TINJAUAN PUSTAKA HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peningkatan jumlah penduduk berbanding lurus dengan peningkatan konsumsi atau kebutuhan akan bahan pangan. Aktifitas pembangunan yang juga mengalami peningkatan menyebabkan perubahan fungsi lahan pertanian menjadi daerah pemukiman maupun industri lahan non pertanian. Pemanfaatan lahan kering sebagai lahan pertanian merupakan suatu alternatif untuk menghasilkan komoditas pangan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, serta menyongkong kebutuhan pangan manusia yang terus meningkat. Pertanian lahan kering adalah sistem usaha tani yang dilakukan di atas lahan tanpa menggunakan irigasi Solahuddin dan Ladamay 1997. Beberapa istilah yang dipergunakan untuk pertanian lahan kering adalah pertanian tanah darat, tegaan, ladang, dan huma. Jumlah air yang tersedia ketersediaan air pada lahan kering ditentukan oleh faktor curah hujan dan kemampuan tanah dalam menahan air Sabaruddin 2003. Padi gogo merupakan salah satu jenis padi yang dapat digunakan sebagai komoditas pertaian lahan kering. Rata-rata produksi padi gogo sebesar 2,56 tonha jauh di bawah rata-rata produksi padi sawah sebesar 4,78 tonha BPS 2005. Peluang untuk meningkatkan hasil produksi tanaman padi gogo dapat ditekankan terhadap perlakuan para petani dalam memaksimalkan produksi per unit air. Pengamatan dan informasi data iklim khusunya data curah hujan merupakan faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan penanaman dan produksi yang maksimal. Informasi iklim dapat digunakan dalam menentukan waktu tanam dalam suatu sistem kalender tanam, yang menggambarkan informasi atau potensi waktu tanam yang tepat untuk komoditas padi gogo. Kalender tanam bertujuan untuk memperkecil kerugian maupun gagal panen akibat pengaruh variabilitas iklim, seperti kejadian El-Nino dan La-Nina atau lebih dikenal dengan nama ENSO El Nino Southerm Oscilation yang terjadi di wilayah Samudra Pasifik. Fenomena ENSO akan mempengaruhi curah hujan yang terjadi di wilayah Indonesia, baik mengurangi jumlah intensitas hujan kekeringan maupun penambahan intensitas hujan banjir. Adapun daerah yang terpengaruh oleh ENSO antara lain SumSel, Seluruh Pulau Jawa, KalBar, KalTeng, KalSel, KalTim, Sulawesi, Maluku, Bali, Nusa Tenggara, dan Irian Jaya Irkhos 2006. Sulawesi Tenggara merupakan salah satu provinsi yang mengembangkan komoditas padi gogo dan merupakan salah satu wilayah yang dipengaruhi oleh ENSO. Secara umum, daerah Sulawesi Tenggara tergolong beriklim kering dengan limpahan radiasi cukup tinggi pada musim hujan maupun musim kemarau. Adapun secara geografis, Sulawesi Tenggara terletak di daerah khatulistiwa dengan kondisi curah hujan yang cukup rendah. Pengaruh kondisi setempat berupa pegunungan, bentang perairan, serta lautan merupakan faktor lokal yang mempengaruhi rendahnya curah hujan di Sulawesi Tenggara. Kabupaten yang memiliki potensi dalam pengembangan padi gogo adalah Konawe Selatan. Hal ini didasarkan oleh potensi lahan yang dimiliki sangat mendukung pertumbuhan padi gogo dibandingkan daerah lainnya. Fluktuasi curah hujan yang dipengaruhi oleh ENSO, baik El-Nino maupun La-Nina akan memberikan pengaruh terhadap kualitas maupun kuantitas produksi padi gogo. Menurut BNPB 2010, Konawe Selatan tergolong wilayah yang memiliki resiko banjir cukup tinggi berdasarkan indeks bencana banjir di Indonesia. Oleh karena itu, penentuan kalender tanam dapat membantu meningkatkan produksi padi gogo mencapai maksimal serta mengurangi resiko gagal panen baik pada saat berlangsung El-Nino maupun La-Nina.

1.2 Tujuan

Tujuan penelitian adalah menganalisis neraca air lahan kering dan menyusun kalender tanam untuk komoditas padi gogo di wilayah Kabupaten Konawe Selatan, Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1Padi gogo Padi gogo adalah padi yang ditanam pada lahan kering, dimana sepanjang hidupnya tidak digenangi air dan sumber kebutuhan airnya berasal dari kelembaban tanah yang berasal dari curah hujan Sumarno dan Hidayat 2007. Secara umum, syarat utama bertanam padi gogo adalah tanah dan iklim

