Produksi pati termoplastik berbasis ampok jagung

(1)

PRODUKSI PATI TERMOPLASTIK BERBASIS AMPOK

JAGUNG

SKRIPSI

ASTO HADIYOSO

F34062305

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

PRODUKSI PATI TERMOPLASTIK BERBASIS AMPOK JAGUNG

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh ASTO HADIYOSO

F34062305

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(3)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Produksi Pati Termoplastik berbasis Ampok Jagung adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dari Dosen Pembimbing Akademik dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Mei 2011 Yang membuat pernyataan

Asto Hadiyosommm

F34062305mmmii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI


(4)

Judul Skripsi : Produksi Pati Termoplastik berbasis Ampok Jagung Nama : Asto Hadiyoso

NRP : F34062305

Menyetujui,

Dosen Pembimbing Pertama Dosen Pembimbing Kedua

(Prof. Dr. Ir. Djumali Mangunwidjaja, DEA) (Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M.Si) NIP 19500720198103.1.003 NIP 19661219199103.2.001

Mengetahui : Ketua Departemen,

(Prof. Dr. Nastiti Siswi Indrasti) NIP 19621009 198903.2.001


(5)

Asto Hadiyoso. F34062305. Produksi Pati Termoplastik berbasis Ampok Jagung. Di bawah bimbingan Djumali Mangunwidjaja dan Titi Candra Sunarti.

RINGKASAN

Penggunaan plastik konvensional turunan minyak bumi yang semakin besar semakin menyisakan masalah, khususnya mengenai dampaknya terhadap lingkungan. Kemampuannya yang sangat rendah untuk didegradasi secara alami oleh lingkungan meningkatkan potensi pencemaran lingkungan seiring bertambahnya penggunaannya di masyarakat. Salah satu solusi yang dapat dikemukakan adalah mencari bahan alternatif yang dapat menggantikan peran polimer sintetis tersebut namun tetap memiliki kemampuan yang cukup tinggi untuk didegradasi secara alami oleh lingkungan. Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan, pati dinilai sebagai bahan yang cukup prospektif untuk itu. Namun demikian, penggunaan pati untuk bahan alternatif tersebut berkompetisi dengan penggunaannya untuk pangan. Ampok jagung, yang merupakan hasil samping dari industri penggilingan jagung, dinilai memenuhi persyaratan tersebut karena masih mengandung cukup banyak pati serta penggunaannya masih terbatas pada pakan ternak. Untuk itu diperlukan kajian yang lebih mendalam mengenai potensi penggunaan ampok jagung sebagai bahan dasar produksi termoplastik dengan metode produksi yang umum digunakan, yakni melalui ekstrusi dengan pemlastis gliserol.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik material termoplastik yang dihasilkan dengan bahan baku ampok jagung. Selain itu penelitian ini juga bertujuan mengidentifikasi pengaruh konsentrasi bahan pemlastis gliserol dan penambahan pati terhadap karakteristik termoplastik yang dihasilkan tersebut.

Penelitian yang dilakukan meliputi karakterisasi ampok jagung serta tapioka, pembuatan termoplastik berbasis ampok jagung, serta karakterisasi termoplastik yang dihasilkan. Karakterisasi ampok jagung terdiri atas analisis kandungan komponen proksimat, pati, serta amilosa. Formulasi adonan terdiri atas penggunaan ampok jagung dan tapioka dengan perbandingan 100:0%, 75:25%, 50:50%, dan 25-75% terhadap penggunaan gliserol 25%, 30%, dan 35% berat kering. Pembuatan termoplastik berbasis ampok jagung dilakukan menggunakan rheocord mixer Haake 3000 berulir ganda dengan kecepatan 60 rpm dan suhu di masing-masing bagian adalah 1200C, 1300C, dan 1200C. Karakterisasi pati termoplastik meliputi analisis permukaan menggunakan SEM (scanning electron microscope), sifat termal menggunakan DSC (differential scanning calorimeter), dan penetrometer. Rancangan percobaan yang dilakukan adalah rancangan percobaan acak lengkap faktorial dan digunakan dua kali ulangan.

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa penggunaan ampok jagung secara mandiri untuk menghasilkan termoplastik dapat dilakukan menggunakan pemlastis gliserol pada konsentrasi 25% namun produk yang dihasilkan memiliki kekuatan tarik yang relatif kecil yakni 2,35 kg/cm2. Penggunaan gliserol sebanyak 30% atau lebih besar pada ampok jagung secara mandiri menghasilkan produk yang retak dan tidak layak digunakan lebih lanjut. Adanya penambahan tapioka mampu meningkatkan kekuatan tarik termoplastik tersebut sekaligus kemuluran putusnya. Melalui pengamatan dengan SEM, peran gliserol sebagai bahan pemlastis pati termoplastik dapat terlihat yang ditandai dengan terdisrupsinya granula pati menjadi struktur yang lebih homogen. Selain itu penggunaan gliserol berdampak pada peningkatan kekerasan pati termoplastik namun juga


(6)

menyebabkan penurunan nilai kekuatan tarik serta Tg. Pada termoplastik berbahan ampok jagung 100%, terdapat dua nilai Tg dan tidak terdapat nilai Tm sedangkan termoplastik yang mengandung 75% tapioka sama-sama memiliki satu nilai Tg dan Tm.


(7)

PRODUCTION OF THERMOPLASTIC STARCH BASED ON CORN HOMINY

Djumali Mangunwidjaja, Titi Candra Sunarti, and Asto Hadiyoso

Departement of Agroindustrial Technolog, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural Univesity, IPB Dramaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java,

Indonesia

e-mail: asto_shirosaki@yahoo.co.id

ABSTRACT

Corn hominy is a by product of corn milling industry. It contains of fiber (10,5%), protein (9,85%), fat (14,6%), and a large amount of starch (58,19%) which can partly substitute synthetic materials for making starch based thermoplastic materials. The aims of this research is identifying the effects of tapioca and glycerol contents on mechanical properties (tensile strength, elongation at break, and hardness) and thermal properties (Tg and Tm) of corn hominy based thermoplastic materials. The tapioca contents varies from 0% to 75% (w/w) and the glycerol contents varies from 25% to 35% (w/w). The blends were prepared using counter rotating twin screw mixer followed by compression molding. In this study, it has been observed that using corn hominy as a sole material for making thermoplastic was not feasible as its poor characteristics. An additional starch from other sources such as tapioca was necessary to make it more plasticy. Increasing in the tensile strength, elongation at break, and glass transition point was occured when tapioca content was increased in the blends. Meanwhile, increasing the glycerol contents in the blends decreased the tensile strength and glass transition point and increased the hardness of specimen. Larger amount of glycerol also reducing the granular crystalline structures observed by SEM.

Keywords: thermoplastic starch, corn hominy, glycerol, tapioca, characteristics


(8)

BIODATA PENULIS

Asto Hadiyoso, lahir di Tebing Tinggi (Sumatera Utara), 16 Juni 1989 dari pasangan Dra. Hj. Asminiwaty (ibu) dan Drs. H. Sudarto (ayah), sebagai putra kedua dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan formal di SD Negeri 010083 Kisaran pada tahun 2000, di SLTP Negeri 1 Kisaran pada tahun 2003, dan di SMA Negeri 2 Kisaran pada tahun 2006. Pada tahun 2006 Penulis diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama studi di IPB Penulis aktif di berbagai kegiatan kemahasiswaan baik akademik maupun non-akademik seperti menjadi Asisten Mata Kuliah Penerapan Komputer, Praktikum Bioproses, dan Teknik Optimasi, menjadi pengurus di LDK Al Hurriyyah, Forces IPB, Forum Bina Islami Fateta, dan Program Kakak Asuh. Penulis pernah menjadi Juara II di LKTM bidang Pendidikan Tingkat IPB dan Juara I di LKTM bidang Seni Tingkat Nasional tahun 2008. Penulis juga tercatat sebagai salah seorang peserta dan penerima beasiswa Program Pembinaan Sumber daya Manusia Strategis (PPSDMS) Nurul Fikri pada tahun 2008-2010. Pada tahun 2009 Penulis malaksanakan Pratek Lapang di Balai Besar Teknologi Pati (BBTP) Lampung. Pada tahun 2010 Penulis melangsungkan pernikahan dengan Rizky Susti Ningrum, mahasiswi tingkat akhir Jurusan Matematika IPB. Pada tahun 2011 Penulis lulus dari IPB dengan tugas akhir berjudul Produksi Pati Termoplastik berbasis Ampok Jagung. Korespondensi dengan penulis dapat dilakukan melalui email: asto_shirosaki@yahoo.co.id


(9)

iii

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Alloh SWT, Tuhan tempat penulis mengadu, memohon ampun, dan meminta pertolongan. Penulis berlindung pada Alloh dari kejelekan diri sendiri serta keburukan amal yang dilakukan. Atas karunia Alloh jua lah akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan. Sholawat serta salam penulis sampaikan kepada nabi Muhammad saw, penutup para nabi, yang telah membuktikan pada dunia bahwa perjuangan keras dalam keikhlasan akan berbuah manis. Penelitian berjudul “Produksi Ampok Pati termoplastik dengan Bahan Pemlastis Gliserol” ini penulis dilaksanakan sejak bulan Juli 2010 hingga Februari 2011.

Penulis menyadari bahwa karunia terhadap pelaksanaan penelitian serta penulisan skripsi ini Alloh berikan melalui peran, dukungan, serta kerjasama banyak pihak. Oleh karena itu dengan penuh hormat dan penghargaan penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada :

1. Ibuk dan Bapak tercinta di kampung halaman, isteri tercinta yang selalu menyertai, serta keluarga besar yang dengan penuh kasih sayang terus mendoakan dan memberikan dukungan spiritual maupun material pada penulis.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Djumali M, DEA dan Ibu Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M.Sc selaku dosen pembimbing dan dosen pembimbing II yang telah memberikan arahan, saran, dan kritik yang membangun pada penulis hingga skripsi ini selesai dituliskan.

3. Ibu Ir. Evi Savitri Iriani, M.Sc yang telah memberikan bantuan begitu banyak bagi penulis dalam penyelesaian penelitian.

4. Randi Swandaru, Syahrun Mubarak, Ismeri, Neli Muna, Adrian D. Putra, serta kawan-kawan yang telah menyertai penulis dalam pahit-manisnya penelitian.

5. Bapak Yuli, Mas Roro dan Mas Deni, atas kesediaannya memberikan fasilitas dalam pelaksanaan penelitian di Pertamina Pulo Gadung.

6. Ibu Istie, Ibu Endang, Ibu Yepi, Mas Irfan, dan Mbak Yeni atas bantuannya dalam pengujian sampel penelitian.

7. Laboran di Departemen TIN: Ibu Egnawati Sari, Ibu Rini Purnawati, Ibu Sri Mulyati, Bapak Edi Sumantri, Bapak Gunawan, Bapak Sugiardi, Bapak Yogi Suprayogi atas bantuannya selama penelitian.

8. Teman-teman satu korps di PPSDMS dan satu perjuangan di FBI Lingkar Cendekia yang terus menyemangati.

9. Teman-teman di satu rumah besar bernama TIN’43 atas penyertaannya dalam perjuangan penulis menjadi manusia terdidik.

10. Serta sahabat dan teman-teman yang tidak mampu penulis sebutkan satu per satu.

Hanya doa dan ucapan terimakasih yang mampu penulis sampaikan, jazakalloh khoiron jaza, semoga Alloh memberikan sebaik-baik balasan dan mempertemukan kita kembali di tempat yang jauh lebih baik daripada dunia ini. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan kontribusi nyata bagi pengembangan IPTEK di tanah air, khususnya dalam rangka memberikan nilai tambah bagi pertanian Indonesia.

