci iklim komunikasi dapat ditunjukkan oleh karakteristik antara lain; suasana yang menggambarkan derajat
kebebasan, suasana dimana tidak ada lagi tekanan kekuasaan terhadap peserta komunikasi, prinsip keterbukaan bagi semua, suasana yang mampu memberikan
komunikator dan komunikan untuk dapat membedakan antara minat pribadi dan minat kelompok. Dari sini bisa disimpulkan bahwa iklim komunikasi antarbudaya
tergantung pada 3 dimensi, yakni perasaan positif, pengetahuan tentang komunikan dan perilaku komunikator Liliweri, 2004: 48.
Menurut Samovar dan Porter, untuk mengkaji komunikasi antarbudaya perlu dipahami hubungan antara kebudayaan dengan komunikasi. Melalui
pengaruh budayalah manusia belajar komunikasi, dan memandang dunia mereka melalui kategori-kategori, konsep-konsep, dan label-label yang dihasilkan
kebudayaan. Kemiripan budaya dalam persepsi memungkinkan pemberian makna yang mirip pula terhadap suatu objek sosial atau peristiwa. Cara-cara manusia
berkomunikasi, keadaan berkomunikasi, bahkan bahasa dan gaya bahasa yang digunakan, perilaku-perilaku non-verbal merupakan respons terhadap dan fungsi
budaya Liliweri, 2001: 160.
Universitas Sumatera Utara
Dalam komunikasi antarbudaya, juga penting mencapai apa yang komunikator dan komunikan harapkan yaitu komunikasi efektif. Komunikasi
yang efektif tergantung pada tingkat kesamaan makna yang didapat partisipan yang saling bertukar pesan. Fisher berpendapat, untuk mengatakan bahwa makna
dalam komunikasi tidak pernah secara total sama untuk semua komunikator, adalah dengan tidak mengatakan bahwa komunikasi adalah sesuatu yang tak
mungkin atau bahkan sulit tapi karena komunikasi tidak sempurna Gudykunst dan Kim, 2003: 269-270.
Jadi untuk mengatakan bahwa dua orang berkomunikasi secara efektif maka keduanya harus meraih makna yang relatif sama dari pesan yang dikirim
dan diterima mereka menginterpretasikan pesan secara sama. Sedangkan komunikasi yang tidak efektif dapat terjadi karena berbagai alasan ketika kita
berkomunikasi dengan orang lain. Kita mungkin tidak mengirim pesan kita dengan cara yang dapat dipahami oleh orang lain atau orang lain mungkin salah
menginterpretasikan apa yang kita katakan atau keduanya dapat terjadi secara bersamaan. Masalahnya dapat terjadi karena pengucapan, tata bahasa, kesamaan
dengan topik yang sedang didiskusikan atau kesamaan dengan bahasa asli orang lain tersebut, bahkan faktor sosial. Misalnya kita mengerti mereka karena mereka
menggunakan bahasa kita tapi kita sendiri tidak mengerti bahasa mereka. Bahkan ketika berkomunikasi dengan orang lain dan mendasarkan interpretasi kita pada
sistem kita maka komunikasi yang tidak efektiflah yang terjadi. Kesimpulannya, komunikasi yang efektif dalam berkomunikasi dengan orang lain kita harus penuh
perhatian dan sadar. Sebagai komunikator yang kompeten, berkomunikasi secara
Universitas Sumatera Utara
efektif dan tepat merupakan aspek penting untuk diamati. Kita bisa berkomunikasi secara efektif walaupun kita tidak dilihat sebagai komunikator yang kompeten
Gudykunst dan Kim, 2003:270-271. Dalam komunikasi antarbudaya tentunya perbedaan budaya menjadi tantangan untuk mencapai komunikasi yang efektif
dan untuk itu penting bagi partisipan mengetahui identifikasi bersama homofili.
I.6.3 Identitas Budaya
Pembahasan tentang identitas budaya seringkali dikacaukan dengan istilah identitas sosial. Identitas soial terbentuk dari struktur sosial yang terbentuk dalam
sebuah masyarakat. Sedangkan identitas budaya terbentuk melalui struktur kebudayaan suatu masyarakat. Struktur budaya adalah pola-pola persepsi, berpikir
dan perasaan, sedangkan struktur sosial adalah pola-pola perilaku sosial.
Dalam praktik komunikasi, identitas tidak hanya memberikan makna tentang pribadi seseorang, tetapi lebih dari itu, menjadi ciri khas sebuah
kebudayaan yang melatarbelakanginya. Ketika manusia itu hidup dalam masyarakat yang multibudaya, maka di sanalah identitas budaya itu diperlukan.
Identitas budaya merupakan ciri yang ditunjukkan seseorang karena orang itu merupakan anggota dari sebuah kelompok etnik tertentu. Itu meliputi
Struktur Budaya Pola persepsi,
Berpikir, perasaan
Identitas Budaya
Struktur Sosial Pola-pola
perilaku sosial Identitas Sosial
Universitas Sumatera Utara
pembelajaran tentang dan penerimaan tradisi, sifat bawaan, bahasa, agama, keturunan dari suatu kebudayaan Liliweri, 2004: 87.
Sedangkan menurut Larry A. Samovar, Richard E. Porter dan Edwin R. McDaniel, identitas budaya merupakan adalah karakter khusus dari sistem
komunikasi kelompok yang muncul dalam situasi tertentu. Diverse groups can create a cultural system of symbols used,
meanings assigned to the symbols, and ideas of what is considered appropriate and inappropriate. When the groups also have a history
and begin to hand down the symbols and norms to new members, then the groups take on a cultural identity. Cultural identity is the
particular character of the group communication system that emerges in the particular situation Samovar, 2006: 56.
Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami ketika suatu kelompok masyarakat telah mewariskan simbol-simbol dan norma-norma secara turun
temurun, maka berarti kelompok tersebut telah memiliki identitas budaya. Identitas budaya sangat berpengaruh terhadap kemampuan berkomunikasi
antarbudaya. Kemampuan orang berdasarkan kategorisasi, strata sosial, pola kepercayaan, pola pikir dan pola perasaan berdasarkan kebudayaan tertentu akan
berbeda satu sama lain. Menurut Phinney yang dikutip dari smartpsikologi.blogspot.com, ada
empat hal yang mungkin dilakukan remaja etnis minoritas dalam upaya hidup bersama kelompok mayoritas:
1. Asimilasi mencoba mengadopsi norma-norma budaya mayoritas dan
standar mereka, namun sementara itu tetap menganggap mayoritas bukan sebagai kelompoknya.
Universitas Sumatera Utara
2. Marginaliti hidup bersama budaya mayoritas tetapi sebagai orang asing
dan tidak diterima. 3.
Separasi memisahkan diri dari budaya ayoritas dan tetap memakai budaya sendiri.
4. Bikulturalisme mengadopsi nilai-nilai mayoritas dan minoritas secara
berbarengan. Daphne A. Jameson dalam jurnalnya Reconceptualizing Cultural Identity
and Its Role in Intercultural Business Communication 2007: 281-285 menyebutkan bahwa identitas budaya memiliki atribut sebagai berikut:
1. Cultural identity is affected by close relationship identitas budaya
dipengaruhi oleh hubungan dekat. 2.
Cultural identity changes over time identitas budaya berubah sesuai dengan waktu.
3. Cultural identity is closely intertwined with power and privilege
idenitas budaya erat kaitannya dengan kekuasaan dan hak istimewa. 4.
Cultural identity may evoke emotions identitas budaya bisa membangkitkan emosi.
5. Cultural identity can be negotiated through communication identitas
budaya bisa dinegosiasikan melalui komunikasi.
I.6.4 Teori Interaksi Simbolik
Perspektif interaksi simbolik sebenarnya berada di bawah payung perspektif yang lebih besar yang sering disebut perspektif fenomenologis atau
Universitas Sumatera Utara
perspektif interpretif. Maurice Natanson menggunakan istilah fenomenologis sebagai suatu istilah generik untuk merujuk kepada semua pandangan ilmu sosial
yang menganggap kesadaran manusia dan makna subjektifnya sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial. Selanjutnya padangan fenomenologis atas
realitas sosial menganggap dunia intersubjektif terbentuk dalam aktivitas kesadaran yang salah satu hasilnya adalah ilmu alam. Interaksionisme simbolik
mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis manusia. Bagi perspektif ini, individu bersifat aktif, reflektif dan kreatif, menafsirkan,
menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Paham ini menolak gagasan bahwa individu adalah organisme pasif yang perilakunya ditentukan oleh
kekuatan-kekuatan atau struktur yang ada di luar dirinya. Oleh karena individu terus berubah maka masyarakat pun berubah melalui interaksi. Jadi interaksilah
yang dianggap variabel penting yang menentukan perilaku manusia, bukan struktur masyarakat. Struktur itu sendiri tercipta dan berubah karena interaksi
manusia, yakni ketika individu-individu berpikir dan bertindak secara stabil terhadap seperangkat objek yang sama Mulyana, 2001: 59-61.
Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Perspektif
interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai
proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi
mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek dan
Universitas Sumatera Utara
bahkan diri mereka sendirilah yang menentukan perilaku mereka. Manusia bertindak hanya berdasarkan definisi atau penafsiran mereka atas objek-objek di
sekeliling mereka. Dalam pandangan interaksi simbolik, sebagaimana ditegaskan Blumer, proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan
menegakkan aturan-aturan, bukan sebaliknya. Dalam konteks ini, makna dikonstruksikan dalam proses interaksi dan proses tersebut bukanlah suatu
medium netral yang memungkinkan kekuatan-kekuatan sosial memainkan perannya melainkan justru merupakan substansi sebenarnya dari organisasi sosial
dan kekuatan sosial Mulyana, 2001: 68-70. Menurut teori interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah
interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Secara ringkas, interkasionisme simbolik didasarkan pada premis-premis berikut: pertama,
individu merespons suatu situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik dan sosial berdasarkan makna yang dikandung komponen-
komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Kedua, makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan
dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Ketiga, makna diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi
yang ditemukan dalam interaksi sosial.
I. 7 Kerangka Konsep
Dari beberapa teori yang telah diuraikan pada kerangka teori maka langkah selanjutnya merumuskan kerangka konsep sebagai hasil dari suatu
Universitas Sumatera Utara
pemikiran rasional yang bersifat kritis dalam memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang akan dicapai Nawawi, 1991: 40. Konsep adalah penggambaran
fenomena yang hendak diteliti, yakni istilah dari definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang
menjadi pusat perhatian ilmu sosial Singarimbun, 1995: 33. Maka komponen penelitian yang akan diteliti adalah:
1. Identitas Budaya
2. Komunikasi Antarbudaya
I. 8 Operasionalisasi Konsep