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peningkatan jumlah penduduk berbanding lurus dengan peningkatan konsumsi atau kebutuhan akan bahan pangan. Aktifitas pembangunan yang juga mengalami peningkatan menyebabkan perubahan fungsi lahan pertanian menjadi daerah pemukiman maupun industri lahan non pertanian. Pemanfaatan lahan kering sebagai lahan pertanian merupakan suatu alternatif untuk menghasilkan komoditas pangan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, serta menyongkong kebutuhan pangan manusia yang terus meningkat. Pertanian lahan kering adalah sistem usaha tani yang dilakukan di atas lahan tanpa menggunakan irigasi Solahuddin dan Ladamay 1997. Beberapa istilah yang dipergunakan untuk pertanian lahan kering adalah pertanian tanah darat, tegaan, ladang, dan huma. Jumlah air yang tersedia ketersediaan air pada lahan kering ditentukan oleh faktor curah hujan dan kemampuan tanah dalam menahan air Sabaruddin 2003. Padi gogo merupakan salah satu jenis padi yang dapat digunakan sebagai komoditas pertaian lahan kering. Rata-rata produksi padi gogo sebesar 2,56 tonha jauh di bawah rata-rata produksi padi sawah sebesar 4,78 tonha BPS 2005. Peluang untuk meningkatkan hasil produksi tanaman padi gogo dapat ditekankan terhadap perlakuan para petani dalam memaksimalkan produksi per unit air. Pengamatan dan informasi data iklim khusunya data curah hujan merupakan faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan penanaman dan produksi yang maksimal. Informasi iklim dapat digunakan dalam menentukan waktu tanam dalam suatu sistem kalender tanam, yang menggambarkan informasi atau potensi waktu tanam yang tepat untuk komoditas padi gogo. Kalender tanam bertujuan untuk memperkecil kerugian maupun gagal panen akibat pengaruh variabilitas iklim, seperti kejadian El-Nino dan La-Nina atau lebih dikenal dengan nama ENSO El Nino Southerm Oscilation yang terjadi di wilayah Samudra Pasifik. Fenomena ENSO akan mempengaruhi curah hujan yang terjadi di wilayah Indonesia, baik mengurangi jumlah intensitas hujan kekeringan maupun penambahan intensitas hujan banjir. Adapun daerah yang terpengaruh oleh ENSO antara lain SumSel, Seluruh Pulau Jawa, KalBar, KalTeng, KalSel, KalTim, Sulawesi, Maluku, Bali, Nusa Tenggara, dan Irian Jaya Irkhos 2006. Sulawesi Tenggara merupakan salah satu provinsi yang mengembangkan komoditas padi gogo dan merupakan salah satu wilayah yang dipengaruhi oleh ENSO. Secara umum, daerah Sulawesi Tenggara tergolong beriklim kering dengan limpahan radiasi cukup tinggi pada musim hujan maupun musim kemarau. Adapun secara geografis, Sulawesi Tenggara terletak di daerah khatulistiwa dengan kondisi curah hujan yang cukup rendah. Pengaruh kondisi setempat berupa pegunungan, bentang perairan, serta lautan merupakan faktor lokal yang mempengaruhi rendahnya curah hujan di Sulawesi Tenggara. Kabupaten yang memiliki potensi dalam pengembangan padi gogo adalah Konawe Selatan. Hal ini didasarkan oleh potensi lahan yang dimiliki sangat mendukung pertumbuhan padi gogo dibandingkan daerah lainnya. Fluktuasi curah hujan yang dipengaruhi oleh ENSO, baik El-Nino maupun La-Nina akan memberikan pengaruh terhadap kualitas maupun kuantitas produksi padi gogo. Menurut BNPB 2010, Konawe Selatan tergolong wilayah yang memiliki resiko banjir cukup tinggi berdasarkan indeks bencana banjir di Indonesia. Oleh karena itu, penentuan kalender tanam dapat membantu meningkatkan produksi padi gogo mencapai maksimal serta mengurangi resiko gagal panen baik pada saat berlangsung El-Nino maupun La-Nina.

