107
KNPrT = kecepatan not pre-trill notdetik, DFT = durasi trill detik, FMaT = frekuensi tertinggi fase trill Hz, FMiT = frekuensi terendah trill Hz, MFT = modulasi frekuensi trill Hz, JNT =
jumlah not trill, KNT = kecepatan not trill notdetik, DPoT = durasi post-trill detik, FMaPoT = frekuensi tertinggi post-trill Hz, FMiPoT = frekuensi terendah post-trill Hz, MFPoT = modulasi
frekuensi post-trill Hz, JNPoT = jumlah not Post-trill, KNPoT = kecepatan not post-trill notdetik.
Pada Gambar 37, terlihat bahwa bentuk gelombang suara GC dari dua individu hibrida Hibrida-1 dan Hibrida-2 tersebut, juga berbeda cukup jelas,
masing-masing cenderung menyerupai pola GC salah satu tetuanya. Hibrida-1 lebih cenderung menyerupai pola GC H. agilis albibarbis, dan Hibrida-2
cenderung menyerupai pola GC H. muelleri. Pada Tabel 21 dapat dilihat bahwa durasi total GC DT Hibrida-1 14,74
detik, hampir sama dengan DT Hibrida-2 sebesar 15,06 detik. Hasil analisis ragam menunjukkan keduanya tidak berbeda signifikan p0,05. Peubah GC lainnya
yang tidak berbeda secara signifikan adalah jumlah not pre-trill JNPrT Hibrida-1 rata-rata 3,21 not dan Hibrida-2 3 not; dan frekuensi minimum pre-trill
FMiPrT Hibrida-1 rata-rata 589,88 Hz dan Hibrida-2 598,83 Hz. Peubah GC yang berbeda signifikan p0.05 antara keduanya, adalah jumlah not GC
TNGC, kecepatan not GC KNGC, durasi pre-trill DPrT, frekuensi maksimum pre-trill FMaPrT, frekuensi minimum pre-trill FMiPrT, modulasi
frekuensi pre-trill MFPrT, kecepatan not pre-trill KNPrT, durasi fase trill DFT, frekuensi maksimum trill FMaT, modulasi frekuensi trill MFT, jumlah
not trill JNT, dan kecepatan not trill KNT. Pada GC Hibrida-2 yang cenderung menyerupai pola GC H. muelleri, juga tidak mempunyai fase post-trill.
Pola GC yang berbeda dari kedua individu hibrida tersebut, menunjukkan bahwa hibrida yang terjadi antara H. agilis albibarbis x H. muelleri di kawasan
hutan Barito Ulu, sebagai perbatasan daerah penyebaran kedua ‘spesies’ tetuanya, belum stabil sebagai spesies atau sub spesies tersendiri. Pola GC Hibrida-1 yang
lebih menyerupai GC H. agilis albibarbis, diduga komposisi darah tetua H. agilis albibarbis
lebih tinggi dibanding H. muelleri. Sebaliknya, Hibrida-2 diduga lebih dominan darah tetua H. muelleri dari pada H. agilis albibarbis.
4. Hylobates di Kalimantan
108
Pada Gambar 34, Gambar 35 dan Gambar 36, terlihat bahwa frase GC H. agilis albibarbis
dan Hibrida-1 secara jelas terdiri dari tiga fase yaitu pre-trill, trill,
dan post-trill, sedangkan Hibrida-2 dan H. muelleri hanya terdiri dari dua fase yaitu pre-trill, dan trill, tanpa adanya fase post-trill atau terminasi yang jelas.
Frase GC dari semua Hylobates Kalimantan tersebut, diawali dengan beberapa not pengantar dengan tipe not yang sama yaitu not wa; dan diakhiri dengan coda
jantan dengan pola yang berbeda. Berdasarkan pola sonagram GC, sesungguhnya sudah menunjukkan
perbedaan yang jelas di antara spesies, khususnya antara H. agilis albibarbis dengan H. muelleri. Hal ini menunjukkan bahwa tipe not dan interval antar not
dari GC Hylobatidae merupakan pola spesifik spesies Geissmann 1995, Haimoff 1984. Namun demikian, pola GC hibrida dari kedua spesies tersebut belum stabil,
belum mempunyai pola yang tetap, sehingga masih relatif sulit dibedakan dari pola GC tetuanya. Pola GC Hibrida-1 lebih menyerupai pola H. agilis albibarbis,
sedangkan Hibrida-2 lebih menyerupai pola H. muelleri. Hasil kuantifikasi beberapa peubah GC 167 frase dari 13 individu H. agilis
albibarbis, tiga individu H. muelleri, serta Hibrida-1 dan Hibrida-2 masing-
masing 1 individu, berupa nilai rata-rata, serta hasil analisis ragamnya, disajikan dalam Tabel 22. Hasil analisis ragam antar spesies menunjukkan hampir semua
peubah GC yang dikuantifikasi berbeda sangat signifikan p0,01, kecuali frekuensi minimum fase post-trill FMiPoT dan jumlah not post-trill JNPoT
yang tidak signifikan p0.05. Durasi total DT GC antar spesies berbeda sangat signifikan p0.01.
