Berdasarkan hasil analisis kuesioner terhadap 185 responden diketahui karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan, usia, jenis pekerjaan dan
asal daerah seperti terlihat pada Gambar 25. Berdasarkan tingkat pendidikan, persentase responden yang memanfaatkan sumberdaya penyu belimbing di pantai
Jamursba Medi dan Wemon adalah 37 untuk Sekolah Dasar SD, diikuti SMA sebesar 34, SMP sebesar 19 dan paling rendah Perguruang Tinggi PT seperti
D3 dan D2 sebesar 10. Selanjutnya berdasarkan tingkat usia, sejumlah responden yang memanfaatkan sumberdaya penyu belimbing memiliki kisaran
usia dari 20 - 35 tahun sebesar 52, diikuti 30 - 50 tahun sebesar 36 - 50 tahun, sebesar 18 berusia 51 - 65 tahun, 65 tahun sebesar 5 dan yang terendah
adalah 15 tahun sebesar 4. Berdasarkan jenis pekerjaan, responden yang memanfaatkan sumberdaya penyu belimbing bermatapencaharian petani atau
nelayan sebesar 82, PNS sebesar 9 dan pedagang sebesar 9. Selanjutnya berdasarkan asal daerah responden diketahui persentase terbesar adalah berasal
dari suku Abun 30, diikuti suku Meyah-Kebar sebesar 26, suku Biak sebesar 22, sementara suku Serui dan pendatang memiliki nilai persentase yang sama
yaitu 11.
5.3.2 Responden Pengambil Telur
Pengumpul telur dari pantai peneluran didominasi oleh kaum lelaki yang merupakan penduduk yang mendiami pesisir utara Papua terdiri dari suku Abun,
suku Meyah-Kebar, suku Biak dan suku Serui serta beberapa suku pendatang. Hasil survei terlihat bahwa jumlah responden pengambil telur tertinggi yaitu pada
frekuesni 1-2 sarang dengan persentase 68, diikuti 13 untuk frekuensi 3 - 4 sarang ditiap musim. Secara jelas jumlah pengambilan telur tersaji pada Tabel 23.
Tabel 23. Jumlah responden pengambil telur Penyu Belimbing berdasakan jumlah sarang per satu periode musim peneluran.
No Jumlah Sarang
musim Jumlah responden
Persentase 1
1-2 28
68.29 2
3-4 13
31.71 3
5-6 -
4 7
- Jumlah
41 100.00
Sumber : Data Primer 2012
Pengambilan telur penyu belimbing telah dilakukan sejak lama 10-15 tahun terakhir dan aktivitas ini menjadi kebiasaan yang dilakukan secara turun
temurun oleh masyarakat yang berdekatan dengan pantai peneluran. Dari 41 responden pengambil telur, berdasarkan tingkat pendidikan diketahui 17 orang
responden diantaranya tamatan SD, 9 orang tamatan SMP, 12 orang tamatan SMA dan 3 orang tamatan D2. Usia responden terlihat bahwa 16 responden berusia 20-
35 tahun, 14 responden berusia 36-50 tahun, 9 responden berusia 51-65 tahun dan 65 tahun sebanyak 2 responden. Responden kelompok pendidikan pada tingkat
SD sampai Perguruan tinggi mendominasi untuk pengambilan sarang telur pada frekuensi 1-2 dan 3-4 sarang. Pada frekuensi pengambilan 1-2 sarang pada tingkat
SD sebanyak 11 responden, diikuti SMA sebanyak 8 responden, SMP sebanyak 7 responden dan terendah pada tingkat perguruan tinggi sebanyak 2 responden.
Selanjutnya untuk frekuensi 3-4 sarang terlihat bahwa responden yang berpendidikan SD masih mendominasi sebanyak 6 responden, SMA sebanyak 4
responden, SMP sebanyak 2 responden dan Perguruan tinggi sebanyak 1 responden. Responden kelompok usia menunjukkan usia 20-35 tahun
mendominasi frekuensi Pengambilan telur 1-2 sarang sebanyak 10 responden, 36-50 tahun
sebanyak 9 responden, 51-65 tahun sebanyak 5 responden dan 65 tahun sebanyak 2 responden. Selanjutnya untuk frekuensi 3-4 sarang juga didominasi
oleh usia 20-35 tahun sebanyak 6 responden, 30-50 tahun sebanyak 5 responden dan 51-65 tahun sebanyak 4 responden.
