belimbing adalah 300 - 600 kg bahkan ada yang bisa mencapai 1 ton, dengan panjang karapas berkisar antara 160 - 180 cm.
5.2.2 Ekologi dan Reproduksi
Penyu tergolong kedalam kelompok reptil, dan secara fisiologis memiliki ketergantungan terhadap faktor lingkungan. Ketergantungan terhadap lingkungan
mempengaruhi semua fase hidup dari penyu mulai dari fase perkawinan, peneluran, sukses penetasan telur sampai fase pertumbuhan Ackerman 1997.
Faktor lingkungan yang memiliki keterkaitan nyata adalah suhu sebagai penentu seksualitas dari tukik Mrosovsky 1996 in Ackerman 1997. Penyu belimbing
memiliki masa hidup panjang dan melalui beberapa fase atau siklus hidup yang sulit. Penyu yang berumur muda sekitar 20 - 50 tahun akan mengawali dengan
proses pemijahan kemudian melakukan fase migrasi untuk prose perkawinan dengan penyu jantan. Setelah kawin, penyu akan kembali ke daerah peneluran dan
kawin dengan waktu yang dibutuhkan adalah 2 tahun. Penyu belimbing memiliki laju reproduksi tinggi ditunjukan dengan
jumlah telur yang dihasilkan oleh satu induk penyu betina selama musim peneluran Tabel 19. Estimasi dalam satu musim peneluran induk bisa memiliki
periode bertelur 3 - 4 kali, maka rata rata telur yang dihasilkan oleh satu induk dalam 1 musim peneluran rata-rata berkisar antara 231
– 360 butir. Kondisi ini berbanding terbalik dengan persentasi penetasan dan jumlah tukik yang berhasil
hidup hingga mencapai dewasa. Sebagaimana diketahui bahwa penyu belimbing memiliki laju rekruitmen yang rendah meskipun laju reproduksinya tinggi. Hal ini
tentunya berdampak terhadap jumlah populasi muda yang dihasilkan. Secara ekologis penyu memiliki karakteristik habitat sebagaimana ditampilkan pada
Tabel 19. Tabel 19. Karakteristik habitat peneluran penyu belimbing
Rata-rata Stdv kisaran
Produksi Telur Ekologi Habitat Peneluran
Tipe Habitat
Suhu Pasir
C Potensial
Air Kpad
Tekstur pasir m
Rata-rata Kedalaman
sarang cm 77.04±16.79
41-116 Pasir
25-34 -
Partikel halus 500 m-
500 m 85.17 cm
Sukses penetasan telur penyu belimbing pada sarang insitu di Jamursba Medi dan Wermon mengalami penurunan setiap musimnya. Penurunan populasi
tukik terindikasikan dengan rendah persentasi sukses penetasan pada plot pengamatan dikedua pantai Tabel 20. Penurunan sukses penetasan pada musim
200506 dan 200607 menyebabkan dilakukannya relokasi terhadap sarang yang berada dibawah batas pasang terendah. Pemilihan sarang disebabkan adanya
abrasi sarang yang terjadi pada sarang yang letaknya dibawah batas pasang terendah karena mengalami abrasi akibat ombak pasang surut sehingga gagal
menetas. Relokasi tersebut berhasil karena persentasi sukses penetasan mencapai 50 Tapilatu et al. 2007
Tabel 20. Persentasi sukses penetasan telur penyu belimbing pada pantai Jamursba Medi dan Wermon.
Tahun Sarang insitu Plot
Sarang insitu luar plot Sarang doom
Jamursba Medi
Wermon Jamursba
Medi Wermon
Jamursba Medi
Wer mon
Rata sd Kisaran n
Rata sd Kisaran n
Rata sd Kisaran n
Rata sd Kisaran n
Rata sd Kisaran n
Rata sd
Kisar an n
2005-2006 25.5±32
–85 48
47.1±23.6 3.8
–100 52
- -
- -
2006-2007 -
- -
- -
- 2007-2008
40.7± 6.6 –98.8
112 -
- -
- -
2008-2009 -
- -
- -
- 2009-2010
44.47± 9.35
–98.9 52
11.95±22.68 –57.44
8 46.08±15.03
0-96.88 70
43.24±16.74 0-87.21
15 42.94±18.7
1 0-93.41 6
-
2010-2011 -
57.55±8.98 51.22-63.89
2 67.65±33
35 –96.43
10 73.23±25.07
20.21-97.33 24
78.51±18.1 44.2-3.5
5 69.39
±17.8 44.2-
93.1 6
2011-2012 -
- -
- -
-
5.2.3 Migrasi
Penyu belimbing ditemukan diseluruh perairan di dunia karena memiliki pergerakan luas mencakup perairan nasional sampai perairan regional antara
negara dan samudra. Pergerakan ini menyebabkan sulitnya perlindungan dan pendeteksian populasi genetik terhadap spesies tersebut Dutton and Squires
2008. Penelitian genetik tentang populasi penyu belimbing oleh Dutton et al. 1999, 2007 menemukan ada tiga populasi berbeda yaitu 1 populasi di Pasifik
Timur yang melakukan persarangan di pantai Meksiko dan Costarica, 2 populasi di Pasifik Barat yang melakukan peneluran di Papua Barat Indonesia PBI, PNG,
Kepulauan Salomon dan Vanuatu dan 3 populasi di Malaysia. Dari ketiga populasi ini yang mengalami penurunan paling drastis adalah populasi di Pasifik
Barat dan Malaysia. Indikasi utama penurunan populasi disebabkan oleh aktivitas sosial antropogenik yaitu pemanfaatan langsung seperti ekploitasi telur dan daging
serta pemanfaatan tak langsung seperti tangkapan sampingan dari perikanan skala besar komersil Chan and Liew 1996.
