Sumarhani 2005. Jenis tanah tidak terlalu berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil
produksi padi gogo. Sifat kimia dan sifat fisika
sangat berpengaruh
terhadap pertumbuhan padi gogo, dimana pH tanah
yang dikehendaki adalah 5,5-6,5. Faktor iklim terutama curah hujan juga merupakan
salah satu
faktor yang
menentukan keberhasilan pertumbuhan atau budidaya
padi gogo dibandingkan dengan faktor tanah. Hal ini didasarkan akan kebutuhan air
pada padi gogo sepenuhnya berasal dari curah hujan yang turun.
Kondisi agroekologi yang ideal untuk padi gogo adalah topografi datar sedikit
bergelombang, solum tanah dalam lebih dari 40 cm, tekstur halus-medium, kandungan
bahan organik
tanah tinggi-medium,
drainase baik-sedang, kandungan hara tanah tinggi-sedang, dan curah hujan selama empat
bulan tanam merata dengan total 400-600 mm Basyir et al. 1995 dalam Sumarno dan
Hidayat 2007. Adapun menurut Oldeman 1980, curah hujan yang cukup untuk
tanaman padi gogo sebesar 200 mmbulan atau lebih selam 3 bulan secara berurutan.
Distribusi curah hujan dalam satu dekade sangat penting disebabkan jika curah hujan
mencapai 200 mmbulan dalam satu bulan tetapi dalam satu dekade tidak terdapat
hujan, maka pertumbuhan padi gogo akan mengalami kekurangan air. Secara umum,
jumlah curah hujan yang baik untuk pertanaman padi gogo sekitar 50 mmdekade
selama 12-16 dekade secara berurutan.
Pada daerah-daerah yang mempunyai tipe iklim C dan D atau wilayah yang curah
hujannya mempunyai bulan basah hanya berlangsung 3 - 4 bulan pertahun dan
keterlambatan melakukan penanaman akan mengakibatkan
padi gogo
mengalami gangguan kekeringan terutama pada fase
generatif. Lingkungan yang sangat cocok untuk pertanaman padi gogo yaitu wilayah
dengan curah hujan 1.500 hingga 3.500 mm per tahun Basyir et al. 1995 dalam
Sumarhani 2005.
2.2 Lahan kering
Penggunaan istilah “lahan kering” di
Indonesia belum tersepakati dengan benar. Beberapa istilah yang digunakan diantaranya
upland, dryland, atau unirrigated land Notohadiprawiro 2006. Lahan kering
identik dengan pertanian lahan kering yang merupakan usaha penanaman pada sebidang
tanah dengan memanfaatkan air secukupnya yang bersumber pada curah hujan.
Secara umum, lahan kering dapat didefinisikan sebagai lahan yang dalam
keadaan alamiah, bagian atas dan bawah tubuh
tanah sepanjang
tahun tidak
mengalami jenuh air atau tidak tergenang dan hampir sepanjang tahun berada di bawah
kapasitas lapang Satari et al. 1991 dalam Sabaruddin 2003. Kondisi fisik lahan
kering umumnya berupa lahan tadah hujan berciri khas agroekologi lahan yang amat
beragam karena ketersediaan air dan kesuburan, tingkat adopsi teknologi yang
masih rendah dan ketersediaan modal sangat terbatas serta peka terhadap erosi. Adapun
Menurut Solahudin 1996, pertanian lahan kering didefinisikan sebagai pertanian yang
dilaksanakan di atas lahan tanpa penggunaan irigasi dan kebutuhan air secara keseluruhan
tergantung pada curah hujan.
Sumber air untuk pertanian pada lahan kering umumnya berasal dari curah hujan
serta sebaran dan tinggi hujan sangat menentukan periode pola tanam dalam
setahun. Karakteristik curah hujan di lahan kering bersifat eratik yaitu deras, singkat dan
sulit diduga. Munculnya sumber air di musim kering dipengaruhi oleh faktor
lingkungan, seperti jenis tanah, iklim dan pengelolaan
lahan oleh
manusia. Pengelolaan lahan oleh manusia merupakan
salah satu model pola tanam. Musim tanam di lahan kering pada umumnya diawali
setelah hujan sepuluh hari pertama mencapai lebih dari 50 mm. Petani secara serempak
menanam
baik monokultur
maupun tumpangsari. Persiapan lahan dilakukan
pada musim kemarau, sehingga secara berurutan jadwal kegiatan dalam setahun
tidak terdapat kekosongan Sabaruddin 2003.
2.3 Evapotranspirasi
Evapotranspirasi adalah jumlah total air yang hilang dari lapangan karena evaporasi
tanah dan transpirasi tanaman secara bersama-sama Gardner et al. 1991.