Gambar 26. Laju pengambilan telur berdasarkan tingkat pendidikan dan usia responden. Kelompok pendidikan
1SD, 2SMP, 3SMA, 4PT.
Kelompok usia
120-35, 236-50,351-65, 465. Frekuensi 11-2 sarang, 23-4sarang,35-6 sarang,47sarang
y = 0.0696x + 1.1905 R² = 0.0255
0.5 1
1.5 2
2.5
1 2
3 4
5
Fr e
k ue
ns i
P e
ng a
m bi
la n
T e
lur
s a
r a
ng
Kelompok Pendidikan
KP Linear KP
y = -0.0174x + 1.3991 R² = 0.0012
0.5 1
1.5 2
2.5
1 2
3 4
5
Fr e
k u
e n
s i
P e
n g
a m
b il
a n
T e
lu r
S a
r a
n g
Kelompok Usia
KU Linear KU
Gambar 26 terlihat dua trend atau kecenderungan berbeda antara kelompok pendidikan dan kelompok usia. Kelompok pendidikan menggambarkan
kecenderungan peningkatan pada frekuensi pengambilan telur yang terindikasi berdasarkan garis trend regresi. Adanya peningkatan kecenderungan pengambilan
telur sejalan dengan tingginya pendidikan masyarakat menjelaskan bahwa tingkat pendidikan masyarakat tidak memberikan perubahan perilaku masyarakat untuk
tidak memanfaatkan telur. Kondisi ini disebabkan karena pengambilan telur merupakan kebiasaan yang dilakukan dalam memenuhi kebutuhan hidup,
sehingga setinggi apapun tingkat pendidikan masyarakat tidak mempengaruhi pola pikir masyarakat dalam memanfaatakan sumberdaya.
Kelompok usia menunjukkan adanya kecenderungan penurunan dimana semakin tua usia maka semakin rendah frekuensi pengambilan telur yang
terindikasi berdasarkan garis trend regresi. Adanya penurunan pengambilan telur sejalan dengan usia dimana semakin tua umur tidak produktif maka semakin
kurang tenaga sehingga aktivitas seperti pengambilan telur akan jarang dilakukan. Sebaliknya pada pelaku yang berusia muda umur produkti 20 - 35 tahun
melakukan pengambilan telur pada frekuensi tinggi dengan jumlah sarang yang banyak. Ini disebabkan, pada umur produktif dengan status sosial yang sudah
berumahtangga mengharuskan tambahan tanggungjawab dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi. Faktor lain menyatakan bahwa pola hidup masyarakat Papua
yang bersifat extended family artinya bekerja untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga dalam skala besar mengharuskan lelaki dewasa umur produktif
memiliki beban kerja cenderung besar dibanding lelaki berusia tua. Hasil analisis regresi berganda variabel pendidikan dan usia secara
simultan menunjukkan hasil nilai F adalah 6,40 dengan signifikasi 0,004 atau lebih besar dari 0,001 1 yang menunjukkan bahwa faktor pendidikan dan usia
tidak berpengaruh terhadap perilaku pengambilan telur. Hasil R
2
=25 menunjukkan variabel bebas pendidikan dan usia tidak memiliki keeratan
hubungan dengan variabel pengambil telur. 25 variasi perilaku pengambilan telur dipengaruhi oleh model pendidikan dan usia, sementara 21.3 dipengaruhi
variabel lainnya. Berdasarkan uji parsial melalui analisis regresi diperoleh model pendidikan X1 menunjukkan koefisien sebesar 0,4155 terhadap perilaku
pengambilan telur dengan signifikansi 0,004. Hal ini menjelaskan bahwa secara signifikan 0,004 model pendidikan mempengaruhi perilaku pengambil telur dan
bernilai negatif, dimana semakin tinggi tingkatan pendidikan akan menurunkan frekuensi pengambilan telur sebesar 0,4155 sarang begitupun sebaliknya.
Selanjutnya untuk variabel dari model usia pada selang kepercayaan 0,047 menunjukkan bahwa secara signifikan usia mempengaruhi perilaku pengambilan
telur dan bernilai negatif dimana semakin tinggi tingkatan usia akan menurunkan frekuensi pengambilan telur.
Lampiran 8 pada plot uji normalitas menjelaskan tentang respon dari pengambil telur yang menunjukkan adanya kenormalan data yang berupa garis
lurus linear maka penyebaran data secara normal terpenuhi dan model ini layak untuk memperkirakan hubungan pengambilan telur berdasarkan variabel
pendidikan dan usia. Lampiran 8 pada plot residual dengan pendugaan Y menjelaskan pola hubungan pengambil telur terhadap pendidikan dan usia
mebentuk pola acak dan tidak membentuk suatu pola tertentu dan menyebar diatas maupun dibawah angka pada angka 0 pada sumbu Y sehingga model ini
dikatakan tepat atau dapat dipakai untuk menilai perilaku pengambilan telur berdasarkan masukan dari pendidikan maupun usia.
5.3.3 Responden Konsumen Telur
Masyarakat yang mendiami pesisir utara KKLD Abun adalah pelaku konsumen telur penyu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentasi konsumsi
terbesar oleh masyarakat adalah 30.19 dengan frekuensi konsumsi 0 - 20 butir dan 55 - 100 butir, diikuti 16 untuk frekuensi konsumsi 110 - 200 butir dan
13.12 untuk frekuensi 25 - 50 butir. Secara jelas persentase konsumsi telur ditampilkan pada Tabel 24.
Tabel 24. Jumlah responden konsumsi telur penyu belimbing berdasarkan jumlah telur per satu periode musim peneluran.
No Jumlah telur
butirkkmusim Jumlah responden
Persentase 1
0-20 16
30.19 2
25-50 7
13.12 3
55-100 16
30.19 4
110-200 14
26.42 Jumlah
53 100.00
Sumber : Data Primer 2012
Masyarakat pesisir KKLD Abun menjadikan telur sebagai alah satu makanan alternatif pengganti ikan dan daging. Kebiasaan konsumsi telur telah
dilakukan sejak lama dan sudah menjadi kebiasaan secara turun temurun. Laju konsumsi telur oleh masyarakat terklasifikasi berdasarkan tingkat pendidikan dan
usia responden. Berdasarkan tingkat pendidikan diketahui 22 responden berpendidikan SD, SMP 9 responden, 12 responden berpendidikan SMA dan 10
responden setingkat perguruan tinggi. Berdasarkan usia terlihat bawa 25 responden berusia 20 - 35 tahun, 13 responden berusia 36 - 50 tahun, 7 responden
berusia 51-65 tahun dan 1 responden berusia 65 tahun. Survei pada Gambar 27 menyatakan laju konsumsi telur berdasarkan
tingkat pendidikan yaitu tingkatan SD mendominasi sebanyak 8 responden untuk frekuensi 110 - 200 butir, 6 responden untuk frekuensi 1 - 20 butir dan 2
responden untuk frekuensi 25 - 50 butir. Kelompok responden setingkat SMA sebanyak 5 responden untuk frekuensi 55 - 100 telur, 4 responden mengkonsumsi
1 - 20 butir dan 3 responden mengkonsumsi 25 - 100 butir. Kelompok responden setingkat SMP sebanyak 4 responden untuk konsumsi 1 - 20 telur, 3 responden
untuk konsumsi 50 - 100 butir dan 1 responden masing-masing untuk 25 -50 butir dan 110 - 200 butir. Selanjutnya kelompok usia didominasi oleh usia muda 20 -
35 tahun pada frekuensi 50 - 100 butir sebanyak 9 responden, frekuensi 1 - 20 butir sebanyak 7 responden, frekuensi 110 - 200 butir sebanyak 6 responden dan
frekuensi 25 - 50 butir sebanyak 3 responden. Pada usia 36 - 50 tahun dengan frekuensi 51 - 100 butir sebanyak 6 responden, frekuensi 110 - 200 sebanyak 4
responden, frekuensi 1 - 20 sebanyak 3 responden. Usia 51 - 65 tahun pada frekuensi 25 - 50 butir sebanyak 5 responden dan usia 65 tahun pada frekuensi
55 - 100 sebanyak 1 responden. Secara rinci laju konsumsi telur berdasarkan tingkat pendidikan dan usia terdeskripsikan pada Gambar 27.
Gambar 27 menunjukkan trend atau kecenderungan yang sama terhadap kelompok pendidikan maupun kelompok usia. Trend pada kelompok pendidikan
menunjukkan setiap tingkatan pendidikan memiliki peluang dan dominasi yang sama dalam mengkonsumsi telur pada frekuensi 11 - 20 butir sampai frekuensi
4110 - 200 butir. Rendahnya hubungan antara tingkat pendidikan dan usia terhadap perilaku konsumsi telur disebabkan karena konsumsi telur merupakan
salah satu kebiasaan untuk memenuhi kebutuhan protein tubuh tetapi juga telur merupakan salah satu makanan alternatif pengganti daging dan ikan sebagaimana
dijelaskan pada variabel sebelumnya. Selain itu pola masyarakat pesisir Papua yang bersifat subsitem yang memiliki nilai memanfaatkan semua sumberdaya
yang disediakan alam, karena tidak memiliki kemampuan memproduski makanan. Tidak adanya kemampuan memproduksi makanan menyebabkan laju pemanfaatan
akan semakin tinggi seiring dengan peningkatan kebutuhan sehingga berdampak pada penurunan sumberdaya.
Hasil analisis simultan uji F adalah sebesar 0.14 menjelaskan bahwa variabel pendidikan dan usia konsumsi telur oleh masyarakat pesisir Tambrauw
tidak mempengaruhi perilaku konsumsi telur dengan signifikansi atau selang kepercayaan 0.869. Model pendidikan dan usia hanya mempengaruhi perilaku
konsumsi dengan variasi sebesar 0.6. Berdasarkan uji T terlihat bahwa model pendidikan dan usia tidak mempengaruhi perilaku konsumsi telur. Model
pendidikan dengan selang kepercayaan 0.668 menunjukkan bahwa perilaku konsumsi telur oleh masyarakat tidak dipengaruhi oleh model pendidikan.
Variabel usia pada selang kepercayaan 0.727 juga menjelaskan bahwa perilaku konsumsi tidak dipengaruhi oleh usia. Kedua variabel ini menegaskan bahwa
Gambar 27. Laju konsumsi telur berdasarkan tingkat pendidikan. Kelompok pendidikan
1SD, 2SMP, 3SMA, 4PT.
Kelompok usia
120-35, 236-50,351-65, 465. Frekuensi 10-20butir, 225-50butir, 355-
100butir, 4110-200butir.
setinggi tingkatan pendidikan ataupun usia, perilaku konsumsi telur tetap dilakukan karena aktivitas ini sudah merupakan kebiasaan masyarakat setempat.
Lampiran 8 pada plot uji normalitas menjelaskan tentang respon dari konsumsi telur yang menunjukkan adanya kenormalan data terlihat pada score -50
pada sumbu X dan 50 pada sumbu Y untuk membetuk garis linear sehingga perlu dilakukan normalitas data karena beberapa data tidak terbentuk linear. Lampiran 8
pada plot residual dengan pendugaan Y menggambarkan adanya hubungan konsumsi telur terhadap pendidikan dan usia dimana terbentuknya pola acak yang
terdistribusi diatas maupun dibawah angka 0 sumbu Y. Hal ini mengindikasikan bahwa model ini tepat atau dapat digunakan untuk mengestimasi hubungan
perilaku konsumsi telur berdasarkan masukan dari pendidikan maupun usia.
5.3.4 Responden Penangkap
Responden penangkap penyu belimbing merupakan masyarakat yang mendiami pesisir utara Papua. Seluruh responden yang melakukan aktivitas
penangkapan adalah lelaki dewasa sebanyak 38 responden. Hasil menunjukkan bahwa persentase pengambilan terbanyak sebesar 57.89 pada frekuensi 1 - 2
ekorKKkampungmusim, diikuti 31.58 pada frekuensi 3 - 4 ekor, sebesar 7.89 pada frekuensi 7 - 8 ekor. Secara jelas persentase penangkapan ditampilkan
pada Tabel 25. Tabel 25. Jumlah responden penangkap Penyu Belimbing berdasakan jumlah
individu per satu periode musim. No
Jumlah penyu musim
Jumlah responden Persentase
1 1-2
22 57.89
2 3.4
12 31.58
3 5-6
3 7.89
4 7-8
1 2.63
Jumlah 38
100.00
Sumber : Data Primer 2012
Responden penangkap penyu belimbing terklasifikasi berdasarkan tingkat pendidikan dan usia. Berdasarkan tingkat pendidikan diketahui 19 responden
setingkat SD, 8 responden adalah SMP, 10 responden adalah SMA dan 1 responden setingkat PT. Berdasarkan usia diketahui usia 20 - 35 tahun sebanyak
22 responden, usia 36 - 50 tahun sebanyak 14 responden, usia 51 - 65 tahun sebanyak 5 responden dan 5 responden berusia 65 tahun.
Gambar 28 menunjukkan bahwa kegiatan pemanfaatan penyu belimbing tertinggi dilakukan oleh responden berpendidikan SD untuk frekuensi tangkapan
1 - 2 ekor sebanyak 10 responden, 5 responden untuk frekuensi tangkapan 3 - 4 ekor, 3 responden untuk frekuensi tangkapan 5 - 6 ekor dan 1 responden untuk
frekuensi tangkapan 7ekor. Responden yang berpendidikan SMP untuk frekuensi tangkapan 1 - 2 ekor dan 3 - 4 ekor sebanyak 4 responden, selanjutnya responden
yang setingkat SMA untuk frekuensi tangkapan 1 - 2 ekor sebanyak 7 responden, 3 responden untuk frekuensi tangkapa 3 - 4 ekor. Untuk tingkat PT terlihat hanya
1 responden pada frekuensi tangkapan 1 - 2 ekor. Kelompok usia terlihat bahwa usia muda mendominasi dalam aktivitas
tangkapan pada semua frekuensi tangkapan. Hasil menunjukkan bahwa usia 20-35 pada frekuensi tangkapan 1 - 3 ekor sebanyak 15 responden, frekuensi tangkapan
4 - 6 ekor sebanyak 6 responden, frekuensi tangkapan 7-8 ekor sebanyak 1 responden. Pada usia 36 - 50 tahun pada frekuensi tangkapan 1 - 3 ekor sebanyak
10 responden, frekuensi tangkapan 4 - 6 ekor sebanyak 3 responden, dan frekuensi tangkapan 7 - 8 ekor sebanyak 1 responden. Pada usia yang lebih tua yaitu 51 - 65
tahun terlihat mengalami penurunan dimana pada frekuensi 1 - 3 ekor hanya 4 responden, 1 responden pada frekuensi tangkapan 4 - 6 ekor. Hal sama juga
ditunjukkan pada usia 65 tahun pada frekuensi tangkapan 1 - 3 ekor sebanyak 3 responden, dan frekuensi tangkapan 7 - 8 ekor sebanyak 2 responden.
Gambar 28. Laju tangkapan penyu belimbing berdasarkan tingkat pendidikan dan usia. Kelompok pendidikan
1SD, 2SMP, 3SMA, 4PT.
