Analisis Data .1 Indeks Keterpaparan

3.6 Analisis Data 3.6.1 Indeks Keterpaparan A. Suhu dan Variasi Suhu Pasir Suhu pasir merupakan variabel utama yang mempengaruhi perkembangan embrio selama masa inkubasi. Perubahan iklim global saat ini menjadi ancaman perkembangan reproduksi penyu belimbing disebabkan adanya perningkatan suhu. Fuentes et al. 2009 menyatakan resiko yang ditimbulkan pemanasan global adalah peningkatan suhu pasir yang mempengaruhi ratio seks betina lebih banyak dibandingkan jantan, adanya peluang kelainan morfologi pada tukik, tingginya tingkat kematian pada embrio. Dalam penelitian ini data suhu pasir diukur dengan Logger HOBO yang diletakan pada plot pengamatan baik di daerah dekat vegetasi high zone dan daerah dekat laut lower zone. Logger HOBO akan merekam suhu pasir perjam selama musim peneluran. Tujuannya adalah untuk mengetahui kisaran suhu pasir selama musim peneluran dan suhu pasir selama masa inkubasi telur dalam sarang. Data suhu pasir dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui rata-rata suhu pasir di pantai dan variasi suhu pasir perbulan untuk mengestimasi masa inkubasi. B. Kenaikan Muka Laut Pengaruh perubahan iklim global lainnya adalah naiknya muka laut yang berdampak pada pengurangan areal. Adanya peningkatan muka laut ini menjadi ancaman bagi pantai peneluran karena terjadi perendaman sarang sarang dipantai menyebabkan gagal tetas telur dalam sarang. Limpus et al. 2003 menyatakan bahwa dalam 10 tahun terakhir persentase sukses penetasan telur Penyu di Reine Island menurun yang diduga disebabkan oleh tingginya proporsi air dalam sarang dan adanya proses geomorfik dan kenaikan muka laut diduga berperan dalam frekuensi genangan sarang. Pantai Jamursba Medi dan Wermon berdasarkan keterpaparan topografi yang berada berhadapan dengan Samudra Pasifik sehingga sangat terbuka terhadap kenaikan muka laut. Rumusan umum untuk menghitung rata-rata kenaikan muka laut adalah di kedua pantai ini menurut Tahir 2010 adalah ……………………………… 1 t RTMLR S c st RMLR    C. Kemiringan Pantai Kemiringan garis pantai merupakan sudut antara kedalaman air terendah dengan kedalaman tertentu sepanjang jarak tertentu. Kemiringan suatu pantai mempengaruhi tingkat kerentanan pantai terhadap kenaikan muka laut. Gornitz et al . 1992 in Tahir et al. 2010 memasukkan variabel ini untuk mengkaji kerentanan pesisir sebagai salah satu variabel dari kerentanan wilayah pesisir terhadap kenaikan muka laut. Kelerengan memiliki korelasi dengan elevasi pantai dimana pantai yang datar akan memiliki kelerengan yang landai begitu sebaliknya. Kemiringan pantai berkaitan erat dengan kenaikan muka laut yang memberi dampak terhadap perendaman sarang. Kemiringan pantai pada penelitian ini diukur dengan menggunakan Clinometer Suunto PM5 dengan mengadopsi perhitungan kemiringan pantai seperti yang dikemukakan oleh Wenthworth 2001 yaitu …………………………...2 Klasifikasi kemiringan pantai dapat dibagi dalam lima kelas berdasarkan Pedoman Penyusunan Pola Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah 1986 adalah : Kelas Kemiringan Klasifikasi Kelas I 8 Datar Kelas II 8 - 15 Landai Kelas III 15 - 25 Agak curam Kelas IV 25 - 45 Curam Kelas V 45 Sangat curam dimana S = slope perubahan rata-rata muka laut terhadap waktu t = waktu tahun c = konstanta dimana S = Besar persen kemiringan lerengpantai n = Jumlah kontur yang memotong tiap diagonal jaring Ci = Kontur interval Ps = Penyebut skala peta a = panjang diagonal 100 1 x axPs Ci x n S           D. Monsun Monsun digambarkan sebagai fenomena angin laut akibat beda panas belahan bumi utara dan belahan bumi selatan yang dikaitkan dengan gerak semu matahari tahunan. Dalam penelitian ini, data monsun menggunakan data sekunder yang kemudian digambarkan secara deskriptif untuk melihat hubungan antara monsun dan musim peneluran. E. Laju Predasi Laju predasi sarang berhubungan dengan jumlah sarang yang dipredasi oleh hewan predator. Variabel ini diamati dengan melihat jumlah jejak predator yang menghitung jumlah sarang yang dirusak. Laju predasi dapat dihitung dalam kuantitatif seperti : ……………………………………….3

