Peranan Tepung Jagung Termodifikasi terhadap Mutu dan Penerimaan Konsumen Mi Jagung

(1)

SKRIPSI

PERANAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI TERHADAP MUTU DAN PENERIMAAN KONSUMEN MI JAGUNG

Oleh

ISNAINI INDRAWURI F24052713

2010

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PERANAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI TERHADAP MUTU DAN PENERIMAAN KONSUMEN MI JAGUNG

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

ISNAINI INDRAWURI F24052713

2010

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

Judul Skripsi : Peranan Tepung Jagung Termodifikasi terhadap Mutu dan Penerimaan Konsumen Mi Jagung

Nama : Isnaini Indrawuri

NIM : F24052713

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc. Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, M.Si. NIP. 19680526 199303 1 004 NIP. 19610802 198703 2 002

Mengetahui, Ketua Departemen ITP

Dr. Ir. Dahrul Syah NIP. 19650814 199002 1 001


(4)

Isnaini Indrawuri. F24052713. Peranan Tepung Jagung Termodifikasi terhadap Mutu dan Penerimaan Konsumen Mi Jagung. Dibawah bimbingan: Feri Kusnandar dan Nurheni Sri Palupi.

RINGKASAN

Mi jagung merupakan salah satu jenis produk yang ditujukan untuk dapat mendukung program diversifikasi pangan. Jenis mi jagung yang telah dikembangkan diantaranya adalah mi basah dan mi kering jagung yang dibuat dari 100% tepung jagung dengan teknologi kalendering/sheeting. Namun, penggunaan tepung jagung 100% menghasilkan mi basah jagung yang keras, mudah putus, dan kurang kenyal setelah direhidrasi dan mi kering jagung yang rapuh dan mudah patah sebelum direhidrasi dan keras, mudah putus, kurang kenyal serta lengket setelah direhidrasi. Penelitian ini dilakukan untuk memperbaiki karakteristik mi jagung dan pendekatan yang dilakukan adalah memodifikasi tepung jagung.

Penelitian ini bertujuan menentukan pengaruh modifikasi HMT terhadap karakteristik tepung jagung, menentukan pengaruh substitusi tepung jagung HMT terhadap kondisi proses pengukusan adonan dan kualitas mi jagung (basah dan kering), dan mengevaluasi tingkat penerimaan konsumen terhadap produk mi jagung yang disubstitusi tepung jagung HMT. Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu tahap modifikasi dan karakterisasi tepung jagung native serta tepung jagung HMT, penentuan pengaruh substitusi tepung jagung HMT terhadap kondisi proses pengukusan adonan dan kualitas mi jagung, dan uji penerimaan konsumen terhadap produk akhir mi jagung.

Modifikasi tepung jagung HMT dilakukan pada kadar air terkendali (24%) pada suhu 110oC selama 6 jam (Lestari, 2009). Modifikasi HMT (Heat Moisture Treatment) dapat mengubah sifat gelatinisasi tepung jagung dari tipe B (viskositas puncak sedang dan viskositas mengalami penurunan yang tidak terlalu tajam) menjadi tipe C (tidak adanya viskositas puncak dan viskositas tidak mengalami penurunan atau tidak memiliki nilai breakdown). Perubahan tersebut antara lain peningkatan suhu awal gelatinisasi dari 74,25 oC menjadi 79,50oC, penurunan viskositas maksimum tepung jagung dari 659,00 BU menjadi tidak ada, penurunan nilai breakdown dari 4,00 BU menjadi tidak ada, dan peningkatan nilai setback dari 315,00 BU menjadi 525,00 BU.

Substitusi tepung jagung HMT memudahkan proses pembentukan adonan, adonan menjadi tidak lengket dan mudah dibentuk lembaran serta dicetak. Selain itu, waktu pengukusan adonan menjadi lebih panjang, yaitu 14-16 menit. Substitusi tepung jagung HMT juga meningkatkan kualitas mi basah jagung dan mi kering jagung. Secara objektif, substitusi tepung jagung HMT dapat menurunkan nilai kekerasan, KPAP, dan kelengketan serta meningkatkan nilai

kekenyalan dan persentase elongasi mi jagung secara nyata (α=0,05). Secara

subjektif (organoleptik), substitusi tepung jagung HMT secara nyata (α=0,05) menurunkan nilai kekerasan dan kelengketan, serta meningkatkan kekenyalan. Berdasarkan hasil uji penerimaan konsumen pada 175 orang responden, sebanyak 69,12% responden menyukai produk olahan mi basah jagung native dan sebanyak 60% menyukai produk olahan mi basah jagung HMT. Responden yang menyukai produk olahan mi kering jagung native sebesar 43%, sedangkan responden yang menyukai produk olahan mi kering jagung HMT sebesar 55%.


(5)

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Penulis bernama Isnaini Indrawuri, dilahirkan pada tanggal 30 April 1987 di Tegal dan merupakan putri pertama dari pasangan Seto Sukaton dan Latifah. Penulis menempuh pendidikan di TK Tunas Patria (1992-1993), pendidikan dasar di SDN 03 pagi Balekambang, Jakarta Timur (1993-1999), pendidikan menengah pertama di SLTPN 3 Cibinong (1999-2002), dan pendidikan menengah atas di SMUN 3 Bogor (2002-2005).

Penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Insitut Pertanian Bogor pada tahun 2005 melalui jalur USMI. Selama menempuh pendidikan di IPB penulis aktif sebagai pengurus Koperasi Mahasiswa (2006-2008) dan pengurus HIMITEPA (2006-(2006-2008). Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan 2007, Ice Cream Day 2005, 2006 dan 2007 merupakan diantara kegiatan yang pernah diikuti penulis dalam kegiatan kepanitiaan. Seminar dan training yang penah penulis ikuti antara lain Seminar “Menuju Ketahanan Pangan yang Kokoh” oleh SEAFAST CENTER-IPB tahun 2008, Training Sistem Manajemen Halal tahun 2008, Seminar Nasional “Food Safety, Quality, and Nutrition for The Best Future” tahun 2007, dan “Peluang Karir dan Prospek Bisnis di Lembaga Penddidikan” tahun 2006.

Selama masa kuliah, penulis mendapatkan beasiswa dari BPOM pada tahun 2006 dan 2007 serta beasiswa Tanoto Foundation tahun 2007-2009. Penulis juga pernah menjadi asisten pelatih proses pembuatan mi jagung dan untuk UKM yang diselenggarakan oleh Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan SEAFAST Center untuk program Rusnas Diversifikasi Pangan serta pernah menjadi koordinator proses produksi rutin mi jagung pada tahun 2009.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dengan Judul “Peranan Tepung Jagung Termodifikasi terhadap Mutu dan Penerimaan Konsumen Mi Jagung” di bawah bimbingan Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc dan Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, M.Si.


(6)

i KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur, tak henti penulis panjatkan hanya ke hadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat dan karunia Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Peranan Tepung Jagung Termodifikasi terhadap Mutu dan Penerimaan Konsumen Mi Jagung”. Shalawat dan Salam semoga selalu tercurahkan pula kepada junjungan Nabi Besar, Muhammad SAW.

Pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, mendukung, serta membimbing penulis baik secara langsung maupun tidak langsung hingga skripsi ini selesai ditulis, terutama kepada :

1. Bapak dan Ibu tercinta, yang selalu sabar dalam mendidik penulis menjadi manusia yang berguna. Terima kasih atas kasih sayang, motivasi dan doa untuk penulis. Untuk saudara-saudara tersayang; Srini Larasati dan Dipo Suwandono terima kasih atas kasih sayang, dukungan, dan kehangatan keluarga yang indah.

2. Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc sebagai dosen pembimbing, atas kesabaran, nasihat, motivasi serta segala pelajaran hidup yang telah diberikan kepada penulis selama 3 tahun ini.

3. Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, M.Si selaku dosen pembimbing II yang selalu memberikan masukan-masukan hingga terselesaikannya skripsi ini serta kelembutan dan kasih sayang yang telah diberikan kepada penulis.

4. Elvira Syamsir, STP, M.Si selaku dosen penguji, atas saran-saran yang membangun serta masukan yang sangat bermanfaat bagi penulis.

5. Seluruh Staf Pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat serta mendukung kemajuan penulis, serta laboran-laboran ITP dan Seafast Center (Bu Sri, Bu Rub, Pak Rojak, Pak Ilyas dan Pak Jun) yang banyak membantu penulis dalam melakukan penelitian.

6. Andhika Prima Prasetyo, S.Pi atas kasih sayang, doa, dukungan, dorongan dan semangat yang diberikan kepada penulis.


(7)

ii 7. Teman-teman se-bimbingan, Indri, Juju dan Ka Gema, atas kebersamaan,

dukungan dan kerja sama yang indah.

8. Teman-teman terbaik, terutama Anggun, Cany, Esther, Dina, Tuti, Olo, Siyam, Sina, Irene, Midun, Riska, Arya, Fahmi, Wiwiw, Kamlit dan seluruh keluarga besar ITP 42. Semoga kebersamaan selama 3 tahun ini tidak lekang dimakan waktu.

9. Teman-teman tercinta, Miva, Tara, Mega, dan Asih. Terima kasih atas dorongan semangat dan kasih sayang yang telah diberikan kepada penulis. 10. Para Panelis terlatihku, Tsani, Safie, Victor, Sandra, Angga, Weje, Wahyu,

Dilla, Fitri, Stella, dan Bintang atas bantuan dan kerjasama yang baik.

11. Teman-teman tim produksi mi jagung, atas kebersamaan dan kerjasama yang baik.

12. Teman-teman ITP 43 yang memberikan keceriaan dan kebersaman yang indah.

13. Kepada pihak-pihak lain yang belum disebutkan, penulis mengucapkan terima kasih, semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang telah kalian berikan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidaklah sempurna. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, Maret 2010


(8)

iii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 3

C. Manfaat Penelitian ... 3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

A. Jagung ... 4

1. Tanaman Jagung ... 4

2. Komposisi Kimia Jagung ... 5

3. Jagung P-21 (Pioneer-21) ... 6

B. Pati Jagung ... 7

C. Tepung Jagung ... 9

D. Gelatinisasi ... 9

1. Konsep dan Mekanisme Gelatinisasi ... 9

2. Suhu Gelatinisasi ... 11

3. Sifat Birefringence... 11

E. Modifikasi Pati Metode Heat Moisture Treatment ... 12

F. Mi ... 13

1. Mi Basah ... 13

2. Mi Kering ... 14


(9)

iv

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 18

A. Bahan dan Alat ... 18

B. Metode Penelitian ... 18

1. Modifikasi Tepung Jagung dengan Metode HMT serta Karakterisasi Tepung Jagung Native dan Tepung Jagung Termodifikasi HMT ... 18

a. Proses Penepungan Jagung ... 19

b. Modifikasi Tepung Jagung dengan Metode HMT ... 19

c. Analisis Profil Gelatinisasi ... 20

2. Penentuan Kondisi Proses Pengukusan Adonan terhadap Kualitas Mi Jagung ... 21

a. Pengaplikasian Tepung Jagung HMT pada Pembuatan Mi Jagung ... 21

b. Penentuan Jumlah Tepung Jagung HMT yang akan Dikukus pada Pengukusan Adonan ... 23

c. Penentuan RentangWaktu Pengukusan Adonan ... 24

3. Uji Penerimaan Konsumen terhadap Produk Olahan Mi Jagung ... 29

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31

A. Karakteristik Tepung Jagung HMT ... 31

B. Pengaruh Pengukusan Adonan terhadap Kualitas Mi Jagung ... 36

1. Analisis Sifat Fisik Mi Jagung ... 39

a. Waktu Pemasakan Optimum ... 39

b. Analisis Profil Tekstur ... 39

c. Analisis Presentase Elongasi ... 44

d. Analisis KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan) ... 45

2. Analisis Organoleptik Mi Jagung ... 47

a. Seleksi Panelis ... 47

b. Pelatihan Panelis Terlatih ... 48

c. Uji Organoleptik Mi Jagung ... 49

C. Penerimaan Konsumen terhadap Produk Olahan Mi Jagung ... 53

1. Data Umum Responden ... 53

2. Perilaku Konsumsi Mi Responden ... 54


(10)

v

a. Mi Basah Jagung pada Produk Mi Ayam ... 57

b. Mi Kering Jagung pada Produk Mi Bakso ... 59

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 62

A. Kesimpulan ... 62

B. Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 64


(11)

vi

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Bagian-bagian anatomi biji jagung ... 4