1.2 Tujuan

Tujuan penelitian adalah menganalisis neraca air lahan kering dan menyusun kalender tanam untuk komoditas padi gogo di wilayah Kabupaten Konawe Selatan, Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1Padi gogo Padi gogo adalah padi yang ditanam pada lahan kering, dimana sepanjang hidupnya tidak digenangi air dan sumber kebutuhan airnya berasal dari kelembaban tanah yang berasal dari curah hujan Sumarno dan Hidayat 2007. Secara umum, syarat utama bertanam padi gogo adalah tanah dan iklim Sumarhani 2005. Jenis tanah tidak terlalu berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil produksi padi gogo. Sifat kimia dan sifat fisika sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan padi gogo, dimana pH tanah yang dikehendaki adalah 5,5-6,5. Faktor iklim terutama curah hujan juga merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pertumbuhan atau budidaya padi gogo dibandingkan dengan faktor tanah. Hal ini didasarkan akan kebutuhan air pada padi gogo sepenuhnya berasal dari curah hujan yang turun. Kondisi agroekologi yang ideal untuk padi gogo adalah topografi datar sedikit bergelombang, solum tanah dalam lebih dari 40 cm, tekstur halus-medium, kandungan bahan organik tanah tinggi-medium, drainase baik-sedang, kandungan hara tanah tinggi-sedang, dan curah hujan selama empat bulan tanam merata dengan total 400-600 mm Basyir et al. 1995 dalam Sumarno dan Hidayat 2007. Adapun menurut Oldeman 1980, curah hujan yang cukup untuk tanaman padi gogo sebesar 200 mmbulan atau lebih selam 3 bulan secara berurutan. Distribusi curah hujan dalam satu dekade sangat penting disebabkan jika curah hujan mencapai 200 mmbulan dalam satu bulan tetapi dalam satu dekade tidak terdapat hujan, maka pertumbuhan padi gogo akan mengalami kekurangan air. Secara umum, jumlah curah hujan yang baik untuk pertanaman padi gogo sekitar 50 mmdekade selama 12-16 dekade secara berurutan. Pada daerah-daerah yang mempunyai tipe iklim C dan D atau wilayah yang curah hujannya mempunyai bulan basah hanya berlangsung 3 - 4 bulan pertahun dan keterlambatan melakukan penanaman akan mengakibatkan padi gogo mengalami gangguan kekeringan terutama pada fase generatif. Lingkungan yang sangat cocok untuk pertanaman padi gogo yaitu wilayah dengan curah hujan 1.500 hingga 3.500 mm per tahun Basyir et al. 1995 dalam Sumarhani 2005.

2.2 Lahan kering

Penggunaan istilah “lahan kering” di Indonesia belum tersepakati dengan benar. Beberapa istilah yang digunakan diantaranya upland, dryland, atau unirrigated land Notohadiprawiro 2006. Lahan kering identik dengan pertanian lahan kering yang merupakan usaha penanaman pada sebidang tanah dengan memanfaatkan air secukupnya yang bersumber pada curah hujan. Secara umum, lahan kering dapat didefinisikan sebagai lahan yang dalam keadaan alamiah, bagian atas dan bawah tubuh tanah sepanjang tahun tidak mengalami jenuh air atau tidak tergenang dan hampir sepanjang tahun berada di bawah kapasitas lapang Satari et al. 1991 dalam Sabaruddin 2003. Kondisi fisik lahan kering umumnya berupa lahan tadah hujan berciri khas agroekologi lahan yang amat beragam karena ketersediaan air dan kesuburan, tingkat adopsi teknologi yang masih rendah dan ketersediaan modal sangat terbatas serta peka terhadap erosi. Adapun Menurut Solahudin 1996, pertanian lahan kering didefinisikan sebagai pertanian yang dilaksanakan di atas lahan tanpa penggunaan irigasi dan kebutuhan air secara keseluruhan tergantung pada curah hujan. Sumber air untuk pertanian pada lahan kering umumnya berasal dari curah hujan serta sebaran dan tinggi hujan sangat menentukan periode pola tanam dalam setahun. Karakteristik curah hujan di lahan kering bersifat eratik yaitu deras, singkat dan sulit diduga. Munculnya sumber air di musim kering dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti jenis tanah, iklim dan pengelolaan lahan oleh manusia. Pengelolaan lahan oleh manusia merupakan salah satu model pola tanam. Musim tanam di lahan kering pada umumnya diawali setelah hujan sepuluh hari pertama mencapai lebih dari 50 mm. Petani secara serempak menanam baik monokultur maupun tumpangsari. Persiapan lahan dilakukan pada musim kemarau, sehingga secara berurutan jadwal kegiatan dalam setahun tidak terdapat kekosongan Sabaruddin 2003.