F. Pengambilan Telur Berdasarkan Sarang

Pengambilan telur penyu berdasarkan jumlah sarang merupakan bagian dari analisis pengambilan telur untuk mengetahui jumlah sarang yang terambil selama musim peneluran. Perhitungan jumlah total sarang adalah …..…………………………………………..4

G. Tangkapan Penyu

Penangkapan adalah kegiatan perburuan terhadap suatu objek tertentu untuk dimanfaatkan. Dalam penelitian ini penyu belimbing menjadi salah satu target dimana : LP : laju predasi sarang sarangKKpantaimusim peneluran Xi : jumlah total sarang rusak n : jumlah pantai m : musim peneluran dimana Pt : Total pengambilan sarang penyu sarangKKkampungmusim Xi : jumlah sarang terambil m : musim peneluran n : jumlah kampung m xi n LP i    1 1 m xi n Pt i    1 1 perburuan oleh masyarakat yang berdomisili di pesisir utara Tambrauw. Tangkapan penyu dianalisis untuk mengetahui jumlah tangkapan selama musim peneluran seperti : …………………………………………..5

3.6.2 Indeks Kepekaan A.

Tekstur Pasir Penyu laut memiliki insting yang sangat peka dalam memilih daerah peneluran salah satunya adalah karateristik pantai dengan substrat berpasir pada ukuran 500 mm sampai 500nm. Menurut Ackerman 1997, penyu menggali sarang dan meletakkan telur-telurnya disebuah pantai berpasir. Pantai berpasir tempat peneluran penyu merupakan inkubator serta memiliki suasana lingkungan yang sesuai bagi perkembangan embrio penyu. Iklim mikro yang sesuai untuk inkubasi telur penyu ditimbulkan dari adanya interaksi antara karakter fisik material, penyusun pantai, iklim lokal dan telur dalam sarang. Terkait dengan tekstur pasir, pada penelitian ini tekstur pasir diukur dengan menggunakan t_sieve masing-masing berukuran 4mm, 3.35mm, 2mjm, 1mm, 500nm, 500nm. Data pasir dianalisi secara deskriptif untuk mengetahui proporsi pasir dan sebaran tekstur pasir di pantai peneluran.

B. Kedalaman Sarang

Kedalaman sarang berkaitan dengan fluktuasi suhu dan keberhasilan penetasan. Semakin dalam sarang berpengaruh terhadap keberhasilan penetasan karena fluktuasi suhu dan kelembaban dibandingkan dengan kedalaman sarang yang lebih dangkal. Data kedalaman sarang dianalisis secara deskriptif untuk melihat rataan kedalaman sarang dari permukaan sarang keatas sarang dan dari permukaan sarang ke dasar sarang. dimana TP : Total tangkapan penyu ekorKKkampungmusim Xi : jumlah ekor penyu yang tertangkap m : musim peneluran n : jumlah kampung m xi n TP i    1 1

C. Konsumsi Telur

Telur penyu merupakan bagian sumberdaya penyu yang diminati masyarakat untuk dimanfaatkan. Konsumsi telur dianalisis untuk mengetahui jumlah konsumsi masyarakat terhadap telur penyu belimbing selama musim peneluran. …………………………………6

D. Konsumsi daging

Laju konsumsi daging dianalisis untuk mengetahui jumlah konsumsi daging Penyu Belimbing dari hasil perburuan masyarakat selama musim peneluran. Adapun model kuantitatif dari laju konsumsi daging penyu sebagai berikut : …………………………………7