Kelompok usia
120-35, 236-50,351-65, 465. Frekuensi 11-2 ekor, 23-4 ekor,35-6 sarang,47-8 ekor
y = -0.1987x + 1.9463 R² = 0.0741
0.5 1
1.5 2
2.5 3
3.5 4
4.5
1 2
3 4
5
F r
e k
ue ns
i T
a ng
k a
pa n
e k
or
Kelompok Pendidikan
KP Linear KP
Gambar 28 menggambarkan dua trend berbeda antara kelompok pendidikan dan kelompok usia. Kelompok pendidikan memperlihatkan trend
penurunan penangkapan pada tingkatan pendidikan yang sudah tinggi seperti perguruan tinggi. Responden dengan tingkatan pendidikan rendah mendominasi
dalam penangkapan penyu belimbing dikarenakan keahlian dan kemampuan intelektual yang rendah sehingga tidak ada pilihan alternatif matapencaharian.
Responden berpendidikan tinggi cenderung lebih rendah menangkap karena adanya alternatif mata pencaharian lain dengan keuntungan tinggi dibandingkan
dengan responden yang rata-rata tingkatan pendidikan SD sampai SMA. Kelompok usia memperlihatkan trend penurunan pada usia muda dibandingkan
usia tua. Adanya perbedaan dimana usia tua lebih disebabkan pengalaman menangkap. Responden yang berusia tua cenderung memiliki pengalaman dalam
hal daerah penangkapan, alat tangkap yang dipakai sampai teknik teknik penangkapan.
Uji simultan Uji F sebesar 0,35 menjelaskan bahwa variabel pendidikan dan usia tidak mempengaruhi perilaku tangkapan penyu oleh masyarakat dengan
signifikansi mencapai 0,710. 1.9 variasi perilaku tangkapan penyu dipengaruhi oleh model pendidikan dan usia. Selebihnya atau 0 dipengaruhi oleh variasi
variabel lain. Secara parsial model pendidikan dan usia tidak mempengaruhi perilaku tangkapan penyu oleh masyarakat. Model pendidikan tidak
mempengaruhi perilaku tangkapan penyu pada signifikasi 0,436 dan memberi nilai negatif yang artinya adanya peningkatan tingkatan pendidikan menurunkan
frekuensi tangkapan sebesar 0,2191 ekormusim, begitupun sebaliknya. Model usia pada signifikansi 0,969 tidak mempengaruhi perilaku tangkapan dan bernilai
negatif yang artinya semakin meningkat tinggi tingkatan usia maka semakin rendah perilaku tangkapan sebesar 0,0105 ekor.
Plot uji normalitas Lampiran 8 pada perilaku tangkapan penyu menunjukkan ketidaknormalitas data terlihat pada skore -2 pada sumbu X dan
10 pada sumbu Y selebihnya data terbentuk linear. Lampiran 8 pada plot residual terisitribusi secara acak diatas maupun dibawah angka 0 sumbu Y dan
membetuk beberapa pola.