2.3 Evapotranspirasi

Evapotranspirasi adalah jumlah total air yang hilang dari lapangan karena evaporasi tanah dan transpirasi tanaman secara bersama-sama Gardner et al. 1991. Evapotranspirasi dapat juga dijelaskan sebagai peristiwa kehilangan air dari tanah akibat evaporasi dan kehilangan air dari tajuk tanaman akibat transpirasi Rafi’i 1995. Kehilangan air ke atmosfer ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan dan faktor dalam tanaman. Faktor lingkungan antara lain: radiasi matahari, tempertatur, kelembaban relatif, serta angin. Penutupan stomata, jumlah dan ukuran stomata, jumlah daun, serta penggulungan atau pelipatan daun merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi evapotranspirasi dari dalam tanaman. Adapun kuantitas atau banyaknya evapotranspirasi didasarkan atas curah hujan bulanan, pembakuan bulan, dan lama penyinaran Rafi’i 1995. Suhu mempunyai pengaruh yang nyata terhadap laju evapotranspirasi. Secara umum, semakin tinggi suhu baik suhu udara maupun suhu permukaan, maka laju penguapan akan meningkat Usman 2004. Laju evapotranspirasi yang tinggi menyebabkan kandungan air tanah di lapisan perakaran berkurang dengan cepat dan tanaman menjadi sulit untuk menyerap air dari tanah. Tanaman mengurangi laju evapotranspirasi untuk menghindari dehidrasi sehingga terjadi evapotranspirasi yang betul-betul terjadi evapotranspirasi aktual yang nilainya lebih kecil dari evapotranpirasi. Nisbah evapotranspirasi aktual dan evapotranspirasi potensial tergantung pada defisit air tanah, yang didefinisikan sebagai selisih antara kandungan air tanah pada keadaan evapotranspirasi aktual dengan kandungan air tanah pada kapasitas lapang Arsyad 2010. Salah satu metode untuk menentukan nilai evapotranspirasi adalah metode Thornthwaite. Secara umum, meode ini menggunakan data resolusi bulanan dan menggunakan parameter suhu udara Handoko dan Irsal Las 1995.

2.4 Neraca Air Lahan

Neraca air merupakan perhitungan antara masukan dan keluaran air pada suatu sistem Baharsjah et al. 1996. Pada bidang pertanian, komponen neraca air secara umum terdiri dari curah hujan dan irigasi sebagai masukan serta intersepsi tajuk, evapotranspirasi, limpasan, dan drainase sebagai keluaran. Hillel 1972 menyatakan bahwa pengelolaan lahan kering melalui analisis neraca air lahan merupakan sesuatu yang penting karena neraca air merupakan perincian tentang semua masukan,keluaran, dan perubahan simpanan air yang terdapat pada suatu lahan. Analisis ini berguna untuk menetapkan jumlah air yang terkandung di dalam tanah yang menggambarkan perolehan air surplus atau defisit dari waktu ke waktu. Perhitungan neraca air lahan membutuhkan data dan informasi fisika tanah terutama nilai kandungan air pada tingkat kapasitas lapang KL dan pada titik layu permanen TLP. Prioritas penggunaan air hujan adalah untuk memenuhi kebutuhan evapotranspirasi dan kehilangan air yang lain akan mengisi cadangan air tanah. Bila simpanan air tanah telah mencapai batas maksimum, maka kelebihan air dihitung sebagai surplus. Batas maksimum simpanan air tanah didefinisikan sebagai jumlah air yang dapat ditahan oleh tanah dengan potensial sebesar 13 atm dikenal sebagai kapasitas lapang. Titik layu permanen dapat didefinisikan sebagai batas minimum tanaman menyimpan air pada tekanan potensial 15 atm yang pada saat itu tanaman tidak mampu melakukan aktivitasnya dan mengalami kekeringan fisiologis jika tidak diberi tambahan air Purbawa dan Wirjaya 2009. Analisis neraca air merupakan suatu alat yang dapat digunakan untuk menduga dinamika kadar air tanah selama pertumbuhan tanaman, khususnya pada periode-periode kritis dimana kadar air tanah sangat rendah Handoko dan Irsal Las 1995. Adapun kebutuhan air tanaman pada lahan kering sama dengan kebutuhan air konsumtif itu sendiri, yaitu parameter yang menyatakan jumlah air yang secara potensial diperlukan untuk memenuhi pemakaian air konsumtif evapotranspirasi suatu areal tanaman agar dapat tumbuh secara normal Arsyad 2010.

2.5 Fenomena El-Nino dan La-Nina

Fenomena El-Nino dan La-Nina merupakan peristiwa anomali iklim global yang akibatnya signifikan terhadap komoditas bahan pangan Irawan 2006. Pada daerah tropis, kedua anomali iklim menimbulkan beberapa akibat, yaitu pergeseran pola curah hujan, perubahan besaran hujan, serta perubahan terhadap temperatur udara. Kekeringan yang menimbulkan kebakaran hutan, peningkatan kejadian banjir, serta gangguan hama dan penyekit juga merupakan akibat anomali tersebut. Secara umum, fenomena El-Nino diikuti oleh penurunan curah hujan dan peningkatan suhu udara di suat wilayah. Adapun La-Nina menyatakan gejala peningkatan curah hujan yang mengakibatkan banjir, serta merangsang peningkatan hama dan penyakit Irawan 2006. Fenomena kejadian ENSO dapat diketahui dengan menggunakan suatu indeks sederhana atau lebih dikenal dengan sebutan SOI, yang dihubungkan dengan perubahan spesifik yang didasarkan pada suhu lautan. Adapun nilai SOI dihitung berdasarkan perbedaan tekanan udara bulanan rata-rata antara Tahiti dan Darwin, yang mencerminkan perubahan dalam pola sirkulasi atmosfer di daerah yang luas dan dapat berfluktuatif dari bulan ke bulan. Istilah El-Nino mengacu pada suhu permukaan laut di Samudra Pasifik tengah ke timur, dimana suhu permukaan lautnya lebih hangat. Kejadian ini terulang setiap tiga sampai delapan tahun dan umumnya dikaitkan dengan SOI bernilai negatif. Selama peristiwa atau fenomena El-Nino, nilai SOI memperlihatkan nilai yang negatif atau nilai SOI -7. Kejadian EL-Nino biasanya muncul dalam bulan Maret hingga bulan Juni, dimana pada kondisi tersebut, Indonesia akan mengalami musim kering intensitas hujan yang rendah. Ketika samudera Pasifik timur jauh lebih dingin dari normal, biasanya nilai SOI terus menerus akan bernilai positif nilai SOI berkisar 7. Peristiwa ini sering membawa hujan dan banjir yang disebut dengan peristiwa La-Nina. Selama fenomena tersebut, suhu cenderung di bawah normal, khususnya di wilayah bagian utara dan timur Australia. Pendinginan relatif terkuat pada bulan Oktober hingga Maret Anonim 2005.