Evapotranspirasi dapat juga dijelaskan sebagai peristiwa kehilangan air dari tanah
akibat evaporasi dan kehilangan air dari
tajuk tanaman akibat transpirasi Rafi’i 1995.
Kehilangan air
ke atmosfer
ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan dan faktor dalam tanaman. Faktor lingkungan
antara lain: radiasi matahari, tempertatur, kelembaban relatif, serta angin. Penutupan
stomata, jumlah dan ukuran stomata, jumlah daun, serta penggulungan atau pelipatan
daun merupakan beberapa faktor yang
mempengaruhi evapotranspirasi dari dalam tanaman.
Adapun kuantitas
atau banyaknya
evapotranspirasi didasarkan atas curah hujan bulanan, pembakuan bulan, dan lama
penyinaran Rafi’i 1995. Suhu mempunyai pengaruh
yang nyata
terhadap laju
evapotranspirasi. Secara umum, semakin tinggi suhu baik suhu udara maupun suhu
permukaan, maka laju penguapan akan meningkat
Usman 2004.
Laju evapotranspirasi yang tinggi menyebabkan
kandungan air tanah di lapisan perakaran berkurang dengan cepat dan tanaman
menjadi sulit untuk menyerap air dari tanah. Tanaman mengurangi laju evapotranspirasi
untuk
menghindari dehidrasi
sehingga terjadi evapotranspirasi yang betul-betul
terjadi evapotranspirasi
aktual yang
nilainya lebih kecil dari evapotranpirasi. Nisbah evapotranspirasi aktual dan
evapotranspirasi potensial tergantung pada defisit air tanah, yang didefinisikan sebagai
selisih antara kandungan air tanah pada keadaan evapotranspirasi aktual dengan
kandungan air tanah pada kapasitas lapang Arsyad 2010. Salah satu metode untuk
menentukan nilai evapotranspirasi adalah metode Thornthwaite. Secara umum, meode
ini menggunakan data resolusi bulanan dan menggunakan
parameter suhu
udara Handoko dan Irsal Las 1995.
2.4 Neraca Air Lahan
Neraca air merupakan perhitungan antara masukan dan keluaran air pada suatu sistem
Baharsjah et al. 1996. Pada bidang pertanian, komponen neraca air secara
umum terdiri dari curah hujan dan irigasi sebagai masukan serta intersepsi tajuk,
evapotranspirasi, limpasan, dan drainase sebagai keluaran. Hillel 1972 menyatakan
bahwa pengelolaan lahan kering melalui analisis neraca air lahan merupakan sesuatu
yang penting karena neraca air merupakan perincian tentang semua masukan,keluaran,
dan perubahan simpanan air yang terdapat pada suatu lahan. Analisis ini berguna untuk
menetapkan jumlah air yang terkandung di dalam
tanah yang
menggambarkan perolehan air surplus atau defisit dari
waktu ke waktu. Perhitungan
neraca air
lahan membutuhkan data dan informasi fisika
tanah terutama nilai kandungan air pada tingkat kapasitas lapang KL dan pada titik
layu permanen TLP. Prioritas penggunaan air hujan adalah untuk memenuhi kebutuhan
evapotranspirasi dan kehilangan air yang lain akan mengisi cadangan air tanah. Bila
simpanan air tanah telah mencapai batas maksimum, maka kelebihan air dihitung
sebagai surplus. Batas maksimum simpanan air tanah didefinisikan sebagai jumlah air
yang dapat ditahan oleh tanah dengan potensial sebesar 13 atm dikenal sebagai
kapasitas lapang. Titik layu permanen dapat didefinisikan
sebagai batas
minimum tanaman menyimpan air pada tekanan
potensial 15 atm yang pada saat itu tanaman tidak mampu melakukan aktivitasnya dan
mengalami kekeringan fisiologis jika tidak diberi tambahan air Purbawa dan Wirjaya
2009.
Analisis neraca air merupakan suatu alat yang dapat digunakan untuk menduga
dinamika kadar
air tanah
selama pertumbuhan tanaman, khususnya pada
periode-periode kritis dimana kadar air tanah sangat rendah Handoko dan Irsal Las 1995.
Adapun kebutuhan air tanaman pada lahan kering sama dengan kebutuhan air konsumtif
itu sendiri, yaitu parameter yang menyatakan jumlah air yang secara potensial diperlukan
untuk memenuhi pemakaian air konsumtif evapotranspirasi suatu areal tanaman agar
dapat tumbuh secara normal Arsyad 2010.
2.5 Fenomena El-Nino dan La-Nina