Tabel 2. Komposisi kimia rata-rata biji jagung ... 5

Tabel 3. Hasil analisis proksimat dan kadar pati tepung jagung P-21 ... 7

Tabel 4. Karakteristik granula pati ... 8

Tabel 5. Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati ... 11

Tabel 6. Syarat mutu mi basah menurut SNI 01-2987-19 ... 14

Tabel 7. Syarat mutu mi kering menurut SNI 01-2974-1996 ... 15

Tabel 8. Penentuan waktu optimum pengukusan adonan pada suhu 90oC . 17 Tabel 9. Perbandingan tepung jagung native dan tepung jagung HMT yang dikukus ... 24

Tabel 10. Pengaturan Texture Analyzer dalam mode TPA (Texture Profile Analysis) ... 25

Tabel 11. Sampel uji untuk identifikasi rasa dan aroma dasar ... 28

Tabel 12. Sampel untuk uji ranking ... 28

Tabel 13. Sampel untuk uji segitiga ... 28

Tabel 14. Data profil gelatinisasi tepung jagung native dan HMT ... 33

Tabel 15. Data profil gelatinisasi tepung jagung native dan HMT pada penelitian Lestari (2009) menggunakan Rapid Visco Analyzer (RVA) ... 33

Tabel 16. Pengaruh rasio tepung jagung HMT yang dikukus terhadap kualitas adonan ... 37

Tabel 17. Pengaruh waktu pengukusan terhadap sifat adonan ... 38


(12)

vii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Mekanisme gelatinisasi pati (Harper, 1981) ... 10

Gambar 2. Pembuatan tepung jagung teknik kering ... 20

Gambar 3. Proses pembuatan mi jagung metode sheeting ... 22

Gambar 4. Kurva profil tekstur mi ... 26

Gambar 5. Profil gelanitisasi tepung jagung native dan HMT ... 33

Gambar 6. Visualisasi mi basah jagung dengan variasi bagian adonan yang dikukus [a] Kontrol (Mi jagung native); [b] Formula 1 (Mi jagung HMT tidak dikukus); [c] Formula 2 (Mi jagung HMT sebagian kukus); [d] Formula 3 (Mi jagung HMT dikukus) ... 37

Gambar 7. Nilai kekerasan mi basah jagung yang diukur dengan Texture Analyzer ... 40

Gambar 8. Nilai kekerasan mi kering jagung yang diukur dengan Texture Analyzer ... 40

Gambar 9. Nilai kekenyalan mi basah jagung yang diukur dengan Texture Analyzer ... 41

Gambar 10. Nilai kekenyalan mi kering jagung yang diukur dengan Texture Analyzer ... 42

Gambar 11. Nilai kelengketan mi basah jagung yang diukur dengan Texture Analyzer ... 43

Gambar 12. Nilai kelengketan mi kering jagung yang diukur dengan Texture Analyzer ... 43

Gambar 13. Persen elongasi mi basah jagung ... 44

Gambar 14. Persen elongasi mi kering jagung ... 44

Gambar 15. Kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) mi basah jagung ... 45

Gambar 16. Kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) mi kering jagung ... 46

Gambar 17. Hubungan antara kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) dan lama waktu pemasakan mi kering jagung ... 46

Gambar 18. Nilai kekerasan mi basah jagung secara organoleptik ... 50

Gambar 19. Nilai kekerasan mi kering jagung secara organoleptik ... 50

Gambar 20. Nilai kekenyalan mi basah jagung secara organoleptik ... 51


(13)

viii

Gambar 22. Nilai kelengketan mi basah jagung secara organoleptik ... 52

Gambar 23. Nilai kelengketan mi kering jagung secara organoleptik ... 52

Gambar 24. Frekuensi konsumsi mi responden per minggu ... 54

Gambar 25. Faktor penentu konsumsi mi ... 55

Gambar 26. Atribut mutu mi yang penting menurut responden ... 55

Gambar 27. Pengetahuan responen terhadap mi jagung ... 56

Gambar 28. Tingkat kesukaan responden terhadap mi basah jagung native pada produk olahan mi ayam ... 57

Gambar 29. Tingkat kesukaan responden terhadap mi basah jagung HMT pada produk olahan mi ayam ... 57

Gambar 30. Tingkat kesesuaian mi basah jagung yang diolah menjadi mi ayam ... 58

Gambar 31. Alternatif lain untuk produk olahan mi basah jagung menurut responden ... 58

Gambar 32. Tingkat kesesuaian mi basah jagung sebagai alternatif mi terigu komersial ... 59

Gambar 33. Tingkat kesukaan responden terhadap mi kering jagung native pada produk olahan mi bakso ... 59

Gambar 34. Tingkat kesukaan responden terhadap mi kering jagung HMT pada produk olahan mi bakso ... 60

Gambar 35. Tingkat kesesuaian mi kering jagung yang diolah menjadi mi bakso ... 60

Gambar 36. Alternatif lain untuk produk olahan mi kering jagung menurut responden ... 61

Gambar 37. Tingkat kesesuaian mi kering jagung sebagai alternatif mi terigu komersial ... 61


(14)

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Contoh Kuesioner Seleksi Panelis ... 68

Lampiran 2. Kuisioner Uji Penerimaan Konsumen pada Produk Olahan Mi Jagung ... 72

Lampiran 3. Data Hasil Analisis Fisik (Kekerasan, Kekenyalan dan Kelengketan) Mi Jagung Diukur dengan Texture Analyzer ... 75

Lampiran 4. Hasil Uji Lanjutan (Uji Mann-Whitney) Nilai Kekerasan, Kekenyalan dan Kelengketan yang Diukur dengan Texture Analyzer ... 76

Lampiran 5. Data Hasil Analisis Persentase Elongasi ... 79

Lampiran 6. Hasil Uji Lanjutan (Uji Mann-Whitney) Persentase Elongasi ... 80

Lampiran 7. Data Hasil Analisis Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP) ... 81

Lampiran 8. Hasil Uji Lanjutan (Uji Mann-Whitney ) Analisis Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP) ... 82

Lampiran 9. Performa 11 Calon Panelis Terlatih ... 83

Lampiran 10. Scoresheet Uji Organoleptik Mi Jagung ... 84

Lampiran 11. Data Hasil Uji Organoleptik dengan Panelis Terlatih ... 86

Lampiran 12. Hasil Uji Lanjutan (Uji Mann-Whitney) Atribut Tekstur secara Organoleptik ... 88

Lampiran 13. Data Umum Responden Uji Penerimaan Konsumen terhadap Produk Olahan Mi Jagung ... 91


(15)

1 I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Indonesia memiliki potensi besar dalam produksi komoditi jagung. Menurut data Badan Pusat Statistik, produksi jagung secara nasional mengalami peningkatan setiap tahunnya bahkan mencapai 17 juta ton pada tahun 2009 (BPS, 2009). Oleh karena itu, komoditi jagung perlu mendapat perhatian dalam pemanfaatannya. Salah satu potensi pemanfaatan komoditas jagung adalah sebagai bahan baku dalam pengolahan mi. Berdasarkan hasil kajian preferensi konsumen, mi merupakan produk pangan yang paling banyak dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, baik sebagai makanan sarapan maupun sebagai makanan selingan (Juniawati, 2003). Bahkan pada sebagian golongan masyarakat, mi tidak lagi dijadikan sebagai sumber makanan pokok, tetapi juga digunakan sebagai lauk pauk.

Pemanfaatan bahan baku tepung jagung dalam pengolahan mi perlu dilakukan pengembangan. Tepung jagung rendah akan gluten, sehingga tidak mampu membuat tekstur yang elastis dan kompak seperti mi gandum atau mi terigu. Oleh karena itu, untuk memperbaiki karakteristik fisik dan organoleptik mi berbahan dasar tepung jagung dapat dilakukan dengan mengubah karakteristik fisik tepung jagung tersebut. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan memperbaiki sifat gelatinisasinya.

Pati serealia memiliki profil gelatinisasi tipe B yang ditandai dengan viskositas puncak yang tinggi dan kestabilan viskositas terhadap panas yang rendah (Collado et al, 2001). Menurut Lii dan Chang (1981) didalam Collado et al (2001), pati yang ideal untuk dibuat menjadi produk mi adalah pati yang memiliki pengembangan dan solubility yang terbatas dan memiliki profil gelatinisasi tipe C. Selain itu, menurut Chen et al (2003), karakteristik pati yang baik untuk diaplikasikan menjadi produk mi adalah pati dengan viskositas puncak yang rendah, stabil terhadap panas dan pengadukan bahkan cenderung mengalami peningkatan selama pemanasan serta memiliki viskositas yang tinggi pada suhu rendah (Tam et al, 2004). Mi yang dihasilkan dari pati dengan karakteristik tersebut memiliki nilai kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) yang


(16)

2 rendah, untaian mi yang kompak dan elastis serta kelengketan yang rendah (Purwani et al, 2006).

Oleh karena itu, modifikasi tepung jagung merupakan alternatif dalam memperbaiki kualitas mi jagung. Proses modifikasi diharapkan dapat memperbaiki sifat gelatinisasi tepung jagung dengan meningkatan kestabilan viskositas terhadap panas (breakdown) yang diharapkan dapat meningkatkan kekenyalan, menurunkan kelengketan, dan menurunkan nilai KPAP (kehilangan padatan akibat pemasakan), sedangkan peningkatan nilai setback diharapkan dapat menurunkan tingkat kekerasan mi jagung. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Beta dan Corke (2001), menunjukkan bahwa peningkatan kestabilan viskositas terhadap panas berkolerasi negatif dengan KPAP.

Teknik modifikasi Heat Moisture Treatment (HMT) dipilih karena prosesnya relatif murah, aman dan sederhana. Modifikasi dalam bentuk tepung dilakukan dengan pertimbangan bahwa tepung jagung lebih mudah untuk diaplikasikan. Modifikasi tepung jagung HMT dapat dilakukan pada kadar air terkendali (24%) pada suhu 110oC selama 6 jam (Lestari, 2009).

Penelitian mengenai mi jagung telah banyak dilakukan, baik mi basah maupun mi kering. Namun, kebanyakan hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa mi jagung masih belum dapat menggunakan 100% tepung jagung. Hal tersebut adalah karena karakteristik tepung jagung sendiri yang rendah protein gliadin dan glutelin (gluten) sebagai pembentuk struktur mi (Fennema, 1996), seperti telah dikemukakan di atas. Selain itu, belum pernah dilakukan uji konsumen mengenai penerimaan produk mi jagung. Oleh karena itu, pada penelitian ini dipelajari bagaimana penerimaan konsumen terhadap produk mi jagung melalui uji penerimaan konsumen.

