BAHAN DAN ALAT .1 Bahan KESIMPULAN

III. METODE PENELITIAN 3.1 BAHAN DAN ALAT 3.1.1 Bahan Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah ampok dan grits yang berasal dari pabrik tepung jagung Bojonegoro, Jawa Timur serta dua jenis enzim, yaitu selulase dan xilanase cair dari NOVO enzyme. Bahan-bahan lain yang digunakan untuk analisis adalah aquades, pelarut organik heksan, H R 2 R SO R 4 R pekat, katalis CuSO R 4 R dan Na R 2 R SO4, NaOH, asam borat H R 3 R BO R 3 R , indikator mengsel, kertas saring, alkohol, aceton, larutan ADF, larutan NDF, 1T pereaksi Anthrone, dan minyak goreng 1T .

3.1.2 Alat

Peralatan utama yang digunakan untuk membuat tepung ampok dan grits pragelatinisasi adalah drum dryer dengan tipe double drum yang memiliki ukuran diameter dan panjang drum berturut-turut 12 dan 8 inci serta panas permukaan 80±5 P o P C. Peralatan lain yang digunakan dalam analisis ini adalah oven, desikator, cawan porselen, cawan aluminium, cawan petri, termometer, pemanas bunsen, tanur, soxlet, timbangan digital, labu Kjeldahl, alat destilasi, erlenmeyer, gelas ukur, gelas piala, pengaduk kaca, sudip, pipet tetes, pipet volumetrik, kertas saring mikroskop cahaya biasa, mikroskop cahaya terpolarisasi, saringanayakan, blender, otoklaf, penangas air, brookfield viscometer, sealer, gelas filter, dan pendingin tegak. 3.2 PROSEDUR PENELITIAN 3.2.1 Karakterisasi Ampok dan Grits Alami Karakterisasi sifat fisiko-kimia meliputi: bentuk dan ukuran granula pati, analisis proksimat kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar serat kasar, kadar ADF, kadar NDF, dan kadar pati. Prosedur analisis disajikan pada Lampiran 1.

3.2.2 Karakterisasi Enzim

Karakterisasi enzim dilakukan untuk mengetahui kondisi suhu dan pH optimum kerja enzim. Menentukan suhu dan pH optimum selulase menggunakan substrat CMC CMC-ase dengan rentang suhu 30-60 P o P C pada pH 5. Sementara untuk xilanase menggunakan substrat xilan birchwood pada rentang pH 6-8 dan suhu 30-90 P o P

C. Prosedur analisis disajikan pada Lampiran 2.

3.2.3 Produksi Tepung Ampok dan Grits Termodifikasi

Modifikasi tepung ampok dan grits ditujukan untuk meningkatkan daya cerna melalui proses hidrolisis enzimatis menggunakan selulase dan xilanase, kemudian dilanjutkan proses pragelatinisasi menggunakan alat drum dryer. Jumlah selulase dan xilanase yang digunakan masing-masing sebesar 10 U per g bahan. Proses hidrolisis dilakukan pada suhu 50 P o P C sesuai hasil penetapan kondisi optimum enzim pada Lampiran 3. Modifikasi proses pembuatan tepung ampok menggunakan dua faktor pengaruh, yaitu perbedaan waktu inkubasi enzim jam dan perbedaan kecepatan putaran drum dryer dalam satuan rotation per 11 minute rpm. Waktu inkubasi enzim yang digunakan adalah 0, 3, dan 6 jam, sedangkan kecepatan putar drum dryer yang digunakan adalah 4 dan 8 rpm. Untuk mengolah data dengan jenis keragaman seperti ini, jenis rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap RAL faktorial dengan dua faktor. Model persamaan untuk RAL faktorial adalah sebagai berikut: Y ijk = μ + E i + R j + ER ij + ε ijk Keterangan: Y ijk = Respon dari perlakuan ke-i dan perlakuan ke-j serta ulangan ke-k μ = Rataan umum E i = Pengaruh perlakuan ke-i dari faktor perbedaan waktu inkubasi enzim R j = Pengaruh perlakuan ke-j dari faktor perbedaan kecepatan putaran drum dryer ER ij = Interaksi pengaruh perbedaan waktu inkubasi enzim ke-i dan perbedaan kecepatan putaran drum dryer ke-j ε ijk = Galat Keterangan faktor perbedaan waktu inkubasi enzim i=1,2, dan 3: E1 : inkubasi enzim 0 jam E2 : inkubasi enzim 3 jam E3 : inkubasi enzim 6 jam Keterangan faktor perbedaan kecepatan putaran drum dryer j=1 dan 2: R1 : kecepatan 4 rpm R2 : kecepatan 8 rpm Jika uji F signifikan maka dilakukan uji lanjut, yaitu uji Duncan. Hasil ANOVA dan Uji Duncan disajikan pada Lampiran 4.

3.2.4 Karakterisasi Tepung Ampok dan Grits Termodifikasi

Karakterisasi yang dilakukan terdiri dari 1 sifat fisiko-kimia meliputi: bentuk dan ukuran granula pati, analisis proksimat kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar serat kasar, kadar ADF, kadar NDF, dan kadar pati. 2 sifat fungsional meliputi kelarutan, swelling power, apparent viscosity, daya serap air dan minyak, serta analisa daya cerna pati. 3 penampakan mikroskopik untuk mengamati sifat birefringence pati. Prosedur pengujian sifat fungsional dan penampakan mikroskopik terdapat pada Lampiran 5. 12 Gambar 6. Diagram alir proses pembuatan tepung ampok dan grits termodifikasi AmpokGrits Alami Pencampuran Selulase, Xilanase Tepung AmpokGrits Termodifikasi Aquades Pengecilan Ukuran 35 dan 65 mesh Pemanasan dan Pengeringan dengan Drum Dryer Suhu 80± 5 o C Kecepatan Putar 4 rpm dan 8 rpm Inkubasi 0,3,6 jam IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. 1 PENGGILINGAN JAGUNG

Jagung di Indonesia dimanfaatkan untuk berbagai macam keperluan. Tahap awal pengolahan jagung melalui proses penggilingan, kemudian menghasilkan produk yang diinginkan. Terdapat dua jenis penggilingan jagung, penggilingan basah dan penggilingan kering. Proses penggilingan kering menghasilkan produk utama berupa tepung jagung, sedangkan hasil sampingnya antara lain berupa ampok dan grits jagung. Tepung jagung berasal dari bagian endosperma biji jagung yang digiling hingga diperoleh hasil gilingan yang sangat halus. Minyak jagung diperoleh dari bagian lembaga biji jagung yang diekstrasi dengan pelarut. Selama proses pemisahan, endosperma untuk pembuatan tepung dan lembaga germ untuk pembuatan minyak, menghasilkan beberapa sisa hasil penggilingan berupa: kulit ari bran, sedikit lembaga germ yang tidak terolah sempurna, tudung pangkal biji tip cap, dan sebagian endosperma yang keras horny endosperma. Keempat bagian tersebut merupakan penyusun dari ampok jagung. Diagram alir penggilingan kering jagung disajikan pada Gambar 7. Gambar 7. Diagram alir proses penggilingan kering jagung Rausch dan Ronald 2006 Sebagai bahan rujukan, untuk mengetahui jumlah ampok yang diperoleh dari bahan baku jagung pada industri penggilingan jagung dapat dilihat pada neraca massa yang disajikan pada Gambar 8. Berdasarkan neraca massa dari bahan baku awal jagung sebanyak 15000 kg, jumlah ampok yang dihasilkan sebanyak 2545 kg atau jumlahnya setara dengan 16,96. Ampok jagung sebagian besar dimanfaatkan sebagai pakan ternak dengan harga jual rendah. Melihat jumlah ampok yang cukup banyak dari industri penggilingan jagung, terdapat peluang untuk mengoptimalkan ampok menjadi produk dengan nilai jual lebih tinggi. 14 Gambar 8. Neraca massa proses pembuatan tepung jagung Suryawijaya 2009