Pola pergerakan penyu saat ini sudah diketahui dengan adanya pemansangan transmiter untuk melacak arah migrasi. Sebagaimana diketahui
musim peneluran di Pasifik Timur berlangsung pada musim dingin winter dari bulan desember sampai maret, dengan pergerakan setelah bertelur postnesting
dari lokasi peneluran di Meksiko dan Costarica menuju perairan pelagik dibagian timur Pasifik Selatan Eckert dan Sarti 1997 in Benson et al 2007. Populasi di
Pasifik Barat terjadi sepanjang tahun baik musim panas dibelahan bumi utara July-Agustus dan musim panas dibelahan bumi selatan Desember-Februari
dengan membentuk beragam metapopulasi yang tersebar dan melakukan peneluran dibeberapa pantai dan pulau di Pasifik Barat. Hasil analisis genetik dan
studi telemetri menunjukkan populasi penyu belimbing Pasifik Barat mengunjungi beberapa perairan bagian timur dan tengah di Utara Pasifik, perairan bagian barat
di Selatan Pasifik, Laut Cina Selatan dan Laut Jepang Dutton et al. 2000, 2007. Pemantauan satelit telemetri juga menunjukkan bahwa penyu belimbing
selesai bertelur akan melakukan pergerakan yang terkonsentrasi pada perairan dekat dengan pantai peneluran. Penyu belimbing yang melakukan peneluran di
Papua Barat Indonesia PBI boreal summer akan melakukan pergerakan menuju ke barat laut semenanjung Kepala Burung dan Kepulauan Raja Ampat
dengan menempuh jarak 170 – 315 km dari lokasi peneluran Benson et al. 2011.
Selanjutnya pada musim austral summer melakukan pergerakan menuju perairan timur laut semenanjung Kepala Burung dan Teluk Cendrawasih dengan jarak
yang ditempuh 120 - 300 km dari pantai peneluran Gambar 20. Berbeda dengan
penyu belimbing yang melakukan peneluran di PNG hanya melakukan pergerakan ke Teluk Huon dengan jarak tempuh 140 - 300 km dari pantai peneluran.
Sementara untuk penyu belimbing yang bertelur di Kepulauan Salomon SI terkonsentrasi di Kepulauan Santa Isabel dan Kepulauan Malaita dengan jarak
yang ditempuh 200 - 400 km dari pantai peneluran Gambar 20. Migrasi populasi penyu belimbing Jamursba Medi dan Wermon terbagi
menjadi dua pola berbeda berdasarkan musim peneluran. Penyu belimbing yang bertelur pada musim boreal summer, diketahui yang dipasangkan trasmiter
sebanyak tiga puluh tujuh individu Gambar 20 melakukan pergerakan awalnya kearah timur laut menuju utara Pasifik. Selanjutnya dari dua puluh tiga individu,
enam belas individu mencapai perairan dingin di Utara Pasifik sementara enam individu lainnya menuju ke Region Kuroshio Extention. Lima individu melakukan
pergerakan melalui Trans Pasifik antara Pasifik Barat dan Pantai Barat Amerika utara. Ada tujuh individu yang memiliki jalur yang pendek dan bergerak menuju
ke utara Pasifik Benson et al. 2011 Pola kedua yang paling sering ditemukan N=13 individu terlihat
melakukan migrasi ke arah barat Laut Cina Selatan berdekatan dengan Borneo Malaysia dan Kepulauan Palau Filipina. Migrasi ke Laut Cina Selatan biasanya
melewati perairan Laut Sulawesih dan Sulu meskipun ada dua individu yang melalui Selat Luzon antara Taiwan dan Filipina, sementara satu individu menuju
ke laut Jepang Benson et al. 2011. Perbedaan pola migrasi menyebabkan perbedaan musim peneluran pada
populasi Pasifik Barat sehingga membentuk sub populasi atau yang dikenal metapopulasi. Metapopulasi yang tergambar pada populasi penyu belimbing
adalah adanya perbedaan musim peneluran yang terjadi di PNG, Kepulauan Salomon dan Papua Indonesia. Metapopulasi adalah sejumlah populasi yang
membentuk suatu mosaik yang dinamis dan saling berhubungan melalui peristiwa migrasi maupun penyebaran pasif Primark et al. 2007.
Gambar 20. Pola migrasi 126 ekor penyu belimbing pada periode internesting Benson at al. 2011. Tanda lingkaran : batasan area migrasi, tanda kotak: batasan saat transit, merah: boreal summer, biru: austral summer. PBI : Papua Indonesia, PNG, SI
Salomon Island, CCA Central California Benson et al. 2011
86
5.2.4 Trend Populasi di Jamursba Medi dan Wermon
Kecenderungan populasi penyu belimbing berdasarkan hasil pemantauan dibeberapa negara mengalami penurunan populasi termasuk di Pantai Jamursba
Medi dan Wermon Gambar 21 dan 22. Perhitungan populasi penyu belimbing mengacu pada tiga perumusan yang dipublikasikan oleh Dutton et al 2007, Sarti
et al .1996 dan Tapilatu et al in prep.
Pemantauan yang dilakukan oleh Hitipeuw et al. 2007 menunjukkan bahwa terjadi penurunan jumlah sarang penyu dipantai Jamursba Medi mulai tahun 1993
sebanyak 14.420 sarang menurun sampai 1534 sarang pada tahun 2011 Gambar 21. Sementara untuk Wermon yang dimulai pada tahun 2003 sebanyak 2504
sarang menurun menjadi 1292 pada tahun 2011 Gambar 22. Banyak spekulasi penyebab penurunan populasi yaitu faktor eksternal dari luar kawasan dan faktor
internal dari dalam kawasan konservasi. Penurunan populasi disebabkan oleh faktor alami maupun faktor manusia
yang terjadi di lingkungan darat maupun di lingkungan laut. Sebagai contoh kehilangan habitat bertelur, perusakan sarang oleh predator, perubahan iklim
global yang mempengaruhi sukses penetasan telur penyu Hitipeuw et al. 2007. Ancaman di lingkungan laut seperti perburuan induk penyu dan tingginya
tangkapan sampingan bycatch, pencemaran dimana penyu laut mengkonsumsi berbagai sampah seperti kantong plastik tal balls dan balon serta pengaruh
lainnya. Ancaman lain yang beresiko tinggi dan berdampak kematian pada penyu adalah perikanan skala besar dengan alat tangkap seperti pukat harimau trawl,
perikanan tuna dengan alat tangkap rawai, perikanan hiu, sampai perikanan skala kecil atau perikanan tradisional.
2011 2009
2007 2005
2003 2001
1999 1997
1995 1985
3500 3000
2500 2000
1500 1000
500
Ju m
la h
P e
n y
u B
e lim
b in
g
Dutton et al 2005 Sarti et al 1996
Pit-tag 2003-2011
2011 2010
2009 2008
2007 2006
2005 2004
2003 700
600 500
400 300
200
Ju m
la h
P e
n y
u B
e lim
b in
g
Dutton et al 2005 Sarti et al 1996
Pit-tag 2003-2011 Variable
Gambar 21. Populasi penyu belimbing di Pantai Jamursba Medi 1984-2011 Hitipeuw et al. 2007 dan Tapilatu et al. in prep.
Gambar 22. Populasi penyu belimbing di Pantai Wermon 2003-2011 Hitipeuw et al. 2007 dan Tapilatu et al. in prep
5.2.5 Status Konservasi
Wibowo 2007 menyatakan status konservasi suatu spesies merupakan indikator penting dalam menentukan kelangsungan hidup spesies pada saat ini
hingga dimasa datang. Tidak mudah untuk mengetahui status konservasi suatu spesies, karena harus melakukan penelitian secara menyeluruh tentang
peningkatan maupun penurunan pertumbuhan populasi disepanjang waktu, tingkat keberhasilan kawin dan berbagai ancaman yang mempengaruhi populasi spesies
tersebut. IUCN 2003 in Wibowo 2007, menginventarisasi status konservasi
seluruh tumbuhan dan hewan melalui pembentukan IUCN Red List of Threatened Spesies tahun 1963 salah satunya adalah penyu belimbing. IUCN Red List
merupakan ukuran yang tepat untuk mengevaluasi resiko kepunahan ribuan spesies dan sub spesies. Status konservasi penyu belimbing adalah status terancam
yang dikeluarkan oleh The World Conservation Union Ballie dan Grommbrigde 1996 in Wibowo 2007. IUCN dalam daftar buku merah memberikan status
kepada penyu belimbing adalah terancam kritis Critical endangered, sementara dalam Convention on International Trade in Endangered Spesies Wild Fauna and
Flora CITES penyu belimbing termasuk dalam Apendix I; Born Convention juga mendaftarkan penyu belimbing kedalam Apendix I, II Hykle 1999 in Wibowo
2007. Secara jelas pengklasifikasian status penyu belimbing terlihat pada Tabel 21.
5.2.6 Ancaman Kepunahan Populasi
Keseluruhan isu tentang perubahan lingkungan saat ini mengarah pada kepunahan spesies Wilson 1980. Pendapat sama menyatakan kehidupan suatu
spesies akan berubah dalam kurun waktu tertentu karena adanya perubahan sehingga adaptasi diperlukan untuk bertahan terhadap perubahan Harding 1998 in
Wibowo 2007. Tetapi ketika perubahan besar dan berlangsung dalam rentang waktu singkat maka spesies tidak mampu beradaptasi terhadap proses reproduksi
dan pada akhirnya mengalami kepunahan. Kepunahan spesies diartikan sebagai hilangnya suatu spesies dari muka bumi untuk selamanya. Kepunahan secara
massal telah terjadi dimana 40 hingga 95 spesies hewan dan tumbuhan telah hilang dari bumi dan setiap tahun diperkirakan 10 hingga 20 spesies telah punah.