Pembuatan mi jagung 100% membutuhkan tambahan proses yaitu pengukusan sebagian adonan sebelum dilakukan pencetakan. Penelitian ini mempelajari bagaimana pengaruh penggunaan tepung jagung yang dimodifikasi dengan metode HMT pada produk akhir mi jagung, baik mi basah maupun mi kering. Selain itu, dilihat pula apakah penggunaan tepung jagung HMT berpengaruh pada kondisi pengukusan adonan yang akan menggelatinisasi sebagian pati. Waktu pengukusan adonan yang optimum adalah selama 15 menit


(17)

3 (Putra, 2008) dengan menggunakan tepung jagung native dan pada penelitian ini diamati apakah substitusi tepung jagung HMT mempengaruhi waktu pengukusan.

Penelitian mengenai penggunaan tepung jagung HMT pada mi jagung juga telah dilakukan oleh Lestari (2009). Lestari (2009) mencampur tepung jagung HMT dengan tepung jagung native terlebih dahulu sebelum dilakukan pembagian adonan yang akan dikukus dan yang tidak dikukus. Penelitian ini menggunakan variasi jumlah tepung jagung HMT yang akan dikukus, yaitu seluruhnya dikukus, sebagian atau dicampur terlebih dahulu baru dilakukan pembagian adonan dan tidak dikukus atau dicampurkan pada bagian tepung yang tidak dikukus. Hal ini ditujukan agar diketahui bagaimana pengaruh jumlah tepung jagung HMT yang dikukus dapat mempengaruhi adonan mi serta pengaruhnya pada proses selanjutnya (pembentukan lembaran/sheeting dan pencetakan/slitting) dan pada produk akhir mi jagung.

B. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menentukan pengaruh modifikasi HMT terhadap karakteristik tepung jagung.

2. Menentukan pengaruh substitusi tepung jagung HMT terhadap kondisi proses pengukusan adonan dan kualitas mi jagung (basah dan kering). 3. Mengevaluasi tingkat penerimaan konsumen terhadap produk mi jagung.

C. MANFAAT PENELITIAN

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai rujukan dalam pembuatan mi jagung menggunakan teknologi kalendering atau sheeting.


(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. JAGUNG

1. Tanaman Jagung

Jagung (Zea mays L.) termasuk ke dalam famili Gramineae

(rumput-rumputan) dan genus Zea. Tanaman ini merupakan tumbuhan semusim (annual)

dan termasuk tanaman berumah satu (monoecioes). Sistem perakarannya serabut, menyebar ke samping dan ke bawah. Klasifikasi ilmiah atau nomenklatur tanaman jagung, yaitu kingdom Plantae, divisi Magnoliophyta, kelas Liliopsida, ordo Poales, family Poaceae, dan genus Zea.

Menurut Effendi dan Sulistiati (1991), tongkol jagung merupakan gudang penyimpanan cadangan makanan. Tongkol ini bukan hanya tempat pembentukan lembaga tetapi juga merupakan tempat menyimpan pati, protein, minyak/lemak, dan zat-zat lain untuk persediaan makanan dan pertumbuhan biji. Panjang tongkol bervariasi antara 8 sampai 42 cm dan biasanya dalam satu tongkol mengandung sekitar 300 sampai 1000 biji jagung.

Bentuk biji jagung berbeda-beda tergantung varietasnya. Warna biji jagung juga bervariasi dari putih sampai kuning. Daerah-daerah penghasil utama tanaman jagung adalah Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, Madura, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku. Khusus daerah Jawa Timur dan Madura, tanaman ini dibudidayakan cukup intensif, karena selain tanah dan iklimnya sangat mendukung, di daerah tersebut, khususnya Madura, jagung banyak dimanfaatkan sebagai makanan pokok (Warisno, 1998). Secara anatomi, jagung terdiri dari empat bagian pokok, yaitu

kulit (perikarp), endosperma, lembaga, dan tudung pangkal biji (tipcap).

Presentase bagian-bagian anatomi biji jagung dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Bagian-bagian anatomi biji jagung

Bagian Anatomi Jumlah (%)

Pericarp 5

Endosperma 82

Lembaga 12

Tipcap 1

Sumber: Inglett, 1970


(19)

2. Komposisi Kimia Jagung

Komposisi kimia jagung bervariasi bergantung pada varietas, cara penanaman, iklim, dan tingkat kematangan. Kandungan gizi utama yang terdapat pada biji jagung adalah karbohidrat, protein, dan lemak. Komposisi kimia rata-rata biji jagung dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi kimia rata-rata biji jagung

Komponen Jumlah (%)

Pati Protein Lemak Serat Lain-lain

Endosperm 86,4 8,0 0,8 3,2 0,4

Lembaga 8,0 18,4 33,2 14,0 26,4

Kulit 7,3 3,7 1,0 83,6 4,4

Tip cap 5,3 9,1 3,8 77,7 4,1 Sumber : Johnson (1991)

Menurut Johnson (1991), komponen kimia terbesar dalam biji jagung adalah karbohidrat (72% dari berat biji) yang sebagian besar berisi pati dan mayoritas terdapat pada bagian endosperma. Endosperma matang terdiri dari 86% pati dan

sekitar 1% gula. Pati terdiri dari dua polimer glucan, yaitu amilosa dan

amilopektin. Secara umum, pati jagung mengandung amilosa sekitar 25-30% dan amilopektin sekitar 70-75%.

Gula dalam biji jagung terdapat dalam bentuk monosakarida (D-glukosa dan D-fruktosa), disakarida dan trisakarida, serta gula alkohol. Sukrosa merupakan disakarida terbanyak dalam biji jagung (2-3 mg per endosperma). Sedangkan maltosa, trisakarida, dan oligosakarida terdapat dalam jumlah sedikit. Adapun phytate (hexaphosphoric ester dari myo-inositol) diketahui sebagai satu-satunya gula alkohol yang terdapat dalam biji jagung. Sekitar 90% phytate ditemukan di dalam skutelum dan 10%-nya terdapat di dalam aleuron (Johnson, 1991).

Jagung mengandung lemak dan protein yang jumlahnya bergantung pada umur dan varietas. Kandungan lemak dan protein pada jagung muda lebih rendah dibandingkan dengan jagung tua. Selain lemak dan protein, jagung juga mengandung karbohidrat yang terdiri dari pati, serat kasar, dan pentosa (Muchtadi dan Sugiyono, 1989).

Menurut Inglett (1970), jagung yang mengandung protein tinggi cenderung memiliki butir kernel yang kecil dengan kandungan endosperm keras yang


(20)

6 banyak. Protein yang terkandung pada jagung mencapai 10% dari biji utuh. Protein terbanyak dalam jagung adalah zein dan glutelin.

Zein merupakan protein dengan bobot molekul rendah yang larut pada etilalkohol dan alkohol-alkohol tertentu seperti isopropanol. Zein memiliki dua jenis komponen yaitu α–zein (larut pada 95% etanol) dan β–zein (larut dalam 60% etanol). Zein memiliki komposisi asam amino yang tinggi kandungan asam glutamat, prolin, leusin, dan alanin. Namun, rendah pada kandungan lisin, triptofan, histidin dan metionin (Laztity, 1996).

Glutelin merupakan protein berberat molekul tinggi yang larut dalam alkali. Fraksi glutelin merupakan protein endosperma yang tersisa setelah ekstraksi protein larut garam dan alkohol (zein). Fraksi glutelin juga terdiri dari beberapa protein struktural seperti protein membran atau protein kompleks dinding sel. Glutelin memiliki jumlah asam amino lisin, arginin, histidin, dan triptofan yang lebih tinggi daripada zein tetapi kandungan asam glutamatnya lebih rendah (Laztity, 1986).

Protein gluten yang terdapat pada tepung terigu memiliki keistimewaan, yaitu dapat membentuk adonan yang viskoelastis, sifat ini juga didukung oleh struktur protein gandum yang unik, ikatan-ikatan seta interaksi yang terdapat didalamnya (Fennema, 1996). Protein pada tepung terigu sebagian besar terdiri dari gliadin dan glutelin, sedangkan pada tepung jagung seperti telah disebutkan diatas terdiri dari zein dan glutelin. Walaupun zein dan gliadin keduanya merupakan kelas prolamin yang larut alkohol 70-80% dan tidak larut air maupun alkohol absolut (Winarno, 2004), namun memiliki sifat yang sangat berbeda. Hal ini disebabkan perbedaan susunan asam aminonya. Protein terigu memiliki kandungan glutamin dan asam amino hidroksil yang tinggi. Ikatan hidrogen yang terjadi antara glutamin dan residu gugus hidroksil dari polipeptida gluten berkontribusi terhadap gaya adhesi-kohesi (Fennema, 1996).

3. Jagung P-21 (Pioneer-21)

Jagung varietas P-21 (Pioneer-21) merupakan salah satu jenis jagung

hibrida. Karakteristik kimia tepung jagung P-21 dapat dilihat pada Tabel 3.


(21)

7 Kandungan lemak yang rendah disebabkan adanya proses degerminasi (pemisahan lembaga) pada saat proses penepungan. Lembaga merupakan bagian biji jagung yang kaya akan lemak sehingga akan menyebabkan tepung jagung cepat menjadi tengik bila tidak dipisahkan. Sebagian besar tepung jagung P-21 mengandung karbohidrat (86,18%). Total pati jagung pada tepung jagung P-21 sebesar 66,56% dan sebagian besar merupakan amilopektin (43,52%).

Tabel 3. Hasil analisis proksimat dan kadar pati tepung jagung P-21

Komponen Kadar (%)

Air 5,46 Protein 6,32 Lemak 1,73 Abu 0,31 Karbohidrat 86,18

Amilosa 23,04 Amilopektin 43,52

Total pati 66,56

Sumber : Etikawati (2007)

Warna kuning pada tepung jagung disebabkan oleh adanya pigmen xantofil yang terdapat pada biji jagung. Xantofil termasuk dalam pigmen karotenoid yang memiliki gugus hidroksil. Warna kuning tepung jagung tentunya akan berpengaruh terhadap mi yang dihasilkan. Lebih lanjut warna kuning pada tepung jagung juga memberikan karakteristik khas dari mi yang dihasilkan. Fadlillah (2005) menyatakan bahwa mi jagung yang berwarna kuning merupakan keunggulan mi jagung dibandingkan mi terigu karena tidak memerlukan lagi bahan tambahan pewarna untuk menghasilkan mi yang berwarna kuning.

B. PATI JAGUNG

Pati banyak terdapat pada tanaman sebagai cadangan karbohidrat, dan merupakan sumber karbohidrat utama bagi manusia. Secara alami, bentuk pati merupakan butiran-butiran kecil yang sering disebut granula. Secara mikroskopik, campuran molekul dalam granula pati berstruktur linier (amilosa) dan bercabang (amilopektin) yang membentuk lapisan-lapisan tipis berbentuk cincin atau lamela, dimana lamela tersebut tersusun terpusat mengelilingi titik awal yang disebut


(22)

8 hilus atau hilum. Letak hilum dalam granula pati ada yang di tengah dan ada yang

di tepi. Granula pati dari golongan tanaman Graminae (beras, jagung, dan

gandum) mempunyai hilum yang terletak di tengah, sedangkan granula pati pada kentang dan sagu mempunyai letak hilum di tepi.

Granula pati dalam keadaan murni berwarna putih, mengkilat, tidak berbau, dan tidak berasa. Granula pati bervariasi bentuk dan ukurannya tergantung pada sumbernya. Beberapa jenis pati dengan ukuran dan bentuknya dapat dilihat pada

Tabel 4. Pati jagung biasa dan pati jagung berlilin (waxy/glutinous corn) memiliki diameter berkisar antara 2–30 μm. Jagung yang tinggi amilosa (high-amylose corn) memiliki diameter berkisar antara 2-24 μm. Pati pada kentang, tapioka, dan gandum masing-masing memiliki diameter berkisar antara 5-100 μm, 4-35 μm,

dan 2-55 μm (Fennema, 1996). Granula pati memiliki struktur kristalin yang

terdiri dari unit kristal dan unit amorf. Daerah kristalin pada kebanyakan pati tersusun atas fraksi amilopektin, sedangkan fraksi amilosa banyak terdapat pada daerah amorf.