E. Tangkapan Sampingan

Laju tangkapan sampingan dari aktivitas perikanan sangat mempengaruhi jumlah populasi. Tangkapan sampingan dianalisis untuk mengetahui jumlah yang terjaring. Bentuk kuantitatif tangkapan sampingan adalah …………………………………8 dimana : LKtel : Laju konsumsi telur butirkampungmusim peneluran Xi : jumlah telur yang n : jumlah kampung m : musim peneluran Dimana LKd : Laju konsumsi daging kgKKkampungmusim peneluran Xi : jumlah total kg daging yang di konsumsi n : jumlah kampung m : musim peneluran dimana LTs : Laju tangkapan sampingan ekorkapal trip Xi : jumlah penyu yang tertangkap n : jumlah kampung m : musim peneluran m xi n LKtel i    1 1 m xi n LKd i    1 1 m xi n LTs i    1 1

3.6.3 Indeks Kapasitas Adaptif A.

Relokasi Sarang Relokasi sarang adalah salah satu konsep adaptasi dan konservasi untuk meningkatkan sukses penetasan pada sarang semi alami. ………………………….λ

B. Perlindungan Habitat

Konservasi in-situ merupakan perlindungan habitat suatu spesies untuk mengurangi hilangnya habitat alami dan penyebab kepunahan spesies dalam IUCN 2003 disarikan dalam Eken et al. 2004. Menurut Balmford et al 1996 bahwa konservasi in-situ merupakan suatu pertimbangan yang paling efektif dan biaya yang efisien dalam menghentikan kecepatan penurunan suatu populasi. Dalam penelitian ini perlindungan habitat didasarkan pada jumlah luasan daerah konservasi dan program konservasi oleh pemerintah dalam melindungi habitat peneluran dan sumberdaya penyu belimbing.

C. Persepsi Masyarakat

Persepsi masyarakat adalah pandangan yang bersifas situasional terhadap suatu kondisi yang terjadi dilokasi tertentu. Persepsi masyarakat terkait dengan seberapa besar pengetahuan masyarakat terhadap perlindungan penyu. Variabel ini menjadi salah satu penyusun indeks kapasitas adaptif karena persepsi penting dalam keberlanjutan konservasi didalam suatu kawasan. Data persepsi digambarkan untuk mengetahui pendapat masyarakat tentang kegiatan konservasi berdasarkan hasil wawancara dan observasi lapangan. dimana : RS : Relokasi sarang sarangpantaimusim peneluran Xi : jumlah total sarang yang direlokasi n : jumlah pantai m : musim peneluran m xi n RS i    1 1

D. Potensi Konflik

Potensi konflik merupakan kendala dalam implementasi konservasi. Konflik dalam penelitian akan diidentifikasi berdasarkan sumber konflik dan pemetaan sumber konflik.

E. Peran Pemeritah Daerah

Pemerintah daerah memiliki fungsi terbesar dalam keberlanjutan suatu kawasan konservasi. Adanya kebijakan dan penatakelola, maka pengelolaan kawasan konservasi akan tertata kearah ideal demi meningkatkan keberlanjutan kawasan dan keberlangsungan hidup spesies. Data peran pemerintah ditampilkan secara deskriptif berdasarkan hasil wawancara.