Tabel 21. Kriteria keterancaman terhadap penyu belimbing
Konvensi Status
Uraian IUCN
Keterancaman ekologi
Critical Endangred
Spesies yang berpeluang
tinggi untuk punah dalam waktu dekat
CITES
keterancaman
perdagangan
Apendix I jenis yang terancam punah,
peredaran komersil dilarang.
CMS atau
Bonn Convention
Keterancaman berdasarkan sifat migrasi
Apendix I dan II Jenis terancam punah I Jenis belum terancam punah
namun status konservasinya kurang
baik sehingga
membutuhkan perjanjian
internasional bagi konservasi dan pengelolaannya, serta
jenis lain dengan status konservasinya dapat terbantu
secara signifikan apabila dilakukan
kerjasama internasional melalui suatu
perjanjian II
Wilson 1980 menyatakan bahwa peningkatan kepunahan spesies pada abad ini telah diketahui dan sebagian besar penyebabnya karena aktivitas manusia,
kerusakan habitat dan pengenalan spesies baru kedalam suatu kawasan. Ancaman kepunahan penyu belimbing sama seperti yang dialami spesies penyu laut lainnya
dimana manusia adalah ancaman utama yang memberi tekanan sepanjang hidup penyu dari telur hingga penyu dewasa. Ancaman lain terhadap kehidupan populasi
penyu adalah perubahan lingkungan dan iklim yang berlangsung secara global dan berdampak pada penurunan habitat dan ekosistem.
Ancaman terhadap penurunan populasi penyu belimbing baik populasi dewasa maupun juvenil di Jamursba Medi dan Wermon disebabkan oleh beberapa
faktor seperti perubahan suhu pasir, penurunan habitat persarangan, predasi telur, perburuan individu dewasa, pengambilan telur dan perikanan komersil Hitipeuw
et al . 2007. Faktor predasi terhadap telur oleh predator seperti babi hutan, anjing,
biawak dan kepiting menjadi penyebab gagalnya sukses penetasan pada sarang- sarang alami selain faktor suhu pasir yang ekstrim dan pengambilan telur oleh
masyarakat. Stark 1993 menyatakan predasi sarang penyu belimbing di pantai Jamursba Medi yang dilakukan anjing sebanyak 181 sarang dari 1300 sarang atau
sekitar 14 pada bulan Juli sampai september 1993. Selanjutnya Tapilatu et al.
2007 menyatakan laju predasi sarang mencapai 29.3 dalam periode waktu satu bulan juni-juli dengan jumlah sarang terpredasi sebanyak 29 sarang di pantai
Wembrak Jamursba Medi. Observasi lain menunjukkan adanya aktivitas predasi yang ekstensif oleh babi hutan dan anjing dari bulan september sampai oktober di
pantai Warmamedi. Abrasi pantai peneluran teridentifikasi menjadi salah satu ancaman
penurunan habitat persarangan di pantai peneluran. Pantai Jamursba Medi dan Wermon mengalami abrasi dan akresi musiman setiap musim monsun barat laut.
Monsun barat laut ditandai dengan gelombang tinggi menyebabkan sarang-sarang dirusak ombak sampai terlihat telur di pantai. Kondisi ini biasanya ditemukan
pada bulan Agustus sampai Oktober Tapilatu et al. 2007. Pola pantai akan berbeda ketika musim teduh. Kondisi ini terlihat sekitar bulan April dimana
terjadi penambahan pasir dari laut yang ditandai dengan peningkatan induk yang bertelur dipantai. Indikator lain penyebab terjadi abrasi dan akresi pada pantai
peneluran adalah aktivitas penebangan dan pembuatan jalan penghubung antar kota dan kampung. Aktivitas penebangan untuk tujuan pembangunan basecamp
menyebabkan adanya pembukaan lahan di hulu sungai dan berdampak adanya banjir dan erosi. Aliran runoff menyebabkan banyaknya kayu terdampar di pantai
peneluran dan menghalagi induk penyu yang akan melakukan peneluran. Putrawijaya 2000 in Hitipeuw et al. 2007 menyatakan bahwa aktivitas
penebangan kayu dan transportasi pengangkutan di sungai menyebabkan erosi pada habitat peneluran di Jamursba Medi yang hanya berjarak 5 km dari lokasi
penebangan. Aktivitas pembukaan lahan sebagai penghubung jalan antar kampung menyebabkan adanya fragmentasi habitat dan penurunan ekosistem daratan yang
juga mempengaruhi ekosistem pantai dan laut. Ancaman lainnya adalah pengambilan telur penyu oleh masyarakat.
Pengambilan telur secara luas dilakukan oleh masyarakat yang bermukim pada daerah yang berdekatan dengan pantai peneluran Kinch et al. 2009.