2.6 Musim dan Kalender Tanam

Mengantisipasi perubahan iklim yang tidak menentu dan sulit untuk diprediksi, kalender tanam disusun berdasarkan kondisi periode tanam yang dilakukan oleh petani saat ini, tetapi juga mengaju untuk tiga kejadian iklim, yaitu tahun basah, tahun kering, serta tahun normal. Stasus dan pola ketersediaan air merupakan faktor utama penentuan pola tanam di Indonesia. Penetapan pola tanam sangat identik atau harus didahului dengan pendugaan lamanya musim tanam, dimana musim tersebut sangat erat kaitannya dengan ketersediaan air bagi tanam harus didahului berdasarkan potensi dan kadar air tanah. Penetapan musim tanam padi gogo dapat ditentukan berdasarkan klasifikasi Oldeman, dimana musim tanam dikategorikan dengan periode curah hujan rata-rata 100 mmbulan. Namun, penetapan pola tanam yang lebih tepat didasarkan pada kadar air tanah melalui analisis neraca air yang mempertimbangkan fisik lahan. Secara teoritis batas air tersedia bagi air tanaman adalah jika kadar air tanah berada diatas titik layu permanen TLP dengan pf 2,54 atau dengan tegangan air tanah 15,2 mbar Suharsono et al. 1996.

BAB III METODOLOGI

3.1Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai bulan Mei 2011 di Laboratorium Agrometeorologi, Laboratorium Ilmu Tanah, serta Lahan Pertanian Wilayah Konawe Selatan.

3.2 Alat dan Bahan

 Data Suhu Wilayah Konawe Selatan Tahun 1998-2008.  Data Curah Hujan Stasiun Iklim Wilayah Konawe Selatan Tahun 1985-2010  Perangkat Komputer, Micrososft Excel, Microsoft Word, dan Arc View  Faktor koreksi berdasarkan letak geografis wilayah Konawe Selatan.  Sifat dan Kondisi Tanah wilayah Konawe Selatan.  Peta pembagian lahan pertanian dan Administrasi Konawe Selatan.  Pisau, Parang, dan Pacul.  Ring Sampel  Papan, Plastik, dan Spidol.  Buku dan pensil  Air

3.3 Metode Penelitian

Metode penelitian yang dilakukan pada penelitian sebagai berikut:

3.3.1 Variabilitas Iklim

Penentuan tahun kejadian variabilitas iklim ditentukan dengan melihat nilai SOI pada tahun-tahun pengamatan. Adapun nilai SOI diperoleh dari hasil kajian Australia atau website http:reg.bom.gov.auclimatecurrentsoihtm 1.shtml Anonim 2011. Tahun La-Nina dapat diidentifikasi dengan nilai SOI = 7 dan tahun El-Nino dapat diidentifikasi dengan nilai SOI -7 Anonim 2005. Hasil kajian tahun variabilitas iklim kemudian disesuaikan dengan hasil analisis tahun-tahun kejadian variabilitas iklim El-Nino, La-Nina, serta tahun normal diperoleh dari hasil kajian australia atau website http:reg.bom.gov.auclimateensoenlistind ex.shtml Anonim 2011.