Tabel 4. Karakteristik granula pati

Jenis pati Ukuran granula (µm) Bentuk granula

Padi 3-8 Poligonal

Gandum 20-35 Lentikular atau bulat

Jagung 15 Polihedral atau bulat

Sorgum 25 Bulat

Rye 28 Lentikular atau bulat

Barley 20-25 Bulat atau elips

Sumber: Hoseney (1998)

Pati komersial didapat dari biji–bijian seperti jagung, jagung tipe waxy, jagung dengan kandungan amilosa yang tinggi, gandum, dan berbagai jenis beras, serta dari batang dan umbi–umbian (Fennema, 1996). Pati memiliki karakteristik tertentu berdasarkan bentuk, ukuran, distribusi ukuran, komposisi, dan kekristalan granulanya (Belitz, dan Grosch, 1999). Pati tidak larut pada air dingin dan akan membentuk massa pasta yang padat dan keras apabila dicampur dengan air dingin.

Pati jagung terdiri dari 73% amilopektin dan 27% amilosa. Namun demikian, terdapat varietas jagung yang tersusun seluruhnya (100%) dari amilopektin yaitu jenis waxy/glutinous corn. Sebaliknya, terdapat pula varietas


(23)

9 jagung yang mengandung amilosa dalam jumlah yang tinggi (50-75%). Varietas tersebut dinamakan high-amylose corn (Mauro et. al., 2003).

C. TEPUNG JAGUNG

Menurut SNI 01-3727-1995, tepung jagung adalah tepung yang diperoleh

dengan cara menggiling biji jagung (Zea mays L.) yang bersih dan baik.

Penggilingan biji jagung menjadi bentuk tepung merupakan suatu proses pemisahan kulit, endosperm, lembaga dan tip cap. Endosperm merupakan bagian biji jagung yang digiling menjadi tepung dan memiliki kadar karbohidrat yang tinggi. Kulit yang memiliki kandungan serat tinggi harus dipisahkan karena dapat membuat tepung bertekstur kasar. Sementara itu, lembaga yang merupakan bagian biji jagung dengan kandungan lemak tertinggi juga harus dipisahkan agar tidak membuat tepung menjadi tengik. Selain itu, tip cap juga harus dipisahkan sebelum penepungan agar tidak terdapat butir-butir hitam pada tepung olahan.

Pembuatan tepung jagung baik dilakukan dengan menggunakan metode penggilingan kering (Juniawati, 2003). Proses pembuatan tepung jagung diawali

dengan penggilingan menggunakan hammer mill. Penggilingan ini menghasilkan

grits, lembaga, kulit, dan tip cap. Hasil penggilingan kemudian direndam dalam

air untuk memisahkan bagian endosperm dengan bagian lembaga, kulit, dan tip

cap. Bagian endosperm akan tenggelam dan bagian lain yang tidak dibutuhkan

dapat dengan mudah dibuang karena mengapung. Selanjutnya, bagian endosperm ditiriskan dan digiling menggunakan disc mill untuk memperhalus ukuran grits menjadi tepung. Hasil penggilingan yang berupa tepung jagung ini masih harus melalui proses pengayakan 100 mesh, sehingga diperoleh hasil tepung jagung yang optimal, yaitu halus dan homogen (Putra, 2008).

D. GELATINISASI

1. Konsep dan Mekanisme Gelatinisasi

Granula pati tidak larut dalam air dingin tetapi akan mengembang dalam air panas atau hangat. Pengembangan granula pati tersebut bersifat bolak–balik (reversible) jika tidak melewati suhu gelatinisasi dan akan menjadi tidak bolak– balik (irreversible) jika telah mencapai suhu gelatinisasi (Greenwood dan Munro,


(24)

10 1979). Beberapa perubahan selama terjadinya gelatinisasi dapat diamati. Mula– mula suspensi yang keruh mulai menjadi jernih pada suhu tertentu, tergantung jenis pati yang digunakan. Terjadinya translusi larutan pati tersebut biasanya diikuti dengan pembengkakan granula. Bila energi kinetik molekul–molekul air menjadi lebih kuat daripada gaya tarik–menarik antar molekul pati di dalam granula, air dapat masuk ke dalam butir–butir granula. Hal inilah yang menyebabkan bengkaknya granula pati (Winarno, 1997).

Mekanisme gelatinisasi secara umum terjadi dalam tiga tahap, yaitu: (1) penyerapan air oleh granula pati sampai batas yang akan mengembang secara lambat dimana air secara perlahan-lahan dan bolak-balik berimbibisi ke dalam granula, sehingga terjadi pemutusan ikatan hidrogen antara molekul-molekul granula, (2) pengembangan granula secara cepat karena menyerap air secara cepat sampai kehilangan sifat birefriengence-nya dan (3) granula pecah jika cukup air dan suhu terus naik sehingga molekul amilosa keluar dari granula (Swinkels, 1985). Menurut Harper (1981), mekanisme gelatinisasi dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 1.

Granula pati tersusun dari amilosa (berpilin) dan amilopektin (bercabang)

Masuknya air merusak kristalinitas amilosa dan merusak helix. Granula membengkak

Adanya panas dan air menyebabkan pembengkakan tinggi. Amilosa berdifusi keluar dari granula

Granula mengandung amilopektin, rusak dan terperangkap dalam matriks amilosa membentuk gel


(25)

11 Indeks refraksi butir–butir pati yang membengkak mendekati indeks refraksi air. Hal inilah yang menyebabkan sifat translusen. Jumlah gugus hidroksil dalam molekul pati sangat besar sehingga kemampuan menyerap airnya sangat besar. Peningkatan viskositas disebabkan air yang awalnya berada di luar granula dan bebas bergerak sebelum suspensi dipanaskan, kini sudah berada di dalam butir– butir pati dan tidak dapat bergerak bebas lagi (Winarno, 1997).

2. Suhu Gelatinisasi

Fennema (1996) menyatakan bahwa suhu atau titik gelatinisasi adalah titik saat sifat birefrigence pati mulai menghilang. Suhu gelatinisasi diawali dengan pembengkakan yang irreversible pada granula pati dalam air panas dan diakhiri tepat ketika granula pati telah kehilangan sifat kristalnya. Suhu gelatinisasi tidak sama pada berbagai jenis pati. Suhu gelatinisasi pada berbagai jenis pati ditunjukkan oleh Tabel 5.

Tabel 5. Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati

Sumber pati Suhu gelatinisasi (oC)

Beras 65-73

Ubi jalar 82-83

Tapioka 59-70 Jagung 61-72 Gandum 53-64 Sumber: Fennema (1996)

Winarno (2004) menyatakan bahwa suhu dimana sifat birefringence granula pati mulai menghilang dihitung sebagai suhu awal gelatinisasi. Dalam suatu suspensi pati, suhu gelatinisasi berupa kisaran. Hal ini disebabkan populasi pati yang bervariasi dalam ukuran, bentuk dan energi yang diperlukan untuk mengembang. Selain itu, suhu gelatinisasi dipengaruhi oleh ukuran amilosa amilopektin serta keadaan media pemanasan.

3. Sifat Birefringence

Pengamatan di bawah mikroskop (polarizing microscope) dapat

menunjukkan sifat birefringence pati, yaitu sifat merefleksikan cahaya


(26)

12 sangat tergantung dari derajat dan orientasi kristal. Pati yang mempunyai kadar amilosa tinggi, intensitas sifat birefringencenya lemah jika dibandingkan dengan pati dengan kadar amilopektin tinggi (Hoseney, 1998).

Pati mentah dan belum mendapat perlakuan jika diamati di bawah mikroskop polarisasi akan memperlihatkan pola birefringence yang jelas daerah gelap terangnya. Pati yang dipanaskan bersama air, sifat birefringence secara bertahap akan hilang tergantung suhu dan waktu yang digunakan. Jika suhu yang

digunakan di atas suhu gelatinisasi, maka hilangnya sifat birefringence

disebabkan oleh pecahnya molekul pati sehingga granula pati kehilangan sifat merefleksikan cahayanya. Penetrasi panas menyebabkan peningkatan derajat ketidakteraturan meningkatnya molekul pati yang terpisah serta penurunan sifat kristal (Hoseney, 1998).

E. MODIFIKASI PATI METODE HEAT MOISTURE TREATMENT

Pati termodifikasi adalah pati yang diberi perlakuan tertentu dengan tujuan menghasilkan sifat lebih baik serta memperbaiki sifat sebelumnya atau merubah beberapa sifat sebelumnya dan beberapa sifat lainnya. Perlakuan ini dapat mencakup penggunaan panas, asam, alkali, zat pengoksidasi atau bahan kimia lainnya yang akan menghasilkan gugus kimia baru dan atau perubahan bentuk, ukuran serta struktur molekul pati (Glicksman, 1969).

Menurut Oh (1985), pati yang dihasilkan dari proses modifikasi harus memenuhi kriteria mutu masak mi, diantaranya adalah tingkat kekerasan (firmness), kekenyalan dan karakteristik permukaannya. Salah satu metode modifikasi pati yang relatif murah, aman dan sederhana adalah modifikasi dengan

teknik Heat Moisture Treatment (HMT). Modifikasi dengan HMT tidak

melibatkan reaksi kimia dengan reagen tertentu, sehingga tidak ada kekhawatiran mengenai adanya residu kimia dalam pati hasil modifikasi. Modifikasi pati dengan teknik HMT menggunakan kombinasi kelembaban tertentu (kadar air yang terbatas) dan pemanasan pada suhu tinggi diatas suhu gelatinisasi.

Pati yang dimodifikasi dengan metode HMT disebabkan oleh adanya gelatinisasi parsial (Eerlingen et al, 1996). Proses HMT menyebabkan perubahan struktur kristal pati sehingga lebih resisten terhadap proses gelatinisasi (Stute,


(27)

13 1992). Hoover dan Vasanthan (1994) menjelaskan bahwa modifikasi pati dengan HMT mengurangi proses leaching amilosa pada saat pemasakan.

Selain itu, metode HMT dapat mempengaruhi penyusunan kembali molekul pati antar amilosa-amilosa dan amilosa-amilopektin, sehingga mampu memperkuat ikatan dalam pati. Ketika diaplikasikan pada proses pengolahan bihun, pati yang dimodifikasi dengan HMT juga menghasilkan bihun yang tidak lengket setelah dimasak (Shin, 2004).

Penelitian terhadap kondisi proses modifikasi HMT telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Collado (2001) melakukan modifikasi HMT pati ubi jalar pada

suhu diatas suhu gelatinisasi (80oC-100oC) selama 16 jam mampu

mempertahankan kadar air pati hingga 35% atau lebih rendah.

Pati HMT yang diujicobakan pada produk olahan mi ubi jalar (Collado, 2001) dan mi sagu (Purwani, 2006) menunjukkan hasil bahwa pati HMT dapat menghasilkan karateristik mi yang lebih baik. Mi sagu yang dihasilkan dari pati sagu HMT memiliki cooking loss yang lebih rendah dibandingkan dengan mi dari pati sagu tanpa HMT (Purwani, 2006). Pati ubi jalar yang dimodifikasi dengan HMT juga menghasilkan karakteristik mi yang lebih baik dibandingkan tanpa modifikasi (Collado, 2001).