4. 2 KARAKTERISTIK BAHAN BAKU

Terdapat dua jenis bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu tepung ampok dan grits. Keduanya memiliki karakteristik masing-masing dalam Komponen kimia maupun sifat fungsionalnya. Bahan baku ampok dan grits diperoleh dari sentra industri penggilingan jagung di daerah Bojonegoro, Jawa Timur. Bahan diidentifikasi penampakan fisiknya menggunakan saringan, hasilnya diperoleh ampok dan grits berturut-turut lolos saringan 35 mesh dan 65 mesh. Penampilan bahan yang telah diayak dapat dilihat pada Gambar 9. Terlihat perbedaan warna antara kedua bahan yang digunakan, ampok berwarna coklat sedangkan grits berwarna kuning. Hal ini disebabkan kemungkinan ampok dan grits merupakan bagian dari biji jagung yang berbeda. Ampok diduga komponennya lebih banyak mengandung lembaga yang menimbulkan warna coklat, sementara grits mengandung lebih banyak endosperma keras sehingga dominan berwarna kuning. a b Gambar 9. Penampakan tepung a Ampok b Grits 15 Komponen kimia dari suatu bahan merupakan kandungan zat yang terdapat pada bahan dan mempunyai fungsi tertentu dalam proses yang melibatkan bahan tersebut Fellows 2000. Pada Tabel 3 disajikan Komponen kimia dari ampok dan grits alami, yaitu bahan sebelum mengalami berbagai perlakuan pengujian. Tabel 3. Komponen kimia bahan baku Komponen Kimia Jenis Ampok Grits Air 9,87 10,49 Abu bk 3,63 0,72 Lemak bk 10,19 4,17 Protein bk 10,32 7,47 Serat Kasar bk 6,10 0,01 Karbohidrat by difference bk 69,75 87,63 Pati bk 64,61 72,29 Acid Detergent Fiber ADF 9,61 1,68 Neutral Detergent Fiber NDF 72,67 68,84 Kadar air perlu ditetapkan sebab sangat berpengaruh terhadap daya simpan bahan. Proses pengeringan sangat berpengaruh terhadap kadar air yang dihasilkan. Semakin tinggi kadar air dalam suatu bahan maka semakin besar juga kemungkinan bahan tersebut rusak atau tidak tahan lama. Pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air suatu bahan sampai batas tertentu sehingga pertumbuhan mikroba dan aktivitas enzim penyebab kerusakan bahan dapat dihambat. Batas kadar air minimum mikroba masih dapat tumbuh adalah 14-15 Fardiaz 1989. Berdasarkan hasil analisis, nilai kadar air ampok dan grits masih cukup rendah, yaitu berkisar antara 9,87-10,49 sehingga masih layak untuk disimpan dalam jangka panjang. Kadar abu menunjukkan besarnya kandungan mineral dalam bahan. Mineral merupakan zat anorganik dalam bahan yang tidak mudah terbakar selama proses pembakaran. Berdasarkan hasil analisis kadar abu ampok dan grits diperoleh nilai berturut-turut 3,63 dan 0,72. Sehingga dapat dikatakan kandungan mineral ampok lebih banyak dibandingkan grits. Hasil analisis kadar lemak menunjukkan nilai yakni 10,19 untuk ampok dan 4,17 untuk grits. Pada Tabel 3 terlihat bahwa ampok memiliki kandungan lemak yang lebih tinggi, hal ini dapat menyebabkan ampok mengalami proses ketengikan, yaitu munculnya bau dan rasa tengik. Pada umumnya lemak pada jagung banyak terdapat di bagian lembaga, sehingga bisa dikatakan ampok lebih banyak 16 mengandung lembaga dibandingkan grits. Hasil analisis kadar lemak ini mendukung kemungkinan ampok mengandung lembaga. Kandungan protein dalam jagung sangat penting untuk melengkapi nilai gizinya. Kandungan protein tinggi sangat diharapkan pada jagung dan produk turunannya. Hal ini berkaitan dengan pemanfaatan protein jagung yang tidak memerlukan bahan tambahan lain dalam aplikasinya. Berdasarkan hasil analisis kadar protein berturut-turut ampok dan grits diperoleh hasil 10,32 dan 7,47. Sekitar 70 protein jagung terdapat pada bagian endosperma. Kadar serat kasar terdiri dari selulosa dengan sedikit lignin dan sebagian kecil hemiselulosa. Pada Tabel 3 terlihat nilai kadar serat kasar ampok dan grits yakni 6,10 dan 0,01. Kadar serat kasar pada jagung dapat dipengaruhi oleh umur panen jagung. Menurut Damarjati et al. 2000, kurangnya informasi yang tepat mengenai kemasakan jagung sehingga sukar untuk menentukan waktu panen yang tepat. Jika kandungan pati pada bahan telah optimum, maka pati secara perlahan akan turun dan mulai terjadi perubahan menjadi serat. Komponen kimia utama pada biji jagung adalah pati, yaitu 70 dari bobot biji. Berdasarkan hasil analisis, kadar pati ampok bernilai 64,61 sedangkan grits bernilai 72,29. Berdasarkan Lorenz dan Karel 1991, kandungan kimia terbesar dari bagian endosperma biji jagung adalah pati 86,4, maka analisis kadar pati ini mendukung kemungkinan grits mengandung lebih banyak bagian endosperma biji jagung, sehingga penampakan fisiknya berwarna dominan kuning. Kadar pati yang cukup tinggi ini menggambarkan bahan baku cocok dimanfaatkan untuk produk pangan. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia SNI yang dikeluarkan oleh Badan Standardisasi Nasional BSN, terdapat standar mutu hasil ikutan pengolahan jagung ampok yang harus dipenuhi sebagai berikut: Tabel 4. Persyaratan mutu hasil ikutan pengolahan jagung ampok Sumber: SNI 01-4484-1998, BSN 1998 Mengacu pada Tabel 4 dapat terlihat bahan baku ampok yang digunakan dalam analisis ini seluruhnya memenuhi kriteria SNI.

4. 3 KARAKTERISTIK ENZIM

Karakterisasi enzim dilakukan untuk mengetahui suhu dan pH optimum, sehingga didapatkan nilai optimum aktivitas enzim yang digunakan. Karakterisasi enzim diperlukan untuk mengetahui jumlah enzim yang ditambahkan pada campuran dalam proses modifikasi ampok dan grits. Hasil karakterisasi enzim disajikan pada Tabel 5. No. Komponen Syarat Mutu 1. Air maksimum 12 2. Protein minimum 9 3. Serat maksimum 9 4. Abu maksimum 10 5. Lemak minimum 5 17 Tabel 5. Karakteristik selulase dan xilanase Jenis Enzim pH Optimum Suhu Optimum o Aktivitas Uml C Selulase CMC-ase 5 60 1,83 x 10 5 Xilanase 6 50 2,45 x 10 7 Berdasarkan karakteristik enzim yang diperoleh, selanjutnya dilakukan proses pengujian aktivitas relatif terhadap selulase dan xilanase. Hasil pengujian memperlihatkan pada suhu 50 o C aktivitas xilanase bernilai maksimum, sedangkan selulase bernilai lebih rendah sedikit dibandingkan xilanase. Sementara pada suhu 60 o C aktivitas selulase bernilai maksimum, sedangkan xilanase bernilai sangat rendah jauh di bawah selulase. Sehingga hasil uji aktivitas relatif enzim ini dapat digunakan untuk menetapkan kondisi aktivitas optimum selulase dan xilanase. Aktivitas relatif selulase dan xilanase disajikan pada Gambar 10. Gambar 10. Aktivitas selulase dan xilanase pada berbagai suhu

4. 4 TEPUNG AMPOK DAN GRITS TERMODIFIKASI

Produksi tepung termodifikasi dibagi menjadi tiga tahapan proses, yaitu 1 pencampuran bahan baku dengan enzim 2 pengeringan menggunakan alat drum dryer 3 penghalusan ukuran. Tahap pertama yaitu proses pencampuran bahan dengan selulase dan xilanase. Bahan baku yang digunakan dicampurkan dengan selulase dan xilanase agar mendapatkan konsentrasi campuran sebesar 30. Kemudian dilakukan inkubasi pada suhu 50 o Tahap selanjutnya yaitu proses pengeringan menggunakan alat pengering drum dryer. Campuran dituangkan perlahan melalui bagian atas drum dryer untuk dialirkan pada drum yang berputar Gambar 11. Dinding drum yang panas akan menguapkan air pada bahan sehingga bahan menjadi kering. Bahan yang telah kering dilepaskan dari drum dengan menggunakan pisau kikis yang diatur jaraknya terhadap drum Gambar 12. Kemudian bahan kering tersebut akan mengalir ke bawah dan ditampung dengan C dalam tiga waktu berbeda, yaitu 0, 3, dan 6 jam. Pada analisis ini terdapat kontrol yakni satu campuran tidak dicampur dengan enzim tetapi menggunakan aquades. 18 menggunakan wadah yang telah disediakan. Kecepatan putar drum dryer diatur sebesar 4 dan 8 rpm, sehingga dapat dibedakan pengaruh bagi bahan terhadap perbedaan kecepatan putar alat. Menurut Ariwibowo 2006, semakin lambat putaran drum akan menghasilkan pati yang semakin tergelatinisasi. Semakin lambat putaran drum maka pati semakin lama bersentuhan dengan drum yang menyebabkan proses pragelatinisasi pati berjalan baik, sehingga dalam analisis ini pati yang mengalami pragelatinisasi menggunakan putaran 4 rpm memberikan hasil yang baik. Hal ini dapat dilihat dari penampakan fisik, tepung ampok termodifikasi dengan putaran 8 rpm berwarna kuning muda berbeda dengan putaran 4 rpm yang terlihat kering sempurna sehingga berwarna kecoklatan. Campuran yang tidak menggunakan enzim waktu 0 jam memiliki viskositas yang tinggi karena memerlukan waktu yang cukup lama untuk melarut dalam aquades. Hal tersebut berdampak pada proses pragelatinisasi, campuran belum larut sempurna, sehingga ketika dituang ke dinding drum masih banyak bahan baku tepung menggumpal yang menyebabkan proses pragelatinisasi menjadi tidak sempurna. Sedangkan campuran menggunakan enzim tidak mengalami hal seperti itu, bahan baku tepung larut dengan sempurna yang menjadikan proses pragelatinisasi berjalan baik. Hal ini dipengaruh proses hidrolisis oleh enzim dalam mengurai komponen serat yang terkandung dalam bahan baku ampok dan grits. Proses modifikasi secara enzimatis menyebabkan struktur serat yang menyelimuti pati menjadi lunak, pecah, kemudian terbuka. Kondisi ini menyebabkan pati pada ampok dan grits alami dari jenis resisten tipe 1, yaitu pati yang secara fisik terperangkap dalam sel jaringan tanaman, mengalami perubahan menjadi pati yang terlepas dan dapat keluar dari sel jaringan tanaman sehingga pati dapat dicerna sekaligus meningkatkan jumlahnya pada saat pengukuran. Tahapan terakhir adalah penyeragaman ukuran untuk memperhalus tekstur tepung hasil modifikasi. Kemudian tepung disimpan sementara dalam kemasan plastik polietilen untuk dipergunakan dalam proses karakterisasi. Gambar 11. Bagian atas drum dryer 19 Gambar 12. Pisau kikis drum dryer

4. 5 KOMPONEN KIMIA TEPUNG AMPOK DAN GRITS TERMODIFIKASI

Pengujian terhadap komponen kimia tepung hasil modifikasi penting untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada bahan setelah diberikan perlakuan penambahan enzim serta pragelatinisasi menggunakan drum dryer. Perubahan dilihat melalui nilai yang terkandung pada beberapa uji yang dilakukan, kemudian dibandingkan dengan komponen kimia bahan baku awal. Uji yang dilakukan dalam analisis ini, meliputi: kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar serat, kadar pati, dan nilai NDF Tabel 6. Penampakan tepung hasil modifikasi sebelum dihaluskan dapat dilihat pada Gambar 13. a b a b Gambar 13. Tepung a Ampok b Grits termodifikasi Analisis ragam Lampiran 4 A menunjukkan waktu inkubasi enzim dan kecepatan putar drum dryer berbeda nyata terhadap kadar air tepung ampok dan grits. Berdasarkan uji lanjut Duncan, tepung ampok kombinasi perlakuan E3R1 memiliki kadar air terendah sebesar 7,69. Pada tepung ampok kadar air bahan awal sebesar 9,87, hasil analisis memperlihatkan nilai kadar air tepung ampok cenderung menurun setelah diberi perlakuan inkubasi enzim hingga 6 jam E3 dan pada putaran rendah drum dryer 4 rpm R1. Persentase menurunnya nilai kadar air tepung ampok mencapai 22. Tabel 6. Komponen kimia tepung ampok dan grits termodifikasi Keterangan : A1 : Bahan baku awal ampok A2 : Bahan baku awal grits E1R1 : tanpa inkubasi enzim, putaran drum dryer 4 rpm E1R2 : tanpa inkubasi enzim, putaran drum dryer 8 rpm E2R1 : dengan inkubasi enzim 3 jam, putaran drum dryer 4 rpm E2R2 : dengan inkubasi enzim 3 jam, putaran drum dryer 8 rpm E3R1 : dengan inkubasi enzim 6 jam, putaran drum dryer 4 rpm E3R2 : dengan inkubasi enzim 6 jam, putaran drum dryer 8 rpm Nilai dengan notasi Duncan sama pada baris yang sama, tidak berbeda nyata pada taraf 5 Komponen Kimia Ampok A1 Grits A2 A1 E1R1 E1R2 E2R1 E2R2 E3R1 E3R2 A2 E1R1 E1R2 E2R1 E2R2 E3R1 E3R2 Air 9,87 8,47 9,37 d 8,88 b 11,35 c 7,69 a 8,45 e 10,49 d 5,58 9,48 c 6,81 b 11,20 c 11,78 ab 11,41 a ab Abu bk 3,63 3,48 3,35 a 3,55 a 3,38 a 3,63 a 3,47 a 0,72 a 0,30 0,72 c 0,55 bc 0,87 bc 1,80 b 0,57 a bc Protein bk 10,32 10,75 10,10 a 11,32 a 11,01 a 10,91 a 11,09 a 7,47 a 8,10 7,66 a 7,69 b 7,69 b 7,67 b 7,67 b b Lemak bk 10,19 9,19 9,01 a 9,26 a 9,85 a 8,76 a 9,02 a 4,17 a 2,43 2,61 a 1,93 a 1,20 b 1,81 c 1,76 b b Serat bk 6,10 3,68 4,52 a 4,21 a 4,87 a 3,89 a 3,79 a 0,01 a 0,13 0,05 a 0,75 a 0,61 a 0,15 a 0,32 a a Karbohidrat by difference bk 69,76 72,90 73,02 a 71,66 a 70,89 a 72,81 a 72,63 a 87,63 a 89,03 88,94 a 89,06 a 89,63 a 88,55 a 89,67 a a Pati bk 64,61 72,10 69,52 c 73,44 d 73,48 b 74,48 b 72,84 a 72,29 bc 67,73 66,57 a 69,55 a 70,41 a 75,93 a 72,96 a a ADF 9,61 18,80 12,44 a 23,64 a 16,61 a 13,92 a 8,05 a 1,68 a 2,07 12,35 a 12,72 a 26,67 a 3,22 a 3,84 a a 20 21 Inkubasi selama 6 jam berakibat pemanasan lebih lama dan putaran rendah drum dryer 4 rpm menjadikan kontak tepung dengan drum dryer semakin lama sehingga air yang menguap dari ampok juga semakin banyak. Berdasarkan uji lanjut Duncan, tepung grits kombinasi E1R1 memiliki nilai kadar air terendah sebesar 5,58. Bahan baku awal grits memiliki nilai kadar air sebesar 10,49, hasil analisis memperlihatkan kadar air mengalami penurunan sebesar 46. Pada perlakuan E1R1 tidak dilakukan inkubasi enzim sehingga faktor yang berpengaruh terhadap kadar air hanya kecepatan putar drum dryer yang dalam hal ini 4 rpm sehingga kadar air E1R1 terendah dibandingkan perlakuan lain. Pada analisis kadar air diharapkan kombinasi perlakuan yang terbaik dapat mengurangi kadar air bahan tepung agar memperpanjang umur simpan tepung. Berdasarkan SNI 01-4484-1998, kadar air ampok maksimal adalah 12, mengacu pada hal tersebut maka kadar air tepung ampok seluruh kombinasi telah memenuhi standar mutu ampok dengan kadar air kurang dari 12 sehingga memenuhi syarat untuk dilakukan proses penyimpanan. Analisis ragam Lampiran 4 B menunjukkan antara faktor waktu inkubasi enzim dengan kecepatan putar drum dryer memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap kadar abu grits. Berdasarkan uji lanjut Duncan, kombinasi perlakuan E3R1 mengandung kadar abu terbanyak sebesar 1,8 sementara E1R1 hanya mengandung kadar abu sebesar 0,30. Jika melihat kadar abu bahan baku awal grits sebesar 0,72, maka nilai kadar abu dengan perlakuan E3R1 meningkat sebesar 1,5. Hal ini menjelaskan penggunaan enzim mempengaruhi kadar abu grits, inkubasi enzim 6 jam memberikan penentuan nilai kadar abu lebih baik dibandingkan tanpa menggunakan perlakuan inkubasi. Nilai kadar abu menunjukkan kandungan mineral suatu bahan. Menurut Muljohardjo 1988, kadar abu ada hubungannya dengan mineral yang dikandung suatu bahan. Hasil analisis ini menunjukkan kadar abu memenuhi kriteria SNI yaitu kadar abu tidak melebihi nilai 10. Sedangkan menurut uji lanjut Duncan, faktor waktu inkubasi enzim dengan kecepatan putar drum dryer menunjukkan tidak berbeda nyata terhadap kadar abu ampok, hal ini menunjukkan kandungan kadar abu ampok sangat rendah sehingga tidak berpengaruh lagi jumlahnya ketika diberikan perlakuan enzim dan pragelatinisasi. Analisis ragam Lampiran 4 C menunjukkan antara waktu inkubasi enzim dan kecepatan putar drum dryer memberikan pengaruh tidak berbeda nyata terhadap kadar serat kasar ampok dan grits. Perlakuan inkubasi enzim dan pragelatinisasi dengan drum dryer tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan kandungan serat, dikarenakan perhitungan serat kasar terdiri dari selulosa dengan sedikit lignin dan hemiselulosa sehingga enzim yang terdiri dari campuran selulase dan xilanase lebih banyak aktif menghidrolisis kandungan utama selulosa saja. Hal ini menjadikan aktivitas enzim tidak memberikan pengaruh terhadap kadar serat ampok dan grits. Analisis ragam Lampiran 4 D menunjukkan antara waktu inkubasi enzim dan kecepatan putar drum dryer memberikan pengaruh nyata terhadap kadar lemak grits. Berdasarkan uji lanjut Duncan, kombinasi perlakuan E1R2 memiliki kadar lemak tertinggi dengan nilai 2,61, sementara perlakuan E2R2 terendah dengan nilai 1,2. Hal ini memperlihatkan tren penurunan dari kandungan lemak bahan baku awal yang mengandung lemak sebesar 4,17. Persentase penurunan kadar lemak mencapai kisaran angka 37-71. Perlakuan E1 dan R2 merupakan kombinasi perlakuan yang dapat menghasilkan penurunan kadar lemak terendah, karena tidak diberikan perlakuan inkubasi enzim dan putaran drum tergolong cepat yang membuat bahan baku tidak terlalu banyak mengalami perubahan, minimal secara fisik sehingga tidak banyak berpengaruh kepada kandungan kimia bahan. 22 Sementara menurut analisis ragam Lampiran 4 D menunjukkan antara waktu inkubasi enzim dan kecepatan putar drum dryer memberikan pengaruh tidak berbeda nyata terhadap kadar lemak ampok. Hal ini disebabkan kandungan lemak memng telah stabil sehingga tidak dapat dipengaruhi oleh perlakuan enzim maupun pragelatinisasi. Kadar lemak rendah akan berpengaruh baik terhadap tepung, karena keberadaan lemak yang tinggi akan menimbulkan bau tengik saat penyimpanan. Analisis ragam Lampiran 4 E menunjukkan interaksi antara waktu inkubasi enzim dengan kecepatan putar drum dryer memberikan pengaruh nyata terhadap kadar protein grits. Berdasarkan uji lanjut Duncan, kombinasi perlakuan E1R1 memiliki kadar protein tertinggi dengan nilai 8,1, sementara perlakuan E1R2 terendah dengan nilai 7,66. Kadar protein bahan baku awal sebesar 7,47, sehingga dari hasil analisis memperlihatkan adanya tren peningkatan sebesar 2,8. Tercatat terdapat perbedaan cukup ekstrim dengan diberikan perlakuan E1 tanpa enzim, yaitu kombinasi E1 dan R1 memberikan nilai protein yg tertinggi, sedangkan kombinasi E1 dan R2 memberikan nilai yang terendah. Dapat dikatakan pada bahan grits kadar protein besar dipengaruhi oleh enzim, tanpa adanya selulase dan xilanase dapat membedakan hasil dari dua buah sampel ditambah perlakuan pragelatinisasi yang lebih lama, yaitu E1 memberikan dampak baik bagi kadar protein. Sementara itu, menurut analisis ragam Lampiran 4 E menunjukkan interaksi antara waktu inkubasi enzim dengan kecepatan putar drum dryer memberikan pengaruh tidak nyata terhadap kadar protein ampok. Kadar protein dari sampel ampok setelah diberikan kedua perlakuan tersebut memberikan hasil yang tidak jauh berbeda satu sama lain, hal ini menandakan kadar protein tidak dapat dipengaruhi oleh kinerja enzim maupun proses pragelatinisasi. Analisis ragam Lampiran 4 F menunjukkan interaksi antara waktu inkubasi enzim dengan kecepatan putar drum dryer memberikan pengaruh sangat nyata terhadap kadar pati tepung ampok. Berdasarkan uji lanjut Duncan, kombinasi perlakuan E3R1 memiliki kadar pati tertinggi dengan nilai 74,48, sementara perlakuan E1R2 terendah dengan nilai 69,52. Nilai kadar pati tersebut cenderung meningkat dari kandungan bahan baku awal sebesar 64,61, persentase peningkatannya sebesar 7-15. Hasil analisis ini membuktikan semakin lama waktu inkubasi 6 jam dan semakin lama bahan kontak dengan silinder pada putaran drum dryer rendah 4 rpm akan memberikan kondisi optimum bagi kinerja enzim dalam memutus ikatan kimia pada komponen serat, sehingga kandungan pati di dalam struktur sel jaringan tanaman dapat keluar. Terdegradasinya serat mengakibatkan pengukuran pati dalam bahan menjadi lebih efektif, karena jumlah pati mendominasi saat proses pengukuran. Hal ini yang menyebabkan hasil pengukuran pati menunjukkan nilai yang cukup tinggi. Waktu inkubasi yang lebih lama menyebabkan kinerja enzim semakin efektif dalam melepas rantai struktur dari kandungan serat dalam bahan, menyebabkan kandungan pati dapat keluar. Selain itu, nilai kadar pati yang cukup tinggi ini menandakan kandungan tepung ampok banyak mengandung endosperma. Menurut Lorenz dan Karel 1991, kandungan pati pada endosperma biji jagung mencapai 86,4. Sementara itu, menurut analisis ragam Lampiran 4 E menunjukkan interaksi antara waktu inkubasi enzim dengan kecepatan putar drum dryer memberikan pengaruh tidak nyata terhadap kadar pati grits. Kadar pati pada grits sudah cukup tinggi sehingga kombinasi perlakuan yang diberikan tidak memberikan perubahan yang signifikan. 23

4.6 KARAKTERISTIK FUNGSIONAL AMPOK DAN GRITS TERMODIFIKASI

Sifat fungsional merupakan sifat fisikokimia yang mempengaruhi perilaku komponen tersebut dalam makanan selama persiapan, pengolahan, penyimpanan, dan konsumsi Metirukmi, 1992. Analisis yang dilakukan untuk mengamati sifat fungsional ampok dan grits meliputi: kelarutan, daya serap air, daya serap minyak, viskositas, daya cerna pati, dan swelling power Tabel 7.

1. Daya Serap Minyak

Analisis ragam Lampiran 4 halaman 45 menunjukkan interaksi antara waktu inkubasi enzim dengan kecepatan putar drum dryer memberikan pengaruh sangat nyata terhadap daya serap minyak grits. Nilai daya serap minyak hasil analisis berkisar pada angka 0,02-3,65 gg. Bahan baku awal memiliki nilai daya serap minyak sebesar 5,06 gg, sehingga terjadi penurunan sebesar 27-99 . Besarnya nilai daya serap minyak dipengaruhi oleh kadar pati yang terkandung di dalam bahan. Granula pati dapat basah dan secara spontan dapat terdispersi di dalam air atau minyak. Hal ini menunjukkan bahwa granula dapat memberikan gugus hidrofilik dan hidrofobik Elliasson 2004. Hal tersebut menguatkan dugaan bahwa tepung dengan perlakuan inkubasi 3 dan 6 jam akan memiliki daya serap minyak lebih tinggi dibandingkan yang tidak diberikan perlakuan inkubasi. Grits dengan perlakuan putaran drum dryer rendah 4 rpm memiliki nilai daya serap minyak tertinggi, karena dalam putaran rendah bahan tepung memiliki waktu lebih lama kontak dengan silinder mengakibatkan proses pengeringan lebih sempurna, keadaan tersebut menyebabkan kadar pati meningkat yang memberikan dampak daya serap minyak juga meningkat.

2. Viskositas

Analisis ragam Lampiran 4 halaman 46 menunjukkan interaksi antara waktu inkubasi enzim dengan kecepatan putar drum dryer memberikan pengaruh nyata terhadap viskositas pada tepung ampok dan sangat nyata pada grits. Nilai viskositas tepung ampok berkisar antara 4,5-18 cP, terjadi peningkatan dibandingan nilai viskositas pada bahan baku awal, yaitu sebesar 3,75 cP. Peningkatan yang terjadi cukup tinggi berkisar 20-300 . Sementara pada grits nilai viskositas berkisar antara 12-30 cP, terjadi juga peningkatan dari nilai bahan baku awal yaitu 9,25 cP. Persentase peningkatannya berkisar 29-200 . Peningkatan nilai viskositas pada tepung ampok dan grits disebabkan oleh air pada awalnya berada di luar granula pati sehingga bebas bergerak, setelah dipanaskan air bergerak masuk ke dalam granula pati sehingga terjadi pembengakakan pati Winarno 2008. Pengaruh putaran drum dryer berperan penting sebagai faktor tingginya nilai viskositas . Terlihat tepung dengan perlakuan putaran drum dryer rendah 4 rpm memiliki nilai viskositas teringgi, putaran rendah drum dryer pada memberikan proses pengeringan yang sempurna bagi tepung sehingga teksturnya menjadi mudah hancur dan mudah larut dalam larutan, hal ini yang menjadikan tingginya nilai viskositas saat pengujian. Hal ini dikemukakan oleh Aurora 2003, bahwa salah satu karakteristik pati pragelatinisasi ialah memiliki viskositas tinggi pada kondisi pengukuran pasta dingin. Tabel 7. Sifat fungsional tepung ampok dan grits termodifikasi Keterangan : A1 : Bahan baku awal ampok A2 : Bahan baku awal grits E1R1 : tanpa inkubasi enzim, putaran drum dryer 4 rpm E1R2 : tanpa inkubasi enzim, putaran drum dryer 8 rpm E2R1 : dengan inkubasi enzim 3 jam, putaran drum dryer 4 rpm E2R2 : dengan inkubasi enzim 3 jam, putaran drum dryer 8 rpm E3R1 : dengan inkubasi enzim 6 jam, putaran drum dryer 4 rpm E3R2 : dengan inkubasi enzim 6 jam, putaran drum dryer 8 rpm Nilai dengan notasi Duncan sama pada baris yang sama, tidak berbeda nyata pada taraf 5 Sifat Fungsional Ampok 1 A1 Grits A2 A1 E1R1 E1R2 E2R1 E2R2 E3R1 E3R2 A2 E1R1 E1R2 E2R1 E2R2 E3R1 E3R2 Kelarutan 21,6 20,00 18,34 a 23,34 a 20,00 a 30,00 a 33,34 a 15,00 a 20,00 10,00 a 23,34 a 20,00 a 20,00 a 20,00 a a Daya Serap Air gg 5,74 2,03 1,98 a 1,31 a 4,14 a 1,45 a 1,52 a 5,93 a 1,68 1,66 a a a 0,01 a 0,18 a a Daya Serap Minyak gg 5,31 4,08 3,19 a 3,53 a 3,25 a 4,54 a 4,36 a 5,06 a 0,02 2,20 c 3,65 b 2,38 a 2,45 b 2,66 b b Viskositas cP 3,75 4,50 10,25 d 15,50 c 14,00 ab 12,00 abc 18,00 bc 9,25 a 30,00 12,00 a 21,00 d 17,00 c 18,00 c 25,50 c b Daya Cerna Pati 38,18 41,48 45,65 d 61,01 c 56,08 a 61,13 b 62,51 a 44,72 a 50,28 47,02 c 55,95 d 51,18 b 56,63 c 66,36 b a Swelling Power 52,18 50,57 51,03 a 50,64 a 47,13 a 53,64 a 59,74 a 46,55 a 49,84 44,44 a 47,58 a 47,00 a 42,00 a 49,46 a a 24 25

3. Daya cerna pati

Analisis ragam Lampiran 4 halaman 48 menunjukkan interaksi antara waktu inkubasi enzim dengan kecepatan putar drum dryer memberikan pengaruh sangat nyata terhadap daya cerna pati tepung ampok dan grits. Tepung ampok memiliki nilai daya cerna pati berkisar antara 41,49-62,51 , dimana terjadi peningkatan nilai daya cerna dari kandungan awal bahan sebesar 38,18 . Peningkatan yang terjadi sebesar 8-63 . Pada grits nilai daya cerna pati berkisar antara 47,02-66,36 . Terjadi peningkatan dari nilai daya cerna pati bahan baku awal yaitu 44,72 . Persentase peningkatannya sebesar 5-48 . Berdasarkan Tabel 7 terlihat tren yang sama, yaitu semakin lama waktu inkubasi enzim maka semakin tinggi daya cernanya. Hal ini dikarenakan pengaruh dari aktivitas selulase dan xilanase. Sebelum diberikan enzim struktur pati berada di dalam matriks yang dikelilingi kandungan selulosa dan hemiselulosa, kondisi pati seperti ini disebut resistant starch tipe 1. Pemberian selulase akan menghidrolisis selulosa sedangkan xilanase akan menghidrolisis hemiselulosa, menjadikan pati dapat keluar dari struktur matriks sehingga pada saat dilakukan analisis daya cerna kandungan pati yang terdeteksi akan semakin banyak karena selulosa dan hemiselulosa yang menutupi pati sudah terhidrolisis oleh selulase dan xilanase. Daya cerna ini menunjukkan persentase pati yang dapat dicerna dari keseluruhan karbohidrat dalam pati.