3.3.2 Klasifikasi Iklim

Klasifikasi iklim dilakukan pada setiap stasiun di wilayah Konawe Selatan dengan menggunakan sistem klasifikasi Oldeman. antara Tahiti dan Darwin, yang mencerminkan perubahan dalam pola sirkulasi atmosfer di daerah yang luas dan dapat berfluktuatif dari bulan ke bulan. Istilah El-Nino mengacu pada suhu permukaan laut di Samudra Pasifik tengah ke timur, dimana suhu permukaan lautnya lebih hangat. Kejadian ini terulang setiap tiga sampai delapan tahun dan umumnya dikaitkan dengan SOI bernilai negatif. Selama peristiwa atau fenomena El-Nino, nilai SOI memperlihatkan nilai yang negatif atau nilai SOI -7. Kejadian EL-Nino biasanya muncul dalam bulan Maret hingga bulan Juni, dimana pada kondisi tersebut, Indonesia akan mengalami musim kering intensitas hujan yang rendah. Ketika samudera Pasifik timur jauh lebih dingin dari normal, biasanya nilai SOI terus menerus akan bernilai positif nilai SOI berkisar 7. Peristiwa ini sering membawa hujan dan banjir yang disebut dengan peristiwa La-Nina. Selama fenomena tersebut, suhu cenderung di bawah normal, khususnya di wilayah bagian utara dan timur Australia. Pendinginan relatif terkuat pada bulan Oktober hingga Maret Anonim 2005.

2.6 Musim dan Kalender Tanam

Mengantisipasi perubahan iklim yang tidak menentu dan sulit untuk diprediksi, kalender tanam disusun berdasarkan kondisi periode tanam yang dilakukan oleh petani saat ini, tetapi juga mengaju untuk tiga kejadian iklim, yaitu tahun basah, tahun kering, serta tahun normal. Stasus dan pola ketersediaan air merupakan faktor utama penentuan pola tanam di Indonesia. Penetapan pola tanam sangat identik atau harus didahului dengan pendugaan lamanya musim tanam, dimana musim tersebut sangat erat kaitannya dengan ketersediaan air bagi tanam harus didahului berdasarkan potensi dan kadar air tanah. Penetapan musim tanam padi gogo dapat ditentukan berdasarkan klasifikasi Oldeman, dimana musim tanam dikategorikan dengan periode curah hujan rata-rata 100 mmbulan. Namun, penetapan pola tanam yang lebih tepat didasarkan pada kadar air tanah melalui analisis neraca air yang mempertimbangkan fisik lahan. Secara teoritis batas air tersedia bagi air tanaman adalah jika kadar air tanah berada diatas titik layu permanen TLP dengan pf 2,54 atau dengan tegangan air tanah 15,2 mbar Suharsono et al. 1996.

BAB III METODOLOGI

3.1Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai bulan Mei 2011 di Laboratorium Agrometeorologi, Laboratorium Ilmu Tanah, serta Lahan Pertanian Wilayah Konawe Selatan.

3.2 Alat dan Bahan

 Data Suhu Wilayah Konawe Selatan Tahun 1998-2008.  Data Curah Hujan Stasiun Iklim Wilayah Konawe Selatan Tahun 1985-2010  Perangkat Komputer, Micrososft Excel, Microsoft Word, dan Arc View  Faktor koreksi berdasarkan letak geografis wilayah Konawe Selatan.  Sifat dan Kondisi Tanah wilayah Konawe Selatan.  Peta pembagian lahan pertanian dan Administrasi Konawe Selatan.  Pisau, Parang, dan Pacul.  Ring Sampel  Papan, Plastik, dan Spidol.  Buku dan pensil  Air

3.3 Metode Penelitian

Metode penelitian yang dilakukan pada penelitian sebagai berikut:

3.3.1 Variabilitas Iklim

Penentuan tahun kejadian variabilitas iklim ditentukan dengan melihat nilai SOI pada tahun-tahun pengamatan. Adapun nilai SOI diperoleh dari hasil kajian Australia atau website http:reg.bom.gov.auclimatecurrentsoihtm 1.shtml Anonim 2011. Tahun La-Nina dapat diidentifikasi dengan nilai SOI = 7 dan tahun El-Nino dapat diidentifikasi dengan nilai SOI -7 Anonim 2005. Hasil kajian tahun variabilitas iklim kemudian disesuaikan dengan hasil analisis tahun-tahun kejadian variabilitas iklim El-Nino, La-Nina, serta tahun normal diperoleh dari hasil kajian australia atau website http:reg.bom.gov.auclimateensoenlistind ex.shtml Anonim 2011.

3.3.2 Klasifikasi Iklim

Klasifikasi iklim dilakukan pada setiap stasiun di wilayah Konawe Selatan dengan menggunakan sistem klasifikasi Oldeman. Berikut merupakan karakteristik sistem klasifikasi Oldeman Handoko, 1993 1. Bulan Basah BB yaitu bulan dengan rata – rata curah hujan 200 mm. 2. Bulan Lembab BL yaitu bulan dengan rata-rata curah hujan 100 – 200 mm. 3. Bulan kering BK yaitu bulan dengan rata-rata curah hujan 100 mm. Adapun pembagian tipe iklim utama dan subdivisinya sebagai berikut: Tabel 1 Tipe pembagian iklim menurut Oldeman Sumber: Handoko 1993

3.3.3 Peta Wilayah Penyebaran Stasiun

Pembuatan peta wilayah sebaran stasiun dapat digambarkan dengan menggunakan software Arcview dan peta Sulawesi Tenggara dalam bentuk file .shp.