Rata-rata DT GC H. agilis albibarbis 17,19 ±1,54 detik, secara signifikan
p0.001 lebih tinggi dibandingkan hibrida-1 14,74 ±0,88 detik, hibrida-2
15,06 ±0,99 detik, dan H. muelleri 10,53±1,10 detik. Demikian halnya dengan DT
GC antara hibrida-1 dan hibrida-2 lebih tinggi dari pada H. muelleri, sedangkan antara hibrida-1 dengan hibrida-2 tidak signifikan p0.05. Tingginya DT GC
pada H. agilis albibarbis karena durasi setiap not pre-trill dan not trill yang lebih panjang dibanding yang lainnya.
109
Spesies Hylobates yang berbeda, menghasilkan durasi pre-trill DPrT, frekuensi tertinggi pre-trill FMaPrT, frekuensi terendah pre-trill FmiPrT,
modulasi frekuensi pre-trill MFPrT, jumlah not pre-trill JNPrT, dan kecepatan not pre-trill KNPrT yang berbeda secara signifikan p0.01. Sebagian besar
peubah pre-trill dari masing-masing spesies menunjukkan perbedaan yang signifikan p0.01; kecuali DPrT hibirida-1 dengan hibrida-2, FMaPrT H. agilis
albibarbis dengan Hibrida-1, FMiPrT H. agilis albibarbis dengan Hibrida-2 dan
H. muelleri , FMiPrT hibrida-2 dengan H. muelleri, MFPrT H. agilis albibarbis
dengan Hibirida-1 dan MFPrT Hibrida-1 dengan Hibrida-2, JNPrT H. agilis albibarbis
dengan Hibrida-1 dan Hibrida-2, JNPrT Hibrida-1 dengan Hibrida-2, dan KNPrT antara Hibirida-1 dengan Hibrida-2.
Tabel 22 Nilai rata-rata peubah great call Hylobates di Kalimantan
1,2
‘Spesies’ No Peubah
H. a. albibarbis Hibrida-1
Hibrida-2 H. muelleri
N = 96 N = 24
N = 11 N = 36
1 DT 16,50
a
14,74
b
15,06
b
10,53
c
2 TNGC 9,31
a
15,25
b
36,55
c
62,94
d
3 KNGC 0,56
a
1,03
b
2,43
c
5,99
d
4 DPrT 5,84
a
4,36
b
4,64
b
2,37
c
5 FMaPrT 942,23
a
897,11
a
1016,15
ab
1359,87
c
6 FMiPrT 555,01
a
480,65
b
565,97
ac
580,07
c
7 JNPrT 2,74
a
3,21
b
3,00
ab
2,00
c
8 MFPrT 387,22
a
416,46
ab
450,17
ab
779,80
c
9 KNPrT 0,47
a
0,73
b
0,65
b
0,89
c
10 DFT 7,07
a
7,95
b
10,23
c
7,95
b
11 FMaT 1768,85
a
1539,31
b
1620,73
bc
1626,28
bc
12 FMiT 634,82
a
589,88
b
598,83
ab
617,73
ab
13 MFT 1134,03
a
949,43
b
1021,90
bc
1008,55
bc
14 JNT 3,31
a
8,08
b
33,55
c
60,94
d
15 KNT 0,47
a
1,02
b
3,28
c
7,69
d
16 DPoT 3,15
a
2,21
b
. . 17 FMaPoT
736,72
a
759,50
a
. . 18 FMiPoT
407,90
a
396,03
a
. . 19 MFPoT
328,82
a
363,46
b
. . 20 JNPoT
3,26
a
3,96
b
. . 21 KNPoT
1,08
a
1,79
b
. .
