dianjurkan pada budidaya berbasis biofloc namun VSS dijadikan sebagai parameter utama dan penting bagi keberadaan biofloc pada sistem budidaya dengan teknologi
biofloc De Schryver et al. 2008. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata
VSS pada air kolam yang ditumbuhkan bakteri B dan C berturut-turut adalah 7,74
dan 17,22 mgL, lebih tinggi daripada VSS pada air kolam yang tidak ditumbuhkan bakteri A yaitu 3,34 mgL. Pada budidaya channel catfish Ictalurus punctatus
dengan tanpa intensifikasi bakteri diperoleh TSS dan VSS masing-masing 30,6 dan 8,6 mgL Schwartz Boyd 1994 diacu dalam Frimpong et al. 2004. Selanjutnya
dikatakan bahwa padatan tersuspensi di kolam berasosiasi dengan biomassa fitoplankton dan detritus turunan fitoplankton.
4.5 Kinerja Udang Galah
Kinerja udang galah yang meliputi laju pertumbuhan harian dan kelangsungan hidup pada perlakuan B dan C disajikan pada Tabel 7. Udang galah pada kepadatan
20 ekorm
2
B memberikan laju pertumbuhan dan kelangsungan hidup yang secara nyata P0,05 lebih baik daripada kepadatan 40 ekorm
2
C. Perlakuan B memiliki kelimpahan bakteri heterotrof pada air kolam lebih rendah dari perlakuan C namun
sebaliknya, pada usus kelimpahan bakteri perlakuan B lebih tinggi daripada perlakuan A Gambar 5. Tingginya kelimpahan bakteri heterotrof di kolom air pada perlakuan
C diduga disebabkan oleh konsumsi biomassa bakteri heterotrof yang rendah oleh udang galah.
Tabel 7 Laju pertumbuhan harian α dan kelangsungan hidup SR udang galah
pada setiap perlakuan selama penelitian Perlakuan
Udang galah α
SR A 150:0
- -
B 150:300 2,98±0,24
a
88,33±0,58
a
C 150:600 2,10±0,21
b
77,22±5,18
b
Huruf superscrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata P0,05
Faktor yang paling jelas mempengaruhi kinerja udang galah pada sistem keramba dalam kolam dengan kepadatan udang galah 40 ekorm
2
adalah konsentrasi oksigen terlarut. Berdasarkan pengamatan harian pada perlakuan ini sering terjadi
kekurangan oksigen yang ditunjukkan dengan prilaku udang galah yang mengapung di bagian permukaan kolom air atau menempel pada dinding bak bagian atas.
Kepadatan udang galah pada perlakuan C dua kali lipat lebih besar daripada perlakuan B sehingga konsumsi oksigen menjadi lebih besar. Gambar 10
memperlihatkan keterlambatan pertumbuhan udang pada perlakuan C yang seiring dengan konsentrasi oksigen terlarut yang rendah. Kondisi ini menyebabkan ikan
berhenti makan, dan jika terjadi setiap saat maka pertumbuhan udang akan terhambat. Pemeliharaan udang galah di luar perlakuan dengan pemberian pakan yang
mengandung protein kasar 28 pada kepadatan 20 ekorm
2
dihasilkan laju pertumbuhan harian 3,00, kelangsungan hidup 90,91 dan rasio konversi pakan
1,4. Sedangkan pada kepadatan 40 ekorm
2
diperoleh laju pertumbuhan harian 2,58, kelangsungan hidup 90,91 dan rasio konversi pakan 1,9. Perlakuan tanpa
pemberian pakan dan hanya mengintensifkan bakteri heterotrof melalui pemanfaatan limbah nitrogen lele dan penambahan karbon serta pemberian aerasi sebagai suplai
oksigen ternyata menghasilkan kinerja pertumbuhan dan kelangsungan hidup yang hampir sama dengan pemeliharaan udang yang diberi pakan yang mengandung
protein 28 pada tingkat kepadatan yang sama. Menurut Surawidjaya 2006 umumnya mikroflora dapat dimanfaatkan oleh organisme ber-trophic level rendah
seperti detrivora, herbivora dan omnivora. Sedangkan Teshima et al. 2006 menyatakan bahwa udang galah membutuhkan protein pakan sedikitnya 35 untuk
pertumbuhannya. Gambar 11 a memperlihatkan udang galah pada perlakuan B dengan kondisi usus yang terisi penuh dan berwarna gelap, dan Gambar 11 b udang
galah hasil panen pada akhir penelitian.
Gambar 10 Hubungan penambahan aerasi dengan oksigen terlarut kritis dan peningkatan bobot udang galah pada setiap perlakuan selama
penelitian
50 lmnt 36 lmnt
18 lmnt
a b
Gambar 11 Udang galah pada perlakuan B dengan kondisi usus yang penuh a dan hasil pemeliharaan selama 42 hari b
4.6 Efisiensi Nitrogen