F. MI

1. Mi Basah

Menurut Astawan (2005), mi basah adalah jenis mi yang mengalami pemasakan setelah tahap pemotongan. Sedangkan menurut Dewan Standarisasi Nasional (1992), mi basah adalah produk pangan yang terbuat dari tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk khas mi yang tidak dikeringkan. Mi basah memiliki kadar air maksimal 35% (b/b).

Berdasarkan bahan baku yang digunakan, ada dua macam mi yaitu mi yang berbasis protein dan mi yang berbasis pati. Bahan baku mi berbasis protein berasal dari gandum, sedangkan bahan baku mi yang berbasis pati dapat berasal dari kacang hijau, ubi jalar, maupun sorgum.


(28)

14 Berdasarkan bentuk produk mi yang ada di pasaran, mi dapat diklasifikasikan menjadi mi basah mentah yaitu mi yang diproses tanpa pemasakan dan pengeringan, mi basah matang yaitu mi basah yang mengalami pemasakan dan tanpa pengeringan, serta mi kering yaitu mi yang mengalami pengeringan (Astawan, 2005). Kualitas mi basah menurut SNI 01-2987-1992

dapat dilihat pada Tabel 6. Produk mi umumnya digunakan sebagai sumber

energi karena kandungan karbohidratnya relatif tinggi.

Tabel 6. Syarat mutu mi basah menurut SNI 01-2987-1992

No. Kriteria uji Satuan Persyaratan

1. Keadaan :

1.1. bau 1.2. rasa 1.3. warna Normal Normal Normal

2. Kadar air % b/b 20 – 35

3. Kadar abu (dihitung atas dasar

bahan kering) % b/b Maks. 3

4. Kadar protein (N x 6,25) dihitung atas dasar bahan kering)

% b/b Min. 3

5. Bahan tambahan pangan 5.1 Boraks dan asam borat 5.2 Pewarna

5.3 Formalin

Tidak boleh ada Sesuai SNI-022-M dan peraturan MenKes No. 722/MenKes/Per/IX /88

Tidak boleh ada

6 Cemaran logam

6.1 Timbal (Pb) 6.2 Tembaga (Cu) 6.3 Seng (Zn) 6.4 Raksa (Hg)

mg/kg

Maks. 1,0 Maks. 10,0 Maks. 40,0 Maks 0,05

7. Arsen (As) mg/kg Maks 0,05

8. Cemaran mikroba :

8.1 Angka lempeng total 8.2 E. coli

8.3 Kapang

Koloni/g APM/g Koloni/g

Maks 1,0 x 106 Maks. 10 Maks 1,0 x 104

2. Mi Kering

Menurut SNI 01-2974-1996, mi kering didefinisikan sebagai produk makanan kering yang dibuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan


(29)

15 makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan, berbentuk khas mi. Mi dalam bentuk kering harus mempunyai padatan minimal 87%, artinya kandungan airnya harus di bawah 13%.

Karakteristik yang disukai dari mi kering adalah memiliki penampakan putih, hanya sedikit yang terpecah-pecah selama pemasakan, memiliki permukaan yang lembut dan tidak ditumbuhi mikroba (Oh, 1985). Syarat mutu mi kering dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Syarat mutu mi kering menurut SNI 01-2974-1996

No Jenis Uji Satuan Persyaratan

Mutu I

Persyaratan Mutu II

1 Keadaan:

1.1 Bau

1.2 Warna

1.3 Rasa

- Normal

Normal Normal

Normal Normal Normal

2 Air % b/b Maks 8 Maks 10

3 Protein (N x 6.25) % b/b Min 11 Min 8

4 Bahan Tambahan

Makanan: 4.1 Boraks 4.2Pewarna Tambahan

Tidak boleh ada sesuai dengan SNI 01-0222-1995

5 Cemaran Logam:

5.1 Timbal (Pb) 5.2 Tembaga (Cu) 5.3 Seng (Zn) 5.4 Raksa (Hg)

mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg Maks 1.0 Maks 10.0 Maks 40.0 Maks 0.05 Maks 1.0 Maks 10.0 Maks 40.0 Maks 0.05

6 Arsen (As) mg/kg Maks 0.5 Maks 0.5

7 Cemaran Mikroba:

7.1 Angka Lempeng Total

7.2 E. coli 7.3 Kapang

koloni/g APM/g koloni/g

Maks 1.0 x 106 Maks 10 Maks 1.0 x 104

Maks 1.0 x 106 Maks 10 Maks 1.0 x 104

3. Mi Jagung

Mi jagung adalah jenis mi yang dibuat dengan bahan baku utama tepung atau pati jagung dengan penambahan bahan-bahan lainnya. Mi jagung dapat diproses menjadi mi instan (mi kering) ataupun mi basah. Menurut Juniawati (2003), proses pembuatan mi jagung kering dengan pembentukan lembaran terdiri dari beberapa tahapan, yaitu pencampuran bahan, pengukusan pertama, pengulian,


(30)

16 pembentukan lembaran (sheeting/pressing), pencetakan untaian mi (slitting), pengukusan kedua dan pengeringan.

Proses pengolahan mi jagung berbeda dengan mi terigu karena setelah pencampuran bahan baku dilakukan pengukusan. Proses pengukusan bertujuan menggelatinisasi sebagian pati (sekitar 70%) sehingga dapat berperan sebagai pengikat adonan. Apabila tidak dilakukan pengukusan, maka adonan tidak dapat dibentuk dan dicetak menjadi mi. Hal ini disebabkan protein endosperma jagung banyak mengandung zein (60%) yang tidak dapat membentuk massa adonan yang elastic-cohesive bila hanya ditambahkan air dan diuleni, seperti halnya gliadin dan glutelin pada gandum. Lama dan waktu pengukusan dapat bervariasi tergantung jumlah adonan yang dimasak. Namun, tingkat gelatinisasi atau pemasakan yang diharapkan hampir sama (Juniawati, 2003).

Mi jagung memiliki beberapa keunggulan dibandingkan produk pangan lainnya. Menurut Juniawati (2003), mi jagung kering mengandung nilai gizi yang baik yaitu sekitar 360 kalori/kemasan atau lebih tinggi dibandingkan dengan nilai gizi pada nasi (178 kalori), singkong (146 kalori), dan ubi jalar (123 kalori). Namun, nilai gizi ini masih lebih rendah bila dibandingkan dengan mi terigu instan (471 kalori). Tingginya nilai gizi yang terdapat pada mi jagung kering menunjukkan bahwa produk tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pangan alternatif pilihan pengganti nasi.

Kandungan lemak mi jagung kering juga jauh lebih rendah dibandingkan dengan kandungan lemak pada mi terigu instan. Hal ini dikarenakan tidak adanya proses penggorengan pada mi jagung kering, melainkan hanya proses pengeringan saja. Selain itu, mi jagung instan juga tidak menggunakan pewarna tambahan seperti halnya mi terigu instan. Warna kuning pada mi jagung merupakan warna alami yang disebabkan oleh pigmen kuning pada jagung, yaitu β-karoten, lutein, dan zeaxanthin.

Formulasi mi jagung telah dikembangkan dalam beberapa penelitian, diantaranya mi jagung dari tepung jagung dan pati jagung. Juniawati (2003) telah membuat mi jagung kering dengan bahan dasar tepung jagung. Budiyah (2004) melakukan pembuatan mi jagung kering dengan memanfaatkan pati jagung dan protein jagung (Corn Gluten Meal). Fadlillah (2005) melakukan verifikasi pada


(31)

17 desain proses produksi dan formulasi mi jagung instan metode Budiyah dengan

menambahkan protein gluten terigu untuk memperbaiki elastisitas dan cooking

loss mi. Putra (2008) melakukan optimalisasi formula dan proses pembuatan mi jagung dengan metode kalendering.

Menurut Putra (2008), pengukusan pertama dilakukan pada suhu 90oC

selama 15 menit. Hasil pengamatan adonan pada tahap penentuan waktu optimum pengukusan pada suhu 90oC yang dilakukan oleh Putra (2008), dapat dilihat pada

Tabel 8. Penelitian yang dilakukan Putra (2008) menggunakan tepung jagung native, sedangkan penelitian ini menggunakan substitusi tepung jagung HMT. Penelitian ini mengamati bagaimana pengaruh penggunaan tepung jagung HMT pada pengukusan adonan serta pada kualitas mi jagung.

Tabel 8. Penentuan waktu optimum pengukusan adonan pada suhu 90oC

Waktu

(menit) Sifat Adonan (secara Visual)

10 Pada saat sheeting lembaran yang sudah terbentuk terlipat

kembali sehingga terbentuk permukaan yang baru dan menyebabkan permukaan lembaran tidak rata dan mudah sobek

15 Lembaran plastis sehingga dapat direduksi ukurannya

20 Adonan lengket pada roller mesin sheeting, lembaran elastis

sehingga tidak bisa ditipiskan, permukaan lembaran kasar dengan warna pucat (terlalu matang)

30 Adonan sangat lengket dan lolos dari pisau trap sehingga

melapisi roller saat sheeting, lembaran terlalu elastis

sehingga tidak bisa ditipiskan, permukaan lembaran kasar dengan warna pucat (terlalu matang)


(32)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan yang digunakan untuk pembuatan mi jagung dan bahan untuk analisis. Bahan yang digunakan dalam pembuatan mi jagung adalah jagung Pioneer 21 yang diperoleh dari Ponorogo-Jawa Timur, air, garam, dan guar gum. Bahan yang digunakan untuk analisis fisik yaitu aquades. Bahan yang digunakan untuk analisis organoleptik meliputi sampel uji, garam, kafein, sukrosa, asam sitrat, flavor, dan air minum.

Alat-alat yang digunakan dalam produksi tepung jagung serta tepung jagung termodifikasi dan aplikasinya dalam mi jagung adalah multi mill, disc mill, hammer mill, ayakan bertingkat, timbangan, kain saring, oven, oven pengering, mesin dough mixer, noodle sheeter, pengering, dan steam box. Peralatan proses ini tersedia di Pilot Plant Seafast Center-IPB. Alat-alat lain yang digunakan dalam analisis adalah oven, cawan porselin, cawan alumunium, neraca analitik, Texture Analyzer (TAXT-2), dan Brabender Amilograph.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu tahap modifikasi dan karakterisasi tepung jagung native serta tepung jagung termodifikasi HMT, tahap penentuan pengaruh proses pengukusan adonan terhadap kualitas mi jagung dan uji penerimaan konsumen terhadap produk akhir mi jagung.

1. Modifikasi Tepung Jagung dengan Metode HMT serta Karakterisasi Tepung Jagung Native dan Tepung Jagung Termodifikasi HMT

Tahap penelitian ini meliputi proses penepungan, modifikasi tepung jagung dengan metode HMT dan analisis profil gelatinisasi tepung jagung sebelum dan setelah proses modifikasi HMT. Proses modifikasi tepung jagung dengan metode HMT menggunakan kondisi berdasarkan hasil penelitian Lestari (2009) yang telah melakukan penelitian mengenai kondisi proses modifikasi tepung jagung sehingga menghasilkan profil gelatinisasi terbaik. Profil gelatinisasi yang diharapkan berdasarkan Collado (2001) adalah memiliki viskositas yang stabil selama proses


(33)

pemanasan, memiliki viscosity breakdown yang minimal dan stabil terhadap proses pengadukan.