5.3.5 Responden Konsumsi Daging
Konsumsi daging menjadi salah satu tujuan yang ingin diketahui dalam penelitian ini. Konsumsi daging yang digambarkan dalam penelitian ini memiliki
nilai tertinggi pada frekuensi 1 - 3 kg sebesar 60.39, diikuti 4 - 6 kg sebesar 32.08, dan frekuensi konsumsi 7 - 8 kg mencapai 7.55. Secara jelas
persentase konsumsi daging ditampilkan dalam Tabel 26. Tabel 26. Jumlah responden konsumsi Penyu Belimbing berdasakan jumlah
kilogram yang dikonsumsi per musim. No
Jumlah telur musim
Jumlah responden Persentase
1 1-3
32 60.39
2 4-6
17 32.08
3 7-8
4 7.55
4 9-11
- Jumlah
53 100.00
Sumber : Data Primer 2012
Total responden konsumsi daging adalah 52 KK yang diketahui berdasarkan tingkat pendidikan yaitu 21 KK tamatan SD, 9 tamatan SMP, 17
tamatan SMA dan sarjana 6 orang. Sementara untuk usia sebanyak 22 responden berusia 20 - 35 tahun, 14 responden berusia 35 - 50 tahun, 5 responden berusia
51 - 65 tahun dan 6 tahun sebanyak 5 responden. Hasil menunjukkan bahwa kelompok pendidikan setingkat SD
mendominasi konsumsi daging pada frekuensi 1 - 3 kg sampai 7 - 8 kg mencapai 21 responden, responden setingkat SMP sebanyak 9 responden, responden
setingkat SMA sebanyak 17 responden dan setingkat Perguruan tinggi sebanyak 13 responden. Selanjutnya kelompok usia memperlihatkan konsumsi daging
didominasi oleh usia muda 20 - 35 tahun sebanyak 15 responden untuk frekuensi konsumsi 1 - 3 kg, 6 responden untuk frekuensi konsumsi 4 - 6 kg, dan 1
responden untuk frekuensi konsumsi 7 - 8 kg. Selanjutnya usia 31 - 50 tahun pada frekuensi konsumsi 1 - 3 kg sebanyak 10 responden, 3 responden untuk frekuensi
konsumsi 4 - 6 kg dan 1 responden untuk frekuensi konsumsi 7 - 8 kg. Selanjutnya pada usia 51 - 65 tahun sebanyak 4 dan 1 responden untuk frekuensi
konsumsi 1 - 3 kg dan 4 - 6 kg. Sementara pada usia 65 tahun sebanyak 3 dan 2 responden pada frekuensi konsumsi 1 - 3 kg dan 7 - 8 kg.
Gambar 29 menjelaskan trend kelompok pendidikan menunjukkan responden setingkat SD sampai SMA mendominasi konsumsi daging dan
cenderung menurun pada responden dengan pendidikan setingkat perguruan tinggi. Kelompok usia memperlihatkan trend peningkatan pada usia tua dimana
konsumsi meningkat seiring dengan pertambahan usia. Kondisi ini disebabkan kebiasaan konsumsi yang terbawa sampai saat ini menyebabkan responden yang
berusia tua lebih menyukai daging penyu dibandingkan responden yang berusia muda yang lebih selektif dalam memilih makanan untuk dikonsumsi.
Uji varian Uji F sebesar 2,73 menjelaskan bahwa variabel pendidikan dan usia mempengaruhi perilaku tangkapan penyu oleh masyarakat dengan
signifikansi mencapai 0,075. Variasi sebesar 9,9 dari perilaku konsumsi daging dipengaruhi oleh model pendidikan dan usia. Selebihnya atau 0,62 dipengaruhi
oleh variasi variabel lain. Analisis parsial model pendidikan dan usia mempengaruhi perilaku konsumsi daging. Model pendidikan mempengaruhi
perilaku tangkapan penyu pada signifikasi 0,030 dan memberi nilai negatif yang artinya adanya peningkatan tingkatan pendidikan menurunkan frekuensi konsumsi
sebesar 0.6263 kg, begitupun sebaliknya. Model usia pada signifikansi 0,117 tidak mempengaruhi perilaku konsumsi dan bernilai positif yang artinya semakin
Gambar 29. Laju konsumsi daging penyu belimbing berdasarkan tingkat pendidikan dan usia. Kelompok pendidikan
1SD, 2SMP, 3SMA, 4PT.
Kelompok usia
120-35, 236-50,351-65,465. Frekuensi konsumsi daging 11-3 kg, 24-6 kg,37-8 kg,49-11 kg
meningkat tinggi tingkatan usia maka semakin tinggi perilaku konsumsi daging sebesar 0,0105 kg.
Plot uji normalitas Lampiran 8 pada perilaku tangkapan penyu menunjukkan ketidaknormalitas data terlihat pada skore -2 pada sumbu X dan 20 pada
sumbu Y selebihnya data terbentuk linear. Lampiran 8 plot residual terisitribusi secara acak diatas maupun dibawah angka 0 sumbu Y dan membetuk tidak
membentuk pola.
5.4 Indeks Kerentanan Populasi Penyu Belimbing
Indeks kerentanan yang dikonstruksikan dalam penelitian ini terdiri dari model statis untuk indeks kerentanan populasi Penyu Belimbing. Model statis
adalah indeks untuk menghitung kerentanan saat ini.
5.4.1 Penentuan Bobot Variabel Kerentanan
Variabel kerentanan untuk tiap dimensi kerentanan memiliki peranan atau signifikansi yang berbeda terhadap besar kecilnya nilai indek kerentanan populasi.
Kaitannya dengan signifikansi suatu variabel, Rao et al. 2008 dan Daukakis 2005 memberikan bobot yang lebih tinggi dibandingkan variabel lainnya. Ada
beberapa pendekatan yang digunakan untuk memberikan besaran bobot pada tiap variabel seperti pemberian nilai signifikansi secara langsung, menggunakan
persamaan linier dan menggunakan matriks perbandingan seperti yang dikemukakan oleh Villa and Mcleod 2002 in Tahir 2010. Dalam penelitian ini,
pendekatan yang dipakai adalah pendekatan matriks karena dianggap paling sesuai dalam menggambarkan peran atau signifikansi dari setiap variabel dari
kerentanan populasi. Metode matriks perbandingan pada prinsipnya adalah melakukan penilaian
kepentingan relatif dua elemen dengan aksioma reciprocal, artinya jika elemen i dinilai 3 kali lebih penting dibanding elemen j, maka elemen j harus sama dengan
13 kali pentingnya dibanding elemen i. Selain itu, perbandingan dua elemen yang sama akan menghasilkan angka 1, yang berarti peran atau signifikansinya sama
pentingnya. Jika terdapat m elemen, akan diperoleh matriks pairwise comparison berukuran m x n. Banyaknya penilaian yang diperlukan dalam menyusun matriks
yaitu nn-12 karena matriks reciprocal dan elemen diagonalnya sama dengan 1.
Setiap matriks pairwise comparison kemudian dicari nilai eigen vectornya untuk mendapatkan local priority. Oleh karena matriks pairwise comparison terdapat
pada setiap tingkat, untuk mendapatkan global priority harus dilakukan sintesis antara local priority. Urutan elemen-elemen menurut kepentingan relatif melalui
prosedur sintesis dinamakan priority setting. Berdasakan pendekatan ini, bobot setiap parameter dimensi keterpaparan, kepekaan dan kapasitas adaptif
ditampilkan pada Tabel 27 Tabel 27. Bobot variabel kerentanan populasi
Variabel Bobot
Dimensi keterpaparan Variasi suhu pasir
VSP 0,35
Kenaikan muka laut x kemiringan pantai SLR x KP
0,18 Monsun
M 0,18
Laju Predasi LP
0,12 Pengambilan Telur
PT 0,09
Tangkapan Masyarakat TM
0,09 Dimensi kepekaan
Suhu pasir SP
0,34 Teksture pasir
TP 0,17
Kedalaman sarang KS
0,17 Konsumsi telur
KT 0,11
Konsumsi daging KD
0,09 Tangkapan sampingan
BC 0,09
Dimensi kapasitas adaptif Sarang relokasi
SR 0,41
Perlindungan habitat PH
0,21 Pengetahuan masyarakat
PM 0,14
Potensi konflik PK
0,14 Peranan Pemerintah
PP 0,10
5.4.2 Sistem Lingkungan 5.4.2.1 Suhu dan Variasi Suhu Pasir
Suhu pasir menjadi salah satu indikator penting dalam menentukan keberhasilan penetasan telur selama masa inkubasi. Tabel 28 menunjukkan rata
rata suhu pasir di Pantai Jamursba Medi dan Wermon berfluktuasi dengan kisaran 27.31
C sampai 30.83 C tahun 2009. Berbeda dengan suhu pasir tahun 2010
yang cenderung konstan dengan kisaran 28.42 C sampai 29.78
C. Adanya perbedaan suhu pasir pada kedua pantai peneluran dan tahun yang berbeda
disebabkan frekuensi curah hujan dan kemarau yang tidak menentu sepanjang