1
Huruf yang sama pada baris menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan p0,05, sebaliknya huruf berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan p0,05
110
2
DT = durasi total detik, TNGC = jumlah not great call, KNGC = kecepatan not great call notdetik, DPrT = durasi pre-trill detik, FMaPrT = frekuensi tertinggi pre-trill Hz, FMiPrT = frekuensi
terendah pre-trill Hz, MFPrT = modulasi frekuensi pre-trill Hz, JNPrT = jumlah not pre-trill, KNPrT = kecepatan not pre-trill notdetik, DFT = durasi trill detik, FMaT = frekuensi tertinggi fase trill Hz,
FMiT = frekuensi terendah trill Hz, MFT = modulasi frekuensi trill Hz, JNT = jumlah not trill, KNT = kecepatan not trill notdetik, DPoT = durasi post-trill detik, FMaPoT = frekuensi tertinggi post-trill
Hz, FMiPoT = frekuensi terendah post-trill Hz, MFPoT = modulasi frekuensi post-trill Hz, JNPoT = jumlah not Post-trill, KNPoT = kecepatan not post-trill notdetik.
Berdasarkan uraian di atas, vokalisasi GC ketiga jenis ‘spesies’ Hylobates Kalimantan yang dianalisis, menunjukkan keragaman dengan level yang berbeda-
beda. Perbedaan yang sangat tinggi adalah antara H. agilis albibarbis dengan H. muelleri
, diikuti H. agilis albibarbis dengan Hibrida-1, H. muelleri dengan Hibrida-1, H. agilis albibarbis dengan Hibrida-2, Hibrida-1 dengan Hibrida-2,
dan H. muelleri dengan Hibrida-2. Hampir semua peubah GC H. agilis albibarbis dengan H. muelleri yang dianalisis, berbeda sangat signifikan, kecuali frekuensi
minimum trill. Setiap ‘spesies’ mempunyai karakteristik GC tersendiri sehingga dapat
dibedakan dengan jelas antara satu dengan lainnya. Dengan demikian, analisis vokalisasi GC dapat digunakan sebagai acuan dalam mengidentifikasi ‘spesies’
Hylobates Kalimantan, khususnya hibrida dengan kedua tetuanya.
Vokalisasi Jantan
Hylobates menghasilkan suara atau vokalisasi yang kompleks, nyaring, dan
durasi yang relatif panjang, baik betina maupun jantan. Pasangan kawin jantan dan betina dewasa menghasilkan serangkaian frase suara berupa nyanyian di pagi
hari, selama sekitar 10-30 menit Geissmann et al. 2005. Selain vokalisasi betina yang terkenal dengan great call–nya, jantan juga berkontribusi dalam rangkaian
nyanyian pagi tersebut berupa solo jantan. Solo jantan merupakan serangkaian frase vokalisasi jantan yang berurutan tanpa diantarai oleh frase atau not
vokalisasi betina. Vokalisasi jantan yang dianalisis dalam penelitian ini, merupakan bagian
dari rekaman vokalisasi kelompok pasangan kawin dari tiga ‘spesies’ Hylobates Kalimantan, yaitu kalawet Hylobates agilis albibarbis di LAHG TN Sebangau,
H. muelleri di kandang rehabilitasi ‘Kalaweit Program’ di Hampapak, dan hibrida
111
Hylobates agilis albibarbis x H. muelleri di Barito Ulu, Kalimantan Tengah.
Kelompok hibrida dibedakan atas Hibrida-1 dan Hibrida-2, sama seperti pada analisis vokalisasi great call betina.
Contoh kategori solo jantan di atas dari ketiga ‘spesies’ Hylobates Kalimantan, divisualisasikan dalam bentuk sonagram, dan tidak dikuantifikasi
seperti halnya GC betina. Hal ini disebabkan frase dan tipe not vokalisasi jantan Hylobates
lebih variatif dan kompleks dari pada betina Geissmann dan Nijman 2006, Geissmann 2006a, sehingga cukup sulit dikuantifikasi dan
diperbandingkan antara satu dengan lainnya. Selain itu, analisis vokalisasi jantan tidak dimaksudkan untuk mengetahui keragaman vokalisasi antar individu,
melainkan untuk mengetahui perbedaan vokalisasi jantan antar ‘spesies’.
