Setiap matriks pairwise comparison kemudian dicari nilai eigen vectornya untuk mendapatkan local priority. Oleh karena matriks pairwise comparison terdapat
pada setiap tingkat, untuk mendapatkan global priority harus dilakukan sintesis antara local priority. Urutan elemen-elemen menurut kepentingan relatif melalui
prosedur sintesis dinamakan priority setting. Berdasakan pendekatan ini, bobot setiap parameter dimensi keterpaparan, kepekaan dan kapasitas adaptif
ditampilkan pada Tabel 27 Tabel 27. Bobot variabel kerentanan populasi
Variabel Bobot
Dimensi keterpaparan Variasi suhu pasir
VSP 0,35
Kenaikan muka laut x kemiringan pantai SLR x KP
0,18 Monsun
M 0,18
Laju Predasi LP
0,12 Pengambilan Telur
PT 0,09
Tangkapan Masyarakat TM
0,09 Dimensi kepekaan
Suhu pasir SP
0,34 Teksture pasir
TP 0,17
Kedalaman sarang KS
0,17 Konsumsi telur
KT 0,11
Konsumsi daging KD
0,09 Tangkapan sampingan
BC 0,09
Dimensi kapasitas adaptif Sarang relokasi
SR 0,41
Perlindungan habitat PH
0,21 Pengetahuan masyarakat
PM 0,14
Potensi konflik PK
0,14 Peranan Pemerintah
PP 0,10
5.4.2 Sistem Lingkungan 5.4.2.1 Suhu dan Variasi Suhu Pasir
Suhu pasir menjadi salah satu indikator penting dalam menentukan keberhasilan penetasan telur selama masa inkubasi. Tabel 28 menunjukkan rata
rata suhu pasir di Pantai Jamursba Medi dan Wermon berfluktuasi dengan kisaran 27.31
C sampai 30.83 C tahun 2009. Berbeda dengan suhu pasir tahun 2010
yang cenderung konstan dengan kisaran 28.42 C sampai 29.78
C. Adanya perbedaan suhu pasir pada kedua pantai peneluran dan tahun yang berbeda
disebabkan frekuensi curah hujan dan kemarau yang tidak menentu sepanjang
tahun sehingga mempengaruhi fluktuasi suhu udara suhu pasir. Selain pengaruh iklim, tipe pasir dan kedalaman sarang juga mempengaruhi fluktuasi suhu pasir.
Secara jelasnya suhu pasir di pantai peneluran Jamursba Medi dan Wermon ditampilkan pada Tabel 28.
Tabel 28. Suhu Pasir pada plot pengamatan di Pantai Jamursba Medi dan Wermon 20092010 Jamurba Medi April-Oktober dan Wermon November-
Maret Pantai Peneluran
2009 2010
Rata±SD min-max C
Rata±SD min-max C
Jamursba Medi Wembrak
30.44±1.2224.54-34.57 29.78±1.1026.60-33.75
Baturumah
30.83±1.6824.47-33.56 29.94±1.1226.08-32.89
Warmamedi
29.36±1.2224.43-33.82 28.42±0.7826.06-33.00
Wermon
27.31±1.6024.41-33.34 29.79±0.7526.08-33.96
Sumber : Data primer 2012
Nilai minimum pada Tabel 28 terlihat peningkatan suhu pasir dari 24 C
menjadi 26 C pada tahun 20092010. Adanya peningkatan suhu pasir ini
dipengaruhi oleh peningkatan suhu global. Sebagaimana diketahui bahwa suhu global di tahun 2010 meningkat signifikan dan oleh BMG menyatakan bahwa
tahun 2010 merupakan tahun dengan suhu udara terpanas. Hal yang sama juga disampaikan Trendberth et al. 2007 in Poloczanska et al. 2009 menyatakan
rata-rata suhu global meningkat sekitar 0.74 C dalam 100 tahun terakhir menjadi
lebih hangat. Peningkatan suhu secara global ini mempengaruhi fluktuasi suhu pasir Gambar 30 yang diprediksi mempengaruhi perkembangan embrio penyu
bahkan proses sukses penetasan telur dan ratio seks dari tukik yang dihasilkan Hansen et al. 2006; IPCC 2007 in Poloczanska et al. 2009 .
Gambar 30 menunjukkan variasi suhu pasir sangat berfluktuasi dan cenderung mengalami perubahan pada plot pengamatan. Suhu pasir dengan
fluktuasi yang besar terlihat di pantai Baturumah dengan kisaran 22 - 34 C.
Besarnya fluktuasi suhu pasir plot dipengaruhi lingkungan plot pengamatan dan tersebut dan proporsi pasir yang berukuran sedang mencapai 24.14 lebih banyak
dibandingkan ketiga pantai lainnya. Novitawati et al. 2003 menyatakan bahwa komposisi dan diameter butiran pasir berpengaruh terhadap kepadatan pasir dan
porositas. Hal ini berkaitan dengan kemampuan pasir menyimpan air dan menahan laju penguapan sehingga akan mempengaruhi perubahan suhu pasir dan
suhu sarang. Suhu pasir plot ditiga pantai lainnya cenderung meningkat seperti Wembrak, Warmamedi dan Wermon berkisar antara 25 - 34
C tetapi tidak ada perbedaan signifikan dibandingkan dengan suhu pasir plot di pantai Baturumah.
Variasi suhu pasir perbulan mempengaruhi periode inkubasi telur dalam sarang dan seksualitas tukik yang dihasilkan. Gambar 31 menyajikan variasi suhu
pasir perbulan pada empat pantai selama musim peneluran. Hasil ini menjelaskan distribusi suhu pasir perbulan pada pantai Jamursba Medi dan Wermon. Variasi
suhu perbulan ditiga pantai di Jamursba Medi terlihat menyebar merata dengan rata rata 28 - 29
C tetapi menurun ketika memasuki bulan Oktober. Hal ini disebabkan pada bulan Oktober, frekuensi curah hujan cenderung tinggi terutama
di Kabupaten Sorong dan sekitarnya termasuk pesisir Tambrauw. BMG 2012 menyatakan intensitas curah hujan pada bulan oktober adalah 342.8 dengan
jumlah hari hujan adalah 23 hari. Variasi suhu pasir perbulan dipantai Wermon seperti Gambar 31 terlihat
konstan yang berkisar antara 27 - 31 C. Variasi suhu pasir perbulan di Jamursba
Medi dan Wermon menunjukkan variasi yang berkisar antara 26 - 33 C yang
hampir sama dengan variasi suhu pasir penyu pada umumnya. Apabila dikaitkan dengan periode inkubasi maka suhu pasir dikedua pantai ini sesuai dengan suhu
W n
6 W
n 5
`W n
4 W
n 3
W n
2 W
n 1
W i 4
W i 3
W i 2
W i 1
b W
i 1 W
k 6 W
k 5 W
k 4 W
k 3 W
k 2 W
k 1 Br
3b Br
3 Br
2 Br
1
34 32
30 28
26 24
22
S u
h u
P as
ir C
Plot pengamatan Baturumah BR, Wembrak Wk, Warmamedi Wi dan Wermon Wn
Gambar 30. Variasi suhu pasir di plot pengamatan Pantai Baturumah 21 April
–2 Oktober 2010 , Wembrak 22 April–1 Oktober 2010, Warmamedi 23 April-3Oktober 2010 dan Wermon 11
November 2010-31 Maret 2011.
masa inkubasi yang berkisar 25 - 33 C Miller 1985, Spotila and Standora 1985
in Fuentes et al. 2009. Data ini bisa diestimasi dimana masa inkubasi bervariasi
mulai dari 60 - 85 hari.
Periode inkubasi dengan kisaran suhu perbulan maka diperkirakan proporsi seksualitas tukik yang dihasilkan akan bervariasi baik jantan maupun betina. Pada
suhu pasir diatas 29 - 33 C akan menghasilkan tukik betina sementara suhu pasir
dibawah 29 - 24 C akan menghasilkan tukik jantan, apabila suhu pasir sama
dengan 29 C selama masa inkubasi maka peluang tukik yang dihasilkan 50
untuk betina dan 50 untuk jantan Fuentes et al. 2009. Periode inkubasi menurun seiring dengan meningkatnya suhu pasir Bustard and Greenham1968;
McGehee 1979; Miller 1982; Limpus et al. 1973 in Matsuzawa et al. 2001. Suhu pasir yang mendekati kisaran suhu tertinggi 33
C akan menghasilkan sukses penetasan yang dicirikan dengan adanya kelainan bentuk morfologi dan kematian
Miller 1985; Spotila and Standora 1985 in Fuentes et al. 2009.
5.4.2.2 Kenaikan Muka Laut
Trend kenaikan muka laut di Pesisir Utara Papua mengikuti pola linier dengan kenaikan rata-rata per tahun adalah 7.6 mm seperti pada Gambar 32 dan
33. Data terakhir dengan satelit Jason dan Altimetri ditemukan bahwa kenaikan rata rata di Indonesia berkisar antara 5 mm sampai 1 cm per tahun dengan
Ma r_
W n
Fe b_
W n
Ja n_
W n
De s_
W n
No v_
W n
Ok t _
W k
Se p_
W k
Ag t_
W k
Ju l_
W k
Ju n_
W k
Me i_
W k
Ap r_
W k
O kt
_W i
Se p_
W i
Ag t_
W i
Ju l_
W i
Ju n_
W i
Me i_
W i
Ap r_
W i
O kt
_B R
Se p_
BR Ag
t_ BR
Ju l_
BR Ju
n_ BR
Me i_
BR Ap
r_ BR
34 33
32 31
30 29
28 27
26
S u
h u
P as
ir C
Baturumah Wembrak
Warmamedi Wermon
Gambar 31. Variasi Suhu Pasir di Pantai Jamursba Medi dan Wermon per bulan 20102011.
proporsi terbesar adalah kawasan timur Indonesia, salah satunya adalah pesisir Utara Kepala Burung. Skala dan trend kenaikan muka laut ditampilkan pada
Gambar 32 dan 33. Posisi geografis Jamursba Medi dan Wermon, terletak pada 0
21
‟
S, 132
33
‟
E dan Wermon terletak 0 26
‟
S, 132 50
‟
E yang berbatasan langsung dengan samudra Pasifik menjadikan daerah ini rentan terhadap kenaikan muka
laut. Topografi Jamursba Medi yang relatif datar rata-rata kemiringan 1.037 membuat area daratan yang terendam lebih kecil dibandingkan pantai Wermon.
Sedikit berbeda dengan Wermon yang relatif landai dengan kemiringan 13.64 beresiko merendam daratan pantai dalam area yang lebih besar.
Kenaikan muka laut diperkirakan meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun kedepan. Hasil proyeksi IPPC 2010 in Poloczanska et al. 2009
menunjukkan adanya kemungkinan kenaikan muka laut mencapai 18 - 59 cm pada tahun 2100 dan berpotensi adanya tambahan kenaikan muka laut antara 10 sampai
20 cm karena mencairnya lapisan es dan gletser Overpeck et al. 2006; McInnes and O‟Farrell 2007; Meehl et al. 2007 in Poloczanska et al. 2009.
Skala kenaikan
muka lau
t
mmtahun
Gambar 32. Skala kenaikan muka laut di Pesisir Utara Kepala Burung Papua 1993-2011. Altimetri 2012
Hubungan kenaikan muka laut terhadap penurunan populasi penyu belimbing adalah potensi limpasan air pada pasang tinggi terhadap sarang. Selain
itu, potensi rendaman akibat kemunduran garis pantai juga mempengaruhi sarang mengakibatkan gagal menetas. Limpus et al. 2003 in Fuentes et al. 2009
menyatakan bahwa dalam 10 tahun terakhir persentase sukses penetasan telur Penyu di Reine Island menurun yang diduga disebabkan oleh tingginya proporsi
air dalam sarang, adanya proses geomorfik dan kenaikan muka laut diduga berperan dalam frekuensi genangan sarang. Berdasarkan teori ini, maka perlu
diketahui potensi rendaman yang terjadi akibat kenaikan muka laut di pesisir utara kepala burung Papua. Potensi rendaman perlu diketahui untuk memprediksi
berapa luasan pantai peneluran yang terendam dan seberapa besar resiko terhadap sarang-sarang penyu. Potensi rendaman pantai peneluran yang terjadi di Jamursba
Medi dan Wermon tersaji pada Tabel 29. Tabel 29. Potensi rendaman pantai peneluran terhadap kenaikan muka laut
Pantai Lebar
kelerengan m
Panja ng
m Luas
m2 Rata
kemiringan Potensi
limpasan meter
Kemunduran garis
pantai m Wembrak
48.5 7500
363750 1.25
1.088 0.0059
Baturumah
51.87 4000
207200 0.95
1.840 0.0070
Warmamedi
60.48 5400
326700 0.93
0.929 0.0082
Wermon
21.71 6000
130260 13.64
6.494 0.0006
Sumber : Data primer 2012
Gambar 33. Trend kenaikan muka laut di Pesisir Utara Papua berdasarkan Altimetri 1993-2011.
Empat skenario potensi rendaman berdasarkan IPCC 2010 Fuentes et al. 2010 yang terdiri dari skenario 1.0.18 m, skenario 2.0.35 m, skenario 3.0.59 m dan
skenario 4.0.79 m seperti pada Gambar 34.
Hasil skenario pada Gambar 34 menunjukkan bahwa pantai Wermon berpotensi merendam area sebesar 0.054 - 0.24 m. Kondisi sama juga terlihat
dipantai Baturumah, Wembrak dan Warmamedi berpotensi terendam dengan area rendaman cenderung kecil yaitu 0.002 - 0.018 m. Adanya perbedaan potensi
rendaman pada empat pantai ini terkait dengan elevasi dan kemiringan pantai. Tabel 29 menyatakan bahwa pantai Wermon terklasifikasi landai dengan lebar
pantai yang sempit menyebabkan area perendaman semakin tinggi. Potensi rendaman di pantai Warmamedi, Wembrak dan Baturumah relatif sama dimana
area yang terendam cenderung kecil. Hal ini disebabkan ketiga pantai yang terklasifikasi datar dan landai menyebabkan tinggi muka laut yang merendam area
daratan cenderung lebih kecil. Pengurangan area daratan akan mempengaruhi kepadatan sarang dan berpotensi meningkatkan infeksi sarang terutama sarang
yang terletak dibawah batas pasang terendah Fuentes et al. 2009. Dampak dari naiknya muka laut disebabkan oleh badai yang menyebabkan pantai peneluran
akan terabrasi dan terakresi secara periodik. Kondisi ini diperkirakan mempengaruhi perkembangan telur dalam sarang dan menyebabkan kematian
Gambar 34. Potensi rendaman akibat kenaikan muka laut di pantai peneluran di Jamursba Medi dan Wermon berdasarkan skenario IPPC 0.18, 0.35,
0.59 dan 0.79 mtahun
embrio dalam telur karena tingginya potensial air, perubahan suhu pasir dan kelembaban dalam sarang
5.4.2.3 Kemiringan Pantai
Kemiringan pantai berhubungan erat dengan tipe pantai, daerah intertidal dan pembentukan zona gelombang pecah. Pantai Jamursba Medi dan Wermon
termasuk pantai lurus dan panjang dari pesisir datar. Pantai ini terletak ditepian samudera dengan agitasi kuat gelombang serta memiliki sejumlah muara sungai
kecil berjajar dengan asupan sedimen yang dapat membentuk garis lurus dan panjang pantai berpasir. Erosi terjadi bila terjadi ketidakseimbangan lereng dasar
perairan dan asupan sedimen Hantoro 2006 in Kalay 2008. Kemiringan dikedua pantai menunjukkan perbedaan dimana Jamursba Medi
dengan persentasi kemiringan 1.037 termasuk dalam klasifikasi pantai datar, sedangkan Wermon adalah 13.64 termasuk klasifikasi landai Tabel 29 dan 30.
Berdasarkan pengamatan lapangan penyu mampu mencapai pantai dengan kemiringan 45
, namun pantai yang landai lebih memudahkan penyu untuk menemukan tempat bersarang yang tepat dan memilih lokasi bersarang diatara
pasang tertinggi dan pasang terendah atau pada zona supratidal. Tabel 30. Persentase kemiringan pantai peneluran Jamursba Medi dan Wermon
Pantai Peneluran Kemiringan
Kelas Rata
Klasifikasi Jamursba Medi
1.095 Datar
Wembrak 1.25
1 Baturumah
1.08 1
Warmamedi 0.93
1 Wermon
13.64 IV
13.64 Landai
Rata keseluruhan II
14.74 Landai
Sumber : Data Primer 2012
Kemiringan pantai berkorelasi dengan kenaikan muka laut dimana semakin datar topografi pantai maka kenaikan muka laut cenderung rendah
dengan potensi rendaman terhadap daratan cenderung kecil. Berbeda jika pantai berbentuk landai maka muka laut akan semakin meningkat dan potensi rendaman
akan semakin besar dan berdampak pada penyempitan lebar pantai. Elevasi pantai berkorelasi dengan muka laut. Semakin tinggi elevasi pantai maka kenaikan muka
laut potensi rendaman area pantai cenderung kecil, berbeda apabila elevasi pantai rendah maka kemungkinan rendaman area pantai cenderung besar. Fuentes el al.
2009 menyatakan bahwa semakin tinggi nilai elevasi pantai peneluran maka
potensi rendaman akan semakin rendah begitupun ketika elevasi pantai bernilai rendah maka potensi rendaman daratan cenderung tinggi.
5.4.2.4 Monsun
Wilayah Papua termasuk salah satu wilayah yang dipengaruhi monsun. Sebagaimana diketahui dua monsun global yang mempengaruhi wilayah
Indonesia yaitu munson Asia dan monsun Australia. Angin monsun menunjukkan bahwa angin barat mulai terbentuk dan bertiup meskipun belum cukup stabil di
Indonesia selama bulan Desember. Kondisi ini berbeda apabila dibandingkan data klimatologi 1979 - 1995 menunjukkan bahwa angin monsun yang melewati
Indonesia pada bulan desember pada kondisi normal, karena terjadinya olakan anomali angin timur diatas perairan Papua dan sekitar.
Perairan Utara Kepala Burung Papua sangat terpapar untuk dilewati munson baik Asia Monsun dan Australia Monsun. Monsun Asia yang terjadi pada
bulan oktober sampai april ditandai dengan musim presipitasi yang tinggi dan musim penghujan dibagian barat Indonesia. Sementara monsun Australia terjadi
pada bulan April sampai Oktober yang ditandai dengan musim kemarau di wilayah timur Indonesia. Hubungan antara monsun dengan musim peneluran
Penyu Belimbing di Jamursba Medi dan Wermon dikaitkan dengan periode waktu yang sama. Musim peneluran yang mengikuti munson Asia adalah musim
peneluran di Wermon yang terjadi pada bulan November sampai Maret dengan puncak peneluran Desember sampai Februari. Sementara musim Jamursba Medi
mengikuti monsun Australia yang terjadi pada bulan April sampai September dengan musim puncak pada bulan Juni-Juli. Dokumentasi menyatakan tahun
2005-2007, monsun Asia selalu ditandai dengan musim ombak karena kecepatan angin yang berkisar antara 5 - 6 knottjam dengan arah angin dari dari timur ke
barat. Kondisi ini sangat berbeda apabila melihat pada Gambar 35 dimana kecepatan melemah bahkan negatif dan menunjukkan adanya musim teduh yang
panjang dari bulan November sampai Maret, sebelum masuk musim peralihan.
Hasil analisis secara simultan Uji F terlihat bahwa monsun berpengaruh nyata terhadap musim peneluran penyu di Jamursba Medi. 91 variasi yang
terjadi pada musim peneluran dipengaruhi oleh model yang dibangun Monsun Asia dan Australia, sedangkan 88 dipengaruhi oleh variabel lain diluar monsun.
Secara parsial pada selang kepercayaan 95 monsun Asia dan Australia singnifikan dan memiliki tanda negatif dimana artinya peningkatan kecepatan
angin Asia dan Australia menyebabkan penurunan musim peneluran dan sebaliknya. Peningkatan kecepatan monsun Asia sebesar 1 knottjam akan
mengurangi sarang selama musim peneluran sebesar 31,236 sarangmusim di Jamursba Medi. Selanjutnya pningkatan kecepatan monsun angin Australia pada 1
knotjam akan mengurangi jumlah sarang selama musim peneluran sebesar 67,72 sarang. Meskipun kedua monsun ini berpengaruh nyata tetapi monsun Australia
memiliki dampak lebih besar dibandingkan monsun Asia. Gambar 35.Indeks angin monsun Asia knotjam 2011-2012 sumber :
h
ttp:www.cpc.noaa.govproductsGlobal_MonsoonsAsian_MonsoonsFigure sIndexamindex_total_forecast.gif
Kondisi berbeda ditunjukkan oleh grafik monsun Australia pada Gambar 36, yang menunjukkan kecepatan angin melemah pada bulan Agustus-Oktober dan
mengalami peningkatan kecepatan pada bulan November – Maret. Hasil analisis
simultan uji f menunjukkan bahwa monsun berpengaruh nyata terhadap musim peneluran penyu Belimbing di Wermon. 77 Variasi yang terjadi pada musim
peneluran Wermon dipengaruhi monsun Asia dan Australia, sementara 69 dipengaruhi variabel luar lainnya. Apabila dikaji secara terpisah pada selang
kepercayaan diatas 95 monsun signifikan mempengaruhi dan memberi tanda negatif yang artinya semakin meningkat kecepatan angin monsun Asia dan
Australia menyebabkan penurunan musim peneluran. Peningkatan monsun Asia sebesar 1 knottjam akan mengurangi jumlah sarang sebanyak 12,872
sarangmusim, sementara apabila kecepatan monsun Australia sebesar 1 knottjam maka akan mengurangi jumlah sarang sebanyak 9,620 sarangmusim.
Terlihat bahwa kedua monsun ini berpengaruh nyata tetapi monsun Asia cenderung memiliki pengaruh dan berdampak besar dibandingkan monsun
Australia. Gambar 36. Indeks angin monsun Australia knotjam 2011-2012 sumber :
h
ttp:www.cpc.noaa.govproductsGlobal_MonsoonsAsian_MonsoonsFigure sIndexaminde
x_total_forecast.gif
Hubungan monsun Asia dan Australia terhadap musim peneluran populasi penyu belimbing tidak terjadi secara langsung terjadi tetapi melalui beberapa
proses. Monsun mempengaruhi kondisi oseanografi seperti arus, angin, suhu dan faktor lainnya, yang berdampak pada percampuran massa air dan proses lainnya.
Percampuran massa air laut merujuk pada proses upwelling kenaikan massa air dari dasar ke permukaan. Proses upwelling mempengaruhi kondisi lokal perairan
terutama kesuburan perairan. Kesuburan perairan ini menyebabkan terjadi peningkatan organisme pelagik seperti ikan kecil karena memanfaatkan nutrien
untuk makan dan bertumbuh. Kondisi ini dimanfaatkan oleh ubur-ubur laut yang merupakan predator dari juvenil ikan. Selain ubur ubur, penyu belimbing juga
berada diposisi menguntungkan karena ketersediaan ubur ubur yang merupakan pakan dari Penyu Belimbing. Ketersediaan pakan menjadi salah satu faktor
penunjang selama musim kawin dan musimn bertelur. Secara jelas hubungan monsun terhadap musim peneluran tersajikan pada Gambar 37.
Gambar 37. Hubungan antara monsun dan musim peneluran penyu belimbing
Monsun
Oseanografi Arus
Angin
Kondisi lokal Percampuran
massa air laut
Upwelling
Peningkatan pelagik
Agregasi Ubur ubur
Penyu Belimbing
Perilaku mencari makan ARS
Suhu laut
Proses kawin Proses bertelur
Monsun juga mempengaruhi pengaruhi pola sirkulasi arus permukaan terutama pada kedalam 100-300 meter Rizal et al. 2009. Arus yang terbentuk
dari monsun disebut dengan arus monsun ARMONDO yaitu arus laut yang terbentuk akibat dorongan angin monsun yang bersifat musiman baik dari monsun
Australia maupun Asia Rizal et al. 2009. Pola sirkulasi arus laut yang terbentuk akibat monsun di pantai Jamurba Medi didominasi oleh monsun Australia. Pada
monsun ini arus akan bergerak dari Australia menuju Asia, dikarenakan pengaruh angin monsun timur dimana pola pergerakan arus ini terjadi pada periode bulan
Juni sampai Agustus Widyastuti et al. 2002. Sementara pola sirkulasi arus laut terhadap musim Wermon didominasi oleh monsun Asia dengan membentuk arus
yang bergerak dari Asia menuju ke Australia, dikarenakan pengaruh angin monsun barat, dimana rata-rata pola pergerakan arus ini terjadi pada periode
bulan Desember sampai Februari Widyastuti et al. 2002. Monsun timur atau monsun Australia memperlihatkan sirkulasi arus dari
samudera Pasifik melewati Selat Makassar membelok ke Laut Jawa dengan kecepatan 20-30 cmdetik dan sebagian juga membelok ke timur menuju
Samudera Pasifik dengan kecepatan 60 – 100 cmdetik melalui Laut Buru dan
Laut Maluku Rizal et al. 2009. Arus yang mengalir sekitar perairan Papua bergerak menuju laut Banda dan laut timor. Di sisi lain dari Laut Arafuru, arus
mengalir menuju Samudera Hindia dengan kecepatan 40 - 80 cmdetik yang akhirnya bergerak ke arah perairan selatan Jawa Rizal et al. 2009.
Pola sirkulasi arus permukaan pada monsun barat atau monsun Asia di perairan Indonesia Timur, memperlihatkan pola arus yang melewati Selat
Makassar menuju ke selatan dan membelok ke timur dengan kecepatan arus 40 cmdetik dan dilanjutkan ke Samudera Pasifik dengan kecepatan 40
– 100 cmdetik melalui Laut Buru dan Laut Maluku serta ke Laut Banda dan Laut
Arafuru sekitar 10 - 25 cmdetik. Arus yang melewati Laut Timor berkecepatan 30 - 40 cmdetik menuju Laut Banda dan Arafuru Rizal et al. 2009.
Berdasarkan penjelasan ini maka keterkaitan antara pola arus dan musim peneluran tergambar dari pola migrasi dimana pola arus membantu dalam proses
daya renang penyu belimbing ketika bermigrasi Benson et al. 2011. Pola migrasi penyu terlihat berdasarkan Gambar 38 searah dengan sirkulasi pola arus yang
dibentuk oleh monsun. Berdasarkan penelitian Benson et al. 2011 terhadap beberapa populasi penyu belimbing ditemukan di Laut Banda, Laut Seram, Laut
Sulawesih dan beberapa perairan disekitarnya sampai pesisir California.
Gambar 38 menunjukkan sebaran penyu belimbing pada perairan California, Laut Cina Selatan dan Timur Indonesia. Pada musim monsun Australia
yang bertepatan dengan musim peneluran Jamusrba Medi, diperkirakan pola arus yang bergerak dari Australia menuju kearah barat turut menghantar Penyu
Belimbing untuk mencapai Laut Cina Selatan untuk sekedar transit dan mencari makan yang selanjutnya akan menuju ke samudra pasifik lalu menuju Centra
Gambar 38. Daerah sebaran penyu belimbing pada periode migrasi dimana titik merah : perilaku mencari makan, titik hitan : perilaku transit pada
perairan di California A, Laut Cina Selatan B dan Indonesia C Benson et al. 2011
California CCA. Kondisi berbeda ditunjukkan oleh monsun Asia yang terjadi bersamaan dengan musim peneluran Wermon. Pada musim ini diperkirakan pola
arus yang bergerak dari Asia menuju ketimur Indonesia seperti Laut Banda, Seram dan salah satunya perairan Kei yang merupakan daerah pakan penyu
belimbing. Berdasarkan penjelasan ini maka monsun pada dasarnya memiliki keeratan hubungan dengan pola migrasi dan musim peneluran penyu belimbing.
5.4.2.5 Laju Predasi
Predasi atau pemangsaan adalah proses biologi yang identik dengan konsumsi suatu mahluk mangsa oleh mahluk lain pemangsa=predator dan
mangsa tersebut masih dalam keadaan hidup ketika pemangsa menyerang pertama kali. Pemangsaan terjadi sebagai bentuk ketahanan untuk tetap hidup dialam tetapi
juga merupakan bagian dari proses ekologi yang terdeskripsikan dalam rantai makanan. Salah satunya bentuk pemangsaan yang tergambar dalam penelitian ini
adalah pemangsaan terhadap telur penyu. Telur sangar rentan terhadap pemangsaan oleh kepiting, babi hutan, anjing dan biawak. Hasil menunjukkan
bahwa predasi kepiting bervariasi setiap musimnya. Rata-rata pemangsaan pada musim peneluran 20092010 mencapai 55,33 butir pada 19 sarang. Pada musim
20102011 pemangsaan telur oleh kepiting berkurang dengan rata-rata 11,67 butir per 21 sarang. Pemangsaan telur oleh kepiting mempengaruhi persentasi sukses
penetasan meskipun tidak merusak sarang seperti predasi oleh hewan lainnya. Kondisi yang sama juga terjadi di pantai Wermon seperti terlihat pada Tabel 31.
Tabel 31. Pemangsaan telur penyu belimbing oleh kepiting di pantai Jamursba Medi dan Wermon
Pantai Peneluran Musim 20092010 Musim 20102011
20112012 Rata stdv n
Rata stdv n Rata stdv n
Jamursba Medi 55.33 ±80.31 19 11.67±15.31 21
- Wermon
- 43.5±44.7 26
15.33±21.01 26
Sumber : Data primer 2012
Tabel 31 menjelaskan bahwa pemangsaan terhadap telur oleh kepiting berpeluang kecil untuk merusak telur lain dibandingkan dengan pemangsaan yang
dilakukan oleh hewan tingkat tinggi seperti babi hutan, anjing dan biawak. Evaluasi tahun 2001 terhadap sarang penyu di Bill Baggs Cape Florida State Park
CFSP di Selatan Biscayne, Florida menunjukkan bahwa terjadi kegagalan penetasan akibat predasi yang dilakukan Colepteran ditandai dengan lubang-
lubang kecil pada kulit telur penyu. Dodd 1988 in Ellen et al. 2004 menyatakan bahwa predator utama yang bersifat destruktif di pantai Biscayne
Florida adalah racoon, kepiting hantu, armandillo Dasypus novemcinctus, rubah Vulpes, anjing domestik Canis familiaris, babi liar Suscrofa, sigung
Spilagale putorius dan beberapa larva serangga yang juga memangsa telur. Predasi oleh hewan tersebut merusak sarang secara keseluruhan. Persentase
predasi sarang berbeda disetiap musimnya dimana pantai Jamursba Medi didominasi oleh predator anjing dan Wermon lebih didominasi oleh predator babi
hutan seperti pada Tabel 33. Penelitian tahun 20032004 sarang yang dirusak oleh babi hutan dan anjing sekitar 4.9 dan 3.9 Hitipeuw et al. 2002. Hasil
penelitian Starbird and Suarez 1994 menduga bahwa sekitar 40 sarang di Warmon dirusak oleh babi hutan. Sedangkan Jamursba Medi pada bulan Juni
sampai Juli 2005 sekitar 29 sarang di pantai Warmamedi dirusak oleh predator babi 29.3 dan Wembrak hanya satu sarang yang dirusak Tapilatu et al. 2007.
Berdasarkan fakta ini maka dipastikan laju predasi terhadap telur penyu menjadi salah satu indikator yang perlu diperhatikan karena mempengaruhi populasi
individu baru tukik penyu. Tabel 32. Predasi sarang di Jamursba Medi dan Wermon
Musim peneluran
Predator sarang penyu belimbing
Jamursba Medi predasi
Wermon predasi
20092010 JM = 13 sarang
Anjing 7.52
- Babi
2.26 -
Biawak -
- 20102011
JM = 16 sarang W = 11 sarang
Anjing 29.09
39.13 Babi
- -
Biawak -
8.7 20112012
JM = 0 sarang W = 37 sarang
Anjing -
2 Babi
- 23.33
Biawak -
0.86
Sumber : Data Primer 2012
5.4.2.6 Tekstur Pasir
Pasir merupakan unsur utama utama penyusun tekstur sarang penyu, dimana susunan tekstur pasir berdiameter halus dan sedang, sisanya adalah debu
dan liat Nuitja 1992. Sebaran partikel pasir berdasarkan ukuran t_sieve
menunjukkan persentase ukuran 500nm lebih tinggi dibandingkan ukuran lainnya disemua pantai peneluran seperti pada Gambar 39.
Gambar 39 menunjukkan bahwa proporsi untuk diameter pasir pada pantai peneluran didominasi oleh pasir berukuran 500 nm dengan rata rata sebesar
40. Dominasi pasir dengan ukuran ini disebabkan pantai peneluran yang berhadapan dengan samudra menyebabkan adanya kecenderungan substrat
berukuran kecil. Selain letak pantai yang terbuka terhadap samudra, menurut Nybakken 1988 bahwa ukuran partikel pasir di pantai merupakan fungsi dari
gerakan ombak pantai. Gerakan ombak pada pantai berpasir merupakan faktor lingkungan yang dominan terjadi dipantai tersebut. Jika gerakan ombak kecil
maka terbentuk partikel pasir berukuran kecil, sedangkan jika gerakan ombak besar dan kuat maka akan terbentuk partikel pasir berukuran kasar dan kerikil.
Butiran pasir halus akan menampung air lebih banyak karena adanya gaya kapiler sementara pasir berukuran kasar cenderung mengalirkan Nybakken 1988.
Butiran ukuran halus ini berperan sebagai media yang dimanfaatkan oleh penyu belimbing untuk menyimpan telur ketika musim peneluran.
Proporsi diameter pasir dikedua pantai menunjukkan ukuran yang sama tetapi masing masing pantai memiliki nilai median yang berbeda seperti yang
ditampilkan pada Gambar 40. Pantai Wermon memiliki proporsi nilai median yang relatif kecil yaitu 6,34 dibandingkan proporsi di pantai Jamursba Medi.
Gambar 39. Persentase pasir berdasarkan ukuran t-sieve di pantai Jamursba Medi dan Wermon
Hal ini disebabkan selama penelitian pantai Wermon dipengaruhi oleh musim ombak sehingga sedimen yang terangkut dengan massa air dar laut relatif
berukuran antara 1 mm sampai 2 mm. Ukuran pasir menjadi penunjang dalam perkembangan embrio dan penetasan telur selama dalam sarang selama masa
inkubasi. Ackerman 1977 in Wallace et al. 2003 menyatakan bahwa aktivitas metabolisme embrio penyu sangat dipengaruhi oleh konduktivitas dan difusi pasir
pantai, adanya hubungan penapasan embrio dengan ukuran butir pasir, jumlah volume pasir dan pertukaran udara dalam sarang akan membuat kondisi ideal
sarang sehingga menunjang perkembangan embrio penyu selama masa inkubasi
Pantai Wembrak
Median : 9.46 Median : 10.08
Pantai Baturumah
Median : 11.57 Median : 6.34
Pantai Wermon Pantai Warmamedi
Gambar 40. Persen komulatif median ukuran pasir pada Pantai Jamursba Medi dan Wermon.
Sebaran pasir pada keempat pantai peneluran menunjukkan dominasi pasir dengan tekstur halus. Rata rata persentase pasir dengan tekstur halus 50, diikuti
pasir yang berukuran sedang sekitar 20 dan pasir berukuran kasar dibawah 10. Pasir dengan ukuran sedang sampai halus merupakan tekstur ideal yang disukai
penyu ketika hendak memilih habitat untuk bertelur. Anonimus 1999 mengemukakan bahwa penyu akan membatalkan proses bertelur jika tipe pasir
yang berada dalam sarang berupa pecahan kerang yang kasar juga bercampur tanah liat atau kerikil. Selain ukuran pasir kasar dan pecahan karang, penyu juga
sensitif ketika ukuran pasir terlalu halus. Hal ini dikarenakan ketika melakukan penggalian sarang akan terjadi longsor sarang yang mengakibatkan penyu akan
berpindah lokasi untuk mencari tempat lain.
5.4.2.7 Kedalaman Sarang
Kedalaman sarang adalah jarak antara permukaan pasir sampai dasar sarang tempat dimana telur diletakkan. Penggalian sarang merupakan bagian dari proses
peneluran yang umumnya dilakukan oleh induk penyu sebelum melepaskan telur. Penyu memiliki insting untuk menggali sarang berdasarkan panjang fliper, dimana
semakin panjang fliper kemungkinan sarang yang tergali akan semakin dalam, begitupun sebaliknya.
Gambar 41. Sebaran tekstur pasir di pantai Jamusrba Medi dan Wermon
Kedalaman sarang pada kedua pantai menunjukkan perbedaan. Kedalaman sarang di Jamursba Medi cenderung dalam, terutama jarak dasar sarang
kepermukaan sarang adalah 91,3 cm dibandingkan Wermon sekitar 85 cm. Berbeda dengan kedalaman sarang dari pemukaan pasir sampai permukaan telur
memperlihatkan persamaan jarak antara kedua pantai ini sekitar 71 cm. Berikut ini adalah rata-rata kedalaman sarang di kedua pantai yang disajikan pada Tabel 33.
Tabel 33. Kedalaman sarang di Pantai Jamusba Medi dan Wermon Kedalaman cm
Rata sd Min-Max
Jamursba Medi KAS
71.6±12.2 30-101
KSD 91.3±13.3
37-119 Wermon
KAS 71.1 ± 9.6
49 - 98 KDS
85.1 ± 9.9 62-114
Keterangan : KAS adalah kedalaman sarang dari atas telur ke permukan pasir dan KDS adalah kedalaman dari dasar sarang kepermukaan.
Sumber : Tapilatu et al. 2007
Sarang penyu belimbing yang tergali memiliki jarak cenderung dalam dibandingkan jenis penyu lainnya. Bentuk dan ukuran tubuh yang besar
menjadikan sarang yang tergali cenderung dalam dibandingkan jenis penyu dari famili Chelonidae. Kedalaman sarang berhubungan dengan keterpaparan telur
terhadap matahari. Semakin dangkal sarang maka peluang terpapar telur terhadap cahaya matahari semakin terbuka sehingga beberapa telur yang posisinya terletak
dekat dengan permukaan sarang biasanya ditemukan warna kehitaman pada kulit telur, diduga terkena suhu panas yang terserap pasir. Resiko lainnya apabila
kedalaman sarang dangkal memudahkan telur terpredasi oleh predator seperti babi, anjing dan biawak.
5.4.2.8 Sarang Relokasi
Relokasi adalah upaya penangkaran telur penyu secara semi alami berdasarkan karakteristik lingkungan dimana penyu bersarang. Lingkungan
persarangan diatur berdasarkan karakteristik persarangan alami penyu tetapi tetap menjaga keamanan sarang terhadap gangguan predator baik hewan maupun
manusia. Sarang yang direlokasi biasanya diambil dari sarang-sarang yang berada dibawah batas pasang terendah dan beresiko terabrasi oleh gelombang pasang
surut. Relokasi sarang bertujuan untuk meningkatkan persentase penetasan telur penyu atau meningkatkan populasi rekruitmen individu baru untuk keberlanjutan
populasi Penyu Belimbing di alam.
Relokasi sarang dilakukan dengan adanya pemilihan tempat ideal yang mempertimbangkan keterbukaan terhadap matahari, keterbukaan terhadap
predator, kedekatan dengan sungai dan kedekatan dengan vegetasi pantai karena perakaran yang beresiko mempengaruhi penetasan. Setelah pemilihan lokasi
selanjutnya dilakukan treatment pasir baik permukaan dan kedalaman. Pembersihan lokasi dari sampah, akar tanaman dan kulit telur yang kemungkinan
ada didalam pasir menjadi tahap selanjutnya sampai lokasi tersebut bersih. Tapilatu et al. in prep menyatakan bahwa relokasi sarang Penyu Belimbing
dilakukan disemua pantai peneluran di Jamurba Medi dan pantai Wermon. Pantai Warmamedi dilakukan relokasi sebanyak 25 sarang. Setelah masa penetasan
terlihat bahwa hasil persentase sukses penetasan mencapai 80 pada musim 2007-2008 sehingga dilanjutkan relokasi dikedua pantai lainnya yaitu pantai
Wembrak dan Baturumah. Jumlah sarang yang direlokasi kemudian ditambahkan menjadi 50 sarang per pantai dengan pertimbangan sarang yang terambil adalah
sarang yang letak posisinya dibawah batas terendah karena beresiko terabrasi oleh gelombang.
Relokasi sarang di pantai Wermon mulai dilakukan pada musim 2007 - 2008 dengan jumlah 50 sarang. Hasil relokasi ini menunjukkan peningkatan
persentase sukses penetasan mencapai 67 Tapilatu et al. in prep. Selanjutnya relokasi dilakukan ditahun berikutnya dengan metode berbeda yang dikenal
dengan sarang doom. Sarang doom tidak dikumpulkan disatu lokasi tetapi sarang ini hanya dipindahkan ketempat aman dimana posisinya berdekatan dengan sarang
alami.
5.4.2.9 Perlindungan Habitat
Pantai Jamusrba Medi dan Wermon merupakan bagian dari Cagar Alam Pegunungan Tambrauw yang membentang disebelah selatan dari kedua pantai ini.
Pantai Jamursba Medi ditetapkan sebagai suakamargasatwa berdasarkan surat rekomendasi Bupati Sorong dengan luasan 10.000 ha. Tahun 2005 pemerintah
daerah Sorong dan beberapa pihak swasta mengusulkan perluasan kawasan konservasi tidak hanya daratan pantai tetapi wilayah pesisir dan laut yang
bertujuan melindungi Penyu Belimbing. Berdasarkan tujuan tersebut maka ditetapkanlah Kawasan Konservasi Laut Daerah Abun dengan luasan 169.515.783
ha berdasarkan SK Bupati Kabupaten Sorong No.142 tahun 2005. Secara administrasi luasan KKLD Abun awalnya mencakup pesisir kampung Sausapor
sampai Warmandi. Selanjutnya ada wacana penambahan luasan kawasan sampai pesisir kampung Waybeam dengan tujuan perlindungan mencakup pantai
peneluran yaitu Jamursba Medi dan Wermon. Sejauh ini implementasi penambahan kawasan KKLD Abun belum terlaksana, mengingat belum ada
rencana pengelolaan KKLD Abun yang dijadikan acuan dalam keberlanjutan KKLD.
5.4.3 Sistem Sosial Antropogenik Penyu Belimbing 5.4.3.1 Pengambilan dan Konsumsi Telur
Ancaman utama penurunan populasi penyu diduga disebabkan tingginya ekploitasi terhadap sumberdaya penyu seperti pemanfaatan telur, induk yang
menjadi konsumsi masyarakat. Pemanfaatan terhadap sumberdaya penyu terjadi secara langsung dan tidak langsung. Pemanfaatan langsung seperti pemanfaatan
telur, daging, dan karapas. Pemanfaatan tak langsung ditandai dengan tangkapan sampingan dari aktivitas perikanan skala besar. Hasil pemanfaatan langsung yang
terjadi di pesisir utara Tambrauw teridentifikasi adalah pemanfaatan telur dan daging untuk konsumsi keluarga.
Hasil estimasi menunjukkan perbedaan frekuensi pengambilan telur pada keenam kampung di lokasi penelitian. Kampung Wau_Weyaf memiliki nilai
pengambilan telur tertinggi yaitu 13,75 sarang, diikuti Saubeba sebesar 11,25 sarang, Bremi sebesar 9,5 sarang, Sarray sebesar 6,9 sarang, Sausapor sebesar
3.85 sarang dan Waybeam sebesar 0,84 sarang. Tingginya pengambilan telur di Wau-Weyaf dan Saubeba karena jarak dari kampung berdekatan dengan pantai
Jamursba Medi dan Wermon. Kedua pantai ini merupakan pantai yang dilindungi tetapi aktivitas pengambilan telur masih dilakukan meskipun dengan frekuensi
yang rendah. Laju pengambilan telur dengan frekuensi tinggi juga terjadi di kampung
Sarray dan Bremi. Tingginya laju pengambilan telur dikedua kampung ini karena kedua kampung ini merupakan bagian dari pantai peneluran di pesisir utara
Manokwari yang dijadikan pantai alternatif untuk bertelur. Berbeda dengan keempat pantai diatas, laju pengambilan telur cenderung rendah terlihat di
kampung Sausapor dan Waybeam disebabkan jarak pantai peneluran yang jauh dari kampung. Secara jelas pengambilan telur ditampilkan pada Gambar 42 dan
Gambar 44 .
Peningkatan pengambilan terhadap telur oleh masyarakat di pesisir KKLD Abun disebabkan karena posisi pantai peneluran yang berdekatan dengan
pemukiman dan merupakan jalur transportasi untuk menjangkau lahan pertanian ataupun penghubung antara kampung. Kondisi ini sama dengan yang terjadi di
PNG dimana masyarakat lokal memiliki andil besar dalam pengambilan telur penyu belimbing. Jefft et al. 2009 melaporkan bahwa dari 46 sarang yang
ditemukan di pantai peneluran PNG, 26 sarang telur diambil oleh masyarakat lokal karena sarang yang berdekatan dengan pemukiman. Selain penduduk asli
yang bertempat tinggal disekitar pantai peneluran, nelayan menangkap dipesisir KKLD juga berpeluang mengambil telur di pantai.
Pengambilan telur penyu belimbing berbanding lurus dengan konsumsi telur oleh masyarakat di kampung sekitar pantai peneluran. Gambar 38
menunjukkan konsumsi telur tertinggi oleh masyarakat Wau_Weyaf sebanyak 7012.5 butir, diikuti Bremi sebanyak 5.486,44 butir, Saubeba sebanyak 5.400
butir, Sarray sebanyak 3.757,5 butir, Sausapor sebesar 2.362,5 butir dan Waybeam sebanyak 1.596 butir seperti gambar 43.
Gambar 42. Estimasi jumlah pengambilan telur penyu belimbing sarangKKKampungMusim di pesisir KKLD Abun.
Tinggi laju konsumsi telur oleh masyarakat dikarenakan pola hidup masyarakat yang bersifat subsisten artinya memanfaatkan semua sumberdaya
yang tersedia untuk kepentingan rumah tangga. Selain sifat subsisten, telur penyu menjadi pilihan masyarakat disebabkan rendahnya sumber pendapatan ekonomi
dan pola hidup sederhana. Faktor lain adalah rendahnya pengetahuan karena tingkat pendidikan yang rendah dan kurangnya sosialisasi dari pemerintah terkait
perlindungan penyu menyebabkan kegiatan pemanfaatan telur masih berlangsung hingga saat ini.
Gambar 43 dan 44 menjelaskan tekanan dari laju ekploitasi telur masing masing kampung terhadap populasi sarang di pantai Jamusrba Medi dan Wermon.
Estimasi jumlah pengambilan telur di kampung Sausapor rata-rata sebanyak 1,3 sarangKKmusim, maka diperkirakan jumlah sarang terambil sebanyak 38,5
sarangmusim dari 35 KK. Hasil estimasi di Saubeba cenderung lebih tinggi, sekitar 112,2 sarangmusim dari 45 KK. Rata-rata pengambilan sarang di pantai
Jamursba Medi dari dua kampung tersebut adalah 75,5 sarangmusim. Berdasarkan jumlah total sarang Jamursba Medi tahun 2011 sebanyak 1.534
sarang maka persentasi telur yang terekploitasi masyarakat sebesar 5,12 sarangmusim atau sekitar 5.813,50 butir per musim seperti pada Tabel 34.
Pengambilan telur dikampung Wau-Weyaf dalam satu musim adalah 137,5 Gambar 43. Estimasi jumlah konsumsi telur penyu belimbing
butirKKKampungMusim
sarangmusim dari 55 KK. Selanjutnya estimasi pengambilan sarang oleh masyarakat kampung Waybeam di pantai Wermon sebanyak 8,4 sarangmusim
dari 28 KK. Rata-rata estimasi pengambilan telur di pantai Wermon adalah 72,95 sarang.musim. Berdasarkan jumlah sarang per tahun 2011 adalah 1.392
sarangmusimkampung maka perkiraan laju eksploitasi telur sebesar 5,34 sarang dalam satu musim seperti pada Tabel 34. Rata-rata pengambilan telur oleh
masyarakat Sarray adalah 6,9 sarangKKmusim, maka diperkirakan 69 sarangmusim terambil dari 28 KK. Sementara kampung Bremi, rata-rata
pengambilan telur sebanyak 9,5 sarangKKmusim, maka diperkirakan sekitar 95 sarang terambil dari 38 KK. Jumlah populasi sarang di pesisir pantai utara
Manokwari tidak teridentifikasi karena pantai ini bukan merupakan pantai indeks sehingga tidak diketahui persentase ekploitasi sarang terhadap populasi sarang.
Estimasi konsumsi telur oleh masyarakat Sausapor sebanyak 2.364,2 butirmusim dari 35 KK, sementara masyarakat kampung Saubeba sebanyak 5.400
butirmusim dari 45 KK. Rata-rata konsumsi telur dari dua kampung ini adalah 3.881,25 butirmusim dengan persentasi 3,3 dari jumlah telur normal dipantai
Jamursba Medi. Konsumsi telur oleh masyarakat kampung Wau_Weyaf sebanyak 7.012,5 butirmusim dari 55 KK, sementara kampung Waybeam sebanyak 3.135
butirmusim dari 28 KK. Rata-rata konsumsi telur dari dua kampung ini sebanyak 5.073,75 butirmusim dengan persentasi 5.10 dari jumlah total telur normal di
pantai Wermon. Berdasarkan penjelasan diatas maka disimpulkan tingginya eksploitasi jumlah sarang dan telur oleh masyarakat di pesisir Utara Papua. Hal ini
berdampak pada penurunan persentasi sukses penetasan sehingga jumlah individu baru yang dihasilkan. Kondisi ini semakin kritis apabila tukik yang dihasilkan
hanya 1 yang mencapai umur dewasa Hitipeuw et al. 2007. Tabel 34. Estimasi pemanfaatan telur di Pantai Jamursba Medi dan Wermon
Pantai Jumlah
Total Sarang
Jumlah Total Telur
NormalButir musim
Rata rata Pengambilan
sarang Estimasi
Pemanfaatan butir
Sisa Butir
Jamursba Medi
1.534 118.118
75.50 5.813,50
112.304,50 Wermon
1.393 107.261
72.95 5.617,15
101.643,85
Gambar 44. Estimasi kerentanan populasi penyu belimbing berdasarkan pengambilan dan konsumsi telur oleh masyarakat di pesisir utara Kabupaten Tambrauw.
Pengambilan Telur : 3,85SarangKKMusim
Konsumsi telur : 2.362,5butirKKMusim
Pengambilan Telur : 11,25SarangKKMusim
Konsumsi telur : 5.400butirKKMusim
Pengambilan Telur : 0,84SarangKKMusim
Konsumsi telur : 1.596butirKKMusim
Pengambilan Telur : 13,75SarangKKMusim
Konsumsi telur : 7,012,15butirKKMusi
Pengambilan Telur : 6,9SarangKKMusim
Konsumsi telur : 3.757.5butirKKMusim
Pengambilan Telur : 9,5SarangKKMusim
Konsumsi telur : 5.486,44butirKKMusim
1 3
7
5.4.3.2 Tangkapan dan Konsumsi Daging
Tangkapan penyu teridentifikasi merupakan pemanfaatan langsung disamping pengambilan telur. Hasil penelitian menunjukkan estimasi tangkapan
penyu meningkat terjadi diluar KKLD Abun yaitu kampung Sarray dan Bremi Gambar 40 dan 41. Kampung Bremi diketahui laju tangkapan sebanyak 10,45
ekor, Sarray sebesar 8,76 ekor, Sausapor sebanyak 2,905 ekor, Waybeam sebanyak 2,34 ekor, Wau_Weyaf sebanyak 1,37 ekor dan terendah Saubeba
sebanyak 1,125 ekor. Secara jelas, estimasi penangkapan penyu belimbing pada saat penelitian ditampilkan pada Gambar 45
Gambar 45 menunjukkan tingginya tangkapan oleh masyarakat Sarray dan Bremi dikarenakan kebiasaan menangkap dan mengkonsumsi penyu sebagai
makanan. Status pantai dan pesisir utara Manokwari yang bukan kawasan konservasi juga memberikan keleluasaan bagi masyarakat untuk melakukan
penangkapan. Kondisi ini semakin kritis mengingat peran pemerintah tidak optimal. Hal ini ditunjukkan dengan rendahnya sosialisasi tentang perlindungan
penyu kepada masyarakat. Akibatnya penangkapan terus terjadi seiring dengan permintaan pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Gambar 45.
Pendugaan jumlah
tangkapan penyu
belimbing ekorKKkampungmusim di pesisir KKLD Abun
Penangkapan penyu belimbing terjadi seiring dengan konsumsi daging oleh masyarakat disekitar pesisir utara Papua. Hasil menunjukkan bahwa
tingginya konsumsi daging terjadi di kampung Bremi yaitu 16,4 kg, Sarray sebanyak 12,99 kg, Waybeam dan Wau_Weyaf sebanyak 4,2 kg dan 4,12 kg,
Sausapor dan Saubeba sebanyak 3,74 kg dan 3,37 kg. Secara jelas konsumsi daging ditampilkan pada Gambar 46.
Gambar 46 menunjukkan laju konsumsi daging oleh masyarakat masih didominasi oleh masyarakat kampung Sarray dan Bremi. Tingginya laju konsumsi
daging oleh masyarakat pada kedua kampung ini disebabkan kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun dan untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi.
Rendahnya pendapatan ekonomi menyebabkan ketergantungan terhadap semua sumberdaya yang berujung pada peningkatan laju pemanfaatan seiring dengan
peningkatan kebutuhan hidup. Gambar 47 menjelaskan pola pemanfaatan terhadap individu dewasa
berdasarkan jumlah tangkapan penyu dan konsumsi daging terhadap populasi penyu belimbing di Jamursba Medi dan Wermon. Terlihat bahwa laju tangkapan
penyu terbanyak dilakukan oleh masyarakat Bremi dan Saray dengan rata-rata tangkapan 9,05 ekormusim, dibandingkan dengan SausaporSaubeba 2.01
ekormusim dan Wau_WeyafWaybeam sebanyak 2,1 ekormusim. Kondisi ini sejalan dengan rata-rata konsumsi daging oleh masyarakat Bremi dan Sarray yaitu
Gambar 46. Estimasi konsumsi daging KgKKkampungmusim
14,7 kgmusim diikuti Wau_WeyafWaybeam yaitu 7,3 kgmusim dan SausaporSaubeba yaitu 3,6 kgmusim. Tingginya laju tangkapan dan konsumsi
daging oleh masyarakat lokal mengindikasikan ketergantungan terhadap sumberdaya sangat besar. Ketergantungan terhadap sumberdaya terlihat dari pola
pemanfaatan dengan frekuensi tinggi tanpa mempertimbangkan keberlanjutan sumberdaya tersebut. Rendahnya pendapatan ekonomi dan minimnya pilihan
matapencaharian alternatif menyebabkan pemanfaatan sumberdaya penyu belimbing menjadi pilihan terbaik dalam pemenuhan kebutuhan makan dan
ekonomi. Kondisi ini menggambarkan rendahnya taraf ekonomi masyarakat di pesisir Abun. Kondisi diperparah dengan lemahnya peran pemerintah terhadap
peningkatan ekonomi masyarakat dan pengawasan perlindungan penyu. Apabila pemerintah mengoptimalkan perbaikan ekonomi masyarakat dengan memberikan
matapencaharian alternatif maka akan terjadi pengalihan aktivitas, sehingga masyarakat tidak bergantung kepada penangkapan penyu tetapi lebih terfokus
pada alternatif kegiatan yang ditawarkan. Solusi ini semestinya menjadi catatan penting bagi pemerintah dalam mengelola sumberdaya dimana masyarakat
menjadi prioritas utama.
dfdfcv
Penangkapan Penyu : 2,905ekorKKMusim
Konsumsi telur : 3,75kgKKMusim
Penangkapan Penyu : 1,12ekorKKMusim
Konsumsi daging : 3,37kgKKMusim
Penangkapan Penyu : 2,3SarangKKMusim
Konsumsi telur : 4,2kgKKMusim
Penangkapan penyu : 1,37ekorKKMusim
Konsumsi daging: 4,12kgKKMusim
Penangkapan Penyu : 8,7ekorKKMusim
Konsumsi daging: 12,99kgKKMusim
Penangkapan Penyu : 10,45ekorKKMusim
Konsumsi daging : 16,45kgKKMusim
Gambar 47. Estimasi kerentanan populasi individu dewasa berdasarkan penangkapan dan konsumsi daging penyu belimbing oleh masyarakat di pesisir utara Kabupaten Tambrauw.
1 4
Keseluruhan pemanfaatan sumberdaya penyu belimbing yang terjadi didalam KKLD Abun maupun diluar KKLD ditampilkan pada Tabel 35 dan
Gambar 48. Tabel 35. Estimasi pemanfaatan sumberdaya penyu belimbing oleh masyarakat di
pesisir utara Kepala Burung Pengambilan
telur sarangKKpant
aimusim Konsumsi
Telur butirKKkam
pungmusim Tangkapan
masyarakat ekorKKka
mpungmusi m
Konsumsi daging
kgKKkamp ungmusim
Jamurba Medi Sausapor
Saubeba 1.26
646.88 0.67
0.59 Wermon
Wau_Weyaf Waybeam
1.22 717.38
0.62 0.69
Luar KKLD SarrayBremi
1.37 770.33
3.20 7.36
Sumber : Data primer 2012
Hasil menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya Penyu Belimbing masih didominasi oleh masyarakat diluar KKLD Abun. Dominasi pemanfaatan ini
berkaitan dengan keleluasaan memanfaatkan tanpa batasan dan larangan. Keleluasaan pemanfaatan berdampak pada peningkatan frekuensi terhadap
sumberdaya Penyu Belimbing baik telur maupun individu dewasa. Pemanfaatan sumberdaya penyu juga terjadi dalam KKLD Abun meskipun dengan nilai yang
lebih rendah. Rendahnya nilai pemanfaatan ini dikarenakan status pantai Jamursba Medi dan Wermon sebagai kawasan konservasi menyebabkan adanya larangan
pemanfaatan meskipun, ada beberapa masyarakat yang tetap memanfaatkan. Ekploitasi sumberdaya Penyu Belimbing secara nyata berdampak pada penurunan
populasi di pantai Jamursba Medi dan Wermon yang merupakan penyuplai populasi terbesar di Pasifik Barat. Sebagaimana diketahui, bahwa saat ini jumlah
populasi Penyu Belimbing yang tersedia dialam hanya 2.300 penyu betina dewasa. Jumlah ini terbilang sangat rendah dan berpeluang mengalami kepunahan
apabila terjadi peningkatan jumlah tangkapan. Oleh sebab itu, perlu adanya pengawasan yang dilakukan secara kontinue untuk meminimalkan laju
pemanfaatan dengan pengalihan aktivitas serta pilihan matapencaharian alternatif guna meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat setempat.
Gambar Hasil penangkapan dan kosumsi daging oleh masyarakat di pesisir utara Kabupaten Tambrauw
Pengambilan telur : 1,26 sarangKKpantaimusim Konsumsi telur : 646,88 butirKKpantaimusim
Penangkapan : 0,67 ekorKKkampungmusim Konsumsi daging : 0,59 kgKKkampungmusim
Pengambilan telur : 1,26 sarangKKpantaimusim Konsumsi telur : 717,38 butirKKpantaimusim
Penangkapan : 0,62 ekorKKkampungmusim Konsumsi daging : 0,69 kgKKkampungmusim
Pengambilan telur : 1,37 sarangKKpantaimusim Konsumsi telur : 770,38 butirKKpantaimusim
Penangkapan : 3,20 ekorKKkampungmusim Konsumsi daging : 7,36 kgKKkampungmusim
Gambar 48. Estimasi kerentanan populasi penyu belimbing akibat pemanfaatan penyu belimbing oleh masyarakat di pesisir utara Kabupaten Tambrauw.
1 4
3
Eksploitas terhadap sumberdaya penyu belimbing menggambarkan keterkaitan ekologi dan sosial secara tidak langsung Keterkaitan tersebut
tergambar dari fungsi ekologis penyu belimbing sebagai penyeimbang populasi ubur-ubur laut yang merupakan predator jurvenil ikan zooplankton sehingga
mempengaruhi sistem ekologis dimana menurunkan produksi perikanan. Penurunan produksi perikanan diketahui akan mempengaruhi ketersediaan stok
perikanan dan pola konsumsi manusia terhada sumberdaya ikan. Berdasarkan penjelasan ini terlihat adanya keterkaitan hubungan dan ketergantungan antara
sistem ekologi dan sosial, dimana apabila terjadi perubahan pada sistem ekologis maka akan mempengaruhi sistem sosial, dan sebaliknya seperti pada Gambar 49.
Populasi Penyu Belimbing
Telur Penyu Belimbing
Tukik Penyu Belimbing
Ubur ubur family Scypozoa
Ikan Hiu
Burung Elang
Babi hutan
Biawak Anjing
- Manusia
Masyarakat pesisir utara Papua
Masyarakat Kei Maluku
Tangkapan sampingan
Pemanfaatan langsung
Pemanfaatan tak langsung
- -
-
-
+ -
-
-
Juvenil ikan Zooplankton
Produksi perikanan
- -
- +
+ +
-
- -
-
Alat tangkap tidak selektif
-
-
Gambar 49. Sistem ekologi sosial penyu belimbing di Abun tulisan berwarna biru : populasi penyu belimbing. Kotak : faktor alami dan bukan kotak : faktor
antropogenik
Gambar 49 menjelaskan populasi penyu belimbing yang terdiri dari telur, tukik dan penyu dewasa. Telur penyu menjadi mangsa bagi beberapa jenis hewan
karnivora seperti Babi hutan, Biawak dan Anjing. Tukik menjadi mangsa bagi burung Elang dan ikan Hiu. Sementara penyu dewasa memiliki peran vital karena
berfungsi sebagai penyeimbang populasi ubur-ubur. Peran ini memberikan nilai positif terhadap peningkatan produksi perikanan secara alami. Selanjutnya
predator utama populasi penyu belimbing adalah manusia melalui dua pola pemanfaatan yaitu pemanfaatan langsung dan tidak langsung. Masyarakat yang
melakukan pemanfaatan langsung terindikasi pada masyarakat di KKLD Abun dan Kei Maluku. Sementara pemanfaatan tidak langsung merujuk pada aktivitas
perikanan skala besar. Berdasarkan fakta ini diketahui bahwa manusia memberikan tekanan akibat dari eksploitasi yang berdampak pada penurunan
populasi baik individu baru maupun individu dewasa dan secara langsung menjadi penyebab terganggunya sistem ekologis dialam.
5.4.3.3 Tangkapan Sampingan
Tangkapan sampingan adalah tertangkap atau terjaringnya spesies bukan target dari suatu aktivitas perikanan seperti perikanan udang, tuna dan perikanan
lainnya. Hasil wawancara nelayan pada kapal penangkap ikan dengan alat tangkap jaring insang dan jaring dasar dengan ukuran mata jaring 3 - 4 inchi pada
kapasitas 4 - 5 GT menyatakan rata-rata jumlah penyu belimbing yang terjaring adalah 2 ekor per tahun, tetapi pada waktu tertentu penyu tidak terjaring sama
sekali. Selanjutnya kapal udang dengan ukuran 290 GT yang menggunakan alat tangkap trawl menunjukkan tangkapan sampingan penyu lebih sedikit sekitar 2
ekortrip. Sedikitnya jumlah penyu belimbing yang tertangkap dengan trawl dikarena telah terpasang Turtle Teds sehingga beberapa spesies non target tidak
terjaring. Peningkatan jumlah armada perikanan di Sorong memberikan peluang
terhadap aktivitas pemanfaatan sekitar perairan Sorong, Rajaampat, perairan Sorong Selatan. Tingginya aktivitas perikanan dipesisir Sorong yang merupakan
jalur migrasi Penyu Belimbing selama masa internesting memberikan peluang adanya tangkapan sampingan. Wiadnyana et al. 2006 menyatakan bahwa banyak
armada perikanan disekitar lokasi peneluran berpeluang terjadinya tangkapan
sampingan. Sebagai contoh Bali dengan armada perikanan terbanyak setelah Jawa menunjukkan tangkapan sampingan ± 1 ekor penyu, bahkan bisa mencapai 29
ekortripkapal. Hasil ini diperkirakan meningkat seiring dengan peningkatan armada dan aktivitas tangkapan. Lebih lanjut diestimasi dalam satu tahun asumsi
sedikitnya 6 trip bisa mencapai 4920 - 4980 ekor. Kondisi ini ditakutkan akan terjadi diperairan sekitar pantai peneluran Jamursba Medi mengingat jumlah
armada perikanan yang semakin meningkat. Hasil penelitian menunjukkan kapal yang teridentifikasi dalam kawasan
konservasi laut Abun adalah kapal dengan ukuran 3-5 GT , berjumlah 2-4 kapal, dengan alat tangkap yang digunakan adalah jaring benang. Waktu operasi kapal
ini tidak menentu dan sangat bergantung kepada kondisi lingkungan laut. Kondisi lingkungan laut KKLD Abun merupakan perairan yang berhadapan dengan
samudra Pasifik sehingga selalu bergelombang menyebabkan beberapa perahu nelayan tidak melakukan penangkapan. Rendahnya aktivitas penangkapan
dipesisir KKLD Abun menunjukkan rendahnya jumlah Belimbing yang tertangkap didalam KKLD.
Pengaruh dari luar KKLD justru menjadi ancaman penurunan populasi Penyu Belimbing di Jamursba Medi dan Wermon, salah satunya adalah ancaman
aktivitas perikanan tuna. Zainudin et al. 2006 menunjukkan hasil observasi periode Mei - Desember 2006 dengan mengikuti operasi kapal rawai tuna yang
berpangkalan di Bali, pelabuhan Ratu dan Bitung Sulawesih Utara. Dari observasi tersebut diperoleh sebanyak 10 kapal melakukan 559 kali setting alat tangkap
dengan menebar 832.208 pancing. Dari aktivitas tersebut, diketahui 85 penyu tertangkap sebagai tangkapan sampingan, 3 mamalia laut, 2 burung laut dan 507
hiu. Dari tiga armana, kapal rawai tuna yang berpangkalan di Bitung memperoleh hasil tangkapan sampingan penyu terbanyak. Tingginya tangkapan sampingan dari
kapal rawai tuna Bitung disebabkan daerah penangkapan tuna berada di Samudra Pasifik berdekatan dengan pantai peneluran Gambar 49. Selain itu, kapal rawai
tuna Bitung yang menggunakan metode setting dangkal diperkirakan menjadi penyebab tingginya tangkapan sampingan karena adanya interaksi dengan daerah
renang penyu.
Meningkatnya tangkapan sampingan seiring dengan peningkatan aktivitas perikanan diperairan dunia seperti perikanan pelagik, perikanan udang dan jenis
perikanan lainnya. Aktivitas perikanan ini berkontribusi terhadap peningkatan produksi guna memenuhi permintaan pasar internasional. Tingginya permintaan
pasar internasional memicu peningkatan aktivitas untuk memperoleh hasil maksimal dengan mengabaikan dampak yang ditimbulkan seperti tingginya
tangkapan sampingan. Beberapa contoh disampaikan oleh Lewison et al. 2006, bahwa perikanan rawai saat ini menjadi trend di negara maju dan berkembang
untuk meningkatkan produksi perikanan. Lebih lanjut, Lewison et al. 2006, mengidentifikasi pengguna perikanan rawai diseluruh dunia sebanyak 40 negara
dengan wilayah tangkapan yang berbeda. Wilayah penangkapan perikanan rawai yaitu di Samudra Pasifik sekitar 52, samudra Atlantik 37 dan samudra Hindia
sekitar 11. Perairan utama perikanan rawai adalah perairan utara Kolombia tepatnya Central Pasifik, region antara Filipina dan Indonesia, laut Mediterania
dan selatan samudra Atlantik. Dalam aktivitas penangkapan diperkirakan 1.4 milyar kail diletakkan di perairan dengan frekuensi pengulangan 3.8 juta kalihari.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa setiap tahunnya, perikanan rawai tuna memasang 1.2 milyar kail, lebih besar dibandingkan untuk memancing ikan cucut yang hanya
200 juta kail di perairan Lewison et al. 2006. Kondisi ini memungkinkan tingginya jumlah tangkapan spesies target dan spesies bukan target. Spesies bukan
target yang tertangkap salah satunya adalah penyu belimbing mengingat perairan tersebut merupakan jalur lintasan ketika melakukan migrasi ke area peneluran
maupun ke area makan dan perkawinan. Apabila dihubungkan dengan pola migrasi Penyu belimbing musim boreal summer di Jamursba Medi, maka populasi
ini sangat rentan dan berpeluang tertangkap sebagai tangkapan sampingan. Berdasarkan fakta ini maka dapat disimpulkan bahwa tangkapan sampingan
diprediksi mempengaruh penurunan individu dewasa.
5.4.3.4 Persepsi Masyarakat Tentang Konservasi Penyu Belimbing
Pengetahuan masyarakat adalah suatu bentuk pendapat yang dibutuhkan dalam menilai pengelolaan. Masyarakat adalah objek utama yang harus
berpartisipasi dan merasakan manfaat dari pengelolaan yang dilakukan. Pengetahuan masyarakat adalah suatu bentuk pendapapt yang dibutuhkan dalam
menilai pengelolaan. Sebagai bentuk pastisipasi maka masyarakat harus dibekali dengan pengetahuan dasar maupun pengetahuan teknis. Dalam penelitian ini,
perlu diketahui pengetahuan masyarakat tentang konservasi penyu di KKLD Abun. WWF 2009 menunjukkan pandangan masyarakat terkait dengan
lingkungan dan kegiatan konservasi terbagi dalam beberapa bagian penting seperti pendapat masyarakat terkait dengan: 1 kondisi lingkungan pantai peneluran
Jamursba Medi dan Wermon 2 kepedulian masyarakat terhadap perlindungan penyu, 3 pengetahuan tentang kawasan konservasi laut daerah 4 pembentukkan
dan manfaat adanya KKLD Abun. Pendapat masyarakat pada kampung di KKLD Abun terhadap kondisi
lingkungan perairan pantai peneluran sangat bervariasi. WWF 2009 menyatakan 78 masyarakat menyatakan kerusakan pesisir pantai peneluran merupakan
masalah besar, 5 mengatakan kerusakan pesisir pantai peneluran bukan masalah besar. Pendapat kepedulian masyarakat tentang upaya perlindungan penyu
menyatakan bahwa 79,4 masyarakat setuju adanya upaya perlindungan penyu, 15,3 masyarakat tidak setuju ada upaya perlindungan terhadap penyu, 4,7
masyarakat menyatakan tidak mengetahui apakah penyu harus dilindungi atau tidak dan 0.6 tidak menjawab. Masyarakat juga berpendapat tentang telur yang
harus dibiarkan berada dalam sarang sehingga bisa menetas menjadi tukik penyu yaitu 82,5 masyarakat setuju, 7,81 tidak setuju dengan hal tersebut, 9,0
tidak tahu dan 0,6 tidak menjawab. Pendapat masyarakat tentang pentingnya pembentukkan KKLD Abun
untuk melindungi ekosistem dan penyu menyatakan 77,81 masyarakat setuju, 12,19 menyatakan tidak setuju, 9,06 menyatakan tidak tahu dan 0,9 tidak
menjawab. Selanjutnya pendapat masyarakat tentang manfaat KKLD Abun bagi masyarakat yaitu 84,4 menyatakan bahwa KKLD bermanfaat, 2,2 tidak
bermanfaat, 3,1 menyatakan manfaat KKLD tidak mempengaruhi kehidupan masyarakat setempat, 9,4 menyatakan tidak tahu, dan 0,9 tidak menjawab.
Informasi tentang istilah kawasan konservasi laut dimana 50,31 menyatakan tidak pernah mendengar, 38,75 menyatakan pernah mendengar istilah kawasan
perlindungan laut dan 10,31 tidak mengetahui istilah tentang kawasan perlindungan laut.
Gambar 50. Peta tangkapan sampingan dari perikanan rawai tuna di perairan indonesia. Titik merah : jumlah penyu belimbing yang tertangkap Utara Kepala Burung sampai di Samudra pasifik oleh kapal rawai tuna yang berpangkalan di pelabuhan
Bitung Sulawesih Utara Zainudin et al. 2006 Areal tangkapan sampingan
dari penyu belimbing
1 4
9
Secara keseluruhan masyarakat di KKLD Abun memiliki pengetahuan konservasi yang baik karena mampu merespon dan menilai kinerja konservasi
yang telah dilakukan. Dasar pengetahuan ini diharapkan menjadi acuan masyarakat dipesisir Abun sehingga berpartisipasi dalam pengelolaan Penyu
Belimbing dan kawasan konservasi perairan Abun.
5.4.3.5 Potensi Konflik Pengelolaan Sumberdaya Penyu Belimbing
Konflik merupakan suatu bentuk interaksi diantara beberapa pihak yang berbeda dalam kepentingan, persepsi dan tujuan. Konflik dilatar belakangi oleh
perbedaan ciri ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Potensi konflik biasanya bersumber dari konflik internal dan konflik eksternal. Konflik internal
adalah konflik yang terjadi antar sesama masyarakat dalam satu kawasan tertentu. Sementara konflik eksternal adalah konflik yang terjadi oleh semua pihak diluar
masyarakat. Konflik yang berpotensi terjadi dalam pengelolaan sumberdaya Penyu Belimbing bersumber dari konflik internal dan eksternal. Berikut ini
identifikasi konflik terhadap pengelolaan Penyu Belimbing di pantai peneluran Jamursba Medi dan Wermon terdeskripsikan pada Gambar 51. Konflik internal
terjadi antara masyarakat pemilik hak ulayat dan masyarakat biasa. Masyarakat hak ulayat meliputi beberapa marga dari suku Abun seperti Yesnat, Yekwam dan
Yessa. Sementara masyarakat biasa adalah masyarakat yang berasal dari suku lain seperti suku Biak, Serui dan suku lainnya. Selanjutnya konflik eksternal terjadi
antara masyarakat dengan pemerintah daerah Tambrauw dan BBKSDA dan beberapa lembaga swasta WWF Indonesia, Universitas Negeri Papua dan
Yayasan Penyu Indonesia. Konflik juga berpotensi terjadi antara pihak pengelola swasta dan pemerintah daerah maupun pusat BBKSDA Papua Barat.
Gambar 51 menjelaskan pemetaan konflik pengelolaan sumberdaya Penyu Belimbing di Jamursba Medi dan Wermon. Sumber konflik terklasfikasi
bersumber dari konflik internal dan konflik eksternal. Konflik internal antara masyarakat hak ulayat dan masyarakat biasa terindikasi adanya keistimewaaan
kepada oleh masyarakat pemilik hak ulayat dari beberapa pengelola swasta. Keistimewaan yang diberikan seperti pemberian kompensasi terhadap hak ulayat
pantai, pemberian bantuan pendidikan bagi anak pemilik hak ulayat dan pemberian alternatif pekerjaan. Hal berbeda dirasakan masyarakat biasa dimana
tidak adanya perhatian dari pengelola seperti yang diberikan kepada masyarakat pemilik hak ulayat. Kondisi ini menimbulkan kecemburuan dan berakibat pada
tindakan merugikan dan memberi dampak terhadap pengelolaan Penyu Belimbing. Tindakan negatif yang diperlihatkan adalah adanya pengambilan telur
penyu, melakukan tangkapan terhadap penyu dan beberapa kegiatan lain yang memberikan dampak terhadap penurunan degradasi habitat peneluran.
Potensi konflik ini kemudian disederhanakan dalam matriks konflik untuk melihat peluang konflik yang terjadi dalam pengelolaan Penyu Belimbing KKLD Abun.
WWF Unipa
BBKSD A
YPI PEMDA
Msy Biasa
Msy Hak
ulayat WWF
Unipa BBKSDA
YPI PEMDA
Msy Biasa Msy hak ulayat
Keterangan : Arsiran abu
: potensi konflik eksternal, Arsiran biru: potensi konflik internal antara Universitas Negeri Papua, BBKSDA Papua Barat, Pemerintah Kabupaten
Tambrauw, WWF Indonesia Region Sorong, Yayasan Penyu Indonesia, Masyarakat pemilik hak ulayat, dan Masyarakat biasa.
Gambar 51. Pemetaan potensi konflik pengelolaan SD penyu belimbing di Jamursba Medi dan Wermon
Universitas Negeri
Papua
BBKSDA Papua
Barat Yayasan
Penyu Indonesia
Pemerintah Daerah
Kabupaten Tambrauw
Masyarakat Biasa
Masyarakat Pemilik Hak
Ulayat
WWF Indonesia
Sahul
Sorong
Pengelolaan Penyu
Belimbing di KKLD Abun
x =
x x
x x
= =
=
= =
= x
x
Potensi konflik eksternal antara pemerintah daerah dengan BBKSDA Papua Barat, WWF Indonesia berhubungan dengan kepentingan sektoral dalam
pengelolaan. Konflik kepentingan sektoral antara lembaga lembaga tersebut disebabkan ketidakadaan komunikasi dan pembagian peran sehingga adanya
tumpang tindih program yang mengindikasikan ketidakefisien program dan hasil yang diharapkan. Solusi yang dibutuhkan untuk meminimalkan konflik ekternal
ini adalah pengelolaan secara adaptif dengan pendekatan kolaborasi antara semua stakehoders yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya penyu belimbing. Secara
horizontal, masyarakat juga berkonflik dengan WWF, BBKSDA, Yayasan Penyu Indonesia dan terkait dengan transparansi hasil kegiatan konservasi dan dianggap
informasi ini menjadi konsumsi lembaga tersebut tanpa sosialisasi kepada masyarakat. Konflik lainnya yang juga tergambar dari Gambar 51 adalah konflik
antara pemeritah daerah dengan masyarakat. Konflik tersebut merujuk pada kurangnya perhatian pemerintah terhadap pengembangan ekonomi masyarakat
yang mendiami pesisir KKLD Abun. Rendahnya pendapatan ekonomi masyarakat memicu tingginya pemanfaatan sumberdaya alam termasuk sumberdaya Penyu
Belimbing. Kondisi ini memicu adanya peningkatan ekploitasi sumberdaya penyu untuk meningkatkan kebutuhan dan pendapatan ekonomi masyarakat.
5.4.3.6 Peran Pemerintah Daerah Kabupaten Tambrauw
Pemerintah merupakan organisasi yang memiliki kekuasaan untuk membuat dan menerapkan hukum serta undang undang di wilayah tertentu. Pemerintah
daerah adalah organisasi yang memiliki kekuasaan dan bertanggung jawab terhadap keberlanjutan pemeritahan di daerah tersebut. Pemerintah daerah
berperan dalam semua kepentingan dan proses pembangunan baik secara ekonomi, ekologi dan sosial kelembagaan. Peranan yang diberikan pemerintah
terkait dengan sarana dan prasarana, bimbingan teknis dan non teknis, serta program lainnya yang memberikan manfaat bagi semua lapisan masyarakat.
Peran pemeritah dari pengelolaan penyu belimbing dan keberlanjutan kawasan konservasi perairan dinilai belum maksimal disebabkan pemerintah
Tambrauw merupakan kabupaten definitif tahun 2009 sehingga masih dalam proses pembenahan. Tetapi dalam waktu mendatang pemerintah Tambrauw
memiliki peran krusial dalam pengelolaan sumberdaya Penyu Belimbing dan
keberlanjutan kawasan konservasi perairan Abun mengingat penyu belimbing sebagai ikon Kabupaten Tambrauw, dan juga pesisir Tambrauw yang memiliki
potensi keanekaragaman yang tinggi. Mengacu pada kondisi tersebut maka upaya terarah pada optimalisasi peran stakeholder yang berpartisipasi dalam pengelolaan
tersebut. Model pendekatan yang perlu dipertimbangan dalam pengelolaan penyu
belimbing adalah pendekatan adaptif dan pendekatan co-managemet. Pendekatan adaptif menekankan kepada pengelolaan yang disusun berdasarkan proses
pembelajaran sistematis dari pengalaman sukses dan gagal sehingga merujuk pada kebijaksanaan dalam pengambilan keputusan. Pendekataan co-management
mengarah pada pembagian kewenangan dan tanggung jawab antara pemerintah dan masyarakat sebagai pengguna sumberdaya dalam pengelolaan konservasi
penyu belimbing Pikerton 1989 in Adrianto dan Kusumastanto 2004. Manfaat yang diperoleh dari pendekatan ini adalah pendekatan pembangunan yang lebih
berbasis pada masyarakat, meminimalkan konflik horizontal antara pemerintah dan masyarakat, adanya desentralisasi pengelolaan sumberdaya, dan keikutsertaan
dalam pengambilan keputusan. Sementara manfaat bagi pemerintah adalah berkurangnya wewenang yang berdampak pada meningkatnya efektivitas
kewenangan dalam pengelolaan tersebut Adrianto dan Kusumastanto 2004.
5.4.4 Penilaian Kerentanan
Jumlah parameter pada kajian kerentanan populasi pada pantai Jamursba Medi dan Wermon terdiri dari 17 variabel dimana 6 variabel merupakan dimensi
keterpaparan, 6 variabel termasuk dalam dimensi kepekaan dan 5 variabel termasuk dalam dimensi kapasitas adaptif seperti pada Tabel 36.
Tabel 36. Nilai skor masing-masing variabel kerentanan populasi penyu belimbing
No Variabel
Ranking Jamursba Medi
Ranking Wermon
A Dimensi Keterpaparan
1 Variasi suhu pasir
3 3
2 Kenaikan muka laut kemiringan pantai
2 2
3 Munsoon
2 3
4 Laju predasi
2 3
5 Pengambilan telur
5 1
6 Tangkapan masyarakat
1 1
B Dimensi Kepekaan
7 Suhu Pasir
4 3
8 Kedalaman sarang
4 3
9 Tekstur pasir
3 2
10 Konsumsi telur
5 5
11 Konsums daging
1 1
12 Tangkapan sampingan perikanan
1 1
C Dimensi Kapasitas Adaptif
13 Relokasi sarang
4 3
14 Perlindungan habitat
2 2
15 Potensi konflik
2 2
16 Peranan pemerintah
2 2
17 Pengetahuan masyarakat
2 2
5.4.4.1 Indeks Keterpaparan
Indeks keterpaparan merupakan bagian dari penyusun indeks kerentanan populasi dengan variabel penyusun terdiri dari variabel lingkungan dan sosial
antropogenik. Tiap variabel ini memiliki nilai indeks yang berbeda berdasarkan signifikan variabel terhadap kerentanan populasi penyu belimbing. Variasi suhu
pasir VSP memiliki proporsi terbesar atau paling mempengaruhi indeks keterpaparan kaitannya dengan sukses penetasan telur menjadi individu baru
tukik pada kedua pantai peneluran. Suhu merupakan penentu seks baik betina maupun jantan untuk jenis hewan yang tergolong reptil Ackerman 1997 tetapi
juga suhu pasir merupakan faktor penunjang dalam perkembangan embrio penyu. Berdasarkan hal tersebut maka keterpaparan pasir terhadap sinar matahari
berhubungan dengan suhu dan kelembaban dalam pasir. Perubahan suhu pasir mempengaruhi perkembangan embrio dan periode masa inkubasi telur dalam
sarang. Apabila suhu pasir bervariasi dan cenderung meningkat maka dampak yang ditimbulkan adalah gagalnya penetasan telur menjadi tukik dan mengurangi
jumlah individu baru tukik. Berkurangnya jumlah individu baru berdampak pada ketidakseimbangan alam yang merujuk pada penurunan spesies Penyu Belimbing.
Variabel kenaikan muka laut dan kemiringan SLRKP dikedua pantai memiliki proporsi berbeda terhadap indeks keterpaparan. Rata-rata kenaikan muka
laut pada kedua pantai adalah 7,6 mmtahun. Kenaikan muka laut berhubungan dengan elevasi dan kemiringan pantai. Hasil penelitian menunjukkan kemiringan
di pantai Wermon termasuk dalam kategori landai 13.64 dengan jarak surut terandah dan pasang tertinggi 21,71 m, sementara Jamursba Medi termasuk
kategori landai sampai datar 1,037 dengan jarak surut terendah sampai pasang tertinggi mencapai 52,45 m. Perbedaan elevasi dan kemiringan ini mempengaruhi
potensi rendaman dimasing-masing pantai peneluran. Berdasarkan kategori kemiringan dan elevasi pantai maka dipastikan pantai Wermon memiliki potensi
rendaman tertinggi, cenderung rentan dan berpotensi hilangnya daerah daratan pantai dibandingkan pantai Jamursba Medi yang berpotensi terendam lebih kecil
untuk daratan pantai. Dari uraian ini maka rata-rata proporsi yang diberikan terhadap indek keterpaparan adalan 10,91 untuk Pantai Jamursba Medi dan
11,65 untuk pantai Wermon. Variabel lingkungan pembentuk nilai indeks keterpaparan lainnya adalah
monsun. Monsun adalah angin musiman yang melintasi Indonesia karena adanya perbedaan musim dibelahan bumi utara BBU dan belahan bumi selatan BBS.
Monsun secara tidak langsung melintas diperairan Utara Papua bertepatan dengan musim peneluran penyu belimbing sehingga asumsi yang tersaji adalah monsun
berhubungan dengan musim peneluran. Pengaruh monsun belum terukur secara pasti tetapi beberapa peneliti oseanografi mengatakan bahwa keterkaitan antara
musim peneluran dan periode monsun teriindikasi dari pola arus yang membantu daya renang penyu mencapai daerah peneluran dan daerah makan. Variabel
monsun M yang terjadi pada Pantai Jamursaba Medi dan Wermon memiliki proporsi nilai yang berbeda meskipun hanya berbanding 1. Hal ini disebabkan
karena monsun tidak lagi membuat perbedaan musim karena saat ini musim peneluran terjadi sepanjang tahun dikedua pantai ini. Indikasi lain menunjukkan
perubahan iklim global berperan terhadap pergeseran monsun yang diasumsikan mempengaruhi pola arus dimana pola arus berkorelasi dengan pola migrasi penyu
belimbing. Pola migrasi dengan tujuan melakukan peneluran, mencari makan dan kawin juga mengalami perubahan secara temporal.
Laju predasi menjadi variabel selanjutnya yang merupakan pembentuk indeks keterpaparan. Variabel laju predasi menunjukkan nilai proporsi berbeda
antar kedua pantai. Jamursba Medi memiliki proporsi terbesar 25,45 dan cenderung terbuka terhadap predasi dibandingkan Wermon yang tidak memiliki
nilai proporsi 0. Tingginya predasi di Jamursba Medi disebabkan oleh predator baik predator liar babi hutan, biawak dan predator peliharaan masyarakat
anjing. Kondisi yang sama disampaikan Stark 1993 menyatakan bahwa 181 sarang terpredasi 14 dari 1300 sarang oleh babi hutan selama Juli sampai
September 1993. Tapilatu et al. 2005 menunjukkan hal serupa dimana predasi sarang oleh babi hutan mencapai 29,3 selama Juni-Juli 2005. Sejauh ini, belum
ada penanganan tentang predasi secara efektif menyebabkan laju predasi masih menjadi salah satu problem yang dijumpai dalam pengelolaan Penyu Belimbing.
Faktor sosial antropogenik penyusun indeks keterpaparan terpilih dua variabel yaitu konsumsi telur dan tangkapan oleh masyarakat. Variabel
pengambilan telur dan tangkapan masyarakat menunjukkan proporsi tertinggi di pantai Wermon dari kampung Wau-weyaf dan Waybeam sebesar 20,39 dan
11,65. Sementara pengambilan telur dan tangkapan oleh masyarakat di kampung Sausapor dan Saubeba di pantai Jamursba Medi tidak memiliki nilai
proporsi 0.
Gambar 52. Proporsi nilai variabel pada indeks keterpaparan
Tangkapan dan konsumsi daging juga berkaitan dengan masyarakat Kei Gambar 53 karena aktivitas perburuan terhadap penyu belimbing yang diketahui adalah
populasi dari Jamursba Medi dan Wermon.
Gambar 53 menunjukkan bahwa laju pemanfaatan tertinggi terjadi di perairan Kei Maluku Tenggara. Pada periode pengamatan Juni 2008-Maret 2009, tercatat
total tangkapan Penyu Belimbing yang dilakukan masyarakat Nufit sebanyak 46 ekor dan yang tidak tertangkap sebanyak 67 ekor. Jika diklasifikasikan
berdasarkan jenis kelamin, maka penyu belimbing betina yang tertangkap sebanyak 24 ekor, sedangkan penyu belimbing jantan yang tertangkap sebanyak
22 ekor WWF 2009. Hasil ini juga memperlihatkan perburuan penyu belimbing pada periode 20082009 cenderung tinggi dibandingkan dengan periode
20072008, tetapi hasil ini masih lebih rendah dari periode 20062007. Tingginya jumlah tangkapan pada periode 20082009 dikarenakan lokasi tangkapan yang
relatif dekat dan musim ini bersamaan dengan musim teduh. Kedua faktor ini menyebabkan jumlah penyu belimbing yang tertangkap dalam jumlah besar yaitu
sekitar 48 ekor. Laju pemanfaatan penyu belimbing baik jantan maupun betina diduga menjadi salah satu faktor penurunan populasi di Jamursba Medi dan
Wermon. 23
5 22
59
11 26
56 85
67
20 40
60 80
100
Periode 20062007 Periode 20072008
Periode 20082009
J um
la h
Tertangkap Jantan Tertangkap Betina
Tdk Tertangkap Gambar 53. Jumlah tangkapan penyu belimbing oleh masyarakat Kei
5.4.4.2 Indeks Kepekaan
Indeks kepekaan atau sensitivity indeks merupakan fungsi dari indeks kerentanan populasi yang diartikan kemampuan sistem dalam merespon gangguan
eksternal terhadap sistem tersebut. Variabel penyusun indeks kepekaan menunjukkan perbedaan antara variabel dari faktor lingkungan dan faktor sosial
antropogenik. Variabel penyusun indek kepekaan dengan nilai proporsi tertinggi adalah suhu pasir sebesar 51,48 untuk pantai Jamursba Medi dan 26,33 untuk
pantai Wermon Gambar 54. Suhu pasir di Jamursba Medi memiliki proporsi tertinggi dengan fluktuasi suhu pasir selama musim peneluran adalah 30
C dan 34
C dibandingkan pantai Wermon yang berfluktuasi 27 C sampai 31
C, seperti yang dijelaskan pada Gambar 39. Ditambahkan oleh Tapilatu et al. 2005 bahwa
suhu pasir di Jamursba Medi sangat berfluktuasi antara 28.86 C dan 34.98
C pada high zone dekat vegetasi dan lower zone dekat laut. Perbandingan rata-
rata suhu pasir SP antara Jamursba Medi dan Wermon menunjukkan bahwa suhu pasir di Jamursba Medi lebih berfluktuasi dibandingkan suhu pasir di Wermon.
Variabel tekstur pasir TP memiliki proporsi nilai lebih sensitif yaitu 21,30 pada pantai Jamursba Medi dibandingkan 0,58 di pantai Wermon. Hasil
yang sama juga dikemukakan Tapilatu et al. 2005 dimana tekstur pasir di pantai Jamursba Medi relatif sensitif yang terindikasi dari rendahnya keberhasilan
penetasan. Dari tiga pantai di Jamusrba Medi pantai Wembrak memiliki nilai Gambar 54. Proporsi nilai indeks kepekaan Sensitivity index
persentase paling rendah 9,2, disebabkan ukuran dan tekstur pasir yang memicu peningkatan suhu pasir, berpotensi melebihi suhu termal perkembangan embrio
sehingga menyebabkan kematian. Selanjutnya variabel kedalaman sarang KS menunjukkan nilai proporsi tinggi terhadap indeks kepekaan terutama di pantai
Wermon sebesar 44,24 dibandingkan Jamursba Medi 21,89. Jamursba Medi dan Wermon memiliki rata-rata kedalaman yang berbeda dimana kedalaman
sarang di Jamursba Medi lebih dalam dibandingkan dengan Wermon. Kedalaman sarang berhubungan dengan topografi dan kemiringan pantai. Apabila pantai
terklasifikasi datar maka mendukung proses penggalian sarang dan meminimalkan laju abrasi oleh gelombang pasang surut. Kondisi berbeda, jika pantai
terklasifikasi landai dan curam maka sarang yang tergali cenderung tidak pada posisi ideal sehingga berpotensi terabrasi oleh gelombang.
Faktor sosial antropogenik memiliki variabel penyusun indeks kepekaan yaitu variabel konsumsi telur dan konsumsi daging oleh masyarakat. Variabel
konsumsi telur KT memiliki nilai proporsi 28,84 dan sensitif terhadap populasi di pantai Wermon. Sementara di Jamursba Medi memiliki nilai proporsi
21,89 terhadap populasi telur. Perbedaan nilai proporsi ini berhubungan dengan jumlah total sarang dikedua pantai. Jamursba Medi memiliki jumlah total sarang
yang lebih banyak daripada Wermon dikarenakan panjang pantai yang mencapai 18 km, dibandingkan Wermon yang hanya 6 km. Panjang pantai mempengaruhi
jumlah individu yang naik bertelur sehingga pantai Wermon dengan populasi sarang yang terbatas memberikan kontribusi terhadap nilai proposi pengambilan
dan konsumsi telur yang bersifat negatif terhadap populasi sarang di Wermon. Konsumsi daging KD terhadap populasi di Jamursba Medi dan Wermon tidak
memiliki nilai 0.0 terhadap populasi. Konsumsi daging oleh masyarakat pesisir Abun tergolong rendah dengan frekuensi 1 - 3 kg dikarenakan hanya untuk
konsumsi keluarga. Kondisi ini memungkinkan karena masyarakat hanya mengkonsumsi ketika musim peneluran selebihnya masyarakat bergantung
terhadap hasil meramu di hutan. Variabel tangkapan sampingan menjadi variabel penyusun indeks
kepekaan yang tidak memiliki nilai proporsi 0. Tangkapan sampingan merupakan bagian dari aktivitas perikanan yang menghasilkan spesies bukan
target. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas perikanan di perairan utara Abun tergolong berskala kecil. Ini terlihat dari kapal penangkapan yang berukuran
4 - 5 GT dengan jumlah kapal 2 - 4 buah. Rendahnya aktivitas perikanan di pesisir utara Abun disebabkan kondisi perairan yang selalu bergelombang karena
berhadapan dengan Samudra Pasifik. Oleh sebab itu, diperoleh informasi bahwa selama penangkapan ikan jarang terlihat penyu yang terjaring atau tertangkap.
Kondisi berbeda terlihat di laut lepas dengan jarak yang jauh dari pesisir Abun 2 mil dari pantai dimana beroperasinya kapal perikanan tuna. Fakta ini
diperkuat dari beberapa penelitian yang menyatakan bahwa Utara Kepala Burung Papua menjadi daerah penangkapan beberapa kapal rawai tuna yang berpusat di
Bitung Zainuddin et al. 2006. Selain kapal rawai tuna, beberapa kapal udang diketahui melakukan penangkapan di perairan laut utara Kepala Burung Papua.
Tangkapan sampingan terbanyak diketahui berasal dari perikanan rawai tuna dan kapal penangkap udang dengan alat tangkap trawl. Hasil survey LIPI dan WWF
2005, menunjukkan rawai tuna merupakan alat tangkap yang berpotensi dan efektif dalam menyebabkan tertangkapnya penyu laut secara tidak sengaja
bycatch. Bilahmar 2005, press com dari Asosiasi Tuna Indonesia menyatakan diduga terdapat 1600 buah kapal rawai tuna berbendera Indonesia, jika satu kapal
rata- rata beroperasi dalam 4 trip dalam setahun,dan dalam satu trip minimal satu penyu tertangkap, maka estimasi jumlah penyu yang tertangkap sebanyak 6400
ekor dalam setahun LIPI dan WWF 2005. Lewison 2004 memperoleh hasil tangkapan sampingan dari rawai untuk ikan tuna dan swordfish berkisar antara 0-
14 ekor untuk penyu tempayan dan 0- 2.4 ekor untuk penyu belimbing dari 1000 mata pancing yang digunakan.
Alat tangkap lain selain rawai tuna seperti gillnetdrifnet, purse seine, set net
atau sero, trawl pukat harimau dan alat lainnya berpotensi menyebabkan penyu tertangkap atau terjaring. Pierpoint 2000 menunjukkan bahwa gillnet dan
driftnet yang dipakai untuk menangkap ikan tuna dapat menjerat penyu belimbing
dengan laju tangkapan sebesar 0,33 - 8 penyu per 10.000 rawai tuna di perairan Inggris dan Irlandia. Meskipun jenis alat tangkap ini memiliki persentase yang
jauh dari rawai, namun 45 dari nelayan yang diwawancari pernah menangkap penyu dengan alat tangkap selain rawai.
Selanjutnya LIPI dan WWF 2005 melakukan analisa terkait aktivitas perikanan dan jumlah armada untuk memperkirakan laju tangkapan sampingan
berdasarkan daerah menangkap. Hasil menunjukkan bahwa perbandingan pengoperasian armada di samudra Pasifik dan samudra Hindia adalah 16
berbanding 84. Sejumlah armada penangkapan terkonsentrasi di Samudra Pasifik dikarena produktivitas perairan yang tinggi karena proses upwelling dan
proses oseanografi lainnya. Selanjutnya estimasi perbandingan tangkapan sampingan antara penyu belimbing dan penyu tempayan dari kapal rawai tuna
adalah 28 berbanding 86. Hasil pendugaan menunjukkan bahwa peluang tertangkapnya penyu belimbing oleh kapal rawai tuna Indonesia di samudra
Pasifik adalah 768 – 2.304 ekor per tahun. Hasil berbeda ditunjukan oleh Lewison
et al . 2004 melalui peta sebaran pendugaan penyu belimbing dan penyu
tempayan untuk tahun 2000 diperairan dunia Lampiran 13. Dari peta tersebut terlihat kisaran tangkapan sampingan di Pasifik untuk Penyu Belimbing adalah
20000-40000 ekor sedangkan disamudra Hindia adalah 4000 ekor. Jika dibandingkan dengan perkiraan tangkapan sampingan dari kapal perikanan rawai
Tuna Indonesia yang beroperasi di samudra Hindia menunjukkan perbedaan nilai tangkapan sampingan estimasi Lewison et al. 2006 dimana perikanan rawai tuna
Indonesia memiliki interaksi kuat dan tinggi terhadap tangkapan sampingan kedua jenis penyu samudra Hindia dan relatif rendah di samudra Pasifik.
5.4.4.3 Indeks Kapasitas Adaptif
Indeks kapasitas adapatif adalah fungsi ketiga dari kerentanan selain indeks keterpaparan dan indeks kepekaan. Indeks kapasitas adaptif terdiri dari
lima variabel penyusun yaitu variabel sarang relokasi SR, perlindungan habitat PH, pengetahuan masyarakat PM tentang konservasi, potensi konflik PK dan
peranan pemerintah dalam konservasi PP. Dari kelima varibel tersebut relokasi sarang memiliki proporsi tertinggi dalam menyusun indek kapasitas adaptif.
Relokasi sarang di Jamursba Medi memiliki proporsi nilai terbesar yaitu 85,25 dibandingkan 66,45 untuk relokasi di pantai Wermon. Tingginya proporsi
relokasi sarang di Jamursba Medi disebabkan jumlah sarang yang direlokasi lebih banyak dibandingkan Wermon yaitu sekitar 50 sarang per pantai. Jika
dibandingkan di Wermon yang direlokasi hanya 25 sarang permusim.
Variabel perlindungan habitat PH berkaitan dengan penetapan status kawasan konservasi. Tahun 2005 penetapan kawasan pesisir laut Jamursba Medi
diusulkan sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah Abun. Pengusulan luasan KKLD Abun mencakup kawasan pesisir Jamursba Medi tanpa Wermon. Luasan
ini dirasakan kurang mampu melindungi penyu belimbing mengingat Wermon merupakan pantai dengan jumlah populasi yang besar. Berdasarkan hal tersebut,
maka adanya pengusulan baru yang meliputi pesisir Jamursba Medi sampai Wermon dengan luasan 169.515,783 ha. Dari uraian ini, nilai proporsi
perlindungan habitat sebesar terlihat di Jamursba Medi rendah sekitar 7,25 dibandingkan perlindungan habitat di Wermon yaitu 14,19. Nilai proporsi ini
menjelaskan bahwa perlindungan habitat di Wermon harus menjadi prioritas dalam kaitannya perlindungan habitat dalam waktu mendatang mengingat
keterancaman populasi penyu belimbing lebih tinggi dibandingkan populasi di pantai Jamursba Medi.
Variabel pengetahuan masyarakat PM menjadi variabel penting sebagai dasar keberlanjutan konservasi penyu belimbing di KKLD Abun. Pengetahuan
masyarakat menunjukkan persepsi yang bervariasi. Nilai proporsi pantai Wermon mencapai 5,16 dibandingkan Jamursba Medi yang tidak bernilai 0. Nilai ini
menjelaskan bahwa pengetahuan masyarakat di kampung yang berdampingan dengan Wermon masih terbilang rendah. Hal ini disebabkan tingkatan pendidikan
yang rendah dan sosialisasi pemerintah maupun pihak konservasi yang cenderung belum optimal. Variabel potensi konflik PK dan peranan pemerintah PP
memberikan kontribusi terkecil dalam indeks kapasitas adaptif. Potensi konflik memberikan kontribusi nilai proporsi sebesar 5,16 untuk pengelolaan di
Wermon. Konflik yang teridentifikasi adalah konflik antara masyarakat, masyarakat dengan pemerintah. Adanya konflik ini menjadi kendala bagi kegiatan
konservasi di pantai tersebut.
Variabel peranan pemeritah terhadap kegiatan konservasi dirasakan masih kurang karena nilai proporsi hanya 1, untuk pengelolaan Jamursba Medi.
Pemeritah daerah belum melakukan tugas dan fungsi dengan program-program prioritas. Indikasinya adalah lambatnya respon pemeritah dan mengelola KKLD
Abun yang telah ditetapkan selama 7 tahun ini. Lambatnya respon pemerintah daerah juga terlihat dari rendahnya frekuensi sosialisasi tentang konservasi dan
perlindungan lingkungan. Secara keseluruhan komposit nilai indek penyusun kerentanan populasi di kedua pantai terlihat pada Gambar 56 dan 57.
Nilai indeks kerentanan yang tersusun dalam kerentanan populasi penyu belimbing di Jamursba Medi dan Wermon menunjukkan perbedaan ditiap
indeksnya. Keterpaparan populasi penyu belimbing terhadap perubahan lingkungan dan aktivitas manusia termasuk dalam kategori sedang medium
vurnerable dengan nilai 0.48 dan 0.51 untuk populasi Jamursba Medi dan
Wermon Gambar 56. Indeks kepekaan menunjukkan kerentanan populasi termasuk dalam level tinggi high vurnerable = 0.77 di pantai Wermon,
sedangkan di Jamursba Medi berada pada level sedang medium vurnerable = 0.52 Gambar 56. Perbedaan nilai indeks kepekaan antara kedua pantai ini
menunjukkan populasi Wermon sangat sensitivif terhadap ancaman faktor lingkungan maupun sosial antropogenik. Ancaman lingkungan berkaitan dengan
degradasi habitat peneluran yang berdampak pada penurunan jumlah sarang Gambar 55. Proporsi nilai indeks kapasitas adaptif Adaptif capasity index
dipantai dan jumlah tukik yang dihasilkan. Ancaman sosial antropogenik terhadap populasi penyu belimbing di Wermon berdasarkan pengambilan telur oleh
masyarakat lokal, pemanfaatan atau perburuan langsung oleh masyarakat diluar pantai Wermon seperti di pesisir Utara Manokwari dan masyarakat diperairan Kei.
Indeks kapasitas adaptif pada kedua pantai ini berada pada level kerentanan yang sama yaitu kerentanan sedang medium vurnerable meskipun
Wermon memiliki nilai lebih tinggi 0.52 dibandingkan Jamursba Medi 0.43 Gambar 56. Adanya level yang sama dikedua pantai ini dikarenakan variabel
lingkungan seperti sarang relokasi sudah dilakukan secara intesif di kedua pantai tersebut. Selain relokasi sarang, variabel kapasitas adaptif lainnya juga harus
dioptimalkan dalam mendukung keberlanjutan pengelolaan populasi penyu belimbing.
Gambar 57 menjelaskan tentang indeks komulatif kerentanan populasi dikedua pantai menunjukkan level yang berbeda. Pantai Jamursba Medi memiliki
indeks kerentanan populasi pada level sedang medium vurnerable = 0.486 dan Wermon berada pada level tinggi high vurnerable = 0.616. Indikasi
keterancaman populasi Wermon didasarkan penurunan populasi secara drastis Gambar 19 daan 20 mencapai 10 per tahun dan penurunan populasi Jamursba
Medi mencapai 5.8 Gambar 57. Apabila dikomposit berdasarkan faktor Gambar 56. Fungsi indeks kerentanan populasi penyu belimbing di
Jamursba Medi dan Wermon
penyusun yaitu faktor lingkungan dan sosial antropogenik maka populasi Jamursba Medi berada pada level kerentan sedang medium level dengan nilai
0.525. Berdasarkan nilai ini maka dapat disimpulkan bahwa populasi di kedua pantai ini rentan terhadap ancaman faktor lingkungan dan sosial antropogenik
serta faktor lain sehingga perlu dilindungi secara intensif dan menyeluruh.
Hasil indeks kerentanan menunjukkan bahwa populasi Wermon termasuk dalam level kerentanan tinggi. Hal ini sejalan dengan penelitian estimasi populasi
yang dilakukan oleh Hitipeuw et al. 2007, Dutton et al. 2007 dan Sarti et al. 1996 menunjukkan bahwa populasi Wermon terancam punah apabila jumlah
sarang per musim terus mengalami penurunan. Penurunan populasi sarang di pantai peneluran secara drastis mengindikasikan berkurangnya individu dewasa
yang naik bertelur di pantai. Penurunan populasi individu dewasa tidak hanya terjadi di Wermon tetapi pada populasi Pasifik Barat. Hasil penelitian genetik
menyatakan bahwa populasi Jamursba Medi dan Wermon merupakan satu populasi Pasifik Barat. Adanya perbedaan pola migrasi secara temporal
menyebabkan populasi penyu belimbing Pasifik Barat memiliki habitat peneluran yang berbeda. Adanya perbedaan peneluran secara spasial dan temporal dari
populasi ini membentuk metapopulasi di wilayah Pasifik Barat. Gambar 57. Indeks kerentanan populasi penyu belimbing di Jamursba Medi
dan Wermon
Populasi di Jamursba Medi dan Wermon memiliki perbedaan waktu peneluran. Jamursba Medi memiliki musim peneluran yang dikenal dengan
musim summer boreal bertepatan dengan musim panas di belahan bumi utara dimana populasi Penyu Belimbing terdistribusi dengan satu musim puncak
unimodal pada bulan April-September Gambar 59. Wermon memiliki musim peneluran austral summer bertepatan musim panas di Australian dan musim
dingin di belahan bumi utara. Populasi Wermon terdistribusi kedalam dua puncak musim yang dikenal dengan Bimodal dengan musim puncak pada Desember-
Februari dan Juni-Juli dengan jumlah sarang yang tidak signifikan Gambar 59. Gambar 58. Trend penurunan jumlah sarang penyu belimbing di Pantai
Jamursba Medi dan Wermon Tapilatu et al. in prep
Gambar 59. Distribusi musim peneluran di Jamurba Medi Unimodal atau plot berwarna biru dan Wermon Bimodal atau plot berwarna
merah Tapilatu et al. in prep
Gambar 59 menjelaskan tentang musim puncak dari populasi Jamursba Medi dan Wermon. Jamursba Medi memiliki satu musim puncak tetapi signifikan
dan cenderung tinggi. Wermon memiliki dua musim puncak tetapi jumlah sarang tidak signifikan seperti Jamusrba Medi. Kondisi ini diperkuat dengan jumlah
individu betina yang melakukan peneluran pada musim Jamursba Medi lebih banyak dibanding musim Wermon Tapilatu et al. in prep. Terjadi trend
penurunan populasi pada dua musim peneluran tetapi musim austral summer lebih rendah dibandingkan musim boreal summer yaitu 10.5 dan 6.4 selama 2005 -
2011 Tapilatu et al.in prep Gambar 60. Penjelasan ini memperkuat indeks kerentanan dimana populasi Wermon sangat rentan apabila mengacu pada jumlah
sarang, jumlah individu betina dan musim peneluran.
Gambar 60. Jumlah penyu belimbing yang bertelur pada musim boreal summer dan austral summer di pantai Jamursba Medi dan Wermon
Tapilatu et al. in prep.
5.5 Analisis Skenario KKLD Abun dengan Analisis
Tradeoff TOA
Groves 2003 menyatakan untuk menyelamatkan spesies menuju kepunahan digunakan pendekatan konservasi keanekaragaman hayati. Spesies
yang dimaksud menjadi target species target, sedangkan komunitas biotik dimana spesies itu berada dijadikan target konservasi conservation target. Jika
pemikiran tersebut diterapkan pada kasus kawasan konservasi laut daerah Abun maka dengan melindungi Penyu Belimbing diperlukan kawasan konservasi cukup
luas dengan keanekaragaman hayati dan beberapa tipe ekosistem didalamnya. Penyu berperan sebagai spesies payung umbrella species bagi upaya konservasi
keanekaragaman hayati dan ekosistem di pesisir utara Kepala Burung Papua dengan desain skenario yang mengakomodir semua kepentingan.
Analisis tradeoff menjadi pilihan dalam menganalisis skenario keberlanjutan KKLD Abun dengan pendekatan sistem skor dan pembobotan. Ada empat tahapan
dalam tradeoff yaitu identifikasi stakeholder, analisis multikriteria, analisis skenario dan identifikas rentang bobot serta pemilihan skenario terbaik.
5.5.1 Identifikasi Stakeholder
Analisis stakeholder adalah sistem untuk mengumpulkan informasi mengenai kelompok atau individu yang mempengaruhi keputusan,
mengkategorikan informasi dan menjelaskan konflik yang mungkin ada di antara kelompok penting, dan di daerah mana kemungkinan adanya trade-off. Untuk
menjalankan analisis stakeholder, maka diperlukan langkah langkah. Pertama, mengidentifikasi stakeholder, metode untuk mengidentifikasi stakeholder adalah
dengan menggunakan sebuah kontinum stakeholder dari makro ketingkat mikro. Identifikasi stakeholder dilokasi penelitian diketahui 10 stakeholder yang berperan
dan relatif berpengaruh terhadap pengelolaan populasi Penyu Belimbing di KKLD Abun. Pengaruh dan peran dari tiap stakeholder dalam pengelolaan terklasifikasi
berdasarkan skala oleh Marimin 2004 dan Saaty 1991. Untuk mengetahui pengaruh stakeholder terhadap populasi Penyu Belimbing dikelompokan kedalam
4 bagian yaitu 1: tidak berpengaruh, 2: sedikit berpengaruh, 3: berpengaruh dan 4: sangat berpengaruh Marimin 2004. Selanjutnya untuk mengetahui kepentingan
dari stakeholder juga dikelompokkan dalam empat skala yaitu 1: kurang
berkepentingan, 2: sedikit berkepentingan, 3: berkepentingan dan 4: sangat berkepentingan.
Hasil analisis stakehoder yang dipilih adalah stakehoder diatas garis linear. Pemilihan stakehoder ini mengacu pada Kusdiantoro et al. 2006 yang
menyatakan bahwa pemilihan stakeholder berdasarkan kelompok yang berada diatas garis linear secara diagonal karena memiliki nilai pengaruh dan peran yang
besar terhadap pengelolaan populasi penyu belimbing. Stakeholder yang terpilih Gambar 59 adalah X4 Badan Lingkungan Hidup, X5 Dinas Perikanan
Kelautan, X6 BKSAD II Papua, X7 masyarakat lokal, X8 WWF Indonesia, X9 Universitas Negeri Papua, X10 Yayasan Penyu Indonesia. Stakehoder yang
berada diatas garis linear menentukan indikator keberlanjutan skenario, dimensi pengelolaan dan diharapkan menentukan kebijakan yang diambil terkait
pengelolaan KKLD Abun. Gambar 61 : Kepentingan dan pengaruh stakeholder terhadap pengelolaan populasi
penyu belimbing dan KKLD Abun X1 : Nelayan
X2 : Peneliti X3 : Distrik Abun
X4 : Badan Lingkungan Hidup
X5 : Dinas Perikanan Kelautan
X6 : BBKSDA X7 : Masyarakat lokal
X8 : WWF Indonesia X9 : Universitas Negeri
Papua X10 : Yayasan Penyu
Indonesia