4. 7 KARAKTERISTIK FISIK AMPOK DAN GRITS TERMODIFIKASI

Analisa mikrostruktur menggunakan mikroskop cahaya terpolarisasi dilakukan untuk mengetahui bentuk granula pati jagung secara umum dan perubahan morfologi granula akibat perlakuan proses enzimatis dan pragelatinisasi menggunakan drum dryer. Penampakan fisik mikrostruktur tepung ampok dan grits termodifikasi disajikan pada Gambar 14 dan Gambar 15. 26 Keterangan : A1 : Ampok E Waktu inkubasi; E1: 0 jam, E2: 3 jam, E3: 6 jam R Laju putar drum; R1 :4 rpm, R2: 8 rpm A1 A1E1R1 A1E1R2 A1E2R1 A1E2R2 A1E3R1 A1E3R2 Gambar 14. Penampakan mikroskopik dari struktur ampok akibat perlakuan enzim dan pemanasan. Pengujian dengan mikroskop cahaya terpolarisasi dengan perbesaran 200X 27 Keterangan : A2 : Grits E Waktu inkubasi; E1: 0 jam, E2: 3 jam, E3: 6 jam R Laju putar drum; R1 :4 rpm, R2: 8 rpm A2 A2E1R1 A2E1R2 A2E2R1 A2E2R2 A2E3R1 A2E3R2 Gambar 15. Penampakan mikroskopik dari struktur grits akibat perlakuan enzim dan pemanasan. Pengujian dengan mikroskop cahaya terpolarisasi dengan perbesaran 200X 28 Gambar 14 pada bagian A1 merupakan penampakan bahan baku awal ampok, terlihat struktur pati sangat padat karena masih menumpuk antara pati, selulosa, dan hemiselulosa. Kemudian pada bagian A1E1R1 dan A1E1R2 pati hanya mengalami proses pragelatinisasi menggunakan drum dryer sehingga muncul seperti kesan gambar berkabut serta warna bitu kuning seperti memudar. Bagian A1E2R1 dan A1E2R2 memperlihatkan penampakan pati setelah diberi selulase dan xilanase, terlihat jelas dominasi warna biru dan kuning yang menandakan sifat birefringence pati. Bagian terakhir A1E3R1 dan A1E3R2 terlihat warna biru dan kuning semakin sedikit karena proses enzim menghirolisis selulosa dan hemiselulosa telah berjalan sempurna. Gambar 15 memperlihatkan akibat yang ditimbulkan akibat perlakuan proses hidrolisis dan pragelatinisasi pada grits. Bagian awal gambar A2 menunjukkan bahan baku awal grits belum mengalami perlakuan, terlihat penampakan gambar menggumpal pada satu tempat. Hal ini karena antara komponen pati, selulosa, dan hemiselulosa masih tercampur. Pada bagian gambar A2E1R1 dan A2E1R2 merupakan bagian pati yang belum terhidrolisis enzim, hanya mengalami proses pragelatinisasi. Terlihat warna putih berkabut membentuk seperti lapisan bening, hal ini menandakan pati tergelatinisasi. Seharusnya pada gambar ini terlihat juga banyak warna biru dan kuning sebagai indikator pati belum terhidrolisis, namun pada saat pengambilan gambar menggunakan mikroskop sulit mendapatkan gambar yang baik untuk menunjukkan indikator tersebut. Gambar A2E2R1 dan A2E2R2 memperlihatkan kondisi pati setelah proses hidrolisis enzim bekerja. Terlihat warna biru dan kuning yang semakin sedikit, menandakan residu bagian yang tidak rusak oleh aktivitas enzim sekaligus tidak tergelatinisasi. Bagian terakhir yaitu gambar A2E3R1 dan A2E3R2 memperlihatkan dari dekat semakin memudarnya warna biru dan bertambah jelas warna kuning. Hal ini disebabkan aktivitas enzim yang merubah dari kondisi pati fase kristalin warna biru menjadi fase amorf warna kuning. Berdasarkan Gambar 14 dan 15 dapat terlihat warna berkabut seperti membentuk lapisan bening tipis, hal ini menandakan telah terjadi proses pragelatinisasi. Pada pati pragelatinisasi, sebagian besar amilosa dan amilopektin telah terpisah akibat proses gelatinisasi sehingga amilosa lebih banyak terdapat di luar granula. Dapat dilihat bentuk granula pati pragelatinisasi sudah tidak beraturan lagi seperti halnya bentuk granula pada pati alami yang bulat dan utuh. Hal ini terjadi akibat proses gelatinisasi menyebabkan beberapa granula pati alami pecah dan tidak dapat kembali lagi seperti bentuk aslinya irrevresible. Menurut Belitz dan Grosch 1999, gelatinisasi merupakan suatu perubahan bentuk granula pati yang bersifat irreversible akibat penyerapan air panas pada suhu tertentu. Warna biru dan kuning pada Gambar 14 dan 15 menandakan bagian residu yang tidak rusak oleh aktivitas enzim dan tidak tergelatinisasi. Terlihat juga tepung yang mengalami perlakuan pragelatinisasi dengan drum dryer 4 rpm dan 8 rpm memiliki warna biru kuning yang semakin memudar. Hal tersebut menunjukkan sifat birefringence pada pati telah rusak. Sifat birefringence adalah sifat granula pati yang dapat merefleksi cahaya terpolarisasi sehingga di bawah mikroskop polarisasi membentuk bidang berwarna biru dan kuning. French 1984 menyatakan, warna biru dan kuning pada permukaan granula pati disebabkan oleh adanya perbedaan indeks refraktif yang dipengaruhi oleh struktur molekuler amilosa dalam pati. Bentuk heliks dari amilosa dapat menyerap sebagian cahaya yang melewati granula pati. Bentuk granula merupakan ciri khas dari masing-masing pati. Berdasarkan Pomeranz 1991, Perubahan yang terjadi selama gelatinisasi pati adalah larutnya molekul amilosa, berkurangnya ikatan di dalam granula pati, meningkatnya kekuatan antar granula, meningkatnya kekentalan viskositas, meningkatnya kejernihan pasta, pengembangan serta hidrasi granula pati, dan hilangnya sifat birefringence dari granula pati. Hal ini 29 diperkuat oleh Leach 1965, menyatakan bahwa pemanasan dan pengeringan pati alami pada suhu di atas suhu gelatinisasi yang berlangsung cepat dan spontan mengakibatkan beberapa granula pati pragelatinisasi masih utuh namun sebagian besar telah rusak. Hal ini dapat terlihat pada Gambar 14 dan 15 bahwa pati pragelatinisasi telah kehilangan sebagian besar sifat birefringence-nya. Hal ini terjadi akibat pecahnya granula pati pada proses pragelatinisasi. Semakin cepat putaran drum dryer maka semakin sedikit waktu untuk proses pemanasan dan pengeringan pati pada permukaan drum. Hal ini menyebabkan semakin sedikit pula jumlah granula pati yang tergelatinisasi. Sehingga pada perlakuan dengan putaran drum dryer 8 rpm E1R2, E2R2, E3R2 terlihat bentuk granula pati masih dalam kondisi kokoh jika dibandingkan dengan putaran yang lebih lama, yaitu 4 rpm E1R1, E2R1, E3R1 karena pada putaran 8 rpm pati tidak tergelatinisasi sempurna dibandingkan dengan putaran 4 rpm. Sedangkan, semakin lama putaran 4 rpm akan terjadi proses perusakan struktur pati lebih banyak. Pengaruh selulase dan xilanase terlihat jelas pada struktur granula pati. Perlakuan dari E1R1 hingga ke E3R2 semakin lama strukturnya semakin tidak beraturan, dapat diartikan enzim bekerja maksimal dalam mendegradasi komponen serat yang terdapat pada pati. Ikatan pada granula yang pada awalnya terlihat kokoh tersambung satu sama lain, dengan ditambahkannya enzim maka struktur secara perlahan menjadi terpecah dan tidak beraturan. Xilanase dapat mendegradasi xilan sehingga dihasilkan xilosa yang dapat digunakan sebagai prebiotik. Enzim xilanase digunakan untuk mendegradasi xilan agar dihasilkan gula xilosa Collins, 2005. Selulosa terdegradasi secara sinergis menjadi glukosa oleh 3 tipe selul ase: 1 Endoglukanase, yang secara acak memotong ikatan β-1,4-glikosidik dari ujung rantai selulosa 2 Selobiohidrolase, yang memproduksi selobiosa dengan cara menyerang dari ujung rantai selulosa 3 β-glukosidase yang mengkonversi selobiosa menjadi glukosa Zhang dan Lynd, 2004. V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Salah satu cara pemanfaatan ampok dan grits hasil samping industri penggilingan jagung sebagai bahan pangan yaitu dengan meningkatkan daya cerna melalui proses modifikasi secara enzimatis menggunakan selulase dan xilanase serta pragelatinisasi menggunakan drum dryer. Pada produksi tepung ampok dan grits, penambahan enzim selulase dan xilanase dan semakin lama waktu inkubasi enzim 6 jam menyebabkan rusaknya struktur kimia dari sera akibat aktifitas enzimatis, sehingga granula pati dapat keluar dari matriks resistant starch tipe 1, hal ini penyebab bertambahnya jumlah pati yang dapat terdeteksi saat dilakukan analisa daya cerna, sehingga persentase daya cerna pati meningkat. Pada drum dryer pati mengalami proses pragelatinisasi, kemudian dikeringkan sehingga penampakannya menjadi dalam bentuk tepung. Pengeringan ampok dan grits dengan kecepatan rendah 4 rpm menjadikan struktur tepung lebih kering dan mudah hancur jika digenggam, karena semakin lambat putaran menjadikan waktu kontak ampok dan grits dengan drum pengering menjadi semakin lama. Ampok yang telah dimodifikasi mengalami perubahan karakteristik, yaitu terjadi perubahan komponen kimia berupa penurunan kadar air 14-22 dan peningkatan nilai kadar pati sebesar 7-15. Pada komponen sifat fungsional mengalami perubahan dalam bentuk peningkatan cukup tinggi pada nilai viskositas sebesar 20-300 dan peningkatan daya cerna sebesar 8-63. Grits hasil modifikasi mengalami perubahan, yaitu peningkatan kadar air 8-12, peningkatan kadar protein sebesar 2,8, dan penurunan kadar lemak sebesar 37-71. Komponen fungsional grits hasil modifikasi juga mengalami perubahan, yaitu penurunan daya serap minyak 27-99, peningkatan nilai viskositas 29-200, dan peningkatan daya cerna sebesar 5-48. Hasil uji penampakan fisik granula pati secara mikroskopik memberikan gambaran aktivitas selulase dan xilanase bekerja optimal dalam mengurai komponen serat pada ampok dan grits. Hal ini memberikan dampak perbaikan bagi daya cerna, sehingga dapat menjadikan ampok dan grits sebagai bahan pangan langsung atau menjadi bahan baku industri pangan.