Gambar 38 Sonagram vokalisasi solo jantan Hylobates Kalimantan garis di bawah fragmen sonagram menunjukkan 1 frase
H. a. albibarbis
Hibrida-1
Hibrida-2
H. muelleri
112
Vokalisasi jantan kategori solo yang dianalisis dan ditampilkan dalam bentuk sonagram Gambar 38 adalah rekaman vokalisasi kalawet H. agilis
albibarbis kelompok KC di LAHG, dan H. muelleri kandang K24 di Hampapak;
sedangkan rekaman vokalisasi ‘spesies’ hibrida, tidak terdapat rangkaian frase jantan yang tidak diantarai oleh vokalisasi betina, kecuali satu atau dua frase di
antara vokalisasi betina. Kedua moyang dari ‘spesies’ hibrida tersebut H. agilis albibarbis
dan H. muelleri termasuk dalam kelompok Hylobates lar yang menghasilkan solo jantan Dallman dan Geissmann 2001, Geissmann 2002a. Hal
itu berarti, ‘spesies’ hibrida di Barito Ulu kemungkinan besar juga menghasilkan solo
jantan. Vokalisasi solo jantan yang tidak ada pada hasil rekaman di Barito Ulu, kemungkinan disebabkan oleh waktu atau frekuensi perekaman yang hanya
sekali pada masing-masing kelompok, karena berdasarkan pengamatan di LAHG, solo
jantan tidak selalu ada pada setiap vokalisasi. Setiap frase solo jantan H. agilis albibarbis dan H. muelleri seperti terlihat
pada Gambar 38, merupakan rangkaian frase dengan jarak antar frase sekitar 5-25 detik tanpa adanya vokalisasi betina; sedangkan frase vokalisasi jantan pada
‘spesies’ hibrida-1 dan hibrida-2 Gambar 38, berada di antara frase atau not vokalisasi betina.
Berdasarkan Gambar 38, sonagram solo jantan kalawet terdiri dari beberapa tipe not yang berbeda. Tipe not yang bervariasi pada setiap frase menghasilkan
bentuk frase yang bervariasi pula. Setiap frase tersusun atas 3-7 not yang bervariasi dalam tipe, frekuensi dan durasi. Berbeda dengan solo jantan kalawet,
frase-frase solo jantan H. muelleri cenderung lebih seragam, dengan durasi dan jumlah not yang lebih banyak 5-14 not.
113
KONSERVASI Habitat dan Kalawet
Kawasan hutan Kalimantan merupakan habitat bagi dua spesies Hylobates, yaitu kalawet Hylobates agilis albibarbis, dan Hylobates muelleri. Kedua
spesies tersebut adalah endemik Pulau Kalimantan Nijman 2005b. H. muelleri menyebar di sebagian besar kawasan hutan Kalimantan, sedangkan kalawet
menyebar hanya di sebagian kecil kawasan hutan Kalimantan, terkurung di daerah Kalimantan Tengah dan sebagian Kalimantan Barat, dibatasi Sungai Kapuas di
Utara dan Sungai Barito di sebelah Timur. Namun demikian, dalam area penyebaran kalawet yang sempit tersebut, kini terdapat empat taman nasional,
yaitu TN Tanjung Puting, TN Gunung Palung, TN Bukit Baka-Bukit Raya, dan TN Sebangau; dan beberapa cagar alam CA, seperti CA Bukit Tangkiling, CA
Pararawen III, dan CA Bukit Sapat Hawung Ditjen PHKA 2006b. Hal ini sangat menguntungkan bagi upaya konservasi kalawet. Namun demikian,
kawasan konservasi tersebut, tidak terlepas dari perambahan dan penebangan liar Alikodra Syaukani 2004; Simbolon Mirmanto 2000. Jika tidak terjadi
deforestasi pada kawasan konservasi tersebut, maka dapat menjadi jaminan bagi kelestarian kalawet.
Alikodra Syaukani 2004 menyatakan bahwa deforestasi penghancuran hutan di Indonesia saat ini sudah berada pada titik yang sangat membahayakan.
Tingkat deforestasi pada zaman Orde Baru berkisar 0,8-1,0 juta hektar per tahun, dan kini di era reformasi, meningkat menjadi 1,6-2,5 juta hektar per tahun.
Deforestasi tersebut terutama disebabkan oleh legal dan illegal logging, konversi kawasan hutan menjadi perkebunan terutama kelapa sawit, dan kebakaran Rieley
Ahmad-shah 1996, Boehm et al. 2003, Drasospolino 2004. Data Departemen Kehutanan 1997, menunjukkan telah terjadi deforestasi di kawasan hutan
Kalimantan sebesar 25,9 selama tahun 1985–1997. Kemungkinan besar deforestasi ini terus berlangsung dari tahun ke tahun sampai saat ini.
Hampir seluruh kawasan hutan di Kalimantan Tengah, sebelumnya telah dimanfaatkan sebagai penghasil kayu dengan sistem tebang pilih. Akibatnya,
hutan rawa gambut yang tersisa saat ini, termasuk kawasan yang dilindungi,
114
sebelumnya pernah ditebangi minimal sekali Simbolon Mirmanto 2000. Selanjutnya, Simbolon Mirmanto 2000 menyatakan bahwa hutan rawa
gambut dalam kawasan TN Tanjung Puting, masih terjadi penebangan liar secara intensif, membuat hutan tersebut semakin rusak dan mendorong terjadinya
kebakaran. Hal yang sama juga terjadi di TN Gunung Palung. Alikodra Syaukani 2004 menyatakan bahwa sekitar 80 kawasan TN Gunung Palung
rusak parah akibat penebangan liar yang didorong oleh dibukanya ekspor kayu bulat di era reformasi.
Penebang liar di hutan rawa gambut biasanya membuat kanal-kanal sebagai jalan untuk mengeluarkan kayu log ke sungai-sungai terdekat pada musim hujan.
Ketika musim kemarau, air dalam kubangan gambut akan mengalir ke kanal-kanal yang ada, menyebabkan gambut menjadi kering sehingga sangat mudah terbakar.
Itu sebabnya, aktivitas penebangan liar berperan dalam mendorong adanya kebakaran hutan rawa gambut. Kondisi demikian sangat nyata di kawasan mega
rice project , ketika ribuan kilometer kanal, dari ukuran sangat besar sampai kecil,
dibuat dalam kawasan hutan rawa gambut seluas lebih dari 1 juta hektar, menyebabkan gambut menjadi kering, dan memicu kebakaran besar pada tahun
1997 Boehm et al. 2003, dan sesudahnya. Oleh karena itu, salah satu upaya untuk mencegah terjadinya kebakaran di hutan rawa gambut adalah menutup
kanal-kanal yang ada dengan cara membuat sekat-sekat di beberapa bagian kanal untuk menahan air, agar gambut tidak menjadi kering dan mudah terbakar.
Deforestasi yang cukup tinggi juga terjadi di kawasan hutan rawa gambut Sebangau, antara Sungai Sebangau dan Sungai Katingan, dan kawasan proyek
lahan gambut sejuta hektar MRP mega rice project. Berdasarkan analisis foto lansat, Boehm et al. 2003 mendapatkan data deforestasi di kawasan tersebut
sebesar 33 dalam jangka waktu 10 tahun, antara tahun 1991 – 2001. Itu berarti, deforestasi di kawasan tersebut rata-rata 3,3tahun. Deforestasi antara tahun
1991-1997 berkisar 1,9tahun, meningkat menjadi 6,5tahun antara tahun 1997-2000. Peningkatan luas kawasan hutan rawa gambut yang mengalami
kerusakan tersebut, disebabkan oleh kebakaran hutan pada tahun 1997, aktivitas penebangan liar, dan aktivitas mega rice project.
115
Kawasan hutan yang di dalamnya terdapat sumber air, sumber pakan, dan pohon tidur, dengan karakteristik vegetasi tertentu yang dapat mendukung
kehidupan kalawet, merupakan habitat yang ideal bagi kelangsungan hidup populasi kalawet. Itu berarti, masalah utama konservasi kalawet dan satwa
primata lainnya adalah bagaimana memproteksi kawasan hutan agar tidak terjadi degradasi habitat yang berlebihan sehingga menjadi tidak ideal bagi kelangsungan
hidup satwa. Sejalan dengan hal tersebut, Chivers 2001 berpendapat bahwa konservasi alam menyangkut dua hal, yaitu 1 melindungi secara total kawasan-
kawasan vital seperti daerah aliran sungai, dan kawasan dimana terdapat konsentrasi spesies-spesies tertentu, misalnya kalawet, dan 2 mengelola sumber
daya hutan secara bijaksana untuk menunjang kelangsungan hidup satwa dan manusia secara berkelanjutan.