3.6.4 Penyusunan Indeks Kerentanan Populasi

Konsep kerentanan yang dipakai dalam penelitian ini seperti dikemukakan oleh Tuner et al. 2003 yang menjelaskan kerentanan merupakan fungsi overlay dari keterpaparan, kepekaan dan kapasitas adaptif yang kemudian diekspresikan dalam bentuk matematika oleh Metzger et al 2006 in Tahir 2010 sebagai berikut V = f K.S.AC ……………………...………………………………….10 Fungsi ini diekspresikan lebih lanjut dalam bentuk persamaan matematika dan diformulasikan oleh Tahir 2010 dan memiliki kesamaan dengan yang dikembangkan oleh Unu-ehs 2006 menjadi V = K S AC ………………………………………………………….11 Dengan menjabarkan variabel kerentanan yang diadopsi dari Polsky et a.l 2007, maka dimensi keterpaparan, kepekaan dan kapasitas adaptif dapat dirumuskan sebagai berikut K = SPSR+M+LP+KP+PPPTTM ………………………………….12 Dengan menggunakan pendekatan signifikansi dari masing-masing variabel untuk menentukan bobot yang lebih besar terhadap kerentanan populasi, maka persamaan 12 dapat di tulis lebih lanjut IK menjadi IK = α 1 SPSR+ α 2 M+ α 3 LP+ α 4 KP+ α 5 PPPTTM ………….13 Dengan menggunakan pendekatan yang sama, maka kategori kepekaan dapat dituliskan menjadi S = SP+Tp+KS+KTKDTS ………………………………………….14 Dengan memberikan bobot yang lebih besar pada variabel yang dianggap memiliki signifikansi yang lebih besar terhadap kerentanan populasi, maka persamaan 14 dapat ditulis lebih lanjut IK menjadi IK = β 1 SP+ β 2 TP+ β 3 KS+ β 4 KTKDTS …………………15 Adapun dimensi KA dapat ditulis sebagai berikut KA = SR + PH + PM + PK ……………..………………………….16 Seperti halnya dengan kategori dari keterpaparan dan kepekaan, maka variabel dari kategori kapasitas adaptif juga memiliki signifikasi yang berbeda dengan memberikan bobot pada tiap variabel maka persamaan 17 dapat ditulis menjadi ICA adalah ICA = у 1 SR + у 2 PH + у 3 PM + у 3 PK ………………………….17 3.6.5 Penentuan Bobot Parameter Kerentanan Penentuan bobot variabel kerentanan dilakukan dengan pendekatan matriks perbandingan berpasangan yang dikembangkan oleh Saaty 1991. Pendekatan ini sejalan dengan pendapat Villa dan McLeod 2002 in Tahir 2010 bahwa salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam matriks pembobotan menggambarkan pengaruh relatif setiap variabel terhadap masing-masing tujuan atau kriteria yang setingkat diatasnya. Prosedur pembobotan variabel kerentanan populasi Penyu Belimbing dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Memberikan nilai signifikansi setiap variabel kerentanan populasi penyu belimbing baik dari faktor lingkungan maupun faktor antropogenik 2. Menyusun matriks perbandingan dari masing-masing variabel kerentanan sebagai berikut : C 1 C 2 ….. C n A= a ij = C 1 1 a 12 …. a 1n C 2 1 a 12 1 …. 1 a 2n …… ….. ….. ….. ….. C n 1 a 1n 1 a 2n ….. 1 3. Menghitung eigen value setiap baris dengan menggunakan formula …………………………………………18 wi wj aij i n j . 1     C 1 , C 2 ….C n dan bobot pengaruhnya adakah w1, w2,……, wn. Misalnya aij = wiwj menunjukkan kekuatan C 1 jika dibandingkan Cj. Matrik dari angka- angka aij yang diberi simbol A merupakan matriks reciprocal, sehingga aij = 1aij. Jika zi…….., zn adalah angka-angka yang memenuhi persamaan Aw= w dimana merupakan eigen value darti matriks A dan jika aij = 1 untuk semua I, maka ………………………………………………. 1λ 4. Menguji konsistensi setiap matriks berpasangan antar alternatif dengan rumus masing-masing elemen matriks berpasangan pada langkah 3 dikalikan dengan nilai prioritas kriteria. Hasil masing-masing baris di jumlahkan, kemudian hasilnya dibagi dengan masing- masing nilai prioritas keriteria sebanyak n . Menghitung lamda max max dengan formula μ ………………………… ... ……………………………………20 Consistensy indeks CI dihitung dengan formula matematik : ……………………………………21 Consistensy Ratio CR dihitung dengan formula matematika : …….……………………………………………………22 RC adalah nilai yang berasal dari tabel acak seperti Tabel 9. Jika CR 0,1 maka nilai perbandingan berpasangan pada matriks kriteria yang diberikan konsisten. Jika CR 0.1, maka nilai perbandingan berpasangan pada matriks kriteria yang diberikan tidak konsisten. Jika tidak konsisten, maka pengisian nilai nilai pada matriks berpasangan oleh setiap parameter harus diulang. Hasil akhirnya berupa prioritas global sebagai nilai yang digunakan oleh pengambil keputusan berdasarkan skor yang tertinggi. Tabel 9. Random consistensy RC n 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 RC 0.00 0.00 0.58 0.90 1.12 1.24 1.32 1.41 1.45 1.49 1.51 n i n i   1  n i i n i    1 max   1 max    n n CI  RC CI CR 