5.2 SARAN

Perbaikan komponen kimia dan fungsional ampok dan grits sebaiknya dijadikan tahap awal melakukan penelitian lanjutan. Penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk mengakomodasi karakter ampok dan grits hasil modifikasi yang sesuai dengan kebutuhan pembuatan produk lain, sehingga ampok dan grits dapat dijadikan variasi produk dengan nilai tambah lebih tinggi. Hasil penelitian ini disarankan untuk pembuatan produk pangan, melihat dari potensi kandungan nutrisi yang tinggi pada ampok dan grits. DAFTAR PUSTAKA AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of The Association of Official of Analytical Chemist. AOAC International,Washington D.C. AOAC. 1999. Official Methods of Analysis of The Association of Official of Analytical Chemist. AOAC International, Washington D.C. Ariwibowo S S. 2006. Kajian Pengaruh Perbandingan Konsentrasi Pati dan Kecepatan Putaran Drum Dryer Terhadap Karakteristik Tapioka Pragelatinisasi [skripsi]. Fateta-IPB, Bogor. Aurora S. 2003. The Effect of Enzymes and Starch Damage on Wheat Flour Tortilla Quality [thesis]. Texas AM University, USA. Baah DF. 2009. Characterization of Water Yam Dioscorea atalata for Existing and Potential Food Product [thesis]. Faculty of Biosciences Kwame Nkrumah University, Nigeria. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1998. Hasil Ikutan Pengolahan Jagung-Bahan Baku Pakan SNI 01- 4484-1998 . Badan Standardisasi Nasional, Jakarta. Bajpai P, Pramod KB. 1998. Deinking with Enzyme: A review. TAPPI J 8: 12,111. Bansal P. 2009. Modeling cellulase kinetics on lignocellulosic substrates. J Bio Technol Adv 10:1016. Belitz HD, Grosch W. 1999. Food Chemistry. Spinger Verlage, Berlin. Damardjati D.S, Widowati S, Wargiono J, Purba S. 2000. Potensi dan pendayagunaan sumber daya bahan pangan lokal serealia, umbiumbian, dan kacang-kacangan untuk penganekaragaman pangan. Makalah pada Lokakarya Pengembangan Pangan Alternatif, 24 Oktober 2000, Jakarta. Da Silva R, Lago ES, Merheb CW, Machione MM, Park YK, Gomes E. 2005. Production of xylanase and CMCase on solid state fermentation in different residues by Thermoascus auranticus Miehe. Brazilian J Microb 36 : 235 – 241. Daulay S. 2005. Pengeringan Padi [skripsi]. Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan. Deacon JW. 1997. Modern Micology. Blackwell Science, New York. Effendi S, Sulistiati. 1991. Bercocok Tanam Jagung. CV. Yasaguna, Jakarta. Elliasson AC. 2004. Starch In Food. Structure, Function, and Application. Woodhead Publishing Limited. CRC Press, New York. Fardiaz S. 1989. Mikrobiologi Pangan 1. PAU Pangan dan Gizi, IPB, Bogor. Fellows PJ. 2000. Food Processing Technology Second Edition. CRC Press, Washington D. C. Ferguson LD. 1995. Bleaching wastepaper. TAPPI Deinking Short Course, Atlanta, GA, USA. French D. 1984. Organization of starch granules. In: Whistler RL, Bemmiler JN, Paschall EF eds. Starch: Chemistry and Technology . Academic Press Inc., New York. 32 Harnum B. 2008. Kegunaan Hidrokarbon dalam Kehidupan Sehari-hari. http:persembahanku.files.wordpress.com200705molekul-selulosa.jpg. [29 Mei 2011] Inglett GE. 1970. Corn: Culture, Processing, Products. The AVI Publishing Company, Connecticut. Suryawijaya I. 2009. Rancang Bangun Sistem Intelijen untuk Enterprise Resource Planning ERP Pada Industri Tepung Jagung [skripsi]. Fateta-IPB, Bogor. Kibar AA, Gonenc, Us F. 2009. Gelatinization of waxy, normal, and high amylose corn starches. J Food Technol 43 : 2-10. Kusnandar F. 2010. Teknologi Modifikasi Pati dan Aplikasinya di Industri Pangan. http:itp.fateta.ipb.ac.ididindex.php?option=com_contenttask=viewid=111Itemid=94. [9 November 2010]. Leach MW. 1965. Gelatinization of starch. In: Whistler RL, Miller JN, Paschall EFeds. Starch: Chemistry and Technology . Academic Press Inc., Orlando, Florida. Leonard WH, Martin JH. 1963. Cereal Crop. The Mc Millan, New York. Lorenz KJ, Karel K. 1991. Handbook of Cereal Science and Technology. Marcell Dekker Inc., Basel. Mandels M, Weber J. 1986. The Production of Cellulase - Advance in Chemistry Vol 95. American Chemical Society, Washington D. C. Matz S. 1959. The Chemistry and Technology Cereals as Food and Feed. The AVI Publishing Company, Connecticut. Metirukmi D. 1992. Peranan kedelai dan hasil olahannya dalam penanggulangan masalah gizi ganda. Makalah pada Seminar Pengembangan Teknologi Pangan dan Gizi, 19 Desember 1992, Bogor. Morrison FB. 1959. Feeds and Feeding. Morrison Publishing Co., Iowa. Morrison WR, Tester RF. 1999. Properties of damaged starch ganules: composition of ball-milled wheat starches and of fractions. J Cereal Sci 20:69-77. Muhadjir F. 1988. Karateristik Tanaman Jagung. Badan Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Mujumdar AS. 2000. Panduan Praktis Mujumdar untuk Pengeringan Industrial. IPB Press, Bogor. Muljohardjo. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. UI Press, Jakarta. Pomeranz Y.1991. Functional Properties of Food Components. Academic Press Inc, San Diego. Ratnayake WS, Hoover R, Tom W. 2002. Pea starch: composition, structure, and properties – review. StarchStarke 54 : 217-234. Rausch K, Belyea R. 2006. The future of coproducts from corn processing. App Biochem and Biotech 128 : 47-86. Richana N, Irawadi T.T, Nur A, Sailah I, Syamsu K. 2006. Seleksi dan formulasi media pertumbuhan bakteri penghasil xilanase. J Pascapanen 31: 41-49. 33 Richana N, Irawadi T.T, Nur A, Sailah I, Syamsu K. 2007. The process of xylanase production from Bacillus pumilis RXAIII-5. J Microb Indonesia 12: 74-80. Sathe SK, Salunkhe DK. 1981. Isolation, partial characterization and modification of the great northern bean Phaseolus vulgaris starch. J Food Sci. 462: 617-621. Sharma V, Moreau RA, Singh V. 2008. Increasing the value of hominy feed as coproduct by fermentation. App Biochem and Biotechnol 149: 145-153. Suarni. 2001. Tepung komposit sorgum, jagung, dan beras untuk pembuatan kue basah cake. Risalah Penelitian Jagung dan Serealia Lain. Jurnal Balai Penelitian Tanaman Jagung dan Serealia, Maros6. Hal. 55-60. Subramaniyan S, Prema P. 2002. Critical Rev. Biotechnol 221: 33-46. Sudarmadji S, Haryono B, Suhardi. 1996. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty, Yogyakarta. Sudjana A. 1991. Jagung. Buletin Teknik Pertanian 3: 2-19. Sunarti TC, Richana N. 2007. Produksi selulase oleh Trichoderma viride pada media tongkol jagung dan fraksi selulosanya. J Pascapanen 42: 57-64. Thompson AW. 2006. Diet Cook Book. www.indomemo.comdietcookbook. [17 Juni 2011]. Tsujibo H, Miyomoto K, Kuda T, Minami K, Sakamoto T, Hasegawa T, Ianamori Y. 1992. Purification, properties, and partial amino acid sequences of thermostable xylanase from Streptomyces termoviolaceus OPC-520. App Environ Microbiol 58:371-375. Van Soest PJ, Robertson JB, Lewis BA. 1991. Methods for dietary fiber, neutral detergent fiber, and non- starch polysaccharides in relation to animal nutrition. J Dairy Sci 74: 3583-3597. Warisno. 1998. Jagung Hibrida. Kanisius, Yogyakarta. Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka, Jakarta. Www. challenge.com.cnenglish20071015article_15.html. [6 Juni 2010]. Www.edinformatics.comxylan. [9 Juni 2011]. Www. Newenergyandfuel.comcomponents of the corn kernel. [31 Maret 2010]. Zhang YHP, Lynd LR. 2004. Toward an aggregated understanding of enzymatic hydrolysis of cellulose: noncomplexed cellulase systems. J Biotechnol 88:797–824.