Proses modifikasi tepung jagung dilakukan dengan kadar air terkendali (24%), pada suhu 110oC selama 6 jam (Lestari, 2009). Setelah didapatkan tepung jagung termodifikasi HMT, kemudian dilakukan analisis profil gelatinisasi. Analisis profil gelatinisasi tepung jagung dilakukan pada saat sebelum dan setelah proses modifikasi. Analisis ini menggunakan alat Brabender Amilograph.

a. Proses Penepungan Jagung

Penepungan jagung pipil varietas Pioneer 21 dilakukan dengan teknik penepungan kering. Metode ini melalui dua tahapan proses penggilingan. Penggilingan pertama (penggilingan kasar) dilakukan dengan menggunakan hammer mill. Grits jagung yang dihasilkan dicuci dan direndam dalam air selama 3 jam. Tujuan perendaman adalah membuat grits jagung tidak terlalu keras, sehingga memudahkan proses penggilingan kedua (penggilingan halus) yang menggunakan disc mill. Hasil penggilingan yang berupa tepung jagung ini masih harus melalui proses pengayakan 100 mesh, sehingga diperoleh hasil tepung jagung yang optimal. Proses penepungan jagung dapat dilihat pada Gambar 2.

b. Modifikasi Tepung Jagung dengan Metode HMT

Proses modifikasi tepung jagung dilakukan dengan kadar air 24%, pada suhu 110oC selama 6 jam (Lestari, 2009). Untuk mengkondisikan tepung jagung pada kadar air terkendali tersebut, dilakukan penambahan air. Jumlah air yang harus ditambahkan diperoleh dari perhitungan kesetimbangan massa, dengan mengetahui kadar air tepung jagung mula-mula. Setelah diperoleh kondisi tepung jagung pada kadar air terkendali (24%), dilakukan pemanasan pada suhu 110oC selama 6 jam, setiap jam dilakukan pengadukan. Pengadukan ini dilakukan agar panas merata ke seluruh bagian tepung. Setelah didapatkan tepung jagung HMT, kemudian dilakukan analisis profil gelatinisasi.


(34)

20

Jagung Pipil

Pencucian dengan air (pemisahan lembaga dan perika

Gambar 2. Pembuatan tepung jagung teknik kering

c. Analisis Profil Gelatinisasi

Analisis profil gelatinisasi tepung jagung dilakukan pada saat sebelum dan setelah proses modifikasi. Analisis ini menggunakan alat Brabender Amilograph. Tahap persiapan dilakukan dengan membuat 10% (w/v) suspensi contoh dalam 450 ml air. Suspensi tersebut diaduk menggunakan gelas pengaduk sehingga homogen. Kemudian suspensi dimasukkan ke dalam wadah mangkuk pada alat Brabender Amilograph.

rp) Perendaman dalam air dingin, 3 jam

Pencucian dengan air (pemisahan lembaga dan perikarp) Pembentukan grits jagung dengan miltimill

Jagung Pipil

Pengayakan, 100 mesh Penggilingan dengan discmill Pengeringan dalam oven 60°C, 1 jam

Tepung Jagung

Pencucian dengan air (pemisahan lembaga dan perikarp) Perendaman dalam air, 3 jam

Pencucian dengan air (pemisahan lembaga dan perikarp) Pembentukan grits jagung dengan multimill


(35)

21 Tombol pengontrol diatur pada posisi heating (pemanasan) dengan suhu awal 30°C, kemudian alat dinyalakan. Pengaduk pada alat berputar dengan kecepatan konstan dan suhu berangsur-angsur naik dengan dengan kecepatan 1.5°C/menit. Suhu awal gelatinisasi ditandai dengan viskositas yang mulai terbaca pada alat pencatat.

Setelah melewati suhu gelatinisasi, viskositas suspensi pati meningkat secara cepat dengan meningkatnya suhu pemasakan. Viskositas mulai menurun setelah mencapai titik puncaknya. Viskositas yang terbaca pada saat mencapai nilai maksimum disebut viskositas maksimum. Setelah viskositas maksimum ini, viskositas suspensi menurun secara cepat dengan meningkatnya suhu pemanasan. Tahap proses pemanasan akan berakhir setelah suhu dari contoh telah mencapai 95°C.

Proses holding dilakukan pada suhu 95°C selama 20 menit dengan mengatur posisi pengatur suhu pada posisi holding. Pada tahap ini alat pencatat secara kontinyu mencatat nilai viskositas. Setelah tahap holding, alat diatur pada posisi cooling. Pada tahap ini, suhu pasta pati menurun secara berangsur-angsur. Pendinginan dilakukan hingga suhu mencapai 50°C. Setelah pendinginan berakhir, alat amilograph dimatikan dan grafik profil gelatinisasi contoh dapat diperoleh.

2. Penentuan Kondisi Proses Pengukusan Adonan terhadap Kualitas Mi Jagung

Tahap penelitian ini meliputi pengaplikasian tepung jagung HMT pada pembuatan mi jagung, penentuan jumlah tepung jagung HMT yang akan dikukus pada pengukusan adonan dan penentuan rentang waktu pengukusan adonan. Tahap ini bertujuan mempelajari bagaimana pengaruh pengaplikasian tepung jagung HMT terhadap kualitas fisik mi jagung serta mempelajari apakah terdapat pengaruh yang nyata pada proses pengukusan adonan.

a. Pengaplikasian Tepung Jagung HMT pada Pembuatan Mi Jagung

Pengaplikasian tepung jagung HMT pada pembuatan mi jagung menggunakan formulasi berdasarkan hasil penelitian Lestari (2009), yaitu 90% tepung jagung native dan 10% tepung jagung HMT. Proses produksi mi kering


(36)

22 jagung dengan metode kalendering/sheeting dapat dilihat pada Gambar 3, dan untuk mendapatkan mi basah jagung tidak dilakukan pengeringan setelah pengukusan mi.

Tepung jagung (70% bagian)

Dicampur rata

Guar gum 1% Garam 1%

Air 50%

Pengukusan adonan (90oC, 15 menit)

Dicampur rata

Adonan 1 Tepung jagung

(30% bagian)

Penggilingan dalam grinder

Pembentukan lembaran mi

Pencetakan mi (slitting)

Pemotongan mi

Pengukusan mi

(95oC, 20 menit) Mi Basah Jagung

Pengeringan

Gambar 3. Proses pembuatan mi jagung metode kalendering/sheeting (60 0C, 70 menit) Mi Kering Jagung


(37)

23 Metode produksi mi kering jagung ini merupakan hasil penelitian Putra (2008). Berbeda dengan proses pembuatan mi terigu, pada pembuatan mi jagung perlu dilakukan pengukusan adonan agar terjadi proses pregelatinisasi. Sebagian pati yang tergelatinisasi ini akan membantu mengikat adonan dan mempermudah pembentukan lembaran mi.

Penggunaan air sebanyak 50% (basis jumlah tepung) berfungsi sebagai pengikat garam dan membantu proses gelatinisasi saat adonan dikukus. Jumlah air sangat menentukan kelengketan mi. Jumlah air <50% menyebabkan proses pregelatinisasi adonan kurang sempurna sehingga adonan menjadi rapuh, sedangkan jika jumlah air >50% menyebabkan adonan menjadi lengket (Putra, 2008).

Penggilingan dengan grinder bertujuan membuat adonan menjadi lebih kompak dan mudah dibentuk lembaran. Pengukusan mi bertujuan menyempurnakan gelatinisasi pati sehingga mi tidak hancur ketika dimasak (Putra,2008).

b. Penentuan Jumlah Tepung Jagung HMT yang akan Dikukus pada Pengukusan Adonan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Putra (2008), jumlah adonan yang dikukus pada pengukusan adonan sebanyak 70%, sedangkan sisa bagian tepung (30%) tidak dikukus. Seperti telah dikemukakan di atas, pengukusan adonan bertujuan menggelatinisasi sebagian pati. Sebagian pati yang tergelatinisasi ini akan membantu mengikat adonan dan mempermudah pembentukan lembaran mi. Suhu pengukusan dilakukan pada 90oC selama 15 menit (Putra, 2008).

Tahap penelitian ini mengamati bagaimana pengaruh tepung jagung HMT jika seluruhnya dimasukkan, sebagian (dicampur terlebih dahulu baru dilakukan pembagian adonan) atau tidak dimasukkan pada proses pengukusan adonan. Adonan mi dibuat dari 1 kg tepung jagung, terdiri dari 900 g tepung jagung native dan 100 g tepung jagung HMT. Bagian yang dikukus sebanyak 70% atau 700 g, sedangkan bagian tepung yang tidak dikukus sebanyak 30% atau 300 g. Perbandingan tepung jagung native dan tepung jagung HMT yang dikukus yaitu 700 g : 0 g, 600 g : 100 g dan 630 g : 70 g, dapat dilihat pada Tabel 9.


(38)

24

Tabel 9. Perbandingan tepung jagung native dan tepung jagung HMT yang dikukus

Bahan Formula 1 Formula 2 Formula 3

Tepung jagung HMT 0 g 70 g 100 g Tepung jagung native 700 g 630 g 600 g Basis : 1 kg tepung, 70% bagian yang akan dikukus

Bagian tepung yang dikukus terlebih dahulu dicampurkan dengan guar gum, air dan garam. Penambahan guar gum berfungsi sebagai pengikat komponen-komponen dalam adonan, sedangkan fungsi garam adalah memberi rasa dan memperkuat tekstur mi. Adonan yang telah dikukus kemudian dicampurkan dengan bagian tepung yang tidak dikukus, dilanjutkan dengan penggilingan menggunakan grinder sebanyak 2 kali.

Penggilingan sebanyak 2 kali ini bertujuan membuat adonan menjadi lebih homogen. Selain itu, menurut Putra (2008) penggilingan ini dapat meningkatkan gelatinisasi adonan. Setelah itu dilakukan proses sheeting untuk membentuk lembaran dan dilanjutkan dengan pencetakan mi. Pengamatan sifat adonan dilakukan saat sheeting dan pencetakan mi.

c. Penentuan RentangWaktu Pengukusan Adonan

Waktu pengukusan yang akan dilakukan adalah selama 13, 14, 15, 16 dan 17 menit. Penggunaan tepung jagung HMT pada adonan apakah akan menjadikan adonan lebih stabil atau bahkan lebih sensitif terhadap waktu pengukusan. Pengamatan sifat adonan dilakukan pada saat sheeting dan pencetakan. Selain itu, dilakukan juga pengukuran derajat gelatinisasi.

Setelah dilakukan pencetakan mi, dilakukan pengukusan kedua dengan suhu 95oC selama 20 menit. Pengukusan untaian mi ini bertujuan menyempurnakan gelatinisasi pati sehingga mi tidak hancur ketika dimasak. Setelah dilakukan pengukusan kedua, dilakukan pengovenan untuk mendapatkan mi kering jagung.

Analisis sifat fisik dilakukan pada mi basah jagung maupun mi kering jagung sesudah dimasak. Analisis ini mencakup pengukuran tekstur kekerasan, kekenyalan dan kelengketan mi menggunakan alat Texture Analyzer TAXT-2, pengukuran KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan), pengukuran persen elongasi, dan pengukuran waktu pemasakan optimum. Selain itu, dilakukan pula


(39)

25 analisis secara organoleptik meliputi uji rating atribut kekerasan, kekenyalan dan kelengketan mi setelah dimasak dengan panelis terlatih. Panelis terlatih diperoleh melalui proses seleksi panelis dan pelatihan sehingga mampu membedakan atribut kekerasan, kekenyalan dan kelengketan dari mi jagung.