3.6.6 Standarisasi dan Komposit Indeks Kerentanan

Variabel penyusun indeks yang terukur mempunyai unit yang berbeda sehingga perlu dilakukan standarisasi unit atau satuan Briguglio 1995; Atkinson et al .1997; Adrianto dan Matsuda 2004 adalah ……………………………………………… 23 j= VSPi, SLRKPi, Mi, LPi, PTi, Tmi, SPi, TPi, KSi, KT, KDi, BCi, Sri, Phi, PMi, PKi, PPi. dimana : SVij : Standarisasi variabel j pada populasi ke i : Nilai dari variabel j untuk populasi i : Nilai minimum variabel j untuk semua variabel didalam indeks keterpaparan, kepekaan dan kapasitas adaptif : nilai maksimum variabel j untuk semua variabel didalam indeks keterpaparan, kepekaan dan kapasitas adaptif IK : Indeks keterpaparan kerentanan populasi VSP : Variasi suhu pasir ke i SLRKP : Kenaikan muka laut dan kemiringan pantai ke i M : Monsun ke i LP : Laju predasi ke i PM : Pengambilan telur ke i TM : Tangkapan masyarakat ke i IS : Indeks kepekaan kerentanan populasi SP : Suhu pasir ke i TP : Tekstur pasir ke i KS : Kedalaman sarang ke i KT : Konsumsi telur ke i KD : Konsumsi daging ke i BC : Tangkapan sampingan ke i IKA : Indeks kapasitas adaptif kerentanan populasi SR : Sarang relokasi ke i PH : Perlindungan habitat ke i PM : Persepsi masyarakat ke i Pk : Potensi konflik ke i PP : Peran pemerintah daerah ke i Perbedaan nilai dari setiap variabel dapat ditarik sebuah kesimpulan sesuai dengan asumsi dan tujuan dengan banyaknya variabel indeks yang disertakan Briguglio 1995; Adrianto dan Matsuda 2004. Pada penelitian ini masing masing          Xj Xj Xj Xij SVij min max min tujuan kerentanan populasi disusun secara additif dan multiplikastif sebagai berikut : a. Komposit indeks keterpaparan kerentanan populasi penyu belimbing PVI IK = ……………… 24 dimana PVI IKi : Komposit indeks keterpaparan kerentanan populasi penyu belimbing svVSPi : Nilai standarisasi variabel dampak variasi suhu pasir pada populasi penyu belimbing ke i svSLRKPi : Nilai standarisasi variabel dampak kenaikan muka laut dan kemiringan pantai pada populasi penyu belimbing ke i svMi : Nilai standarisasi variabel dampak monsun pada populasi penyu belimbing ke i svLPi : Nilai standarisasi variabel dampak laju predasi pada populasi penyu belimbing ke i svPTi : Nilai standarisasi variabel dampak pengambilan telur pada populasi penyu belimbing ke i svTMi : Nilai standarisasi variabel dampak tangkapan masyarakat pada populasi penyu belimbing ke i b Komposit indeks kepekaan kerentanan populasi penyu belimbing PVI IK = …………………25 PVI IKi : Komposit indeks kepekaann kerentanan populasi penyu belimbing svSPi : Nilai standarisasi variabel dampak suhu pasir pada populasi penyu belimbing ke i svTPi : Nilai standarisasi variabel dampak tekstur pasir pada populasi penyu belimbing ke i svKSi : Nilai standarisasi variabel dampak kedalaman sarang pada populasi penyu belimbing ke i svKTi : Nilai standarisasi variabel dampak konsumsi telur pada populasi penyu belimbing ke i svKDi : Nilai standarisasi variabel dampak konsumsi daging pada populasi penyu belimbing ke i svBCi : Nilai standarisasi variabel dampak tangkapan sampingan perikanan pada populasi penyu belimbing ke i c. Komposit indeks kapasitas adaptif kerentanan populasi penyu belimbing PVI IKA = …………………26                              09 . 09 . 12 . 18 . 18 . 35 . i BC SV i KD SV i KT SV i KS SV i TP SV i SP SV                              09 . 09 . 18 . 12 . 18 . 35 . i TM SV i PT SV i M SV i LP SV i KP SLR SV i SP SV                           10 . 14 . 14 . 21 . 41 . i PP SV i PK SV i PM SV i PH SV i SR SV Dimana PVI IKAi : Komposit indeks kapasitas adaptif kerentanan populasi penyu belimbing svSRi : Nilai standarisasi variabel dampak sarang relokasi pada populasi penyu belimbing ke i svPHi : Nilai standarisasi variabel dampak perlindungan habitat pada populasi penyu belimbing ke i svPMi : Nilai standarisasi variabel dampak persepsi masyarakat pada populasi penyu belimbing ke i svPKi : Nilai standarisasi variabel dampak potensi konflik pada populasi penyu belimbing ke i svPPi : Nilai standarisasi variabel dampak peran pemerintah pada populasi penyu belimbing ke i d. Komposit indeks kerentanan populasi D.coriacea PVI = …………27 dimana :

