III. BAHAN DAN METODE
3.1. Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Patologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor dan di Desa Cikarawang, Kecamatan
Dramaga, Kabupaten Bogor dari April 2008 hingga Desember 2008.
3.2. Prosedur Percobaan dan Peubah Pengamatan
3.2.1. Penyiapan isolat B. bassiana Isolat
cendawan B. bassiana
yang digunakan dalam penelitian merupakan isolat koleksi Laboratorium Patologi Serangga. Cendawan ditumbuhkan kembali
dengan cara dipindahkan ke dalam media Potato Dextrose Agar PDA dan diinkubasi selama 21 hari pada suhu 25
C. Cendawan diperbanyak menggunakan media beras yang diinkubasi selama 21 hari pada suhu 25
C, sampai cendawan siap digunakan.
Cendawan pada media beras diambil sebanyak 1 gr dan diletakkan ke dalam tabung reaksi. 10 ml akuades yang disterilkan dan 1 tetes Tween 80 sebagai
bahan perata ditambahkan ke dalam tabung reaksi tersebut. Konidia dalam larutan akuades di tabung reaksi kemudian diratakan menggunakan vorteg dan diencerkan
hingga 10
-3
. Larutan konidia diambil 1 ml untuk dihitung jumlah konidianya dengan Haemocytometer Burker di bawah mikroskop. Konidia yang telah
dihitung kerapatannya, dikonversikan sesuai dengan kerapatan yang telah ditentukan dalam rancangan percobaan.
3.2.2. Penyiapan Isolat Heterorhabditis sp. Isolat Heterorhabditis sp. yang digunakan dalam penelitian didapatkan
dari telur belalang Oxya sp. dalam pelepah talas di lahan budidaya talas Bubulak, Bogor. Telur-telur Oxya sp. diperoleh dengan cara memotong dan membelah
pelepah talas di sekitar lubang tempat peneluran. Potongan-potongan pelepah talas yang berisi telur tersebut diaduk dalam gelas piala untuk mengeluarkan juvenil
infektif nematoda dari telur. Nematoda yang diperoleh dimurnikan dan diperbanyak dengan Tenebrio mollitor Coleoptera: Tenebrionidae dengan
metode kertas saring Wooding Kaya 1988.
14 Perbanyakan nematoda dengan metode kertas saring dilakukan dengan
meletakkan ulat sebanyak 3-5 ekor ke dalam cawan yang sebelumnya telah dilapisi dengan kertas saring. Ke dalam cawan Petri ditetesi 1 ml cairan yang
berisi juvenil infektif kemudian ditutup. Setelah 2-3 hari ulat-ulat tersebut mati, juvenil infektif nematoda pada bangkai ulat tersebut dapat dikeluarkan dengan
menggunakan metode White Trap. Metode ini dilakukan dengan cara meletakkan cawan yang lebih kecil ke dalam cawan yang lebih besar. Pada cawan Petri yang
lebih kecil dialasi dengan kertas saring dan bangkai ulat diletakkan diatasnya, kemudian akuades ditambahkan secukupnya ke dalam cawan. Ujung kertas saring
harus menyentuh permukaan akuades yang terdapat di dalam cawan Petri. Sekitar satu minggu setelah peletakan bangkai, Heterorhabditis sp. fase 3 juvenil
infektif akan keluar dari inangnnya dan terperangkap dalam akuades. Nematoda dipanen dengan menambahkan akuades yang disterilkan untuk memudahkan
nematoda keluar dari bangkai ulat dan dipindahkan ke dalam botol penyimpanan yang telah disterilkan.
Akuades berisi nematoda di botol penyimpanan diambil dengan menggunakan pipet sebanyak 1 ml nematoda diratakan terlebih dahulu di dalam
botol dengan menyemprotkan pipet secara perlahan, dan dipindahkan ke dalam cawan Petri kecil untuk dihitung kerapatan populasinya di bawah mikroskop.
Pengambilan dan penghitungan ini dilakukan sebanyak tiga kali dan dirata- ratakan. Juvenil infektif yang telah dihitung kerapatannya dikonversikan sesuai
kerapatan yang telah ditentukan dalam rancangan percobaan. 3.2.3. Persiapan Lahan
Sanitasi lahan dilakukan untuk memperkecil kejadian hama dan penyakit. Pengolahan tanah dilakukan untuk menggemburkan tanah. Sisa-sisa tanaman padi
kemudian disebarkan pada permukaan tanah sebagai pupuk hijau. Percobaan dilakukan pada tiga petak sebagai ulangan, setiap petak dibagi
menjadi 16 sub petak sebagai perlakuan yang ditentukan secara acak. Setiap sub petak terdiri dari dua guludan dengan ukuran panjang 400 cm dan lebar 60 cm
dengan jarak antar tanaman berkisar 30 cm dan jarak antar guludan 40 cm.
15 Bibit berupa stek diambil dari pucuk yang tumbuh dari umbi sehat dan
ditanam langsung di lahan yang telah diberakan 1 minggu. Ubi jalar varietas ceret ditanam menurut metode petani setempat.
3.2.4. Aplikasi B. bassiana dan Heterorhabditis sp. Aplikasi
B. bassiana dan Heterorhabditis sp. di lapangan dilakukan saat
telah terbentuk umbi atau sekitar 15 minggu setelah tanam MST. Aplikasi entomopatogen ini dilakukan setiap 2 minggu sekali pada pagi hari dengan
melakukan penyiraman langsung ke tanah sekitar umbi hingga 3 kali aplikasi. Volume aplikasi dan dosis yang digunakan mengacu pada rancangan percobaan.
3.2.5. Pengamatan Keberadaan Hama Boleng dan Entomopatogen di Lahan Pengamatan keberadaan hama boleng di sekitar tanaman dilakukan pada
14 MST, 16 MST dan 18 MST dengan menggunakan pitfall trap yang ditempatkan secara acak pada masing-masing sub petak perlakuan. Pengamatan
kerusakan umbi akibat hama boleng dilakukan ketika pengamatan dengan pitfall trap
tidak efektif dalam memastikan adanya keberadaan hama boleng. Pengamatan kerusakan umbi dilakukan dengan mengambil satu umbi secara acak
di setiap sub petak perlakuan pada umur 16 MST dan 18 MST. Sebelum
aplikasi B. bassiana
dan Heterorhabditis sp., contoh tanah diambil terlebih dahulu pada lima titik secara acak di setiap petak percobaan,
untuk mengetahui keberadaan organisme entomopatogen khususnya yang berupa cendawan dan nematoda. Setelah itu, contoh tanah yang didapatkan diujikan
terhadap T. mollitor di laboratorium sekitar 3–10 hari, untuk memerangkap entomopatogen yang ada di dalam tanah. Entomopatogen yang didapatkan
kemudian dipisahkan dan diidentifikasi. 3.2.6. Pengamatan Umbi saat Panen
Pengaruh B. bassiana
dan Heterorhabditis sp. terhadap hama boleng ditentukan berdasarkan tingkat serangan hama ini pada umbi. Pengukuran tingkat
serangan ini dilakukan pada saat panen dengan mengambil umbi dari 6 tanaman contoh secara acak pada tiap petak. Tingkat serangan yang diukur terdiri atas luas
serangan LS, intensitas serangan IS pada permukaan umbi dan intensitas serangan seluruh bagian umbi. Di samping tingkat serangan hama, juga diamati
16 pengaruh aplikasi kerapatan entomopatogen terhadap populasi hama boleng pada
umbi dan berat umbi. Luas serangan hama boleng dihitung dengan rumus:
100 x
diamati yang
umbi contoh
Seluruh diamati
yang umbi
contoh dari
terserang Umbi
LS
∑ ∑
=
sedangkan, intensitas serangan hama boleng pada permukaan umbi dan seluruh bagian umbi didefenisikan sebagai:
100
1
x N
x Z
v x
n IS
k i
i i
∑
=
=
IS : Intensitas serangan n
i
: Jumlah umbi yang rusak pada setiap kategori serangan tiap perlakuan v
i
: Nilai indeks kerusakan umbi pada setiap kategori serangan Z : Nilai skala tertinggi yang digunakan
N : Jumlah seluruh umbi yang diamati Nilai indeks kerusakan yang digunakan pada intensitas serangan pada
permukaan umbi adalah IPM CRSP 2003: Indeks
Kerusakan Deskripsi
1 2
3 4
5 Tanpa serangan
1 – 20 kerusakan jaringan 21 – 40 kerusakan jaringan
41 – 60 kerusakan jaringan 61 – 80 kerusakan jaringan
81 -100 kerusakan jaringan Sementara itu, untuk intensitas serangan pada seluruh bagian umbi, indeks
kerusakannya adalah IPM CRSP 2003:
17 Indeks
Kerusakan Deskripsi
1 2
3 4
5 Tanpa serangan
Kedalaman terowongan 0,01-0,50 cm; 0-6 kerusakan dalam Kedalaman terowongan 0,5-1,0 cm; 7-12 kerusakan dalam
Kedalaman terowongan 1,0-1,5 cm; 13-24 kerusakan dalam Kedalaman terowongan 1,5-2,0 cm; 25-48 kerusakan dalam
Kedalaman terowongan 2,0 cm; 48 kerusakan dalam Kepadatan hama boleng di dalam umbi diukur dengan menghitung rata-
rata individu hama boleng per umbi sebagai berikut:
umbi contoh
seluruh Jumlah
rusak umbi
pada boleng
hama Jumlah
umbi per
boleng hama
Populasi =
dan berat umbi sehat yang dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:
umbi seluruh
Jumlah IS
x umbi
berat Total
umbi berat
Total sehat
umbi berat
rata Rata
− =
−
3.3. Rancangan Percobaan dan Analisis Data