Pada kenyataannya, tidak semua kawasan hutan dapat dihuni atau ideal bagi kelangsungan hidup suatu jenis satwa, tidak terkecuali kalawet. Dengan kata lain,
setiap jenis satwa memiliki karakteristik pola hidup yang berbeda-beda, sehingga membutuhkan karakteristik habitat yamg berbeda pula. Berbeda dengan satwa
primata lainnya, kalawet merupakan satwa yang hidup monogami sebagai kelompok keluarga, bersifat teritorial, arboreal, hidup diurnal, pola makan
frugivorus, dan lokomosi secara brakhiasi Fleagle 1988, Kuester 2000. Dengan demikian, habitat yang ideal bagi kelangsungan hidup kalawet adalah habitat
dengan komposisi vegetasi yang dapat mendukung sepenuhnya pola hidup kalawet itu sendiri, antara lain: terdiri dari pohon sumber pakan buah dan pohon
tidur yang cukup, dan pohon yang tinggi dengan kanopi yang kontinu untuk mendukung pola lokomosinya secara brakhiasi. Habitat yang tidak mempunyai
karakteristik vegetasi seperti itu, bukan habitat yang ideal bagi kalawet. Hasil penelitian di LAHG, TN Sebangau, menunjukkan bahwa tidak semua
kawasan hutan di daerah tersebut cocok atau ideal bagi kelangsungan hidup kalawet. Ketersediaan pohon pakan, pohon tidur, tinggi dan kerapatan pohon
mempunyai korelasi yang tinggi dengan kepadatan populasi kalawet Tabel 16. Tipe hutan tegakan rendah LPF di LAHG merupakan kawasan hutan yang
sangat tidak ideal bagi kehidupan kalawet. Disamping ketersediaan pohon pakan dan pohon tidur yang sangat terbatas, LPF juga terdiri dari pohon tegakan rendah,
116
dan kanopi yang diskontinu. Kondisi demikian terkait langsung dengan kepadatan populasi yang sangat rendah. Sebaliknya, di tipe hutan tegakan tinggi TIF,
dihuni oleh kalawet dengan kepadatan yang tinggi, mengikuti karakteristik vegetasi yang ideal bagi kalawet. Demikian halnya dengan tipe hutan gambut
campuran MSF, dihuni oleh kalawet dengan kepadatan yang sedikit lebih rendah dari pada TIF.
Dengan demikian, upaya konservasi kalawet, harus diarahkan untuk dapat memproteksi sebanyak mungkin kawasan hutan dengan karaktersitik vegetasi
yang sesuai dengan pola hidup kalawet. Namun demikian, harus diingat bahwa sumber daya hutan tidak hanya untuk konservasi satwa, tetapi juga dimanfaatkan
untuk kesejahteraan manusia, khususnya masyarakat di sekitar hutan. Untuk memenuhi kedua kepentingan tersebut, maka 1 kawasan hutan yang ditetapkan
sebagai kawasan konservasi, khususnya taman nasional, harus diproteksi secara total, tanpa adanya perambahan, dan illegal logging, dan 2 mengelola kawasan
hutan produksi secara bijaksana, antara lain dengan sistem tebang pilih, menekan luas hutan konsesi HPH, dan menghentikan praktek-praktek illegal logging.
Perburuan
Kedua spesies Hylobates yang ada di Kalimantan, tergolong satwa yang dilindungi, tetapi pada kenyataannya banyak diburu, dipelihara, bahkan
diperdagangkan oleh masyarakat. Kenyataan ini merupakan salah satu ancaman bagi keberadaan populasi Hylobates, disamping degradasi kualitas dan kuantitas
habitat yang terus berlangsung. Perburuan satwa primata, khususnya Hylobates dan orangutan di
Kalimantan, dilakukan untuk beberapa tujuan, antara lain: dijual atau dipelihara sebagai hewan kesayangan pet, dikonsumsi dagingnya, bagian tubuh tertentu
seperti tengkorak dikoleksi sebagai ornamen, dan sebagai campuran obat tradisional Nijman 2005b. Pada umumnya sasaran perburuan untuk tujuan dijual
atau dipelihara sebagai pet, adalah anak yang masih muda juvenile dan infant dengan cara menembak atau membunuh induk untuk mendapatkan anaknya. Itu
berarti, setiap satwa Hylobates yang dipelihara sebagai pet kemungkinan besar mengorbankan minimal satu individu dewasa induknya.
117
Informasi jumlah Hylobates Kalimantan, termasuk kalawet, yang diburu dan diperdagangkan setiap tahunnya atau dalam kurun waktu tertentu, masih sangat
terbatas karena kurangnya penelitian tentang hal tersebut, kecuali hasil survei Nijman 2005a dan 2005b. Nijman 2005b mendapatkan data perdagangan
Hylobates yang hidup di Kalimantan H. agilis albibarbis dan H. muelleri, serta
hibridanya selama periode tahun 2000-2004, sebanyak 304 individu. Perburuan Hylobates
di Kalimantan untuk dipelihara sebagai pet tidak hanya untuk memenuhi keperluan dan permintaan di Kalimantan, tetapi juga diperdagangkan
ke luar Kalimantan seperti Bali dan Jawa Nijman 2005a. Nijman 2005a melakukan survei di Jawa dan Bali, mendapatkan tiga ekor H. agilis albibarbis,
dan 10 ekor H. muelleri serta beberapa spesies Hylobates lainnya, diperdagangkan di beberapa pasar burung. Selain itu, Nijman 2005a juga mendapatkan delapan
ekor H. agilis albibarbis dan satu ekor H. muelleri satwa sitaan direhabilitasi di beberapa pusat penyelamatan satwa liar di Pulau Jawa.
Berdasarkan data perdagangan Hylobates yang dilaporkan di atas, Nijman 2005b menyimpulkan bahwa perdagangan satwa tersebut volumenya sangat
kecil dibandingkan dengan perkiraan jumlah populasi di alam, sehingga belum berdampak negatif terhadap populasi kedua spesies Hylobates Kalimantan
tersebut. Walaupun demikian, harus diingat bahwa data perdagangan di atas, nampaknya belum dapat mewakili atau mendekati data perburuan sesungguhnya,
karena hanya menyangkut satwa yang diperjual-belikan di kota atau daerah- daerah tertentu, tidak termasuk satwa Hylobates hasil buruan yang dipelihara
langsung oleh pemburu atau diperjual-belikan di sekitar kampung pemburunya. Pada kenyataannya, relatif banyak masyarakat lokal di sekitar habitat
Hylobates yang memelihara satwa tersebut sebagai pet. Dalam kunjungan ke
Tumbang Manggu, salah satu dusun di pinggir Sungai Katingan, penulis mendapatkan 4 ekor kalawet H. agilis albibabis dipelihara sebagai pet oleh tiga
keluarga. Selain itu, survei yang dilakukan oleh ‘Kalaweit Program’ di sepanjang Sungai Katingan, menginformasikan bahwa terdapat minimal satu ekor kalawet
dipelihara sebagai pet di setiap dusun, minimal dua ekor di setiap desa, dan minimal 12 ekor di setiap kota, di sepanjang Sungai Katingan Nijman 2005b.
Jika informasi tersebut dianggap mewakili atau berlaku bagi daerah aliran sungai
118
lainnya di Kalimantan Tengah dan Barat, maka diperkirakan secara kasar terdapat ribuan kalawet yang dipelihara oleh masyarakat sebagai pet. Sejalan dengan hal
tersebut, diperkirakan telah terjadi pembunuhan terhadap ribuan kalawet induk untuk mendapatkan anaknya yang kemudian dijual atau dipelihara sebagai pet.
Sebagai informasi tambahan, bahwa ‘Kalaweit Program’, lembaga penyelamatan satwa primata khususnya Hylobates, di Palangka Raya, Kalimantan Tengah,
sedang merehabilitasi lebih dari 200 ekor Hylobates Kalimantan H. agilis albibarbis, H. muelleri,
dan kemungkinan beberapa di antaranya adalah hibrida dari kedua spesies tersebut hasil sitaan atau penyerahan dari masyarakat.
Disamping berbagai tujuan, kegiatan perburuan satwa primata khususnya Hylobates
, kemungkinan dilakukan 1 karena diduga masyarakat tidak mengetahui adanya larangan perburuan terhadap satwa tersebut sebagai satwa
yang dilindungi, 2 karena tekanan kebutuhan ekonomi, dan 3 karena kurangnya pengetahuan masyarakat akan resiko penyakit zoonosis.
Berdasarkan informasi-informasi di atas menunjukkan bahwa kegiatan perburuan mempunyai kontribusi yang relatif besar terhadap penurunan dan
keberadaan populasi kalawet saat ini dan masa yang akan datang. Oleh karena itu, kegiatan perburuan dan pemeliharaan Hylobates sebagai pet sudah saatnya
menjadi perhatian instansi terkait dan pihak lain yang peduli terhadap konservasi Hylobates
di Kalimantan, untuk mengambil langkah-langkah kongkrit guna mengatasi masalah perburuan tersebut.
Langkah-langkah yang dapat dipertimbangkan untuk mengatasi masalah perburuan, antara lain: 1 mengembangkan potensi sumber daya ekonomi
masyarakat di sekitar habitat Hylobates menuju masyarakat yang sejahtera, agar tidak menjadikan berburu sebagai salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan
ekonominya; 2 melakukan sosialisasi adanya payung hukum yang melindungi Hylobates
dan satwa primata lainnya, 3 melakukan sosialisasi adanya bahaya penyakit zoonosis dari satwa primata yang dipelihara sebagai pet; dan 4 menyita
dan merehabilitasi satwa yang dipelihara masyarakat untuk direintroduksi kembali ke habitat hidupan liarnya.
Program rehabilitasi dan reintroduksi terhadap satwa Hylobates yang dipelihara oleh masyarakat atau hidup di luar habitatnya, merupakan hal yang
119
penting bagi konservasi Hylobates. Namun demikian, program tersebut tidak seharusnya menjadi prioritas, karena sesungguhnya tidak menyelesaikan masalah
pokok yaitu perburuan satwa, melainkan hanya menangani dampak dari aktivitas perburuan. Selain itu, program rehabilitasi pasti membutuhkan dana yang besar,
namun hasilnya belum jelas. Oleh karena itu, kiranya pihak-pihak yang peduli terhadap Hylobates dapat mempertimbangkan langkah 1, 2, dan 3 di atas
sebagai prioritas dan mendesak dilakukan untuk mengatasi masalah perburuan satwa.
Spesies Hylobates yang dipelihara oleh masyarakat, tidak hanya di sekitar daerah penyebaran alami spesies bersangkutan, tetapi juga ada yang dibawa keluar
daerah sebarannya, seperti H. muelleri dipelihara sebagai pet di daerah sebaran H. agilis albibarbis
, dan sebaliknya. Keadaan demikian dapat memungkinkan terjadinya hibrida yang justru merusak kemurnian genetik masing-masing spesies,
dan dengan sendirinya berdampak negatif terhadap konservasi masing-masing spesies. Kemungkinan ini dapat terjadi, ketika satwa tersebut lepas disengaja
ataupun tidak disengaja ke alam hidupan liar yang bukan daerah sebaran alaminya. Untuk menghindari terjadinya hibrida tersebut, khususnya dalam
program rehabilitasi dan reintroduksi, maka dibutuhkan identifikasi spesies secara tepat dan akurat.
Berdasarkan morfologinya, spesies Hylobates Kalimantan cukup sulit dibedakan antara satu dengan lainnya Gambar 4. Namun demikian, kesulitan
identifikasi spesies tersebut, dapat diatasi melalui analisis vokalisasi, karena masing-masing spesies memiliki karakteristik yang spesifik. Hasil analisis
vokalisasi menunjukkan bahwa pola sonagram great call GC kalawet H. agilis albibarbis
Gambar 34, berbeda sangat jelas dengan sonagram GC H. muelleri Gambar 35. Sonagram dan wafeform GC ‘spesies’ hibrida H. agilis albibarbis x
H. muelleri belum memiliki pola yang stabil, namun berbeda cukup jelas dengan
GC kedua tetuanya Gambar 36 dan Gambar 37. Demikian halnya dengan karakteristik suara jantan Gambar 38. Hasil ini membuktikan bahwa analisis
vokalisasi dapat digunakan untuk mengidentifikasi spesies Hylobates di Kalimantan secara akurat.
120
Dengan demikian, untuk menghindari terjadinya hibrida buatan, baik dalam proses rehabilitasi terlebih dalam proses reintroduksi, maka semua satwa
Hylobates di Kalimantan yang masuk dalam program tersebut, harus dapat
diidentifikasi secara tepat, berdasarkan karakteristik vokalisasi. Spesies yang berbeda harus ditempatkan dalam kandang rehabilitasi yang berbeda pula,
kemudian direintroduksi atau dilepaskan ke habitat hidupan liar sesuai dengan daerah penyebaran masing-masing spesies.
121
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
1. Tipe hutan tegakan tinggi TIF, dan hutan gambut campuran MSF di
kawasan Taman Nasional Sebangau, merupakan habitat yang baik bagi kalawet. Untuk itu, pelestarian kawasan ini tanpa degradasi habitat, akan
berdampak positif pada pelestarian peningkatan populasi kalawet. 2.
Populasi kalawet yang ada di LAHG diperkirakan sebanyak 2.404 individu 700 kelompok; dan TN. Sebangau sebanyak 27.442 individu 7.988
kelompok. Populasi kalawet tersebut, dapat bertahan dan berkembang dengan baik sepanjang tidak terjadi degradasi habitat, dan perburuan di TN
Sebangau.
3. Tingkah laku vokalisasi pada H. agilis albibarbis, H. muelleri dan hibridanya