3.3.4 Pengambilan Sampel Tanah

Sampel tanah diambil disejumlah lokasi wilayah kajian dengan prosedur kerja sebagai berikut: o Mencari tanah yang baik tanah tidak berpasir dan kondisi tanah cukup lembab. o Membersihkan tanah tersebut dengan menggunakan parang dari rumput atau batu-batuan. o Pada tanah-tanah yang cukup tandus, dapat diberikan air sebelum pengambilan sampel dilakukan. Hal ini untuk memudahkan dalam pengambilan tanah. o Meletakkan ring sampel kedalam tanah. Adapun kedalaman tanah berkisar antara 0 –20 cm area perakaran. Jika situasi dan kondisi tanah cukup keras, maka menggunakan alat bantu berupa parang atau papan dengan memukul alat-alat tersebut kebagian ring sampel yang telah terbenam didalam tanah hingga rata dengan tanah. o Membuat lingkaran atau menggali tanah disekitar ring sampel hingga kedalaman tertentu dengan tujuan memudahkan dalam mengambil sampel tanah dalam ring tersebut. o Menggunakan pisau untuk meratakan tanah dengan ring sampel. o Membungkus ring dengan plastik yang telah diikat dengan sangat erat. Hal ini bertujuan untuk menjaga kestabilan kondisi tanah. o Menyimpan ring sampel ditempat yang tidak terkena langsung radiasi matahari.

3.3.5 Analisis Sifat Fisika Tanah

Pengambilan sampel dilakukan di beberapa titik lahan wilayah Konawe Selatan dengan menggunakan alat Ring Sampel lalu dianalisis sifat fisikanya di laboratorium Ilmu Tanah.

3.3.6 Evapotranspirasi

Nilai evapotranspirasi dapat diketahui dengan menggunakan metode Thornhtwaite dengan input data suhu : ETp ∗ = ET × Faktor Terkoreksi ET = 1,6 × 10 ×T I a , dimana suhu T 26,5 C. ETP= -0,0433×t 2 +3,2244×t-41,54, dimana suhu T = 26.5 C. I = T 5 1,514 a= 0,000000675 ×I 3 - 0,0000771 + 0,179×I +0.49239

3.3. 7 Neraca Air Lahan

Neraca air lahan dapat diketahui menggunakan tahapan berikut ini: 1. Menghitung selisih antara curah hujan dan nilai evapotranspirasi. Selisih antara kedua parameter tersebut merupakan hasil Accumulation of Potensial Water Loss APWL. 2. Pada kondisi CH ETp terjadi akumulasi kehilangan air secara potensial APWL, maka kandungan air tanah dapat dihitung sebagai berikut: KAT = KL x e APWL KL 3. Pada kondisi CH ETp, kandungan air tanah dapat dihitung tanpa APWL, sebagai berikut: Tipe Utama Bulan Basah berturut-turut A 9 B 7 – 9 C 5 – 6 D 3 – 4 E 3 Sub divisi Bulan Kering berturut-turut 1 2 2 2 - 3 3 4 – 6 4 6 KAT i = KAT i-1 + CH-ETp Hingga kandungan air tanah sama dengan kapasitas lapang yang berarti kondisi air tanah terus mencapai kondisi kapasitas lapang. Dengan keterangan : I = indeks bahang KL =Kapasitas lapang mm KAT =Kadar kandungan air tanah aktual mm. APWL = akumulasi air yang hilang secara potensial mm. e = 2,718281828 Adapun menghitung nilai ∆KAT berdasarkan selisih antara KAT satu yang lain menggunakan persamaan: ∆KAT = KAT i -KAT i-1 Nilai ∆KAT + menunjukkan penambahan terhadap kadar air tanah, sebaliknya jika nilai ∆KAT - menunjukkan penggurangan terhadap kadar air tanah. 4. Menghitung nilai evapotranspirasi aktual, dengan menggunakan konsep sebagai berikut: Jika CH ETp, ETA = ETp Jika CHETp, ETA = CH + ∆KAT 5. Menghitung nilai defisit yang merupakan jumlah air yang berkurang untuk keperluan tanaman: Defisit = ETp − ETA 6. Menghitung surplus yang merupakan kelebihan curah hujan setelah simpanan air mencapai kapasitas lapang dengan menggunakan persamaan: S=CH-ETp- ∆KAT 7. Menghitung nilai limpasan surplus air sebesar 50 dengan persamaan sebagai berikut: Ro 1 = S i -R i-1 ×kRo Keterangan: Ron = runoff periode ke –n dihitung sejak awal periode surplus. Si = Surplus ke-i kRo =koefisien runoff 50.