1). Analisis Fisik

a) Waktu Pemasakan Optimum (Lestari, 2008)

Mi kering ditimbang sebanyak 5 g. Air sebanyak 150 ml dididihkan, setelah air mendidih mi dimasukkan dan stop watch dinyalakan. Pemasakan dihentikan bila sudah tidak terbentuk garis putih saat mi ditekan dengan dua potong kaca. Waktu optimum pemasakan adalah waktu saat pemasakan dihentikan.

b) Texture Profile Analysis (TPA) menggunakan alat Texture Analyzer

TAXT-2

Pengukuran TPA dilakukan untuk melihat profil tekstur dari sampel. Pengukuran ini menggunakan alat Texture Analyzer TAXT-2. Sampel yang digunakan adalah mi jagung yang direhidrasi dengan metode perendaman dalam air yang telah mendidih, kemudian ditiriskan dan didiamkan pada udara terbuka selama beberapa saat. Metode ini sesuai dengan pengaplikasian mi jagung pada skala industri kecil, seperti mi baso. Seuntai sampel yang telah direhidrasi dengan panjang yang melebihi diameter probe diletakkan di atas landasan lalu ditekan oleh probe. Probe yang digunakan berbentuk silinder dengan diameter 35 mm. Pengaturan TAXT–2 yang digunakan tertera pada Tabel 10.

Tabel 10. Pengaturan Texture Analyzer dalam mode TPA (Texture Profile Analysis)

Parameter Setting

Pre test speed 2,.0 mm/s

Test speed 0,1 mm/s

Post test speed 2,0 mm/s Rupture test distance 75%

Distance 1%

Force 100 g

Time 5 sec


(40)

26 Hasilnya berupa kurva yang menunjukkan hubungan antara gaya untuk mendeformasi dan waktu. Nilai kekerasan ditunjukkan dengan absolute (+) peak yaitu gaya maksimal, dan nilai kelengketan ditunjukkan dengan absolute (-) peak. Satuan kedua parameter ini adalah gram Force (gF). Sedangkan kekenyalan ditunjukkan dengan perbandingan luas area peak kedua dengan peak pertama. Contoh kurva profil tekstur mi dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Profil tekstur mi

c) Analisis Persen Elongasi Menggunakan Texture Analyzer

Elongasi menunjukkan persen pertambahan panjang maksimum mi yang mengalami tarikan sebelum putus. Probe yang digunakan adalah probe yang dapat menjepit kedua ujung mi. Sampel yang telah direhidrasi dijepit sedemikian rupa pada kedua ujung probe dengan jarak antar probe sebesar 2 cm dan kecepatan probe 0.3 cm/s. Persen elongasi dihitung dengan rumus :

% 100 2

/ 3 , 0 ) (

× ×

=

cm

s cm s

sampel putus

waktu elongasi

Persen

d) Pengukuran cooking loss atau kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP)

Pengukuran KPAP ini dilakukan dengan cara merebus 5 gram mi dalam 150 ml air dengan berbagai waktu pemasakan, yaitu 3, 6, 9, 12, 15 dan 18 menit. Pengukuran dengan berbagai waktu pemasakan ini bertujuan melihat bagaimana pengaruh lama pemasakan terhadap mi jagung produk akhir. Setelah dimasak, mi


(41)

27 direndam air dingin dan kemudian ditiriskan. Mi kemudian ditimbang dan dikeringkan pada suhu 100°C sampai beratnya konstan, lalu ditimbang kembali. KPAP dihitung dengan rumus berikut:

% 100 ) 1 ( ker 1 × ⎭ ⎬ ⎫ ⎩ ⎨ ⎧ − − = contoh air kadar awal berat ingkan di setelah sampel berat KPAP

2). Analisis Organoleptik a) Seleksi Panelis

Seleksi panelis merupakan suatu cara untuk mendapatkan panelis yang memiliki kemampuan dasar yang cukup, kemampuan membedakan serta mengurutkan intensitas. Seleksi ini dilakukan terhadap 40 orang calon panelis yang kemudian diberikan serangkaian tes organoleptik sehingga diperoleh sebanyak 8-11 orang.

Tahapan ini bertujuan mengetahui kepekaan sensori calon panelis. Pengujian yang dilakukan meliputi identifikasi rasa dan aroma dasar sebagai metode umum untuk menguji kemampuan dasar indra pencicipan serta penciuman, uji ranking untuk menguji kemampuan panelis dalam mengurutkan intensitas rangsangan, dan uji segitiga (pembedaan) untuk menguji kepekaan panelis untuk membedakan intensitas rangsangan karena diberikan dengan intensitas berbeda.

Uji rasa dasar dilakukan dengan tujuan melihat kemampuan panelis dalam mengenali dan mendeskripsikan rasa dasar. Sampel uji pada identifikasi rasa dan aroma dasar dapat dilihat pada Tabel 11, sedangkan sampel uji untuk uji ranking dapat dilihat pada Tabel 12.

Uji segitiga dilakukan dengan atribut kekerasan dan kekenyalan mi karena mempertimbangkan bahwa sampel uji dan jenis pengujian yang nantinya akan dievaluasi oleh panelis adalah karakteristik fisik mi jagung berupa kekerasan, kekenyalan dan kelengketan. Calon panelis yang terpilih diharapkan dapat membedakan atribut tersebut. Sampel untuk uji segitiga dapat dilihat pada Tabel 13.


(42)

28

Tabel 11. Sampel uji untuk identifikasi rasa dan aroma dasar

Jenis Uji Sampel Konsentrasi (%)

Identifikasi rasa dasar Larutan sukrosa Larutan asam sitrat Larutan garam Larutan kafein Larutan MSG 2.00 0.04 0.20 0.05 0.03 Identifikasi aroma dasar Tutti fruity

Mint Orange Meat Nut 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00

Tabel 12. Sampel untuk uji ranking

Jenis Uji Sampel Konsentrasi (%)

Rangking Rasa Dasar Asin Larutan Garam (NaCl)

0.10 0.20 0.50 1.00 Rangking Rasa Dasar Pahit Larutan Kafein 0.03 0.06 0.13 0.26

Tabel 13. Sampel untuk uji segitiga

Jenis Uji Sampel Lama Perebusan

(menit)

Segitiga Atribut Kekerasan

Mi Kering Terigu Komersil 2 5 Segitiga Atribut

Kekenyalan

Kwetiau Jagung Komersil 4

10

Calon panelis yang lolos seleksi menjadi kandidat panelis terlatih adalah panelis yang dapat menjawab dengan benar sekurang-kurangnya 60 % untuk uji segitiga dan 80 % untuk uji deskriptif rasa dasar (Meilgaard et al., 1999). Selanjutnya panelis yang terpilih dalam kepentingan penelitian ini adalah yang memiliki waktu dan motivasi tinggi dalam mengikuti tahap pelatihan secara konsisten. Contoh format kuesioner uji-uji dalam seleksi panelis ini dapat dilihat pada Lampiran 1.


(43)

29

b) Pelatihan Panelis Terlatih

Menurut Meilgaard et al. (1999), proses pelatihan panelis terlatih membutuhkan waktu selama 40 hingga 120 jam. Semakin kompleks atribut yang diujikan, maka waktu pelatihan panelis yang dibutuhkan juga akan semakin lama. Pelatihan panelis terlatih bertujuan melatih dan meningkatkan kepekaan sensori panelis terhadap atribut rasa dan aroma, terutama yang terkait dengan kepentingan penelitian. Tahapan ini terdiri dari pengenalan bahasa flavor, pengenalan skala, dan pelatihan penilaian suatu sampel tertentu.

Setiap panelis diberikan latihan selang waktu tertentu secara berulang sampai diperoleh hasil evaluasi sensori yang konsisten serta kesepakatan mengenai istilah sensori tertentu. Latihan sensori ini meliputi pelatihan terhadap atribut kekerasan, kekenyalan dan kelengketan mi.

c) Uji Organoleptik

Uji organoleptik akan dilakukan dengan uji rating atribut kekerasan, kelengketan dan kekenyalan pada mi jagung produk akhir oleh panelis terlatih. Uji rating atribut dilakukan untuk melihat dan membandingkan hasilnya dengan pengukuran menggunakan alat Texture Analyzer TAXT-2.

d) Analisis Data

Data-data pada penelitian ini diolah menggunakan uji statistik nonparametrik, yaitu uji Mann-Whitney U/Wilcoxon. Uji Mann-Whitney U/Wilcoxon digunakan untuk membandingkan dua mean/rata-rata populasi yang berasal dari populasi yang sama dan menguji apakah berbeda nyata atau tidak (Walpole, 1995).

3. Uji Penerimaan Konsumen terhadap Produk Olahan Mi Jagung

Tahap akhir penelitian ini meliputi uji penerimaan konsumen terhadap produk olahan mi jagung. Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer yang diperoleh melalui penyebaran kuisioner kepada konsumen. Konsumen diminta untuk menilai bagaimana penerimaannya terhadap produk olahan mi jagung. Produk olahan yang dicobakan adalah mi ayam untuk mi basah jagung native dan


(44)

30 substitusi HMT serta mi bakso untuk mi kering jagung native dan substitusi HMT. Uji penerimaan konsumen ini dilakukan bekerjasama dengan pedagang mi ayam dan mi bakso. Contoh kuisioner yang diberikan kepada konsumen dapat dilihat pada Lampiran 2.

Kuisioner uji penerimaan konsumen berisi pertanyaan mengenai identitas responden, perilaku responden dalam mengkonsumsi mi, tingkat kesukaan responden terhadap produk olahan mi jagung dan tingkat kesesuaian produk olahan tersebut menurut responden. Berdasarkan data yang diperoleh dari kuisioner, dapat terlihat bagaimana penerimaan responden terhadap mi jagung dan tingkat kesesuaiannya terhadap produk olahan yang dicobakan. Sebelum dilakukan uji penerimaan konsumen, responden terlebih dahulu diberikan bebrapa penjelasan mengenai mi jagung, mengingat produk ini merupakan produk yang relatif baru. Beberapa penjelasan tersebut antara lain bahwa mi jagung memiliki perbedaan dengan mi terigu komersil dalam hal tekstur dan mi jagung memiliki beberapa kelebihan, antara lain tidak menggunakan pewarna dan pengawet. Pengisian kuisioner didampingi oleh peneliti, hal ini ditujukan agar responden lebih mudah menerima penjelasan mengenai pertanyaan-pertanyaan dalam kuisioner tersebut.

Metode penentuan lokasi pengambilan responden menggunakan metode Non Probability Sampling (NPS), yaitu seleksi unsur populasi berdasarkan pertimbangan peneliti. Metode NPS terdiri dari tiga jenis contoh, yaitu contoh kemudahan (accidental sampling), pertimbangan (purposive sampling) dan quota (Singarimbun dan Effendi, 1989). Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode purposive sampling. Responden yang dipilih adalah warga lingkar kampus IPB yang pernah membeli atau mengkonsumsi mi serta yang sesuai dengan target usia, jenis kelamin dan tingkat ekonomi yang telah ditentukan.


(45)

31 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. KARAKTERISTIK TEPUNG JAGUNG HMT

Jagung merupakan tanaman serealia yang memiliki profil gelatinisasi pati tipe B. Profil gelatinisasi tipe B ditandai dengan kemampuan pengembangan yang sedang dengan viskositas puncak yang tinggi serta memiliki breakdown (penurunan viskositas selama pemanasan) yang tidak terlalu tajam (Collado et al, 2001). Sifat fungsional pati sangat menentukan kualitas mi yang dihasilkan. Hal ini disebabkan sifat fungsional pati berkaitan erat dengan pembentukan adonan (reologi) dan kualitas tekstur mi. Menurut Lii dan Chang (1981) didalam Collado et al (2001), pati yang ideal untuk dibuat menjadi produk mi adalah pati yang memiliki pengembangan dan solubility yang terbatas dan memiliki profil gelatinisasi tipe C.

Selain itu, menurut Chen et al (2003), karakteristik pati yang baik untuk diaplikasikan menjadi produk mi adalah pati dengan viskositas puncak yang rendah, stabil terhadap panas dan pengadukan bahkan cenderung mengalami peningkatan selama pemanasan serta memiliki viskositas yang tinggi pada suhu rendah (Tam et al, 2004). Mi yang dihasilkan dari pati dengan karakteristik tersebut memiliki nilai kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) yang rendah, untaian mi yang kompak dan elastis serta kelengketan yang rendah (Purwani et al, 2006).

Mi yang dibuat dari tepung jagung native (alami atau sebelum dimodifikasi) memiliki beberapa kelemahan, yaitu mi basah jagung yang mudah putus dan kurang kenyal, dan mi kering jagung yang keras dan mudah patah/rapuh sebelum direhidrasi dan mudah putus, keras, kurang kenyal, lengket serta memiliki kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) yang tinggi setelah direhidrasi. Oleh karena itu, aplikasi tepung jagung HMT diharapkan dapat memperbaiki kelemahan yang dimiliki mi jagung.

Modifikasi dengan teknik Heat Moisture Treatment (HMT) dapat mengubah profil gelatinisasi tepung jagung menjadi tipe C. Profil gelatinisasi tipe C ditandai dengan kemampuan pengembangan terbatas yang ditunjukkan dengan tidak adanya viskositas puncak dan viskositas tidak mengalami penurunan bahkan


(46)

32 meningkat selama pemanasan. Teknik Heat Moisture Treatment (HMT) merupakan teknik modifikasi pati secara fisik, yaitu dengan pemanasan di atas suhu gelatinisasi bahan selama periode waktu tertentu dan pada kadar air yang terkendali. Kondisi modifikasi tepung jagung berdasarkan hasil penelitian Lestari (2009), yaitu pada suhu 110oC selama 6 jam dan pada kadar air 24%.

Grafik hasil pengukuran profil gelatinisasi tepung jagung native (alami atau sebelum dimodifikasi) dan setelah dimodifikasi dapat dilihat pada Gambar 5, sedangkan data profil gelatinisasi tertera pada Tabel 14. Pengukuran profil gelatinisasi dilakukan dengan menggunakan alat Brabender Amilograph. Profil gelatinisasi yang diamati antara lain suhu awal gelatinisasi, viskositas maksimum, kestabilan viskositas selama pemanasan atau breakdown, dan perubahan viskositas selama pendinginan atau setback. Konsentrasi padatan suspensi tepung jagung untuk pengukuran profil gelatinisasi ini adalah 8,87% (b/v) untuk tepung jagung native dan 9,01% (b/v) untuk tepung jagung HMT. Tabel 15. Menunjukkan data profil gelatinisasi tepung jagung HMT pada penelitian Lestari (2009). Konsentrasi padatan suspensi tepung jagung untuk pengukuran profil gelatinisasi pada penelitian tersebut adalah 9,91% (b/b) untuk tepung jagung native dan 10,01% (b/b) untuk tepung jagung HMT.

Terdapat perbedaan antara data profil gelatinisasi pada penelitian ini dan penelitian yang dilakukan Lestari (2009), antara lain pada suhu awal gelatinisasi, dan nilai setback. Suhu awal gelatinisasi tepung jagung native dan HMT pada penelitian ini lebih rendah dan nilai setback pada penelitian ini mengalami peningkatan, sedangkan pada penelitian yang dilakukan Lestari (2009) mengalami penurunan.

Suhu awal gelatinisasi merupakan suhu saat granula pati mulai menyerap air, pada grafik profil gelatinisasi terlihat jika viskositas mulai meningkat. Suhu awal gelatinisasi tepung jagung HMT (79,50oC) lebih tinggi daripada tepung jagung native (74,25 oC). Hal ini menunjukkan bahwa tepung jagung HMT lebih tahan terhadap panas, sehingga butuh suhu yang lebih tinggi untuk dapat menggelatinisasi pati jagung tersebut. Takahashi et al (2005) menyatakan bahwa proses modifikasi HMT akan menyebabkan pergeseran (peningkatan) suhu awal gelatinisasi dan suhu gelatinisasi.


(47)

33 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 -200 0 200 400 600 800 1000 1200 1400

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110

V is k os it as ( B U ) Waktu (Menit) Viskositas HMT Viskositas NATIVE Suhu S u h u ( C)

Gambar 5. Profil gelatinisasi tepung jagung native dan HMT Tabel 14. Data profil gelatinisasi tepung jagung native dan HMT

Data Profil Gelatinisasi Tepung Jagung Native

Tepung Jagung HMT

Suhu awal gelatinisasi (oC) 74,25 79,50 Waktu awal gelatinisasi (menit) 29,50 33,00 Viskositas maksimum (BU) 659,00 - Suhu saat mencapai viskositas

maksimum (oC)

93,75 - Viskositas pada 95oC (BU) 655,00 385,00 Viskositas setelah holding 20 menit

di 95oC (BU)

608,00 479,00 Viskositas pada 50 oC (BU) 970,00 910,00 Viskositas setelah holding 20 menit

di 50 oC (BU)

1.280,00 1.075,00 Breakdown (BU) 4,00 - Setback (BU) 315,00 525,00

Keterangan : Breakdown (BU) = Perubahan viskositas selama pemanasan atau Viskositas maksimum – Viskositas pada 95oC Setback (BU) = Perubahan viskositas selama pendinginan atau

Viskositas pada 50 oC – Viskositas pada 95oC

Tabel 15. Data profil gelatinisasi tepung jagung native dan HMT pada penelitian Lestari (2009) menggunakan Rapid Visco Analyzer (RVA)

Data Profil Gelatinisasi Tepung Jagung Native

Tepung Jagung HMT

Suhu awal gelatinisasi (oC) 76.37 + 0.89 b 83.97 + 0.06 a Waktu awal gelatinisasi (menit) 5.00 + 0.00 b 5.80 + 0.23 a Viskositas maksimum (cP) 1334.00 + 15.59 a 636.00 + 81.41 b Viskositas akhir (cP) 1835.33 + 30.60 a 771.00 + 95.26 b Breakdown (cP) 362.00 + 20.78 a 26.67 + 12.70 b Setback (cP) 863.00 + 35.80 a 161.67 + 26.56 b


(1)

86

Lampiran 11.

Data Hasil Uji Organoleptik dengan Panelis Terlatih

Ulangan Bahan Contoh Kekerasan Kelengketan Kekenyalan

1

Basah Native

7

7

6

2

8

7

4

3

8

5

5

4

7

6

5

5

7

6

5

6

7

6

6

7

7

6

5

8

7

7

5

9

8

7

4

10

8

5

4

11

7

8

4

Rata-rata

7,36

6,36

4,82

1

Basah HMT

6

6

6

2

7

6

7

3

7

4

5

4

6

5

6

5

4

4

6

6

4

4

7

7

6

3

7

8

3

6

5

9

3

6

6

10

6

4

7

11

7

5

6


(2)

87

1

Kering Native

8

5

6

2

9

5

4

3

7

5

5

4

7

5

5

5

7

6

5

6

8

6

4

7

8

6

7

8

8

5

5

9

9

5

4

10

10

6

5

11

8

6

5

Rata-rata

8,09

5,45

5

1

Kering HMT

8

5

5

2

6

5

5

3

6

4

6

4

6

4

5

5

7

4

5

6

8

4

6

7

6

5

8

8

6

6

6

9

8

5

6

10

7

4

7

11

7

4

7

Rata-rata

6,82

4,55

6


(3)

88

Lampiran 12.

Hasil Uji Lanjutan (Uji Mann-Whitney) Atribut Tekstur secara

Organoleptik

Lampiran 12a.

Hasil Uji Lanjutan Atribut Tekstur Kekerasan

Mann-Whitney Test

Ranks

SampelB N Mean Rank Sum of Ranks

PenilaianB Basah Native 11 16,05 176,50

Basah HMT 11 6,95 76,50

Total 22

Test Statistics(b)

PenilaianB

Mann-Whitney U 10,500

Wilcoxon W 76,500

Z -3,472

Asymp. Sig. (2-tailed) ,001

Exact Sig. [2*(1-tailed

Sig.)] ,000(a)

a Not corrected for ties. b Grouping Variable: SampelB

Mann-Whitney Test

Ranks

SampelK N Mean Rank Sum of Ranks

PenilaianK Kering Native 11 15,09 166,00

Kering HMT 11 7,91 87,00

Total 22

Test Statistics(b)

PenilaianK

Mann-Whitney U 21,000

Wilcoxon W 87,000

Z -2,703

Asymp. Sig. (2-tailed) ,007

Exact Sig. [2*(1-tailed

Sig.)] ,008(a)

a Not corrected for ties. b Grouping Variable: SampelK


(4)

89

Lampiran 12b.

Hasil Uji Lanjutan Atribut Tekstur Kekenyalan

Mann-Whitney Test

Ranks

SampelB N Mean Rank Sum of Ranks

PenilaianB Basah Native 11 7,27 80,00

Basah HMT 11 15,73 173,00

Total 22

Test Statistics(b)

PenilaianB

Mann-Whitney U 14,000

Wilcoxon W 80,000

Z -3,174

Asymp. Sig. (2-tailed) ,002

Exact Sig. [2*(1-tailed

Sig.)] ,001(a)

a Not corrected for ties. b Grouping Variable: SampelB

Mann-Whitney Test

Ranks

SampelK N Mean Rank Sum of Ranks

PenilaianK Kering Native 11 8,45 93,00

Kering HMT 11 14,55 160,00

Total 22

Test Statistics(b)

PenilaianK

Mann-Whitney U 27,000

Wilcoxon W 93,000

Z -2,330

Asymp. Sig. (2-tailed) ,020

Exact Sig. [2*(1-tailed

Sig.)] ,028(a)

a Not corrected for ties. b Grouping Variable: SampelK


(5)

90

Lampiran 12c.

Hasil Uji Lanjutan Atribut Tekstur Kelengketan

Mann-Whitney Test

Ranks

SampelB N Mean Rank Sum of Ranks

PenilaianB Basah Native 11 15,36 169,00

Basah HMT 11 7,64 84,00

Total 22

Test Statistics(b)

PenilaianB

Mann-Whitney U 18,000

Wilcoxon W 84,000

Z -2,885

Asymp. Sig. (2-tailed) ,004

Exact Sig. [2*(1-tailed

Sig.)] ,004(a)

a Not corrected for ties. b Grouping Variable: SampelB

Mann-Whitney Test

Ranks

SampelK N Mean Rank Sum of Ranks

PenilaianK Kering Native 11 15,14 166,50

Kering HMT 11 7,86 86,50

Total 22

Test Statistics(b)

PenilaianK

Mann-Whitney U 20,500

Wilcoxon W 86,500

Z -2,820

Asymp. Sig. (2-tailed) ,005

Exact Sig. [2*(1-tailed

Sig.)] ,007(a)

a Not corrected for ties. b Grouping Variable: SampelK


(6)

91

Lampiran 13.

Data Umum Responden Uji Penerimaan Konsumen terhadap

Produk Olahan Mi Jagung

Karakteristik

Demografi Responden

Keterangan

Persentase Jumlah

Responden (%)

Jenis Kelamin

Laki-laki

41,14

Perempuan

58,86

Usia

16-25 th

77,14

26-35 th

10,28

36-45 th

7,43

> 45 th

5,15

Tingkat Pendidikan

SMP

8,57

SMA

49,71

Diploma

4,57

S1

29,14

S2/S3

2,29

Lainnya

5,72

Pekerjaan

Pelajar/Mahasiswa

69,71

Karyawan Swasta

4,57

PNS

1,14

Wiraswasta

9,71

Ibu Rumah Tangga

9,14

Lainnya

5,73

Rata-rata Pengeluaran

per Bulan

< 300.000

17,71

300.000-500.000

34,29

500.000-1.000.000

41,71

1.000.000-5.000.000

5,71