Bogor, Mei 2011 Penulis


(10)

iv

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR TABEL... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan Penelitian ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1. Ampok Jagung (Corn Hominy) ... 3

2.2. Pati termoplastik (Thermoplastic Starch) ... 4

2.3. Pemlastis (Plasticizer) Gliserol ... 5

2.4. Pemlastikan (Plasticisation) ... 6

2.5. Ekstrusi (Extrusion) ... 7

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 10

3.1. Bahan dan Alat ... 10

3.1.1. Bahan ... 10

3.1.2. Alat ... 10

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 10

3.3. Metode Penelitian ... 10

3.3.1. Persiapan dan Karakterisasi Ampok Jagung Serta Tapioka ... 11

3.3.2. Pembuatan Pati termoplastik berbasis Ampok Jagung ... 12

3.3.2.1. Formulasi bahan... 12

3.3.2.2. Rancangan percobaan... 12

3.3.2.3. Pemlastikan... 13

3.3.3. Karakterisasi Pati termoplastik berbasis Ampok Jagung ... 13

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 15


(11)

v

4.1.1. Kadar Komponen Proksimat ... 15

4.1.2. Kadar Pati... 16

4.2. Karakteristik Pati termoplastik berbasis Ampok Jagung ... 17

4.2.1. Kekuatan Tarik (Tensile Strength) ... 19

4.2.2. Kemuluran Putus (Elongation at Break) ... 22

4.2.3. Kekerasan (Hardness) ... 23

4.2.4. Hasil Analisis SEM dari Pati termoplastik berbasis Ampok Jagung... 24

4.2.5. Titik Transisi Gelas (Tg) dan Titik Leleh (Tm) ... 26

4.3. Peluang Aplikasi Pati termoplastik berbasis Ampok Jagung ... 28

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 30

5.1. Kesimpulan ... 30

5.2. Saran ... 30

DAFTAR PUSTAKA ... 31


(12)

vi

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Komposisi bahan di setiap bagian kernel jagung berdasarkan basis basah ... 4

Tabel 2. Komposisi bahan dalam campuran... 13 Tabel 3. Komposisi kimia ampok jagung dan tapioka berdasarkan basis basah ... 15


(13)

vii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Skema komponen penyusun kernel dan ampok jagung ... 3

Gambar 2. Rumus molekul gliserol ... 6

Gambar 3. Struktur molekul a) amilosa dan b) amilopektin ... 4

Gambar 4. Hubungan perbedaan tingkat destrukturisasi pati dan jumlah air dengan produk yang dihasilkan ... 7

Gambar 5. Tahapan pembentukan pati termoplastik dalam ekstruder... 8

Gambar 6. Diagram alir penelitian ... 11

Gambar 7. Penampakan visual pati termoplastik ... 18

Gambar 8. Grafik hubungan antara konsentrasi tapioka dan gliserol terhadap ketahanan tarik ... 20

Gambar 9. Grafik hubungan antara konsentrasi tapioka dan gliserol terhadap tingkat kemuluran putus ... 22

Gambar 10. Grafik hubungan antara konsentrasi tapioka dan gliserol terhadap tingkat kekerasan . 23 Gambar 11. Penampakan bagian atas pati termoplastik ... 25


(14)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Bahan-bahan utama yang digunakan dalam penelitian ... 35

Lampiran 2. Alat-alat utama yang digunakan dalam penelitian ... 36

Lampiran 3. Prosedur analisis proksimat bahan ... 37

Lampiran 4. Prosedur analisis kadar pati dan amilosa ... 38

Lampiran 5. Rancangan pengacakan perlakukan sampel ... 40

Lampiran 6. Prosedur karakterisasi pati termoplastik ... 41

Lampiran 7. Hasil analisis proksimat ampok jagung ... 42

Lampiran 8. Hasil uji ketahanan tarik (kg/cm2) ... 43

Lampiran 9. Hasil uji kemuluran putus (%) ... 44

Lampiran 10. Hasil uji tingkat kekerasan (mm/150g.detik) ... 45


(15)

1

I.

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang

Bahan termoplastik merupakan bahan yang banyak dimanfaatkan dalam kehidupan modern. Tidak hanya sebagai komponen bahan pengemas, material termoplastik juga umum digunakan sebagai komponen sandang, perabot rumah tangga, hingga mainan anak-anak. Penggunaan material tersebut juga terlihat semakin meluas seiring dengan tumbuh dan berkembangnya industri-industri di dunia. Preferensi manusia yang mengarah pada pola hidup praktis juga mendorong meluasnya pemanfaatan termoplastik ini. Dampak negatif pun muncul ketika produk tersebut tidak didaur ulang ataupun dimanfaatkan kembali kemudian dibuang ke lingkungan.

Pada umumnya, bahan termoplastik diproduksi dari bahan dasar plastik konvensional berupa polimer turunan minyak bumi seperti polietilen, polistirena, atau polivinil. Bahan tersebut dikenal sebagai bahan yang sangat sulit didegradasi secara alami oleh lingkungan. Dengan demikian penggunaan bahan-bahan termoplastik yang semakin besar akan berbanding lurus dengan tingkat pencemaran lingkungan apabila tidak ditemukan teknologi yang sanggup mengelolanya.

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memberikan pemecahan permasalahan tersebut adalah dengan mencari alternatif bahan baku yang dapat menjadi substitusi polimer turunan minyak bumi dalam produksi bahan termoplastik. Bahan baku pengganti tersebut haruslah bahan yang lebih ramah lingkungan yang ditandai oleh kemudahannya untuk didegradasi secara biologis di alam serta dapat diperbaharui. Sejauh ini, salah satu bahan yang dinilai cukup prospektif untuk dikembangkan sebagai bahan pengganti tersebut adalah bahan berpati. Beberapa penelitian yang dilakukan memberikan indikasi yang cukup baik dalam penggunaannya secara komersil di masa depan.

Di Indonesia terdapat berbagai sumber karbohidrat yang pada umumnya digunakan sebagai sumber pangan. Dengan demikian, agar lebih layak dijadikan alternatif bahan baku pengganti polimer plastik konvensional, bahan berpati tersebut haruslah bahan yang tidak digunakan sebagai sumber pangan. Salah satu sumber pati yang memiliki karakteristik seperti itu adalah ampok jagung.

Ampok jagung (corn hominy) adalah produk sampingan dari proses penggilingan jagung berupa serpihan bagian yang tidak ikut tergiling. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sharma et al. (2007), ampok jagung ternyata masih mengandung pati dalam jumlah yang cukup besar. Kandungan pati yang masih cukup tinggi tersebut memungkinkan adanya pemanfaatan ampok jagung sebagai bahan baku pati termoplastik seperti sumber pepatian lainnya. Selain itu, penggunaan ampok jagung sebagai bahan baku memiliki keuntungan tersendiri karena selama ini hanya merupakan produk sampingan yang dimanfaatkan sebagai campuran pakan. Dengan demikian pemanfaatan ampok jagung sebagai bahan baku pati termoplastik tersebut akan memberikan nilai tambah yang lebih besar.

Perbedaan karakteristik ampok jagung dengan sumber pepatian lainnya dinilai akan dapat memberikan hasil yang berbeda pada karakteristik produk pati termoplastik yang diperoleh. Sejauh mana perbedaan tersebut tentunya memerlukan kajian lebih lanjut. Salah satu yang dapat dilakukan adalah melalui identifikasi pengaruh keberadaan ampok jagung pada sifat


(16)

2

pati termoplastik yang dihasilkan kemudian dibandingkan dengan pati termoplastik yang diproduksi dari bahan seperti maizena atau tapioka.

Sebagaimana produk plastik konvensional yang diproduksi dari polimer turunan minyak bumi, salah satu cara yang dapat digunakan untuk membuat pati termoplastik berbasis ampok jagung adalah dengan ekstrusi. Penelitian yang dilakukan dengan penggunaan ekstrusi dalam pembuatan bahan pati termoplastik dari sumber pepatian seperti maizena dan tapioka sudah banyak dilakukan sebelumnya. Hasil akhirnya berupa bongkahan pati termoplastik layaknya pati termoplastik konvensional yang diperoleh dari polimer turunan minyak bumi. Namun, pati termoplastik berbahan baku pati pada umumnya masih memiliki kekurangan seperti tingginya tingkat kerapuhan, densitas, serta sensitivitas terhadap air (Shogren et al. 2002).

Dalam produksi pati termoplastik juga digunakan bahan pemlastis poliol. Bahan poliol yang paling umum digunakan sebagai pemlastis adalah gliserol. Penggunaan gliserol mampu mengurangi sifat rapuh (brittle) sekaligus mejadikan pati termoplastik yang dihasilkan lebih fleksibel (Rulande et al. 2003). Pemanfaatan lebih lanjut gliserol dalam produksi pati termoplastik ampok jagung membutuhkan kajian khusus agar dapat dikembangkan lebih jauh. Hal tersebut selanjutnya dapat memberikan informasi yang cukup berharga mengenai kelayakan penggunaan gliserol sebagai pemlastis dalam produksi pati termoplastik berbasis ampok jagung.

.

1.2.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk :

1. Mengetahui karakteristik pati termoplastik berbahan baku ampok jagung dan tapioka yang dihasilkan dengan pemlastis gliserol.

2. Mengidentifikasi pengaruh perbedaan konsentrasi gliserol dan konsentrasi campuran ampok jagung dan tapioka terhadap karakteristik pati termoplastik berbasis ampok jagung yang dihasilkan.


(17)

3

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Ampok Jagung (

Corn Hominy

)

Jagung merupakan serealia nomor dua setelah padi di Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik (2010), produksi jagung nasional pada tahun 2009 mencapai lebih dari 17 juta ton dan terus meningkat di tahun-tahun berikutnya. Hal tersebut dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah mengenai perluasan lahan jagung. Sentra produksi jagung di Indonesia juga cukup tersebar merata seperti Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo (Badan Pusat Statistik 2009). Dengan ketersediaannya yang cukup melimpah, jagung menjadi komoditas yang cukup potensial untuk dikembangkan pemanfaatannya.

Seiring dengan berkembangnya sektor peternakan, permintaan terhadap tepung jagung sebagai bahan pencampur pakan juga semakin meningkat. Pemanfaatan tepung jagung sebagai pakan dapat menyerap sekitar 50% total produksi jagung nasional (Badan Pusat Statistik 2009). Peningkatan permintaan tepung jagung akan berkorelasi langsung dengan peningkatan hasil samping dari proses penggilingan. Hasil samping dari proses pembuatan tepung jagung tersebut adalah ampok jagung yang jumlahnya dapat mencapai 35 % dari total biji jagung yang digiling (Sharma et al, 2007).

Ampok jagung memiliki perbedaan dengan tepung jagung. Perbedaan tersebut terletak pada ketiadaan atau sedikitnya komponen endosperma pada ampok jagung akibat hilang pada proses penggilingan. Ampok jagung dapat berasal dari sisa proses degerminasi berupa pucuk biji (tailing meal), ampas yang telah diambil minyaknya (deoiled germ cake), kulit kernel, kernel yang rusak, serta komponen lain yang tersisa pada saat pross penyaringan (screening) pada penggilingan kering (Wall et al. 1971). Hal tersebut digambarkan melalui skema berikut:

Gambar 1. Skema komponen penyusun kernel jagung dan ampok jagung - Lembaga

- Pucuk biji - Kulit

Pucuk biji Lembaga Kulit Endosperma Komponen Kernel Jagung


(18)

4

Walaupun sekedar hasil samping dari proses penggilingan jagung, ampok jagung masih memiliki kandungan pati yang dapat dimanfaatkan. Menurut Sharma et al. (2007) tepung ampok jagung mengandung pati sebanyak 57%, serat sebanyak 25%, protein sebanyak 11%, dan lemak sebanyak 5%. Dengan kandungan pati yang masih cukup besar, ampok jagung dinilai masih dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku produk olahan pati lainnya termasuk pati termoplastik. Berikut ini adalah perbandingan bagian biji jagung yang menjadi bagian dari ampok dan kandungan senyawa penyusunnya.

Tabel 1. Komposisi bahan di setiap bagian kernel jagung berdasarkan basis basah Komponen Pati (%) Protein (%) Lemak (%) Serat (%) Lainnya

(%)

Endosperm 87,6 8,0 0,8 3,2 0,4

Kulit ari 7,3 3,7 1,0 83,6 4,4

Lembaga 8,0 18,4 33,2 14,0 26,4

Pucuk biji 5,3 9,3 3,8 77,7 4,1

Sumber: Coulter dan Lorentz (1991)

2.2.

Pati Termoplastik

(Thermoplastic Starch)

Pati termoplastik merupakan produk termoplastik yang menggunakan pati sebagai bahan bakunya. Penggunaan pati menjadi pati termoplastik dimaksudkan untuk memperoleh sifat biodegradable yang tidak dimiliki oleh pati termoplastik yang berasal dari polimer sintetis konvensional (Chandra dan Rustgi 1998). Sifat biodegradable pada suatu bahan menunjukkan bahwa bahan tersebut dapat terdekomposisi oleh enzim atau aktivitas organisme tertentu. Dalam proses biodegradasi, sebuah bahan dapat saja mengalami proses yang melibatkan oksidasi, fotodegradasi, atau hidrolisis. Polimer yang terdegradasi secara biologis dapat berasal dari sintesa biologis, kimiawi, maupun semi sintetik. Adapun jenis polimer biodegradable yang mulai banyak dimanfaatkan adalah polilaktat, polihidroksialkanoat, serta pati (Albertson dan Karlsson 1994).

Pepatian merupakan bahan yang dapat dijadikan alternatif pengganti polimer sintetik pada situasi ketika tidak dibutuhkan produk dengan sifat yang tahan lama. Pati merupakan polimer yang terdiri dari glukosa sebagai monomernya. Pati terdiri dari dua senyawa utama yaitu amilosa yang terbentuk dari ikatan dan molekulnya berbentuk linier serta amilopektin yang terbentuk dari ikatan dan di mana molekulnya bercabang. Gambar 2 mengilustrasikan hal tersebut.

(a) (b)


(19)

5

Semua jenis pati dapat mengalami proses destrukturisasi untuk menjadi bahan pati termoplastik (Plackett dan Vazquez 2004). Selain karena kemampuannya untuk menjadi produk termoplastik, pepatian dianggap potensial untuk dikembangkan lebih lanjut karena ia merupakan bahan yang jumlahnya melimpah di alam, dapat terbarukan, serta harganya relatif murah (Guilbert dan Gontard 2005).

Pati merupakan bahan yang bersifat semi-kristalin di mana senyawa amilopektin di dalamnya merupakan senyawa yang menentukan derajat kristalinitas yang dimilikinya. Sementara itu proses destrukturisasi merupakan konversi keadaan semi-kristalin tersebut menjadi matriks polimer yang secara merata bersifat amorf. Pati termoplastik dapat didefinisikan sebagai material yang dibentuk melalui destrukturisasi tersebut. (Plackett dan Vaquez 2004).

Menurut Janssen dan Moscicki (2006), aplikasi pati termoplastik lebih lanjut mencakup produk yang sangat beragam dari mulai busa pelindung, kantung sampah, mulsa pertanian, pot tanam bibit, kemasan pelindung benih, film, hingga kontainer buah. Namun demikian,dari sudut pandang produk, pati termoplastik yang dihasilkan harus memenuhi beberapa sifat. Beberapa di antaranya adalah memiliki suhu transisi gelas yang tidak terlalu tinggi atau berada pada kisaran suhu kamar agar produk yang dihasilkan tidak rapuh pada suhu rendah, memiliki sifat mekanis yang mirip dengan pati termoplastik konvensional, serta dapat diproduksi dengan proses yang mudah dan harga yang relatif murah.

Untuk memperoleh sifat plastis, pati membutuhkan intervensi bahan tambahan dari luar yang biasa disebut bahan pemlastis. Selain itu bahan pemlastis tersebut juga berperan dalam meningkatkan laju alir campuran dalam mesin sekaligus menurunkan titik leleh campuran (Plackett dan Vaquez 2004). Bahan pemlastis yang umum digunakan adalah bahan-bahan yang mengandung sejumlah besar gugus –OH seperti sorbitol, glikol, xilitol, gliserol, dan beberapa senyawa gula (Yang et al. 2006).

Bahan berserat dapat ditambahkan dalam campuran untuk membuat pati termoplastik dengan tujuan memodifikasi sifat-sifat mekanisnya (Janssen dan Moscicki 2006). Dalam hal ini, penggunaan ampok sebagai bahan baku akan memberikan keuntungan tersendiri karena selain mengandung sejumlah besar pati, ampok juga mengandung cukup banyak serat sehingga tidak dibutuhkan penambahan serat secara khusus. Namun demikian, menurut Plackett dan Vaquez (2004), penambahan serat juga dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan seperti terjadinya pengembangan ketika bahan menyerap air serta berkurangnya daya tahan terhadap temperatur yang tinggi.

Dalam pembuatan pati termoplastik, sejumlah bahan tambahan lain selain pemlastis dapat diberikan seperti magnesium starat. Penambahan magnesium stearat bertujuan mencegah lengketnya adonan pati dengan mold atau peralatan (Shogren et al. 2002).

Menurut Zullo dan Iannace (2009), dalam pembuatan pati termoplastik dapat terjadi pemlastikan parsial di mana sebagian adonan mampu membentuk pati termoplastik sedangkan sebagian adonan yang lain tidak dapat membentuknya. Hal tersebut dapat terjadi apabila kondisi campuran tidak terdistribusi secara merata. Dengan demikian, dalam proses pencampuran bahan-bahan untuk menjadi sebuah adonan, kemerataan persebaran bahan-bahan tersebut menjadi faktor penting. Sebelum dipemlastikan, seluruh bahan terlebih dahulu dipastikan agar terdistribusi secara merata yang ditandai dengan tidak adanya bagian dalam adonan yang menggumpal.


(20)

6

2.3.

Pemlastis (

Plasticizer

) Gliserol

Gliserol (1,2,3 propanatriol) (Gambar 3) adalah senyawa kimia yang tak berasa, tak berbau, tak berwarna, kental, dan berasa manis yang dihasilkan dari senyawa-senyawa alami seperti minyak nabati maupun minyak bumi. Istilah gliserol seringkali digantikan dengan istilah gliserin. Secara harfiah kedua istilah tersebut memiliki arti yang sama, namun pada tataran teknis istilah gliserin lebih diasosiasikan pada senyawa gliserol yang sudah diencerkan dengan air (Pagliaro dan Rossi, 2010).

Gliserol merupakan satu dari senyawa kimia yang memiliki banyak kegunaan. Gliserol dapat berperan sebagai pelarut, pemanis, pelembab, pengawet, serta bahan pengisi pada produk-produk makanan. Gliserol mengandung tiga gugus hidroksi alkohol yang berperan penting dalam sifat higroskopis dan sifat hidrofiliknya. Karakteristik khususnya sering dimanfaatkan untuk rentang produk yang berbeda, mulai makanan, obat-obatan, kosmetik, hingga toiletries (Pagliaro dan Rossi 2010).

Salah satu kegunaan gliserol yang cukup luas adalah sebagai pemlastis (plasticizer). Efektivitas dan daya lubrikasinya yang baik ditambah sifatnya yang tidak beracun, semakin memperluas jangkauan fungsionalnya (Pagliaro dan Rossi 2010). Contoh penggunaan gliserol sebagai pemlastis adalah pada industri kertas di mana penambahan gliserol mampu meningkatkan fleksibilitas, kelenturan, dan keteguhan permukannya (Pagliaro dan Rossi 2010).

Gliserol juga banyak digunakan sebagai pemlastis produk pati termoplastik sebagai komponen substitusi air. Meskipun air memiliki sifat pemlastis untuk produk pati termoplastik, penggunaannya akan memberikan dampak yang tidak diinginkan seperti menyebabkan peningkatan kerapuhan (brittleness) dan retrogradasi produk yang terlalu cepat (Janssen dan Moscicki 2006). Untuk itu, pemlastis alternatif yang digunakan haruslah pemlastis yang memiliki viskositas yang cukup tinggi namun memiliki volatilitas yang cukup rendah. Dua sifat tersebut ada pada gliserol.

Gambar 3. Rumus molekul gliserol

Penggunaan gliserol sebagai pemlastis dalam produk pati termoplastik berfungsi sebagai perenggang antar molekul dan menurunkan tingkat interaksinya satu sama lain (Janssen 2009). Penggunaan gliserol sebagai pemlastis telah dilakukan sebelumnya oleh Lee (2009) di mana gliserol dicampurkan pada komposit pati termoplastik pati sagu dan PE (polietilen). Penggunaan tersebut terlihat memiliki pengaruh bagi pati termoplastik yang dihasilkan dalam hal sifat mekanisnya. Selain itu, gliserol juga digunakan dalam pembuatan pati termoplastik untuk dijadikan busa (foam) (Cha et al. 2000 ).

Dalam pembuatan pati termoplastik, konsentrasi gliserol yang umum digunakan adalah 30% (b/b). Hal ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Zullo dan Iannace (2009) serta Shi et al. (2007). Kedua penelitian tersebut menggunakan bahan dasar yang sama berupa pati jagung untuk kemudian diolah menjadi pati termoplastik. Selain itu Sreekumar et al.


(21)

7

(2010) pernah melakukan penelitian untuk mengidentifikasi pengaruh konsentrasi gliserol pada pati termoplastik berbahan dasar campuran pati gandum dan serat sisal dengan menggunakan rentang konsentrasi 20% hingga 35% (b/b).

Da Roz et al. (2006) mengemukakan bahwa destrukturisasi pati memerlukan daya solvasi yang besar yang diperoleh melalui penambahan zat dengan proporsi gugus hidroksil yang tinggi. Senyawa dengan proporsi gugus hidroksil yang tinggi ini berperan mensolvasi granula sekaligus menciptakan serta mempertahankan sifat amorf pada pati. Gliserol yang mengandung gugus hidroksil dalam hal ini berperan sebagai zat pemlastis tersebut.

2.4.

Pemlastikan (

Plasticisation

)

Pemlastikan merupakan proses yang dilalui pati sebelum menjadi produk pati termoplastik. Secara umum, dalam proses tersebut terjadi destrukturisasi pati di mana granula pati terdisrupsi akibat penambahan panas dan bahan pelarut tertentu. Kemudian wujud semi-kristalin yang dimilikinya berubah menjadi wujud amorf. Pada kondisi ini, pati mengembang dan ikatan-ikatan hidrogen inter-makromolekul yang sebelumnya ada juga mengalami destruksi. Selain itu, turunnya nilai titik transisi gelas (Tg) dan titik leleh pati (Tm) juga menjadi akibat dari proses tersebut (Averous 2010).

Dalam proses pemlastikan terdapat kemiripan dengan proses gelatinisasi. Kemiripan tersebut terletak pada terjadinya disrupsi terhadap granula pati yang menyebabkan kondisi semi-kristalin berubah menjadi amorf. Perbedaan mendasar antara dua proses tersebut adalah ada atau tidak adanya air yang ditambahkan secara eksesif (Averous 2010). Keberadaan air secara eksesif, menurut Donald (2004), mampu mendorong granula pati mengembang dan di bawah tekanan pengembangan tersebut, struktur molekul pati yang tadinya semi-kristalin menjadi amorf. Sedangkan pada kondisi di mana air terbatas (namun terdapat sejumlah pemlastis dalam jumlah yang tidak terlalu besar), menurutnya yang terjadi adalah pelelehan sebagian atau seluruh bagian pati yang berwujud kristalin yang berdampak pada perubahan fasenya menjadi amorf.

.

Gambar 4. Hubungan perbedaan tingkat destrukturisasi pati dan jumlah air dengan produk yang dihasilkan (Averous 2006)

Selain air ataupun pemlastis, pemlastikan pada bahan berpati membutuhkan dukungan panas dan tekanan tertentu. Adanya penambahan panas dan tekanan akan mendorong seluruh struktur granular pada pati menghilang (Donald 2004). Hal tersebut menyebabkan pemlastikan

Roti-rotian

Bahan pengisi (filler)

Pati terdestruk

-turisasi

Pati terkembang (expanded)

Pati tergelatinisasi Pati termoplastik Jumlah air Tingkat destrukturisasi


(22)

8

berlangsung dalam kondisi proses termomekanis yang membutuhkan peralatan pembuat plastik konvensional seperti ekstruder yang mampu mengakomodasi proses ekstrusi (Averous 2010).

2.5.

Ekstrusi

(Extrusion)

Ekstrusi adalah sebuah proses di mana sebuah bahan dipaksa mengalir di bawah pengaruh beberapa unit operasi yang bekerja secara simultan atau serentak guna menghasilkan produk dengan penampang tertentu yang tetap (Fellows 1990). Ekstrusi merupakan proses penting dalam pemlastikan suatu bahan seperti pati menjadi produk pati termoplastik.

Ekstrusi untuk menghasilkan produk industri yang diinginkan merupakan sebuah proses yang terintegrasi di mana ekstruder merupakan komponen yang penting dalam semua lini. Pengaturan kondisi dalam ekstruder yang tidak tepat dapat mengakibatkan terbentuknya produk yang juga tidak sesuai dengan yang diharapkan. Kesalahan pengaturan pada awal proses ekstrusi dapat mengganggu keseluruhan proses (Giles 2005).

Tergantung pada produk akhir yang diinginkan, proses pencampuran dan pengadukan bahan baku dapat menjadi aspek yang sangat penting sebelum ekstrusi dilakukan. Beberapa faktor yang perlu mendapat perhatian pada saat pencampuran adalah persebaran bahan masukan yang berbentuk serbuk atau pelet, kesamaan ukuran partikel bahan masukan, cara pengadukan, penambahan cairan tertentu, serta keseragaman distribusi bahan tambahan (Giles 2005).

Metode ekstrusi merupakan metode yang cukup umum digunakan untuk pembuatan produk pati termoplastik, baik secara konvensional yang menggunakan bahan dasar polimer turunan minyak bumi maupun secara mutakhir yang menggunakan bahan dasar pepatian (Cha et al. 2000). Pepatian yang diekstrusi akan mengalami destruksi ekstensif pada ikatan hidrogen intermolekul sekaligus depolimerisasi parsial dari makromolekul pati (Plackatt dan Vaquez 2004).

Secara umum, proses ekstrusi bekerja dengan melibatkan setidaknya tiga satuan proses yakni pencampuran, pemberian tekanan, dan pemanasan. Bahan yang masuk ke dalam peralatan ekstrusi (ekstruder) akan dihomogenisasi, diberi panas, dan ditekan dengan tekanan tinggi, setelah itu produk dibentuk sesuai dengan kebutuhan (Giles et al. 2005).

Gambar 5. Tahapan pembentukan pati termoplastik dalam ekstruder (Averous 2006)

Dalam proses pembentukan ini, dapat digunakan semacam cetakan yang menampung ekstrudat yang keluar. Saat ekstrudat tersebut keluar, molekul polimer mengembang kemudian terorientasi dengan bentuk cetakan. Bergantung pada proses ekstrusi yang dilakukan,

Pati + air + poliol

Pati

termoplastik Fragmentasi

Destrukturisasi

Pelelehan


(23)

9

mekanisme pencetakan yang berbeda dapat dilakukan untuk mendapatkan bentuk akhir produk yang diinginkan (Giles et al. 2005).

Ketika bahan berserat diekstrusi bersama dengan bahan pati termoplastik, molekul-molekul kedua bahan akan berorientasi satu sama lain saat melewati die pada ekstruder. Orientasi dari serat dapat memberikan keuntungan pada arah orientasi dari campuran. Orientasi seperti in merupakan konsekuensi yang wajar ketika ekstrusi berlangsung (Shanks 2004).

Di samping itu, ekstrusi pada campuran yang mengandung serat dapat memberikan efek khusus. Ketika serat alami diekstrusi, air pada serat dapat menghilang dan serat menjadi rapuh. Tahanan geser yang diberikan pada campuran pada kondisi tersebut dapat merusak serat yang kemudian berdampak pada penurunan aspek rasio. Penurunan ini cukup menentukan sifat mekanis ekstrudat (Shanks 2004).

Terdapat beberapa kondisi ekstrusi yang cukup banyak dipakai pada beberapa penelitian pati termoplastik. Perbedaan kondisi pada umumnya terletak pada besaran nilai putaran screw serta suhu pada ekstruder. Sreekumar et al. (2010) menggunakan putaran screw 60 rpm dan suhu 120oC, Shi et al. (2007) menggunakan putaran 80 rpm dan suhu 130oC, sementara Zullo dan Iannace (2009) menggunakan putaran 50 rpm dan suhu 120oC. Namun demikian menurut Chaudary et al. (2009), putaran screw tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap sifat mekanis pati termoplastik yang dihasilkan.

Alat yang dapat digunakan dalam pembuatan pati termoplastik adalah alat yang secara umum mampu mengakomodasi kebutuhan suhu dan tekanan pada nilai tertentu. Dalam hal tersebut, ekstruder dan beberapa jenis mixer merupakan alat yang biasa digunakan. Meskipun secara umum memiliki fungsi sama, rancangan ekstruder ataupun mixer dapat berbeda satu sama lain. Perbedaan tersebut terletak pada bentuk, ukuran, jumlah ulir, ataupun keberadaan serta bentuk die. Menurut Donald (2004), rancangan alat yang berbeda dapat menghasilkan produk yang juga berbeda. Dengan kata lain, pemilihan alat yang digunakan bergantung pada hasil akhir produk yang ingin didapatkan.


(24)

10

III.

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Bahan dan Alat

3.1.1. Bahan

Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan pati termoplastik berbasis ampok jagung adalah ampok jagung yang diperoleh dari PT Kediri Matahari Prima, tapioka dari PT Budi Makmur Perkasa, magnesium stearat, serta bahan pemlastis berupa gliserol 99% (b/b) serta akuades. Adapun bahan lain yang dibutuhkan untuk analisis adalah H2SO4, NaOH, asam borat, indikator kanji, larutan Luff Schroll, HCl, sodium tiosulfat, dan akuades. Bahan-bahan utama yang digunakan disajikan pada Lampiran 1.

3.1.2. Alat

Alat utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah rheocord mixer Haake 3000 yang dapat mengakomodasi 200-250 g bahan masukan, kecepatan putaran 60 rpm, serta suhu 1300C. Peralatan lain yang dibutuhkan untuk karakterisasi adalah universal testing machine Instron, SEM (scanning electron microscope), DSC (differential scanning colorimeter), serta penetrometer. Selain itu dibutuhkan pula peralatan teknis dalam pekerjaan berupa neraca analitik, alat gelas, oven, desikator, sudip, dan pengaduk magnetik. Peralatan utama yang digunakan disajikan pada Lampiran 2.

3.2. Waktu Dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan selama 6 bulan yakni sejak bulan Juli 2010 sampai dengan bulan Februari 2011. Tempat yang digunakan untuk pelaksanaan penelitian ini adalah Laboratorium Dasar Ilmu Terapan dan Lab. Instrumentasi, Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fateta IPB, Lab. Pusat Riset dan Pengembangan Pertamina Pulo Gadung Jakarta, Lab. Keteknikan Kayu, Departemen Teknologi Hasil Hutan, Fahutan IPB, serta Lab. Zoologi, LIPI Cibinong.

3.3.

Metode Penelitian

Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap yakni (i) persiapan dan karakterisasi ampok dan tapioka, (ii) pembuatan pati termoplastik berbasis ampok jagung, dan (iii) karakterisasi pati termoplastik berbasis ampok yang dihasilkan. Diagram alir penelitian selengkapnya disajikan pada Gambar 5.


(25)

11

Gambar 6. Diagram alir penelitian

3.3.1.

Persiapan dan Karakterisasi Ampok Jagung serta Tapioka

Persiapan ampok dilakukan dengan pengeringan terlebih dahulu hingga kadar airnya sekitar 8-13%. Ampok yang telah kering selanjutnya dihaluskan dengan cara digiling hingga berukuran 200 mesh untuk menyeragamkan kondisi ampok yang akan digunakan dalam pembuatan pati termoplastik berbasis ampok jagung.

Ampok jagung dan tapioka dikarakterisasi untuk mengetahui sifat fisiko kimianya sebelum dilakukan pengolahan. Parameter yang diuji berupa komponen proksimat (air, abu, lemak, protein, serat kasar, dan karbohidrat by difference), kadar pati, kadar amilosa, serta kadar amilopektin. Prosedur analisis masing-masing parameter disajikan pada Lampiran 3 dan 4.

Ampok Jagung

Karakterisasi ampok jagung (Analisis proksimat)

Formulasi adonan

Pembuatan pati termoplastik

Pati termoplastik bongkahan

Pengolahan data Analisis permukaan

menggunakan SEM

Analisis sifat mekanis Analisis Tg dan Tm menggunakan DSC Karakterisasi pati

termoplastik Penyesuaian ukuran


(26)

12

3.3.2.

Pembuatan Pati Termoplastik berbasis Ampok Jagung

3.3.2.1.

Formulasi

bahan

Formulasi bahan dilakukan dengan melakukan pencampuran beberapa bahan tambahan yang dibutuhkan dalam pembuatan pati termoplastik berbasis ampok jagung. Pencampuran bahan kering didahului oleh penambahan sejumlah tapioka ke dalam wadah-wadah yang berisi ampok jagung dengan perbandingan tapioka-ampok jagung 0:4, 1:3, 2:2, dan 3:1. Kemudian secara perlahan ditambahkan magnesium stearat sebanyak 2% (b/b) ke dalam wadah tersebut. Sementara itu, pada wadah-wadah lain dilakukan pencampuran antara gliserol sebanyak 25%, 30%, dan 35% per bobot bahan kering dengan akuades. Akuades yang ditambah diatur sehingga kadar air campuran ampok jagung-tapioka mencapai 25%.

Selanjutnya campuran ampok jagung-tapioka dan magnesium stearat secara perlahan ditambahkan ke dalam wadah berisi larutan gliserol dan diaduk hingga tercampur merata. Proses pengadukan dalam wadah dilakukan secara kontinyu selama 5 menit. Kemudian campuran disimpan/diperam pada wadah plastik tertutup minimal selama 1 hari pada suhu ruang untuk penyempurnaan penyerapan bahan bahan.

3.3.2.2.

Rancangan percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan percobaan acak lengkap dengan menggunakan dua faktor yang masing-masing faktor terdiri dari tiga dan empat taraf. Pada setiap perlakuan dilakukan dua kali ulangan.

Faktor pertama adalah komposisi tapioka pada campuran yang terdiri dari empat taraf yakni 0% (A1), 25% (A2), 50% (A3), dan 75% (A4). Faktor kedua adalah konsentrasi gliserol yang terdiri dari tiga taraf yakni 25% (B1), 30% (B2), dan 35% (B3).

Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut : Yijk = µ + Ai + Bj + (OP)ij + εijk

Dengan : i = 1, 2, 3, 4 j = 1, 2, 3 k = 1, 2

Yijk = Respon dari faktor A ke-i, faktor B ke-j, dan ulangan ke-k = Nilai rata-rata umum

Ai = Pengaruh faktor A ke-i Bj = Pengaruh faktor B ke-j

ABij = Pengaruh interaksi faktor A ke-i dan faktor B ke-j εijk = Galat dari faktor A ke-i, faktor B ke-j dan ulangan ke-k


(27)

13

Data hasil penelitian diolah menggunakan analisis sidik ragam sesuai dengan rancangan percobaan acak lengkap. Pengolahan data secara statistik dilakukan menggunakan program SAS (Statistic Analysis System) versi 9.1.3. Apabila hasilnya berbeda nyata, dilanjutkan dengan pengujian wilayah berganda Duncan. Uji wilayah tersebut bertujuan melihat perbedaan pengaruh setiap faktor maupun kombinasi perlakuan.

Dengan rancangan percobaan tersebut, komposisi bahan untuk masing-masing percobaan disajikan pada Tabel 2. Rancangan pengacakan perlakuan sampel disajikan pada Lampiran 5.

Tabel 2. Komposisi bahan dalam campuran

Kode Komposisi bahan (b/b)

Tapioka (A) Gliserol (B) Mg.Stearat Ampok jagung

A1B1 00 25 2 100

A2B1 25 25 2 075

A3B1 50 25 2 050

A4B1 75 25 2 025

A1B2 00 30 2 100

A2B2 25 30 2 075

A3B2 50 30 2 050

A4B2 75 30 2 025

A1B3 00 35 2 100

A2B3 25 35 2 075

A3B3 50 35 2 050

A4B3 75 35 2 025

3.3.2.3.

Pemlastikan

Campuran yang sudah diperam selanjutnya diproses dalam rheocord mixer (rheomix) Haake 3000 berulir ganda dengan kecepatan putaran 60 rpm selama 5 menit untuk semua perlakuan. Suhu tiga bagian rheomix diatur pada nilai 1200C, 1300C, dan 1200C. Sebelum pengaturan waktu mesin bekerja, dipastikan terlebih dahulu bahwa bagian dalam mesin sudah terisi penuh dengan adonan. Hasil dari proses ini adalah pati termoplastik berbentuk bongkahan yang masih melekat pada rotor dan dinding dalam mesin sehingga memerlukan pengeluaran secara manual.

3.3.3.

Karakterisasi Pati Termoplastik berbasis Ampok Jagung

Hasil proses yang berbentuk bongkahan selanjutnya diperkecil ukurannya secara manual menggunakan pisau. kemudian sampel dicetak dalam bentuk lembaran dengan


(28)

14

kempa hidrolik lalu disimpan minimal selama 24 jam pada suhu ruang untuk dianalisis lebih lanjut. Pengujian masing-masing parameter dilakukan sebanyak 2 kali ulangan.

Karakterisasi pati termoplastik yang dilakukan meliputi pengujian sifat mekanis yang meliputi uji kuat tarik dan kemuluran putus sesuai dengan metode ASTM D-638 (ASTM 1991) menggunakan universal testing machine Instron serta analisis kekerasan bahan menggunakan penetrometer. Selanjutnya analisis sifat termal sesuai dengan metode ASTM D-3418 (ASTM 1991) menggunakan differential scanning calorimeter, serta analisis permukaan sesuai dengan ASTM E-2015, 1991 menggunakan scanning electron microscop JST 5000. Prosedur analisis selengkapnya disajikan pada Lampiran 6.


(29)

15

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Karakteristik Ampok Jagung dan Tapioka

4.1.1.

Kadar Komponen Proksimat

Pengujian proksimat dilakukan terhadap ampok jagung untuk memberikan gambaran umum mengenai kandungan kimia yang menyusun bahan tersebut. Nilai untuk masing-masing komposisi kimia dalam suatu bahan dibutuhkan untuk mengidentifikasi sifat yang dimiliki oleh bahan tersebut. Komponen proksimat meliputi air, abu, minyak, protein, serat, serta karbohidrat. Komposisi kimia dalam ampok jagung dan tapioka disajikan dalam Tabel 3 dan Lampiran 7.

Tabel 3. Komposisi kimia ampok jagung dan tapioka berdasarkan basis basah Komponen Ampok jagung (%) Tapioka (%)

Air 8,20 12,25

Serat kasar 10,5 0,5

Lemak 14,93 0,41

Protein 9,85 0,14

Abu

Karbohidrat by difference

2,97 53,95

0,16 86,54 Pati

- Amilosa - Amilopektin

58,19 16,78 41,41 82,53 28,12 54,41

Pada Tabel 3. terlihat hasil yang berbeda pada kadar air ampok dibandingkan dengan kadar air tapioka. Kadar air ampok jagung adalah sebesar 8,20% sedangkan kadar air tapioka sebesar 12,25%. Perbedaan tersebut disebabkan oleh adanya proses pengeringan yang dilakukan pada ampok jagung sebelum dikecilkan ukurannya. Proses pengeringan tersebut memang bertujuan untuk membantu proses pengecilan ukuran karena kadar air yang tinggi dapat menyebabkan lengketnya bahan pada komponen alat penghancur yang kemudian berdampak pada rendahnya efisiensi alat. Tapioka dalam hal ini tidak membutuhkan pengecilan ukuran terlebih dahulu sehingga tidak ada perlakuan panas yang dialami.

Perbedaan kadar air yang terkandung dalam ampok dan pati tersebut menyebabkan dibutuhkannya penyeragaman pada saat formulasi adonan dilakukan. Dalam pembuatan pati termoplastik yang menggunakan bahan dasar pati, penyeragaman kadar air adonan merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan karena seperti gliserol, pada kondisi tertentu air juga memiliki kemampuan sebagai pemlastis. Keberadaan air dalam jumlah yang tidak seragam pada setiap adonan mampu memberikan pengaruh yang berbeda pada fungsi gliserol dalam proses pemlastikan.

Penyeragaman kadar air adonan dalam kondisi campuran bahan yang tidak homogen tersebut dilakukan dengan memberikan tambahan air dari luar dalam jumlah


(30)

16

yang berbeda-beda untuk setiap adonan. Penambahan tersebut dilakukan hingga jumlah faktual air yang berada pada setiap adonan bernilai sama satu sama lain yakni sebesar 25%. Selain untuk memberikan acuan yang sama dengan yang dilakukan pada penelitian sebelumnya yang sejenis (Lee 2009), adanya penetapan nilai kadar air sebesar 25% pada setiap adonan dimaksudkan untuk membantu gliserol terserap merata ke dalam bahan. Gliserol dalam wujud kental akan mengalami kesulitan untuk terdistribusi ke seluruh bagian ampok dan tapioka. Adanya penambahan air memungkinkan viskositas gliserol tersebut menurun sekaligus mampu menjadikannya lebih terdistribusi akibat adanya sifat hidrofilik pada gliserol. Selain itu, adanya air diharapkan mampu membantu gliserol dalam proses pemlastikan pati mengingat sifat air yang juga dapat digunakan sebagai pemlastis.

Berdasarkan hasil pengujian kadar minyak, kadar abu, dan protein pada ampok jagung, diperoleh hasil berturut-turut sebesar 14,93%, 2,97%, dan 9,85%. Nilai kadar protein cukup kecil namun kadar minyak dan abu cukup besar jika dibandingkan dengan SNI tepung jagung. Meskipun komponen-komponen tersebut tidak secara langsung berperan dalam proses pemlastikan, keberadaan minyak, protein, dan abu sebagai komponen minor secara tidak langsung akan menunjukkan kualitas bahan yang digunakan. Lee (2009) mengemukakan bahwa semakin rendah kadar protein dan lemak pada bahan, bahan tersebut semakin baik digunakan sebagai bahan dasar pembuat pati termoplastik. Ia juga memaparkan bahwa apabila kadar protein dan lemak cukup tinggi, selain menurunkan proporsi pati pada bahan, sifatnya yang hidrofobik dapat menghambat proses solvasi air dan zat pemlastis pada granula pati yang kemudian berdampak pada pada terganggunya proses pemlastikan.

Komponen minor yang dianggap mampu memberikan pengaruh positif pada pati termoplastik adalah serat. Menurut Lee (2009), tingginya proporsi serat ini berpotensi memberikan perbaikan pada sifat mekanis pati termoplastik yang dihasilkan. Rendahnya komponen pati pada ampok jagung berdampak pada lebih tingginya proporsi serat serta komponen lain pada ampok. Serat tersebut berasal dari bagian-bagian seperti pucuk biji, kulit, maupun lembaga pada biji jagung yang tidak terikut dalam proses produksi tepung jagung. Pada ampok jagung, kadar serat kasar mencapai 10,5%. Nilai ini cukup tinggi jika dibandingkan dengan kadar serat pada tepung jagung sesuai SNI yang hanya 1,5%.

4.1.2. Kadar Pati

Pengujian kadar pati dilakukan terhadap ampok jagung dan tapioka untuk mengukur keberadaan pati dalam bahan tersebut. Hal tersebut bertujuan memperkirakan kelayakan bahan untuk diproses lebih lanjut menjadi material pati termoplastik. Dalam proses produksi pati termoplastik, pati merupakan komponen terpenting yang dibutuhkan. Sebagai senyawa polimer yang banyak mengandung gugus hidroksil, molekul-molekul pati mampu membentuk ikatan hidrogen satu sama lain. Pada kondisi alami hal tersebut tidak terjadi karena molekul pati masih berada dalam bentuk granula. Pada saat itu molekul pati masih memiliki derajat kristalinitas yang tinggi. Ketika granula melebur karena suatu hal kemudian molekul pati saling bersilangan dan berinteraksi secara bebas satu sama lain membentuk ikatan hidrogen, derajat kristalinitasnya akan menurun dan pati cenderung bersifat amorf. Kondisi inilah yang diharapkan untuk membentuk pati termoplastik (Cordoba et al. 2007).


(31)

17

Tabel 3. memperlihatkan nilai kadar pati pada ampok jagung sebesar 58,19%. Nilai tersebut relatif besar karena masih menjadi bagian dominan yang menyusun bahan. Nilai ini juga sedikit lebih besar jika dibandingkan dengan kadar pati ampok jagung yang diperoleh Sharma (2007), yakni sebesar 57%. Hal itu mengindikasikan ampok jagung yang digunakan cukup layak digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan pati termoplastik.

Namun demikian, nilai tersebut masih cukup rendah jika dibandingkan dengan kadar pati yang sebenarnya dapat diperoleh dari jagung. Hal tersebut disebabkan ampok jagung hanya merupakan hasil samping dari proses penggilingan biji jagung untuk menjadi tepung jagung. Dilihat dari wujudnya, ampok dan tepung jagung memiliki kesamaan meskipun ampok memiliki tekstur yang relatif lebih kasar. Perbedaan mendasar antara ampok dan tepung jagung adalah pada jumlah gilingan endosperma yang dikandung. Pada proses penggilingan biji jagung menjadi tepung jagung, bagian endosperma jagung merupakan komponen utama yang diinginkan. Padahal, endosperma pada biji jagung merupakan bagian yang paling banyak mengandung pati. Oleh sebab itu ampok sebagai hasil samping penggilingan mengandung komponen endosperma yang jauh lebih sedikit daripada tepung jagung.

Berdasarkan hasil penelitian, kadar pati pada tapioka yang digunakan sebesar 82,53%. Nilai ini jauh lebih besar daripada kadar pati pada ampok. Berbeda dengan ampok yang merupakan hasil samping, tapioka merupakan hasil ekstraksi langsung dari umbi singkong. Dengan demikian komponen penyusun terbesarnya adalah pati itu sendiri. Tingginya proporsi pati tersebut membuat tapioka layak untuk dijadikan bahan tambahan bagi ampok jagung dalam formulasi adonan. Melimpahnya ketersediaan pati singkong di Indonesia serta harganya yang relatif murah membuatnya menjadi pilihan yang lebih diutamakan daripada pati jagung.

4.2. Karakteristik Pati Termoplastik berbasis Ampok Jagung

Proses pemlastikan dilakukan dengan memberikan panas yang tinggi disertai gesekan dan tekanan terhadap adonan ampok-tapioka, air, dan gliserol. Proses tersebut dilakukan menggunakan rheomix Haake 3000 berulir ganda, tidak memiliki die, dan terdiri dari tiga bagian yang dapat diatur suhunya. Hal ini mengacu pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Cordoba et al. (2008) yang menggunakan tingkat suhu 1300 C. Namun demikian, terdapat perbedaan mengenai waktu kerja alat yang digunakan di mana Cordoba et al. (2008) menggunakan waktu 6 menit, sedangkan penelitian yang dilakukan memperlihatkan bahwa adonan sudah mampu membentuk pati termoplastik dalam kurun waktu 5 menit saja. Selama kurun waktu tersebut, beberapa molekul polimer karbohidrat terlepas dari struktur granularnya akibat aktivitas pemlastis gliserol kemudian berubah dari wujud kristalin ke bentuk amorf melalui bantuan suhu dan tekanan yang diberikan alat.

Adonan yang telah diproses oleh rheomix dengan perlakuan panas dan tekanan pada umumnya mampu membentuk pati termoplastik namun dapat juga gagal. Produk yang gagal membentuk pati termoplastik dicirikan dengan masih terlihatnya butiran-butiran pati secara jelas pada bahan sedangkan produk yang berhasil membentuk pati termoplastik ditandai oleh hilangnya butiran-butiran tersebut. Produk yang berhasil menjadi pati termoplastik secara visual memiliki tekstur yang homogen, sedikit kenyal, dan tidak menjadi remah-remahan saat diberikan tekanan tertentu, serta memiliki penampakan visual yang mirip seperti karet.


(32)

18

Kode Gambar Kode Gambar

A1B1 A2B1

A3B1 A4B1

A1B2 A2B2

A3B2 A4B2

A1B3 A2B3

A3B3 A4B3


(33)

19

Keberhasilan proses pemlastikan ampok dan tapioka menjadi material pati termoplastik dapat juga ditentukan menggunakan mikroskop cahaya terpolarisasi. Pati yang belum diproses menjadi pati termoplastik akan menunjukkan sifat birefringent bila dilihat di bawah mikroskop cahaya terpolarisasi. Apabila pati tersebut telah menjadi pati termoplastik, sifat birefringent tersebut akan hilang akibat adanya perubahan morfologi dan kristalinitas pada pati (Chaudary et al. 2009). Semakin tinggi tingkat kehilangan sifat birefringent semakin baik pula proses pemlastikan yang terjadi.

Bentuk bongkahan termoplasik sebagai hasil dari proses pemlastikan menggunakan rheomix memerlukan penyesuaian bentuk sebelum dikarakterisasi lebih lanjut. Penyesuaian bentuk yang dimaksud adalah penyesuaiannya bentuk lembaran yang memungkinkannya dibentuk guna memenuhi kebutuhan uji kuat tarik. Penyesuaian bentuk tersebut juga dapat membantu penyeragaman tekstur seluruh bagian pati termoplastik.

Penyesuaian bentuk bongkahan ke bentuk lembaran dilakukan dengan menggunakan kempa hidrolik. Pada tahap ini pengempaan dilakukan bersama dengan pemberian panas dengan suhu yang sama dengan suhu pemlastikan (1300C). Panas tersebut berperan melunakkan bahan sehingga bahan mampu menyesuaikan bentuk dengan cetakan yang telah diberikan. Bentuk cetakan yang digunakan untuk mengakomodasi bentuk yang dibutuhkan dalam pengujian adalah bentuk plat dengan ketebalan 4 mm. Dalam bentuk seperti ini, sampel A1B2 dan A1B3 memperlihatkan adanya keretakan di sebagian besar bagian pati termoplastik, berbeda dengan sampel lain yang tidak menunjukkan hal tersebut. Hal itu membuat dua sampel tersebut rapuh dan tidak dapat disesuaikan bentuknya untuk diuji kekuatan tariknya.

4.2.1. Kekuatan Tarik (

Tensile Strength

)

Kekuatan tarik dapat didefinisikan sebagai gaya maksimal yang mampu ditahan oleh suatu bahan berdimensi tertentu sebelum bahan tersebut putus. Kekuatan tarik merupakan parameter penting dalam aplikasi material seperti plastik, terlebih jika digunakan sebagai bahan dasar kemasan. Semakin tinggi nilai kekuatan tarik pati termoplastik maka semakin tinggi pula nilai fungsi pati termoplastik tersebut sebagai pengemas. Dengan demikian parameter ini menjadi acuan utama dalam penentuan pati termoplastik terbaik yang diproduksi.

Menurut Rowell et al. (1997), kekuatan tarik merupakan perwujudan makro dari kekuatan ikatan-ikatan intra dan antar molekul penyusun bahan. Semakin besar kekuatan ikatan-ikatan antar molekul pada bahan semakin besar pula kekuatan tarik bahan tersebut. Rowell juga menambahkan bahwa sifat mekanik suatu bahan, termasuk kekuatan tariknya, merupakan hasil dari interaksi yang cukup kompleks antara beberapa variabel eksternal seperti senyawa-senyawa kimiawi yang ditambahkan dan kelembaban serta sifat struktur molekul bahan itu sendiri seperti derajat polimerisasi, kristalinitas, dan orientasi molekul dalam level mikroskopis.

Berdasarkan hasil penelitian terlihat adanya kecenderungan peningkatan nilai kekuatan tarik seiring bertambahnya kadar pati pada bahan. Kecenderungan tersebut tampak pada setiap contoh pati termoplastik dengan tingkat konsentrasi gliserol tertentu. Analisis sidik ragam yang dilakukan pada hasil di atas ternyata juga menunjukkan hasil yang berbeda nyata untuk masing-masing perlakuan perbedaan konsentrasi pati di mana A1 berbeda nyata dengan A2 dan A3 berbeda nyata dengan A4. Hasil yang tidak berbeda nyata hanya ada di tengah-tengah perlakuan yakni antara A2 dengan A3. Dengan


(34)

20

demikian dapat diambil kesimpulan bahwa semakin tinggi konsentrasi pati semakin tinggi pula nilai kekuatan tarik yang dimilikinya. Analisis ragam secara lengkap dapat dilihat dalam Lampiran 8.

Gambar 8. Grafik hubungan antara konsentrasi tapioka dan gliserol terhadap kekuatan tarik pati termoplastik berbasis ampok jagung

Menurut Nikazar (2005), nilai kekuatan tarik suatu bahan dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya adalah ukuran granula pati serta keberadaan komponen minor seperti lemak dan protein pada bahan. Semakin kecil granula pati semakin besar pula kekuatan tarik yang dihasilkan pada bahan. Demikian pula halnya dengan kadar komponen minor pada bahan. Banyaknya komponen minor tersebut akan berkorelasi negatif dengan kekuatan tarik pada bahan. Hal tersebut disebabkan molekul komponen minor tidak memiliki gugus yang membentuk ikatan antar molekul. Sebagai dampak dari hal tersebut, komponen minor yang mengisi ruang antar molekul malah mengganggu ikatan molekul yang ada.

Data yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai kekuatan tarik tertinggi ada pada sampel A4B1 yakni sebesar 8,43 kgf/cm2. Sampel tersebut adalah pati termoplastik yang mengandung paling sedikit komponen minor dan paling banyak mengandung pati. Di sisi lain nilai kekuatan tarik paling rendah ditunjukkan oleh sampel A1B3 dan A1B2 yang menghasilkan produk yang retak. Sampel A1B3 dan A1B2 merupakan sampel yang paling banyak mengandung komponen minor dan paling sedikit mengandung pati. Dengan demikian hasil tersebut mendukung pernyataan Nikazar (2005) yang dikemukakan sebelumnya mengenai korelasi antara kandungan komponen minor dengan kekuatan tarik bahan.

Hasil uji kekuatan tarik di atas juga memberikan gambaran umum bahwa tingginya kandungan serat pada pati termoplastik ternyata tidak menunjukkan pengaruh positif yang signifikan terhadap kekuatan tarik ampok. Pati termoplastik berbasis ampok jagung yang memiliki kandungan serat paling tinggi, seperti A1B1, justru memiliki kekuatan tarik paling rendah. Hal itu berbeda dengan yang diungkap oleh Lawton et al. (2004) bahwa eksistensi serat mampu memberikan pengaruh positif yang cukup

0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00

0% 25% 50% 75%

Ke ku at an ta ri k (K gf /cm 2) Konsentrasi tapioka gliserol 25% gliserol 30% gliserol 35%


(35)

21

signifikan terhadap sifat fisik biokomposit berbasis pati. Hal tersebut juga berbeda dengan yang diungkap Janssen dan Moscicki (2006) bahwa penambahan serta berbanding lurus dengan peningkatan kekuatan tariknya.

Adanya korelasi positif antara kandungan pati dengan kekuatan tarik dapat disebabkan oleh adanya ikatan hidrogen yang berasal dari pertemuan gugus-gugus -OH pada molekul pati. Saat kondisi kristalin berubah menjadi amorf, molekul-molekul pati menjadi saling bersilangan satu sama lain dan bersama bahan pemlastis membentuk sebuah jalinan yang menyebabkan terbentuknya ikatan hidrogen tersebut. Menurut Gao dan Fei (2004), ikatan hidrogen pada pati termoplastik terbentuk dari interaksi hidrogen maupun oksigen pada gugus C-O-H yang dimiliki pati dengan molekul pemlastis. Dengan demikian, semakin banyak pati yang terkandung pada bahan semakin banyak pula molekul-molekul yang saling bersilangan yang kemudian berdampak pada semakin besarnya ikatan pada bahan secara keseluruhan.

Gambar 8. juga memperlihatkan adanya kecenderungan yang tetap untuk setiap perlakuan konsentrasi gliserol di mana terjadi penurunan nilai kekuatan tarik dengan semakin meningkatnya konsentrasi gliserol. Hasil analisis ragam terhadap data tersebut juga memperlihatkan adanya perbedaan nyata terhadap masing-masing perlakuan konsentrasi gliserol di mana B1 berbeda nyata dengan B2 dan B2 berbeda nyata dengan B3. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada batas konsentrasi 25% hingga 35%, jumlah gliserol berbanding terbalik dengan kekuatan tarik pati termoplastik berbasis ampok jagung. Analisis ragam terkait diperlihatkan dalam Lampiran 8.

Hasil di atas mirip dengan hasil yang diperoleh Cordoba (2009) yang menggunakan pemlastis alginat di mana semakin tinggi kadar pemlastis yang ditambahkan semakin rendah nilai kekuatan tariknya. Kondisi yang sama juga dialami Janssen dan Moscicki (2006), di mana penggunaan gliserol yang lebih besar berdampak pada penurunan kekuatan tarik pati termoplastik gandum yang mereka produksi. Mereka juga menambahkan bahwa hal tersebut merupakan konsekuensi dari penggunaan gliserol sebagai pemlastis. Jika gliserol digunakan dalam konsentrasi rendah, kekuatan tarik memang kuat namun kurang fleksibel (brittle) sedangkan jika gliserol digunakan dalam konsentrasi tinggi, hasilnya pati termoplastik akan lebih fleksibel namun kekuatan tariknya akan lebih kecil.

Hasil yang diperoleh tersebut didukung oleh pernyataan Gao dan Fei (2004) yang menyebutkan bahwa pemberian zat pemlastis dalam jumlah besar berdampak pada menurunnya kekuatan ikatan dalam adonan. Mereka juga menambahkan, bahwa semakin tinggi kadar pemlastis pada pati termoplastik semakin banyak pula ikatan hidrogen yang terbentuk di internal molekul-molekul pemlastis sendiri yang kemudian mengurangi proporsi interaksi ikatan dengan molekul pati. Padahal, kekuatan ikatan pada pati termoplastik lebih disebabkan oleh interaksi gugus –OH dengan zat pemlastis. Dengan demikian terbentuknya produk yang retak pada sampel A1B2 dan A1B3 dapat diakibatkan oleh berlebihnya proporsi gliserol yang diberikan pada adonan yang secara faktual memiliki kadar pati paling sedikit di antara sampel yang lain.

Secara umum kekuatan tarik terbaik yang diperoleh dari pati termoplastik berbahan dasar campuran ampok jagung dan tapioka memiliki nilai yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kekuatan tarik pati termoplastik yang dihasilkan dari penelitian Cordoba et al. (2008) maupun Lee (2009). Kekuatan tarik pati termoplastik Cordoba et al. (2008) dapat mencapai nilai 41 kgf/cm2 sedangkan pati termoplastik Lee


(36)

22

dapat mencapai nilai 144 kgf/cm2. Hal tersebut disebabkan bahan baku yang digunakan Cordoba et al. (2008) berupa berupa pati jagung murni sehingga memiliki kuantitas pati yang lebih tinggi sedangkan Lee (2009) menggunakan campuran LDPE (light density polyetilene) dalam adonan.

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, pati termoplastik terbaik adalah pati termoplastik yang diproduksi menggunakan 25% ampok dan 75% tapioka serta 25% gliserol. Perbaikan terhadap parameter kekuatan tarik dapat dilakukan dengan meningkatkan jumlah pati pada adonan pati termoplastik, mereduksi kadar gliserol pada batas optimum, serta memberikan tambahan polimer sintetis.

4.2.2. Kemuluran Putus (

Elongation at Break

)

Kemuluran putus merupakan salah satu bentuk deformasi pada bahan saat diberikan suatu gaya. Tingkat kemuluran putus menunjukkan pertambahan panjang suatu bahan saat ditarik dengan gaya tertentu sesaat sebelum putus kemudian dibandingkan dengan panjang awalnya. Oleh karena itu tingkat kemuluran putus menggambarkan elastisitas dari pati termoplastik yang dihasilkan. Tingkat elastisitas pada pati termoplastik akan menjadi bahan pertimbangan dalam aplikasinya lebih lanjut sebagai bahan kemasan.

Gambar 9. memperlihatkan pengaruh penambahan tapioka terhadap kemuluran putus pati termoplastik yang dihasilkan. Kecenderungan yang tampak adalah semakin besar jumlah tapioka yang ditambahkan semakin besar pula nilai kemuluran putusnya. Hasil analisis ragam terhadap data tersebut diperlihatkan dalam Lampiran 9.

Analisis ragam menunjukkan bahwa A1 dan A2 berbeda nyata dengan A3 sedangkan A3 berbeda nyata dengan A4. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi pati dalam pati termoplastik berperan dalam peningkatan kemuluran putusnya. Semakin tinggi konsentrasi pati semakin tinggi pula tingkat kemuluran putusnya.

Gambar 9. Grafik hubungan antara konsentrasi tapioka dan gliserol terhadap tingkat kemuluran putus pati termoplastik berbasis ampok jagung

0 5 10 15 20 25

0% 25% 50% 75%

Ke m u lu ra n p u tu s (% ) Konsentrasi tapioka gliserol 25% gliserol 30% gliserol 35%


(37)

23

Sebaliknya hasil analisis ragam mengenai pengaruh konsentrasi gliserol terhadap nilai kemuluran putus mendapatkan hasil yang negatif atau tidak berbeda nyata. Dengan kata lain konsentrasi gliserol dalam pati termoplastik tidak mempengaruhi tingkat kemuluran putusnya. Hal ini berbeda dengan yang dikemukakan oleh Guilbert dan Gontard (2005) di mana semakin tinggi kandungan pemlastis dalam suatu bahan semakin tinggi pula tingkat kemuluran putusnya.

Tingkat kemuluran putus terbesar terdapat pada pati termoplastik yang memiliki konsentrasi pati terbesar yakni sebesar 18,5 - 22,86%. Nilai ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan pati termoplastik yang dihasilkan dari penelitian Lee (2009) di mana tingkat kemuluran putus maksimal yang didapat adalah 11%. Perbedaan ini disebabkan adanya penambahan PE pada pati termoplastik yang dihasilkan oleh Lee namun tidak ada terdapat pada penelitian ini.

4.2.3. Kekerasan (

Hardness

)

Kekerasan merupakan parameter fisik lain yang mempengaruhi penentuan aplikasi pati termoplastik sebagai bahan kemasan. Penyesuaian nilai kekerasan dengan kekuatan tarik maupun kemuluran putus pada sebuah pati termoplastik dapat menjadi acuan tentang fungsi yang dapat diberikan. Kekerasan juga menggambarkan soliditas molekul penyusun pati termoplastik di samping kekuatan ikatannya satu sama lain.

Gambar 10. Grafik hubungan antara konsentrasi tapioka dan gliserol terhadap tingkat kekerasan pati termoplastik berbasis ampok jagung

Hasil uji kekerasan yang dilakukan terhadap pati termoplastik berbasis ampok ditunjukkan oleh Gambar 10. Terhadap faktor konsentrasi tapioka yang ditambahkan, analisis ragam yang dilakukan terhadap data parameter kekerasan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antara A2, A3, dan A4 namun ketiganya berbeda nyata terhadap A1. Sampel A1 merupakan pati termoplastik yang paling sedikit kandungan patinya namun paling banyak mengandung serat. Tingginya nilai kekerasan ini dimungkinkan terjadi akibat keberadaan komponen serat yang cukup besar tersebut. Dengan kata lain,

0 1 2 3 4 5 6

0% 25% 50% 75%

Ke keras an (m m /150g r.d e tik) Konsentrasi tapioka gliserol 25% gliserol 30% gliserol 35%


(38)

24

kekerasan tidak dipengaruhi oleh ketiadaan tapioka melainkan oleh keberadaan serat yang cukup tinggi.

Gambar 10 juga menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan nilai kekerasan seiring bertambahnya kadar gliserol yang digunakan. Pada analisis ragam yang dilakukan terhadap parameter kekerasan diperoleh hasil yang berbeda nyata, di mana B1 berbeda nyata dengan B2 dan B2 berbeda nyata dengan B3. Hal tersebut menunjukkan bahwa penggunaan gliserol pada konsentrasi yang semakin besar mampu meningkatkan kekerasan pati termoplastik. Analisis ragam terhadap parameter kekerasan dapat dilihat dalam Lampiran 10.

Dari hasil yang diperlihatkan, tampak bahwa secara umum pengaruh gliserol terhadap nilai kekerasan berbanding terbalik dengan pengaruhnya terhadap nilai kekuatan tarik. Hal itu mengindikasikan bahwa parameter kekerasan dan kekuatan tarik diakibatkan oleh pengaruh gliserol yang berbeda dalam tingkat mikroskopis. Jika pada parameter kekuatan tarik gliserol berperan memperlebar jarak antar molekul yang berdampak pada menurunnya interaksi molekul, pada parameter kekerasan gliserol justru mengisi celah-celah yang terbentuk saat produksi pati termoplastik. Adanya celah dalam pati termoplastik berbasis ampok dipelihatkan melalui uji permukaan menggunakan SEM.

4.2.4. Morfologi Permukaan Pati Termoplastik berbasis Ampok Jagung

Pengujian menggunakan scanning electron microscope (SEM) dilakukan untuk melihat struktur permukaan pati termoplastik yang dihasilkan. Struktur permukaan tersebut dapat menjadi gambaran umum mengenai kualitas pencampuran, persebaran bahan-bahan dalam pati termoplastik, serta perkiraan proses yang terjadi pada pati termoplastik.

Permukaan yang dilihat dengan SEM meliputi permukaan bagian atas yang bersentuhan langsung dengan mesin pengempa pada saat pencetakan serta permukaan potongan melintang yang tidak bersentuhan langsung dengan mesin kempa. Perbedaan sisi permukaan yang dilihat dilakukan untuk membandingkan keduanya sekaligus melihat konsistensi pencampuran. Pada tingkat perbesaran 750 kali tidak tempak perbedaan masing-masing sampel. Perbedaan permukaan baru terlihat pada tingkat perbesaran 1000 kali. Pada tingkat perbesaran 2000 kali perbedaan kembali tidak terlihat. Dengan demikian tingkat perbesaran yang digunakan adalah 1000 kali. Gambar 11 memperlihatkan permukaan permukaan tersebut.

Pada Gambar 12. terlihat bahwa seluruh bagian pati termoplastik berbasis ampok jagung yang dihasilkan sudah tercampur secara merata, namun belum membentuk sebuah struktur yang padat dan rapat secara utuh. Hal tersebut ditandai dengan adanya rongga-rongga yang masih tersebar di beberapa bagian bahan. Rongga-rongga lebih banyak terlihat pada permukaan potongan melintang dari pada permukaan bagian atas. Rongga-rongga tersebut dapat diakibatkan oleh kondisi proses pencetakan pati termoplastik yang kurang efektif. Kemungkinan tersebut ada karena proses pencetakan dilakukan menggunakan kempa hidrolik secara manual, di mana plat penekan terbuat dari besi yang permukaannya relatif kasar.


(39)

25

Ket. a : pati termoplastik A1B1 c: pati termoplastik A1B3 b : pati termoplastik A4B1 d: pati termoplastik A4B3

Ket. a : pati termoplastik A1B1 c: pati termoplastik A1B3 b : pati termoplastik A4B1 d: pati termoplastik A4B3

Gambar 12. Penampakan potongan melintang pati termoplastik

33

a

b

c

d

b

a

c

d

c

Gambar 11. Penampakan bagian atas pati termoplastik


(40)

26

Gambar tersebut juga memperlihatkan bahwa penambahan gliserol mampu memberikan efek disrupsi yang lebih besar pada adonan. Hal tersebut ditandai dengan lebih meratanya campuran yang terbentuk pada sampel c dan sampel d daripada sampel a dan sampel b, yang lebih jelas terlihat pada permukaan bagian samping. Dengan demikian, peran gliserol sebagai pemlastis yang mampu terdifusi ke dalam granula pati dan mengubah kondisi kristalin menjadi amorf benar-benar terlihat.

Pada sampel b dan sampel d, baik pada permukaan bagian atas maupun bagian samping terlihat struktur yang menyerupai gumpalan-gumpalan yang tidak atau sedikit terlihat pada sampel a dan c. Gumpalan-gumpalan tersebut merupakan granula-granula pati yang belum terdisrupsi secara sempura pada saat pemlastikan. Hal tersebut dimungkinkan oleh jumlah gliserol yang belum mencukupi untuk melakukan disrupsi pada seluruh granula pati yang ada. Pada sampel a dan c, gumpalan tidak atau sedikit terlihat akibat proporsi pati dan gliserol sudah mencukupi sehingga pati sudah terdisrupsi secara lebih baik. Cordoba et al. (2008) menyatakan bahwa kemungkinan tidak terdisrupsinya granula pati secara penuh memang kerap terjadi pada proses pembentukan pati termoplastik. Mereka juga menyatakan bahwa hal tersebut bergantung pada pada kondisi proses yang dipilih.

Terdapat kecenderungan yang terlihat dari hasil pengujian bahwa permukaan bagian samping tampak lebih kasar dan heterogen teksturnya jika dibandingkan dengan permukaan bagian atas. Interaksi permukaan bagian atas dengan plat penekan pada mesin kempa dapat menjadi penyebabnya. Tekanan yang diberikan mesin kempa mampu mendistribusikan pati termoplastik yang meleleh ke seluruh bagian cetakan. Kemudian panas yang terdapat pada plat menyebabkan bagian pati termoplastik yang melekat pada plat tersebut terlebih dahulu meleleh dan mengisi ruang di bagian permukaan atas sebelum mengisi ruang di bagian samping.

4.2.5. Titik Transisi Gelas (T

g

) dan Titik Leleh (T

m

)

Analisis nilai titik transisi gelas (Tg) dan titik leleh (Tm) dilakukan terhadap empat sampel yang dianggap dapat mewakili kecenderungan seluruh sampel. Pembandingan hasil analisis pada sampel A1B1 dengan A1B3 serta A4B1 dengan A4B3 memberikan gambaran umum mengenai pengaruh konsentrasi gliserol terhadap sifat termal pati termoplastik berbasis ampok jagung. Pembandingan hasil analisis pada sampel A1B1 dengan A4B1 serta A1B3 dengan A4B3 memberikan gambaran umum mengenai pengaruh konsentrasi pati atau tapioka terhadap sifat termal pati termoplastik. Hasil analisis termal dengan DSC dapat dilihat pada ringkasan Tabel 6 berikut.

Tabel 6. Hasil analisis titik transisi gelas dan titik leleh pati termoplastik berbasis ampok

Kode sampel Suhu Tg-1 (oC) Suhu Tg-2 (oC) Suhu Tm (oC)

A1B1 45,27 99,85 ---

A4B1 59,86 --- 156,86

A1B3 43,83 102,40 ---


(41)

27

Transisi gelas adalah sebuah perubahan kadaan suatu molekul yang diasosiasikan dengan perubahan pergerakan molekul tersebut dalam sistem yang amorf (Roos 2008). Di bawah titik atau suhu transisi gelas, komponen amorf dari sebuah material akan cenderung kaku dan tidak memiliki mobilitas. Hal tersebut mengakibatkan sifat material secara makro akan menjadi keras dan kaku. Sebaliknya di atas suhu transisi gelas, komponen amorf akan lebih mampu bergerak yang berdampak pada sifat material secara makro akan lebih fleksibel dan elastis (Sammon 2011).

Hasil analisis memperlihatkan adanya dua nilai Tg yang terdapat pada sampel A1B1 dan A1B3 sedangkan pada sampel A4B1 dan A4B3 hal itu tidak terjadi. Keberadaan Tg yang ganda pada sebuah bahan merupakan hal yang mungkin terjadi (D’Ilario dan Martinelli 2006). Adanya dua Tg mengisyaratkan adanya dua fase amorf pada bahan. Tg-1 merujuk pada fase amorf pertama sedangkan Tg-2 merujuk pada fase amorf kedua. Pada sampel A1B1 dan A1B3 hal tersebut dimungkinkan terjadi akibat tingginya proporsi serat serta komponen non-pati pada pati termoplastik. Hal tersebut diperkuat dengan hanya adanya satu Tg pada sampel yang proporsi serat dan komponen non-patinya kecil, yakni pada A4B1 dan A4B3. Selain itu hal tersebut juga diperkuat oleh penelitian Shi et al. (2007) dan Cordoba et al. (2008) yang memperoleh Tg pati termoplastik dengan pemlastis gliserol berada di kisaran 40-45oC. Hal tersebut mengindikasikan Tg-1 yang diperoleh dalam penelitian, yang memiliki kisaran nilai 43-45oC, sebagai Tg dari pati termoplastik, sedangkan Tg-2 yang memiliki kisaran nilai jauh di atas itu (99-102oC) berasal dari komponen non-pati.

Hasil analisis memperlihatkan kecenderungan yang tetap di mana pati termoplastik berbasis ampok jagung yang mengandung jumlah pati lebih besar memiliki Tg-1 yang juga lebih besar. Hasil tersebut cukup jelas dengan melihat selisih Tg-1 yang mencapai 4oC (untuk A1B1 dengan A4B1) dan 6oC (untuk A1B3 dengan A4B3). Terdapat pula kecenderungan penurunan Tg-1 seiring bertambahnya konsentrasi gliserol yang digunakan. Penurunan tersebut lebih terlihat pada sampel yang lebih sedikit mengandung pati (A1B1 dan A1B3) yang selisihnya mencapai 1,5oC dibandingkan dengan sampel yang banyak mengandung pati (A4B1 dan A4B3) di mana selisihnya hanya 0,7oC. Penurunan Tg akibat peningkatan konsentrasi pemlastis juga diperoleh pada penelitian Shi et al.(2007) yang menggunakan asam sitrat serta penelitian Cordoba et al. (2008) yang menggunakan alginat.

Menurut Shi et al.(2007), penurunan Tg dapat dipengaruhi oleh dua faktor, yakni penurunan jumlah gugus hidroksil yang saling berinteraksi dan adanya penambahan bahan pemlastis yang memungkinkan molekul pati bergerak lebih bebas. Pergerakan molekul yang lebih bebas akan cenderung menyebabkan Tg lebih kecil (Roos 2008). Hal tersebut relevan dengan hasil yang diperoleh karena semakin tinggi pati semakin besar pula gugus hidroksil yang terdapat pada pati termoplastik berbasis ampok jagung. Selain itu, semakin tinggi konsentrasi gliserol yang digunakan semakin bebas pula pergerakan molekulnya. Hal ini juga sekaligus menjelaskan kemungkinan penyebab selisih Tg-1 lebih besar pada sampel A1B1 dan A1B3. Pada kedua sampel tersebut, proporsi gliserol dalam pati lebih besar dibandingkan dengan proporsi gliserol dalam pati pada sampel A4B1 dan A4B3 sehingga pergerakan molekul pati juga relatif lebih bebas.


(1)

42 Lampiran 7. Hasil analisis proksimat ampok jagung dan tapioka

Analisis proksimat ampok jagung (basis basah)

Jenis analisis Ulangan I Ulangan II Rata-rata

Air (%) 8,15 8,26 8,21

Lemak (%) 15,31 14,56 14,93

Abu (%) 2,96 2,97 2,97

Serat (%) 10,3 10,7 10,5

Protein (%) 10,1 9,6 9,85

Analisis proksimat tapioka (basis basah)

Jenis analisis Ulangan I Ulangan II Rata-rata

Air (%) 11,9 12,53 12,25

Lemak (%) 0,40 0,43 0,41

Abu (%) 0,16 0,16 0,16

Serat (%) 0,50 0,51 0,5


(2)

43 Lampiran 8. Hasil uji kekuatan tarik (kgf/cm2)

Kode sampel Ulangan I Ulangan II Rata-rata Standar deviasi

A1B1 3,5197 1,1909 2,3553 1,6467

A1B2 0 0 0 0

A1B3 0 0 0 0

A2B1 1,6738 5,6749 3,6743 2,8292

A2B2 2,2607 4,5529 3,4068 1,6208

A2B3 4,1580 1,4679 2,8129 1,9021

A3B1 5,7837 2,8338 4,3087 2,0858

A3B2 2,7247 4,8267 3,7757 1,4863

A3B3 3,1360 2,8445 2,9902 0,2061

A4B1 8,8205 7,8515 8,3360 0,6852

A4B2 6,3668 5,7184 6,0426 0,4584

A4B3 4,9663 5,199 5,2431 0,3914

Ket. A1: Tapioka 0% B1: Gliserol 25% A2: Tapioka 25% B2: Gliserol 30% A3: Tapioka 50% B3: Gliserol 35% A3: Tapioka 75%

Sumber keragaman

Db JK KT F hitung Pr > F

A 3 100.0102063 33.3367354 16.40 0.0002

B 2 15.4383249 7.7191625 03.80 0.0528

AB 6 4.8053800 0.8008967 00.39 0.8691

Error 12 24.3970361 2.0330863

Total 23

Hasil uji lanjut wilayah berganda Duncan

Kadar pati Kekuatan tarik (kgf/cm2) Berganda Duncan (

0% 0.7851 C

25% 3.2980 B

50% 3.6916 B

75% 6.5406 A

Hasil uji lanjut wilayah berganda Duncan

Kadar gliserol Kekuatan tarik (kgf/cm2) Berganda Duncan (

25% 4.6686 A

30% 3.3063 A, B


(3)

44 Lampiran 9. Hasil uji kemuluran putus (%)

Kode sampel Ulangan I Ulangan II Rata-rata Standar deviasi

A1B1 11,7954 3,3334 7.5644 5.9835

A1B2 0 0 0 0

A1B3 0 0 0 0

A2B1 3,4972 9,1637 6.3304 4.0068

A2B2 6,2163 9,6666 7.9414 2.4397

A2B3 5,4502 5,2282 5.3392 0.1569

A3B1 11,5438 4,9708 8.2573 4.6478

A3B2 6,0643 18,1639 12.1141 8.5557

A3B3 12,3859 18,5907 15.4883 4.3874

A4B1 24,7895 19,8131 22.3013 3.5188

A4B2 19,3977 17,7369 18.5673 1.1743

A4B3 19,5381 26,1872 22.8626 4.7016

Ket. A1: Tapioka 0% B1: Gliserol 25% A2: Tapioka 25% B2: Gliserol 30% A3: Tapioka 50% B3: Gliserol 35% A3: Tapioka 75%

Sumber keragaman

Db JK KT F hitung Pr > F

A 3 1181.3149 393.7716 22.74 <.0001*

B 2 10.0426 5.0213 0.29 0.7533

AB 6 147.3208 24.5534 1.42 0.2850

Error 12 207.7530 17.3127

Total 23

Hasil uji lanjut wilayah berganda Duncan

Kadar pati Kekuatan tarik (kgf/cm2) Berganda Duncan (

0% 2.521 C

25% 6.537 C

50% 11.953 B


(4)

45 Lampiran 10. Hasil uji tingkat kekerasan

Kode sampel Ulangan I Ulangan II Rata-rata Standar deviasi

A1B1 2,22 2,26 2,24 0.0282

A1B2 2,88 2,94 2,91 0,0424

A1B3 5,02 5,24 5,13 0,1556

A2B1 2,36 1,94 2,15 0,2930

A2B2 3,28 2,54 2,91 0,5232

A2B3 3,26 2,16 2,71 0,7778

A3B1 1,78 2,10 1,94 0,2262

A3B2 2,16 2,38 2,27 0,1556

A3B3 3,06 3,54 3,30 0,3394

A4B1 1,76 1,62 1,69 0,0989

A4B2 2,82 2,32 2,57 0,3535

A4B3 3,04 2,80 2,92 0,1697

Ket. A1: Tapioka 0% B1: Gliserol 25% A2: Tapioka 25% B2: Gliserol 30% A3: Tapioka 50% B3: Gliserol 35% A3: Tapioka 75%

Sumber keragaman

Db JK KT F hitung Pr > F

A 3 4,0179 1,3393 11,92 0,0007*

B 2 9,1685 4,5842 40,81 <.0001*

AB 6 4,2247 0,7041 6,27 0.0035*

Error 12 1,3480 0,1123

Total 23

Hasil uji lanjut wilayah berganda Duncan

Kadar pati Kekerasan Berganda Duncan

(

0% 3,4267 A

25% 2,5900 B

50% 2,5033 B

75% 2,3933 B

Hasil uji lanjut wilayah berganda Duncan

Kadar gliserol Kekerasan Berganda Duncan

(

25% 3,5150 A

30% 2,6650 B


(5)

46 Lampiran 11. Grafik titik transisi gelas (Tg) dan titik leleh (Tm)

(Sampel A4B1)


(6)

47 (Sampel A1B1)