3.6.7 Penentuan Tingkat Kerentanan

Penentuan tingkat kerentanan dikembangkan Kaly et al. 2004 dengan rujukan dari Bruguglio 1995: Adrianto and Matsuda 2002;2004. Kaly et al. 2004 mengelompokkan kedalam lima tingkatan yaitu “resilient” merupakan tingkat kerentanan paling bawah yang menunjukkan sifat lingkungan dalam keadaan tidak adanya potensi dampak yang membahayakan atau memiliki kapasitas lingkungan yang besar; kedua “at risk” menunjukkan kondisi sifat lingkungan yang sedang menghadapi bahaya atau beresiko; ketiga “vurnerable“ tingkat kerentanan yang menunjukkan lingkungan sudah berbahaya sedangμ “high vurne rable”tingkat kerentanan keempat yang menunjukkan kondisi lingkungan sudah berbahaya tinggi dan lima “extremely vurnerable” merupakan tingkatan kerentanan tertinggi yang menunjukkan kondisi lingkungan sudah sangat tinggi. PVI KSKAi : Komposit indeks kerentanan populasi penyu belimbing PVIKi : Komposit indeks keterpaparan populasi penyu belimbing ke i PVISi : Komposit indeks kepekaan populasi penyu belimbing ke i PVIKAi : Komposit indeks kapasitas adaptif populasi penyu belimbing ke i 0.4; 0,4; 0.2 : Bobot pertimbangan pada masing masing fungsi indeks kerentanan yaitu indeks keterpaparan, indeks kepekaan dan indeks kapasitas adaptif                   2 . 4 . 4 . IKA PVI i IS PVI i IK PVI Bruguglio 1995: Adrianto dan Matsuda 2002; 2005 menunjukkan tingkat kerentanan secara kuatitatif berdasarkan hasil standarisasi variabel SV atau komposit indeks kerentanan CVI dengan kisaran nilai 0 hingga 1 0CVI1 yang artinya nilai batas bawah memiliki tingkat kerentanan rendah dan nilai batas atas memiliki nilai kerentanan tinggi, sedangkan nilai pertengahan menunjukkan tingkat kerentanan sedang. Pada penelitian kerentanan populasi ini mengacu pada nilai kerentanan Bruguglio 1995: Adrianto dan Matsuda 2002;2004 dengan membagi sesuai dengan tingkatan kerentanan kuantitatif dari Kaly et al. 2004. Metode ini dikembangkan berdasarkan pertimbangan nilai standarisasi dan pembobotan dari masing-masing variabel penyusunnya. Adapun level dalam kerentanan dijabarkan pada Tabel 10. Tabel 10. Penentuan tingkat kerentanan populasi Nilai CVI Level Kerentanan 0.0 ≤ CVI ≤ 0.2 Tidak rentan 0.2 ≤ CVI ≤ 0.4 Kerentanan rendah 0.4 ≤ CVI ≤ 0.6 Kerentanan sedang 0.6 ≤ CVI ≤ 0.8 Kerentanan tinggi 0.8 ≤ CVI ≤ 1.0 Kerentanan ekstrim

3.7 Skenario Pengelolaan Keberlanjutan Kawasan Konservasi Laut Daerah Abun dengan