Pengambilan telur termasuk salah satu ancaman penurunan populasi juvenil penyu tukik. Kebiasaan ini dilakukan dalam kurun waktu yang lama sebelum penyu
dilindungi sehingga menurun sampai saat ini dan berdampak kepada penurunan jumlah individu baru penyu recruitmen.
Perburuan individu dewasa oleh masyarakat terklasifikasi sebagai pemanfaatan langsung sumberdaya penyu yang beresiko signifikan mempengaruhi
populasi. Aktivitas ini terjadi hampir disemua negara Thorbjarnarson et al. 2000 in
Champbell 1996 seperti Amerika Serikat meliputi Florida, Georgia, Lousiana, Mississippi, North California, Texas dan Virginia, Pesisir Atlantik, Ecuador,
Peru, Madagaskar, Seychelles, Indis, Srilanka, Jepang, dan Indonesia. Perburuan di Indonesia dalam skala besar terjadi di kepulauan Kei Maluku Suarez dan
Starbird 1996 karena keterkaitan adat istiadat terhadap perburuan menyebabkan tidak adanya larangan. Lawalata et al 2006 menyatakan bahwa tingkat
perburuan masyarakat Kei terbilang tinggi mencapai 78 dengan jumlah penyu belimbing yang tertangkap berkisar antara 1-10 ekor dalam periode Juni-Oktober
2006. Lebih lanjut, terlihat adanya peningkatan jumlah tangkapan Penyu Belimbing periode tahun 2007-2009 yaitu sekitar 82 ekor pada musim 20062007,
jumlah tangkapan menurun menjadi 16 ekor pada musim 20072008, dan pada musim 20082009 sekitar 48 ekor yang tertangkap oleh masyarakat Kei WWF
2008. Kondisi ini menunjukkan bahwa ancaman perburuan sangat signifikan mempengaruhi penurunan populasi Penyu Belimbing dewasa.
Ancaman lain terhadap penurunan populasi penyu belimbing yaitu tangkapan sampingan dari aktivitas perikanan yang terklasifikasi sebagai
pemanfaatan tidak langsung. Perikanan komersil dalam skala besar seperti tuna dan udang telah menjadi ancaman terbesar bagi penyu karena tingginya tangkapan
sampingan. Fakta ini menunjukkan bahwa kegiatan penangkapan tuna dan udang berpotensi menyebabkan penurunan populasi penyu belimbing terutama pada fase
bermigrasi baik di peraiaran samudra maupun di perairan Indonesia. Meskipun sejauh ini, belum ada data dan informasi yang akurat tentang tertangkapnya penyu
akibat perikanan di Indonesia, akan tetapi data tentang tertangkapnya penyu sebagai tangkap sampingan dari kegiatan rawai tuna telah dilaporkan dibeberapa
perairan di kawasan lain seperti di laut Mediterania sekitar 20.000 ekor penyu tertangkap tuna rawai tuna setiap tahunnya, di Vietnam sekitar 4.000 ekor penyu
per tahun dan di Australia sekitar 400 ekor penyu per tahun Zainudin et al. 2006
5.2.7 Perdagangan dan Pemanfaatan
ProFauna 2005 in Wibowo 2007 melaporkan bahwa eksploitasi penyu belimbing di Indonesia masih berlangsung hingga kini. Dalam laporannya
ProFauna menyatakan bahwa perdagangan penyu dan bagian bagian tubuhnya dijumpai di Pulau Jawa. Selama bulan Januari sampai April 2005, ProFauna
mencatat tentang jenis, jumlah, harga dan asal penyu yang diperdagangkan dienam lokasi pantai Selatan P. Jawa, antara lain: Pantai Teluk Penyu Cilacap
Jawa Tengah, Pantai Puger Banyuwangi Jawa Timur, Pantai Pangandaran Jawa Barat, Pantai Pelabuhan Ratu Jawa Barat, Pantai Pangumbahan
Sukabumi Jawa Barat, dan Pantai Samas Yogyakarta. Konsumsi terhadap penyu belimbing terjadi di Kepulauan Kei Maluku
terjadi dalam skala besar yang ditandai tingginya jumlah tangkapan individu dewasa permusim WWF 2007. Tujuan perburuan masyarakat Kei bervariasi
mulai dari konsumsi keluarga sampai perayaan hari besar keagamaan dan adat. Lawalata et al. 2004 mengestimasi bahwa dalam 1 tahun musim 20032004
masyarakat menangkap sebanyak 29 ekor penyu belimbing dengan jumlah jantan 9 ekor dan 20 ekor betina untuk dikonsumsi oleh masyarakat dari 7 kampung di
Kepulauan Kei seperti ditampilkan pada Gambar 21.
Ekploitasi oleh masyarakat terhadap induk dan daging di perairan Kei disebabkan kondisi ekonomi keluarga, keterbatasan pengetahuan masyarakat, rendahnya
Gambar 23. Estimasi penangkapan penyu belimbing di perairan Kepulaun Kei Maluku Tenggara Lawalata et al. 2004
Somlain Ohoiderto
m Madwaar
Ohoidetut u
UR Warnal
Ohoira D.coriacea
4 6
4 12
1 1
1 2
4 6
8 10
12 14
Ju m
la h
P e
n y
u B
e li
m b
in g
e k
or ta
h u
n
kontrol dan pengawasan yang diberikan oleh pemerintah dan lembaga konsevasi pada daerah tersebut. Alasan lainnya adalah adanya kepercayaan dari tetua adat
bahwa Penyu Belimbing adalah
Hewan suci dari leluhur masyarakat Kei
Pengikat kekeluargaan masyarakat Kei
Karapas menggambarkan tujuh bagian menunjukan tujuh suku inti masyarakat Kei
Distribusi Penyu Belimbing diperairan Kei menjadi hak untuk pemanfaatan
secara tradisional Eksplotasi terhadap telur dan daging juga terjadi di perairan utara Papua
mulai dari pesisir Sausapor sampai Manokwari dengan frekuensi yang relatif kecil jika dibandingkan dengan masyarakat Kei. Ini disebabkan daging penyu
belimbing memiliki rasa yang tidak lezat, dibandingkan dengan Penyu Hijau. Ukuran body yang relatif besar menjadi kendala dalam menangkap, tetapi tidak
menutup kemungkinan penyu belimbing tetap ditangkap apabila tidak ada hasil laut lainnya untuk dikonsumsi. Daging penyu belimbing tidak hanya dikonsumsi
tetapi juga diperjualbelikan untuk peningkatan pendapatan ekonomi keluarga. Survei dipasar tradisional Manokwari ditemukan daging penyu belimbing dijual
dengan harga bervariasi mulai dari Rp. 25.000,- sampai Rp. 40.000,- per tumpukan daging atau sekitar 1 kg. Selain daging, telur juga bernilai ekonomis
dan banyak dibeli untuk dikonsumsi. Di pasar Sausapor telur penyu belimbing diperjualbelikan dengan harga Rp. 10.000,- per 10 butir.
5.2.8 Pengawasan dan Regulasi
Program konservasi penyu di Indonesia mengacu pada dua pendekatan yaitu konservasi spesies dan konservasi habitat. Konservasi spesies bertujuan
menghindari kepunahan ekologi. Pendekatan spesies mengarah pada perlindungan semua jenis penyu, melarang pemanfaatan yang tidak berkelanjutan dan bersifat
komersil, meningkatkan pengelolaan populasi baik secara insitu melalui recovery seperti penangkaran dan relokasi. Indonesia menetapkan penyu belimbing
menjadi salah satu satwa yang dilindungi baik secara nasional maupun global. UU No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya telah
mengatur pengelolaan dan perlindungan terhadap jenis satwa dan sanksinya.
Berdasarkan PP No.7 tahun 1990 tentang pengawetan tumbuhan dan satwa dimana semua jenis penyu di Indonesia termasuk bagian-bagiannya ditetapkan
sebagai satwa yang dilindungi Dahuri 2003. Penetapan semua perangkat hukum ini dikarenakan tingginya eksploitasi telur dan daging yang berdampak pada
penurunan populasi induk dewasa dan juvenil yang tersedia di alam. Pendekatan habitat bertujuan melindungi habitat baik habitat peneluran,
habitat makan dan habitat migrasi. Perlindungan habitat peneluran diarahkan pada penetapan status kawasan sehingga memudahkan dalam pengelolaan dan
pengawasan. Perlindungan habitat yang telah dilakukan adalah penetapan suakamargasatwa Jamursba Medi dan sekitarnya serta Kawasan Konservasi Laut
Daerah Abun Tambrauw Papua Barat. Berbagai peraturan untuk melindungi penyu laut telah disepakati dan sampai saat ini tercatat sembilan peraturan untuk
konservasi penyu laut. Beberapa regulasi tentang perlindungan penyu ditampilkan pada Tabel 22.
Tabel 22. Regulasi konservasi penyu laut di Indonesia
RegulasiKebijakan Tahun
Keterangan
Keputusan Presiden No.43 1997
Ratifikasi konvesi internasional Trade In Endangared Of Wild Flora dan Fauna
CITES Kepmen Pertanian No.327
1978 Penentuan berbagai jenis satwa liar yang
dilindungi paus, lumba-lumba, penyu Kepmen Pertanian No.716
1980 Penentuan berbagai jenis satwa liar yang
dilindungi paus, lumba-lumba, penyu hijau, penyu tempayan, penyu belimbing
UU No.4 1992
Peraturan dasar pengelolaan lingkungan hidup
Keputusan Presiden No.26 1986
Ratifikasi perjanjian ASEAN tentang konservasi sumberdaya alam
Keputusan Presiden No.32 1990
Konservasi Sumberdaya hayati dan ekosistemnya
UU No.5 1994
Ratifikasi konvensi biodiversitas Peraturan Pemerintah No.7
1999 Perlindungan semua jenis penyu
Pengawasan internasional menetapkan bahwa semua jenis Penyu telah
dikategorikan sebagai satwa langka dan dilindungi dalam Red Data Book IUCN,
Apendix I CITES Tabel 21 dimana penyu merupakan jenis satwa terancam punah sehingga dilarang diperjualbelikan dan pengaturan perdagangannya harus
berdasarkan prosedur CITES. Berdasarkan sifat migrasi, Penyu Belimbing juga
termasuk dalam Apendix I dan II daftar CMS karena status populasi yang terancam.
5.2.9 Penilaian Non Detrimental Finding Penyu Belimbing
Perdagangan internasional jenis flora dan fauna diatur melalui suatu konveksi internasional yang disebut dengan Convention on Internasional Trade in
Endangered Species of Wild Fauna and Flora menjamin keberlanjutan populasi
flora dan fauna di habitat alam. Indonesia meratifikasi CITES melalui Keputusan Presiden Kepres Nomor 14 tahun 1978 artinya Indonesia mengikuti aturan
dalam konveksi tersebut secara efektif. Salah satu isi dari konveksi terkait dengan perdagangan satwa yang masuk dalam daftar Appendix I yaitu artikel IV yang
menyatakan bahwa pengambilan dan perdagangan internasional terhadap suatu spesies tidak akan merusak populasi di alam atau dengan istilah non detrimental
finding .
Panduan pelaksanaan non detrimental finding dikompilasi oleh Rosser and Haywood 2002 in Oktoviani et al. 2008 . Pelaksanaan non detrimental finding
di Indonesia dilakukan oleh Lembaga Pengetahuan Indonesia LIPI sebagai otoritas keilmuan Scientific authority CITES. Komponen utama non detrimental
finding dalam menelaah suatu spesies yang ditangkap dari alam berdasarkan sifat
biologis, status nasional, pengelolaan penangkapan, kontrol penangkapan, pemantauan penangkapan, insentif dan keuntungan penangkapan serta
perlindungan dari penangkapan Prijono 2005 in Oktoviani et al. 2008. Baik buruk pelaksanaan non detrimental finding untuk suatu spesies digambarkan
dalam radar yang menghubungkan nilai nilai dari unsur non detrimental finding. Radar plot yang semakin menjauhi titik pusat menggambarkan pelaksanaan non
detrimental finding yang buruk. Penerapan non detrimental finding pada penyu
belimbing dilakukan dengan menganalisis 25 unsur dimana hasil penilaian penyu belimbing dijelaskan seperti pada Gambar 24.
Pertimbangan sebagai landasan dalam penilaian untuk 25 unsur non detrimental finding
mengacu pada hasil penelitian terdahulu sampai dengan saat ini. Penilaian NDF dijabarkan secara detail berdasarkan sistem ranking dengan
mengacu pada lima penilaian utama yaitu aspek biologi penyu belimbing, aspek status populasi, aspek perdagangan dan pemanfaatan, aspek pengawasan dan
peraturan. Aspek biologis dan karakteristik terlihat bahwa siklus hidup penyu belimbing memiliki rentang waktu yang panjang dengan reproduksi tinggi
sebanding dengan laju mortalitas tinggi. Waktu yang dibutuhkan penyu mencapai usia muda sampai pada matang kelamin adalah 20 tahun. Penyu belimbing
memiliki kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan seperti kemampuan renang dan menyelam untuk menjangkau perairan dalam dan perairan dangkal. Distribusi
selama bertelur di Jamursba Medi dan Wermon diketahui meliputi pesisir Utara Papua dengan distribusi habitat di pantai Utara Papua, Taman Nasional Teluk
Cendrawasih Wasior, Kepulauan Rajampat dan Kepulauan Kei Maluku Tenggara. Populasi di Jamursba Medi dan Wermon memiliki areal migrasi yang relatif luas
sampai mencapai perairan Monterbay California. Interaksi antara penyu belimbing dengan manusia bukanlah hubungan mutualisme melainkan hubungan
komensalisme karena manusia berperan sebagai predator. Aspek status populasi menunjukkan bahwa ancaman penurunan populasi
adalah degradasi habitat peneluran, perubahan iklim yang mempengaruhi persentasi sukses penetasan, ekploitasi telur dan daging, perikanan komersil yang
menyebabkan banyaknya tangkapan sampingan. Tingginya tangkapan sampingan disebabkan penggunaan alat tangkap dari perikanan skala besar yang biasanya
tidak selektif sehingga beresiko tertangkapnya penyu belimbing. Dampak dari tangkapan dan pemanfaatan tradisional adalah penurunan populasi spesies dewasa
yang mengarah pada kepunahan. Rencana pengelolaan yang sudah dilakukan adalah perlindungan habitat dengan penetapan status kawasan Suaka Margasatwa
Jamursba Medi dan penetapan KKLD Abun. Adanya penetapan status kawasan mengakomodir penelitian tentang populasi penyu belimbing oleh pemerintah
BBKSDA dan DKP bahkan lembaga konservasi internasional seperti WWF Indonesia, Universitas Negeri Papua, NOAA Fisheries dan Yayasan Alam Lestari
Indonesia. Tujuan pengelolaan mengarah pada perlindungan spesies dan perlindungan habitat. Hasil dari penelitian ini diharapkan memberikan
peningkatan proporsi populasi penyu belimbing dialam yang saat ini mengalami penurunan. Untuk meningkatkan proporsi populasi maka diperlukan metode
pemantauan terhadap ancaman utama seperti penangkapan baik penangkapan langsung maupun penangkapan tidak langsung. Pengaruh internal dari masyarakat
digambarkan adanya konflik baik hak ulayat pada habitat peneluran dan konflik pemanfaatan sumberdaya penyu. Lembaga pengelola yang berperan mengelola
kawasan merupakan tanggungjawab semua stakehoder seperti masyarakat, pemerintah pusat BKSDA dan pemerintah daerah DKP dan lembaga
konservasi internasional yang bersepakat untuk melakukan kolaborasi program dengan cakupan aspek ekologi, ekonomi dan sosial.