3.3.8 Kalender Tanam

Potensi masa tanam untuk tanaman dapat juga ditentukan berdasarkan ketersediaan lengas tanah yang diperoleh dari hasil perhitungan neraca air lahan. Ditetapkan bahwa periode masa tanam adalah periode- periode dimana kandungan lengas tanah 50 air tersedia Pramudia et al 1998. Penyataan ini mengacu pada pendapat Richard dan Richard dalam Buckman dan Brady 1969 bahwa untuk mendapatkan pertumbuhan tanaman yang baik, air harus ditambahkan bila 50-85 dari air tersedia telah habis terpakai.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1Kondisi Umum Wilayah Kajian Konawe Selatan merupakan salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Sulawesi Tenggara dengan koordinat wilayah 03°45 - 04°45’ LS hingga 121°45 - 123°00 BT. Luas daerah konawe selatan 451.420 ha atau sekitar 11, 84 dari luasan Sulawesi tenggara. Wilayah Konawe selatan memiliki batas-batas wilayah, yaitu sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Konawe, sebelah selatan berbatasan dengan Selat Tiworo, sebelah timur berbatasan dengan laut banda, serta sebelah barat, berbatasan dengan wilayah kabupaten Kolaka. Kondisi permukaan tanah wilayah Konawe bergunung dan berbukit yang diapit oleh dataran rendah. Konawe Selatan merupakan kabupaten yang memiliki potensi paling tinggi dalam mengupayakan hasil dari sektor pertanian. Adapun jenis tanah di wilayah tersebut meliputi Latosol dengan luas 105.451,71 Ha atau 23,36, Podzolik seluas 127.074,73 Ha atau 28,15, Organosol seluas 21.261,88 Ha atau 4,71 , Mediteran seluas 15.303,14 Ha atau 3,39,Aluvial seluas 21.668,16 Ha atau 4,80 serta tanah Campuran seluas 160.660,38 Ha atau 35,59 BPS Konawe Selatan 2010. Secara umum, wilayah Konawe Selatan memiliki dua musim, yaitu musim kemarau dan musim hujan. Musim hujan terjadi pada bulan November hingga Maret, dan musim kemarau terjadi pada bulan Agustus hingga bulan Oktober. Suhu tertinggi yang terukur selama 13 tahun terjadi pada bulan November dan suhu udara terendah di bulan Agustus. Tipe hujan pada wilayah Konawe Selatan merupakan tipe monsoon, namun pola curah hujan juga masih dipengaruhi oleh faktor lokal. Hasil perhitungan selama 25 tahun, menggambarkan bahwa puncak hujan tertinggi pada bulan Mei lalu mengalami penurunan Binomial Gambar 1. KAT i = KAT i-1 + CH-ETp Hingga kandungan air tanah sama dengan kapasitas lapang yang berarti kondisi air tanah terus mencapai kondisi kapasitas lapang. Dengan keterangan : I = indeks bahang KL =Kapasitas lapang mm KAT =Kadar kandungan air tanah aktual mm. APWL = akumulasi air yang hilang secara potensial mm. e = 2,718281828 Adapun menghitung nilai ∆KAT berdasarkan selisih antara KAT satu yang lain menggunakan persamaan: ∆KAT = KAT i -KAT i-1 Nilai ∆KAT + menunjukkan penambahan terhadap kadar air tanah, sebaliknya jika nilai ∆KAT - menunjukkan penggurangan terhadap kadar air tanah. 4. Menghitung nilai evapotranspirasi aktual, dengan menggunakan konsep sebagai berikut: Jika CH ETp, ETA = ETp Jika CHETp, ETA = CH + ∆KAT 5. Menghitung nilai defisit yang merupakan jumlah air yang berkurang untuk keperluan tanaman: Defisit = ETp − ETA 6. Menghitung surplus yang merupakan kelebihan curah hujan setelah simpanan air mencapai kapasitas lapang dengan menggunakan persamaan: S=CH-ETp- ∆KAT 7. Menghitung nilai limpasan surplus air sebesar 50 dengan persamaan sebagai berikut: Ro 1 = S i -R i-1 ×kRo Keterangan: Ron = runoff periode ke –n dihitung sejak awal periode surplus. Si = Surplus ke-i kRo =koefisien runoff 50.

3.3.8 Kalender Tanam

Potensi masa tanam untuk tanaman dapat juga ditentukan berdasarkan ketersediaan lengas tanah yang diperoleh dari hasil perhitungan neraca air lahan. Ditetapkan bahwa periode masa tanam adalah periode- periode dimana kandungan lengas tanah 50 air tersedia Pramudia et al 1998. Penyataan ini mengacu pada pendapat Richard dan Richard dalam Buckman dan Brady 1969 bahwa untuk mendapatkan pertumbuhan tanaman yang baik, air harus ditambahkan bila 50-85 dari air tersedia telah habis terpakai.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN