Analisis Skenario KKLD Abun dengan Analisis

berkepentingan, 2: sedikit berkepentingan, 3: berkepentingan dan 4: sangat berkepentingan. Hasil analisis stakehoder yang dipilih adalah stakehoder diatas garis linear. Pemilihan stakehoder ini mengacu pada Kusdiantoro et al. 2006 yang menyatakan bahwa pemilihan stakeholder berdasarkan kelompok yang berada diatas garis linear secara diagonal karena memiliki nilai pengaruh dan peran yang besar terhadap pengelolaan populasi penyu belimbing. Stakeholder yang terpilih Gambar 59 adalah X4 Badan Lingkungan Hidup, X5 Dinas Perikanan Kelautan, X6 BKSAD II Papua, X7 masyarakat lokal, X8 WWF Indonesia, X9 Universitas Negeri Papua, X10 Yayasan Penyu Indonesia. Stakehoder yang berada diatas garis linear menentukan indikator keberlanjutan skenario, dimensi pengelolaan dan diharapkan menentukan kebijakan yang diambil terkait pengelolaan KKLD Abun. Gambar 61 : Kepentingan dan pengaruh stakeholder terhadap pengelolaan populasi penyu belimbing dan KKLD Abun X1 : Nelayan X2 : Peneliti X3 : Distrik Abun X4 : Badan Lingkungan Hidup X5 : Dinas Perikanan Kelautan X6 : BBKSDA X7 : Masyarakat lokal X8 : WWF Indonesia X9 : Universitas Negeri Papua X10 : Yayasan Penyu Indonesia

5.5.2 Analisis Skenario

Analisis skenario dan kriteria merupakan tahapan selanjutnya dalam tradeoff analisis. Analisis skenario bertujuan mengklasifikasikan skenario terbaik berdasarkan isu yang terjadi. Klasifikasi skenario A, B, C dan D secara jelas dijabarkan pada Tabel 37. Tabel 37. Alternatif Skenario untuk pengelolaan penyu belimbing dan Keberlanjutan KKLD Abun No Skenario Deskripsi A Tanpa Pengelolaan Skenario tanpa pengelolaan berarti meniadakan aktivitas pengelolaan dengan membiarkan perkembangan populasi secara alami. B Sub Model Lingkungan Skenario sub model lingkungan menitikberatkan pada pengelolaan lingkungan terutama di pantai peneluran. Pada sub model lingkungan difokuskan pada peningkatan jumlah individu baru tukik melalui upaya relokasi, menurunkan laju predasi, menjaga kestabilan pantai dan meminimalkan degradasi habitat peneluran. C Sub Model Sosial Antropogenik Sub model sosial antropogenik diarahkan pembatasan pemanfaaatan terhadap sumberdaya penyu seperti pengambilan telur, perburuan individu dewasa, tangkapan sampingan dari aktivitas perikanan. D Sub Model Keterpaduan Lingkungan dan Sosial Antropogenik Skenario keterpaduan difokuskan pada memadukan dua menjalankan dua skenario yaitu sub model lingkungan dan sosial antropogenik secara bersamaan sehingga adanya keseimbangan dalam pengelolaan. Tahapan selanjutnya adalah pengelompokan issu dan permasalahan berdasarkan dimensi lingkungan dan sosial antropogenik. Hasil survei dan observasi selama penelitian mengakategorikan isu-isu dan permasalahan pengelolaan populasi Penyu Belimbing di KKLD Abun sebagaimana dijelaskan pada Gambar 61.

5.5.3 Analisis Multi Kriteria

Analisis multi kriteria adalah proses penetapan skenario berdasarkan nilai yang pembobotan skenario. Berdasarkan hasil analisis dan pengumpulan data selama penelitian maka didapatkan hasil data yang dijelaskan pada Tabel 38 yaitu nilai kriteria untuk tiap dimensi lingkungan dan sosial antropogenik. Masing- masing nilai pada tabel skenario tersebut harus distandarisasi dengan menggunakan pengharkatan atau scoring agar nilai yang digunakan dapat dihitung sebagai pertimbangan keputusan. KKLD ABUN Sosial antropogenik Lingkungan Suhu pasir Kenaikan muka laut Kemiringan pantai Tekstur pasir Kedalaman sarang Relokasi sarang Laju predasi Perlindungan habitat Pengambilan telur Konsumsi telur Penangkapan penyu Konsumsi daging Bycatch KKLD ABUN Sosial antropogenik Lingkungan Gambar 62. Isu utama dalam pengelolaan populasi penyu belimbing di KKLD Abun. Tabel 38. Nilai hasil skenario pengelolaan populasi penyu belimbing di KKLD Abun. Kriteria Nilai Skenario A B C D Dimensi lingkungan 1 Suhu pasir C 32 28 31 28 2 Kenaikan muka laut mmtahun 7.8 7.8 7.8 7.8 3 Kemiringan pantai 10 10 10 10 4 Kedalaman sarang cm 80 80 80 80 5 Tekstur pasir nm 500 500 500 500 6 Laju predasi 70 40 40 20 7 Relokasi sarang sarang 10 100 50 200 8 Perlindungan habitat km 2 50 100 200 500 Dimensi sosial antropogenik 9 Pengambilan telur sarang 100 50 25 15 10 Konsumsi telur butir 1000 500 250 100 11 Penangkapan penyu ekor 50 20 10 5 12 Konsumsi daging kg 30 20 10 5 13 Tangkapan sampingan ekor 100 50 20 10 Tabel 38 menjelaskan tentang nilai kriteria pada tiap skenario A, B, C dan D. Nilai kriteria ditiap skenario menggambarkan nilai masing masing variabel yang akan dikonversi menjadi skor 0-100 sehingga menghasilkan nilai skor. Nilai skor akan digunakan untuk penentuan sistem ranking berdasarkan pilihan stakholder. Nilai skenario ditampilkan pada Tabel 39. Tabel 39. Nilai skor dari tiap variabel terhadap skenario pengelolaan Kriteria Skoring Skenario A B C D Dimensi lingkungan 1 Suhu pasir C 100 33 67 2 Kenaikan muka laut mm 3 Kemiringan pantai 4 Kedalaman sarang cm 5 Tekstur pasir nm 6 Laju predasi 60 60 100 7 Relokasi sarang sarang 100 53 79 8 Perlindungan habitat km 2 100 89 67 Rata-rata skor lingkungan 25 38 30 21 Dimensi sosial antropogenik 9 Pengambilan telur sarang 59 88 100 10 Konsumsi telur butir 56 83 100 11 Penangkapan penyu ekor 67 89 100 12 Konsumsi daging kg 40 80 100 13 Tangkapan sampingan ekor 56 89 100 Rata-rata skor sosial antropogenik 55 86 100 Skor rerata keseluruhan 13 47 58 60 Berdasarkan Tabel 39 diperoleh nilai rata-rata tertinggi adalah pada skenario D skor 60, diikuti nilai skenario C skor 58. Untuk mendapatkan kesimpulan tentang skenario mana yang lebih baik, maka digunakan analisis preferensi dari stakeholder. Analisis preferensi tersebut dapat dilakukan melalui skala perhitungan antara lain adalah skala nominal, ordinal, interval dan rasio. Ringkasan hasil penelitian persepsi dari 7 stakeholder terhadap kedua dimensi prioritas dalam penentuan kebijakan lingkungan dan sosial antropogenik tersaji pada Table 40. Tabel 40. Preferensi stakeholder terkait pengelolaan KKLD Abun Prioritas pengelolaan Preferensi stakeholder Median Total Bobot Rank x 4 x 5 x 6 x 7 x 8 x 9 x 10 Lingkungan 3 3 2 3 3 3 3 3 20 0.43 2 Sosial antropogenik 3 4 4 4 4 4 4 4 27 0.57 1 47 1.00 Tabel ini 40 menjelaskan tentang pilihan dimensi terbaik oleh stakehoder yang dilakukan dalam pengelolan Penyu Belimbing. Pemilihan dimensi ini ditentukan oleh stakehoder berdasarkan persepsi dengan mengacu pada skala yang ditentukan mulai dari 1-4 berdasarkan Saaty 1991 dengan keterangan 1: tidak penting, 2: sedikit penting, 3: penting dan 4 : sangat penting. Pemberian nilai ranking berdasarkan pengaruh dimensi tersebut dalam pengelolaan. Semakin tinggi nilai ranking diketahui semakin berpotensi mempengaruhi populasi sehingga menjadi prioritas pengelolaan. Dalam penelitian ini, prioritas manajemen yang paling penting dilakukan bertujuan meningkatan populasi penyu belimbing dan keberlanjutan KKLD Abun. Berdasarkan faktor lingkungan yaitu perlindungan ekosistem, peningkatan populasi individu baru tukik, pengurangan laju predasi sarang di pantai peneluran. Sementara faktor sosial antropogenik merujuk pada perbaikan isu-isu sosial antropogenik dan budaya serta pengawasan terhadap aktivitas perikanan terkait dengan tangkapan sampingan penyu belimbing.

5.5.4 Identifikasi Rentang Bobot untuk Skenario

Bobot adalah angka-angka yang dapat dilampirkan atau mewakili dimensi dalam menentukan kepentingan relatif dari tiap item yang berbeda. Identifikasi bobot bertujuan mengetahui tingkatan dimensi lingkungan dan sosial antropogenik. Identifikasi bobot menjadi tahapan terakhir dalam penentuan skenario terbaik yang menjadi prioritas pengelolaan seperti pada perumusan berikut. TLg = Rata-rata preferensi Lingkungan TSA = Rata-rata preferensi Sosial Antropogenik TR = Total Rata-rata Bobot yang digunakan adalah 0.43 untuk dimensi lingkungan dan 0.57 untuk dimensi sosial antropogenik dengan total bobot adalah 1.00. Selanjutnya perhitungan antara skor dikalikan bobot tergambarkan pada Tabel 41. Tabel 41. Nilai skor dan bobot untuk masing-masing skenario. Kriteria Skenario A B C D Dimensi lingkungan 0.43x25 10.75 0.43x38 16.34 0.43x43 12.9 0.43x21 9.03 Dimensi Sosial antropogenik 0.57x0 0.57x55 31.35 0.57x86 49.02 0.57x100 57 Total 10.17 47.69 61.92 66.03 Perhitungan ini berdasarkan perumusan skala prioritas dengan metode perkalian antara bobot dan skor yang telah didefinisikan. Skor didapatkan dari hasil analisis skala kriteria yang disajikan pada Table 40. Berdasarkan perhitungan ini diperoleh skenario D sebagai prioritas utama dalam pengelolaan populasi Penyu Belimbing sebagai indikator keberlanjutan KKLD Abun, dengan kriteria peningkatan utama pada pengelolaan aspek sosial antropogenik dan lingkungan. Namun demikin sebagai catatan, dalam pertimbangan model ini skenario C tetap diperhatikan karena nilainya tidak jauh berbeda dari Skenario D. Ada kemungkinan kedua sub model C bisa dipilih dengan melihat isu utama yang terjadi di KKLD Abun. Skenario D sub model keterpaduan menjadi skenario terbaik disebabkan dalam pengelolaan perlu adanya keseimbangan pengelolaan dimana pendekatan pengelolaan antara ekologi, ekonomi dan sosial. Pengelolaan penyu belimbing di Jamursba Medi dan Wermon telah berjalan dengan pendekatan lingkungan yaitu perlindungan habitat peneluran, peningkatan individu baru melalui relokasi sarang. Hasil dari pengelolaan lingkungan adalah adanya peningkatan jumlah individu baru dalam beberapa musim terakhir, tetapi ada indikasi penurunan jumlah individu dewasa yang ditandai dengan penurunan jumlah sarang di pantai. Estimasi penurunan populasi penyu belimbing di Jamursba Medi dan Wermon diduga disebabkan pengambilan telur oleh masyarakat disekitar pantai peneluran, perburuan oleh masyarakat lokal baik dipesisir Papua dan Kei Maluku dan tangkapan sampingan dari aktivitas perikanan Tapilatu et al. in prep. Mengacu pada fakta tersebut maka pendekatan skenario keterpaduan merupakan pilihan tepat dalam pengelolaan penyu belimbing di KKLD Abun disamping perlu adanya regulasi antara kabupaten dan propinsi dalam kaitan perburuan oleh masyarakat Kei Maluku. 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Adapun kesimpulan yang disarikan dari penelitian ini adalah Populasi penyu belimbing di Jamursba Medi dan Wermon secara kuantitatif mengalami penurunan dalam skala besar. Hal ini dikarenakan tingginya ancaman faktor lingkungan dan sosial antropogenik dibeberapa daerah yang menjadi tujuan migrasi penyu belimbing. Faktor lingkungan ditandai dengan adanya perubahan iklim, memicu penurunan sukses penetasan telur menjadi tukik. Faktor sosial antropogenik memicu pemanfaatan terhadap individu dewasa yang mengarah pada penurunan populasi penyu belimbing dewasa. Rendahnya jumlah individu baru dan berkurangnya jumlah individu dewasa di alam menyebabkan stok populasi berada pada status kritis dan terancam. Kondisi ini diperjelas oleh penilaian non detrimental finding bahwa ancaman kegiatan pemanfaatan di pesisir utara Kepala Burung Papua mengarah pada penurunan dan kepunahan populasi. Indeks kerentanan populasi penyu belimbing di Pantai Jamursba Medi dan Wermon berdasarkan fungsi kerentanan yaitu Indeks keterpaparan, indeks kepekaan dan indeks kapasitas adaptif. Indeks keterpaparan pada kedua pantai peneluran termasuk level medium vunerable dengan nilai 0,48 untuk pantai Jamursba medi dan Wermon dengan nilai 0,51 pada level medium vurnerable. Nilai ini menjelaskan populasi penyu belimbing dikedua pantai sangat terbuka terhadap faktor lingkungan seperti perubahan suhu pasir, kenaikan muka laut, monsun, peningkatan laju predasi yang mempengaruhi keberhasilan penetasan telur menjadi individu baru. Populasi juga terpapar terhadap aktivitas pemanfaatan seperti pengambilan telur dan tangkapan masyarakat. Kedua aktivitas ini secara langsung mempengaruhi jumlah stok individu dewasa sehingga keberadaan populasi dialam menjadi terbatas. Indeks kepekaan menunjukkan bahwa populasi di Jamursba Medi termasuk dalam level medium vurnerable pada nilai 0,52 dan Wermon dengan nilai 0,77 pada level high vurnerable. Indeks kepekaan ini menjelaskan bahwa populasi Wermon termasuk dalam level sangat sensitif terhadap pengaruh faktor lingkungan dan sosial antropogenik. Kepekaan populasi Wermon ditandai dengan penurunan populasi baik jumlah sarang dan individu betina yang bertelur lebih besar sekitar 10,5 per musim lebih besar dibandingkan populasi Jamursba Medi Tapilatu et al. in prep. Indeks kapasitas adaptif menunjukkan populasi di Wermon dan Jamursba Medi berapa pada level medium vurnerable dengan nilai 0,52 dan 0,43. Indeks ini menjelaskan tentang pengelolaan adaptif dalam upaya mempertahankan populasi. Berdasarkan penjelasan ini maka secara keseluruhan komulatif indeks kerentanan populasi penyu belimbing saat ini pada kedua pantai berada pada level medium vurnerable untuk populasi Jamursba Medi dan high vurnerable untuk populasi Wermon. Menindaklanjuti upaya mempertahankan populasi penyu belimbing di Jamursba Medi dan Wermon maka perlu adanya upaya pengelolaan baik di habitat peneluran maupun habitat yang menjadi tujuan migrasi penyu belimbing. Upaya pengelolan yang selama ini dilakukan adalah pengelolaan habitat pantai Suakamagrsatwa Jamursba Medi dan perairan lokasi peneluran dengan penetapan Kawasan Konservasi Laut Daerah KKLD Abun. Berdasarkan uraian tersebut maka perlu dilakukan skenario pengelolaan sebagai dasar keberlanjutan populasi penyu belimbing. Keberlanjutan KKLD Abun didasarkan beberapa skenario pengelolaan yang ditawarkan melalui analisis trade-off. Empat skenario ditawarkan dalam menganalisis keberlanjutan Kawasan Konservasi Laut Abun yaitu skenario tanpa pengelolaan, skenario sub model lingkungan, skenario sub model sosial antropogenik dan skenario keterpaduan sub model lingkungan dan sosial antropogenik. Dari keempat skenario tersebut ada dua skenario yang terpilih berdasarkan analisis tradeoff dan dinilai menjadi skenario terbaik yaitu skenario keterpaduan sub model lingkungan dan sosial antropogenik dengan skor terbesar 66,03 dan sub model sosial antropogenik dengan skor 61,92. Skenario keterpaduan memiliki nilai tertinggi dan merupakan skenario terpilih untuk diterapkan dalam keberlanjutan pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah Abun Kabupaten Tambrauw Papua Barat.

6.2 Saran

Dengan mengacu pada hasil, pembahasan dan kesimpulan, maka disarankan beberapa hal sebagai berikut :  Mengotimalisasikan monitoring dan pemantauan populasi penyu belimbing dengan meningkatkan populasi rekruitmen. Optimalisasi monitoring dan pemantauan dilakukan secara aktif dengan melibatkan masyarakat lokal sebagai pemiliki sumberdaya sehingga menimbulkan simpati untuk mempertahankan populasi penyu belimbing,  Pengawasan dan pembinaan terhadap pelaku pemanfaatan sumberdaya penyu belimbing perlu ditingkatkan. Pembinaan harus dilakukan untuk perbaikan ekonomi melalui matapencaharian alternatif sehingga ada pengalihan konsentrasi untuk tidak memanfaatkan sumberdaya penyu belimbing.  Perlu dilakukan kajian lanjut tentang simulasi kerentanan populasi penyu belimbing beberapa tahun kedepan. Hasil dari simulasi ini diharapkan menjadi acuan dalam skenario pengelolaan dan bentuk adaptasi dalam mempertahankan populasi ini.  Perlu ada masterplan dan rencana pengelolaan sehingga prioritas pengelolaan akan berlangsung sistematis dan komprehensif untuk mendukung keberlanjutan KKLD Abun.  Penetapan aturan secara lokal, regional dan global dalam kaitannya terhadap perlindungan disepanjang jalur migrasi penyu belimbing. DAFTAR PUSTAKA Adger WN. 2006. Vulnerability. Global Environmental Change 16 3: 268-281 Ackerman RA. 1997. The Nest Environment and The Embryonic Development Of Sea Turtles. In: Lutz, P.L., and Musick, J.A. Eds.. The Biology of Sea Turtles . Boca Raton: CRC Press, pp. 83-106 Adrianto L and Matsuda Y. 2002. Developing Economic Vulnerability Índices of Environmental Disasters in Small Island Región. Environmental Impact Assessment Review . Vol. 22: 394-414. Adrianto L and Matsuda Y. 2004. Study in Assesing Economic Vulnerability of Small Island Regions. Environmental Development and Sustainability. 6: 317-336. Adrianto L. 2004. Pembangunan dan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil yang Berkelanjutan Sustainable Small Islands Development and Management. In Working Paper Kebijakan Pengelolaan Perikanan dan Wilayah Pesisir Tahun 2004 Eds : Adrianto L. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, IPB. Bogor. Part-5. Adrianto L. Small Islands Sustainable Management and Development in Bahasa Indonesia. September 1 2004. Paper Presented in the Training of Coastal Zone Management. Ministry of Marine Affairs and Fisheries, Republic of Indonesia. Bogor. Allen Consultation Group. 2005. Climate Change Risk and Vurnerability. Department of the Environment and Heritage , Australian Greenhouse Office. Canberra Antonio DM, Kallimanis AS,Tzanopoulus J, Sgardelis SP, Pantis JD. 2009. Sea Temperature Variation in Core Foranging Ground Drive Nesting Trend and Phenology of Loggerhead Turtle in Meditteranian Sea. Experimental Marine Biology and Ecology . 3792009: 23-27. Baker JD, Littnam CL, Johnstom DW. 2006. Potential Effect of Sea Level Rise on the Teresterial Habitats of Endangared and Endemic megafauna in Northwestern Hawai Island. Endagared SP Research ESR 4:1-10. Balmford, A., G.M. Mace, and N. Leader-Williams. 1996. Designing the ark: Setting Priorities for Captive breeding. Conservation Biology 10: 719-727 Benson SR, Dutton PH, Hitipeuw C, Samber B, Bakarbessy J, Parker D 2007a Post-nesting Migrations of Leatherback Turtles D.coriacea from Jamursba- Medi, Bird‟s Head Peninsula, Indonesia. Chelonian Conservasi Biology 6:150 –154.