Hasil analisis radar plot dalam penilaian non detrimental finding pada Gambar 24 memperlihatkan bahwa daerah yang berwarna menjauhi titik pusat
menunjukan pemanfaatan terhadap penyu belimbing tidak mengarah pada jaminan terhadap kelestarian populasi di alam. Kondisi ini semakin kritis mengingat siklus
hidup penyu belimbing dengan tingkat reproduksi tinggi, mortalitas tinggi dan masa hidup yang panjang menyebabkan rendahnya jumlah individu dewasa yang
bisa mencapai umur dewasa. Selain biologi, status dari penyu belimbing yang termasuk dalam critical endangared yang tidak didukung oleh unsur lain
menyebabkan perlu ada penanganan secara kontinue.
Gambar 24. Penilaian non detrimental finding status pemanfaatan penyu belimbing di Tambrauw Papua Barat.
5.3 Keadaan Sosial Antropogenik 5.3.1 Analisis Responden
Masyarakat yang dijadikan responden dalam penelitian ini adalah masyarakat yang terkait langsung dengan pemanfaatan sumberdaya penyu
belimbing. Jumlah responden dari enam kampung adalah 185 Kepala Keluarga KK terdiri dari 41 KK untuk kategori pengambil telur, 53 KK untuk kategori
konsumsi telur, 38 KK untuk penangkap penyu dan 53 KK untuk konsumsi daging penyu belimbing. Responden kunci pengambil kebijakan terambil 5 orang
yang berasal dari instansi teknis lingkup pemerintah Kabupaten Tambrauw. Responden kunci terdiri atas Kepala Bidang Perikanan dan Kelautan Tambrauw,
Kepala Distrik Sausapor, Kepala Distrik Abun, Kepala Bidang Lingkungan Hidup Tambrauw dan Kepala BKSDA II Papua Barat.
Gambar 25. Hasil analisis responden di pesisir KKLD Abun Tambrauw b.Usia
a. Tingkat pendidikan
c Jenis pekerjaan d. Asal daerah
Berdasarkan hasil analisis kuesioner terhadap 185 responden diketahui karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan, usia, jenis pekerjaan dan
asal daerah seperti terlihat pada Gambar 25. Berdasarkan tingkat pendidikan, persentase responden yang memanfaatkan sumberdaya penyu belimbing di pantai
Jamursba Medi dan Wemon adalah 37 untuk Sekolah Dasar SD, diikuti SMA sebesar 34, SMP sebesar 19 dan paling rendah Perguruang Tinggi PT seperti
D3 dan D2 sebesar 10. Selanjutnya berdasarkan tingkat usia, sejumlah responden yang memanfaatkan sumberdaya penyu belimbing memiliki kisaran
usia dari 20 - 35 tahun sebesar 52, diikuti 30 - 50 tahun sebesar 36 - 50 tahun, sebesar 18 berusia 51 - 65 tahun, 65 tahun sebesar 5 dan yang terendah
adalah 15 tahun sebesar 4. Berdasarkan jenis pekerjaan, responden yang memanfaatkan sumberdaya penyu belimbing bermatapencaharian petani atau
nelayan sebesar 82, PNS sebesar 9 dan pedagang sebesar 9. Selanjutnya berdasarkan asal daerah responden diketahui persentase terbesar adalah berasal
dari suku Abun 30, diikuti suku Meyah-Kebar sebesar 26, suku Biak sebesar 22, sementara suku Serui dan pendatang memiliki nilai persentase yang sama
yaitu 11.
5.3.2 Responden Pengambil Telur
Pengumpul telur dari pantai peneluran didominasi oleh kaum lelaki yang merupakan penduduk yang mendiami pesisir utara Papua terdiri dari suku Abun,
suku Meyah-Kebar, suku Biak dan suku Serui serta beberapa suku pendatang. Hasil survei terlihat bahwa jumlah responden pengambil telur tertinggi yaitu pada
frekuesni 1-2 sarang dengan persentase 68, diikuti 13 untuk frekuensi 3 - 4 sarang ditiap musim. Secara jelas jumlah pengambilan telur tersaji pada Tabel 23.
Tabel 23. Jumlah responden pengambil telur Penyu Belimbing berdasakan jumlah sarang per satu periode musim peneluran.
No Jumlah Sarang
musim Jumlah responden
Persentase 1
1-2 28
68.29 2
3-4 13
31.71 3
5-6 -
4 7
- Jumlah
41 100.00
Sumber : Data Primer 2012