d. Konsultasi dengan dokter penulis resep Permenkes Nomor 26 tahun 1981 pasal 10 menyebutkan bahwa
resep harus ditulis dengan jelas dan lengkap. Kepmenkes RI Nomor 1027MENKESSKIX2004 menyatakan bahwa jika ada keraguan
terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu
menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan. Hal ini bertujuan untuk meminimalisasi terjadinya medication error. Konsultasi dengan dokter
penulis resep juga dapat dimanfaatkan untuk membangun dan meningkatkan hubungan dengan rekan sejawat petugas kesehatan. Hal ini
sesuai dengan pasal 25 Kode Etik Apoteker Indonesia.
Tabel XXVII. Apotek yang Selalu Melakukan Konsultasi dengan Dokter Apabila Ada Ketidakjelasan Pada Resep
No Selalu melakukan konsultasi dengan
dokter penulis resep Jumlah
Persentase n = 23
1 Ya
18 78,26
2 Tidak
5 21,74
Total 23
100 Tabel XVII menunjukkan bahwa apotek yang selalu melakukan
konsultasi dengan dokter penulis resep apabila ada ketidakjelasan dalam penulisan resep sebesar 78,26 dan 21,74 sisanya tidak selalu
melakukan konsultasi dengan dokter penulis resep apabila ada ketidakjelasan dalam penulisan resep.
e. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian skrining resep
95.65 56.52
47.82 78.26
0.00 50.00
100.00
persyaratan administratif kesesuaian farmasetik meliputi : bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas,
inkompatibilitas, cara pemberian dan lama pemberian
pertimbangan klinis meliputi : alergi, efek samping, interaksi, durasi dan jumlah obat
konsultasi dengan dokter penulis resep
Gambar 9. Pelaksanaan Skrining Resep
Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian skrining resep sebagian besar
telah dilaksanakan dengan baik. Pelayanan skrining resep yang telah dilaksanakan, yaitu yang memiliki persentase pelaksanaan di atas 50,
meliputi skrining resep persyaratan administratif 95,65, konsultasi dengan dokter penulis resep 78,26 dan skrining resep kesesuaian
farmasetik 56,52. Namun demikian, masih terdapat skrining resep yang belum dilaksanakan, yaitu yang memiliki persentase di bawah 50,
meliputi skrining resep pertimbangan klinis 47,82 sehingga perlu ditingkatkan lagi pelaksanaannya.
2. Penyiapan obat a. Etiket
Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027MENKESSKIX2004 bahwa etiket harus jelas dan dapat dibaca. Etiket yang tidak jelas dapat
menyebabkan terjadinya medication error karena pasien salah membacamengartikan apa yang tertulis di etiket, karena itulah maka etiket
harus jelas dan dapat dibaca.
Tabel XXVIII. Apotek yang Pernah Menerima Keluhan Tentang Etiket Oleh Pasien
No Pernah terjadi keluhan tentang
etiket Jumlah
Persentase n = 23
1 Ya
2 8,70
2 Tidak
21 91,30
Total 23
100 Tabel XXVIII menunjukkan bahwa terdapat 91,30 apotek yang
tidak pernah menerima keluhan tentang etiket oleh pasien dan 8,70 sisanya pernah menerima keluhan tentang etiket oleh pasien karena tidak
jelas atau sulit dibaca sehingga dapat menyebabkan terjadinya medication error.
b. Penyerahan obat Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027MENKESSKIX2004
sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep.
Tabel XXIX. Apotek yang Selalu Melakukan Pengecekan Resep Sebelum Diserahkan ke Pasien
No Selalu melakukan pengecekan
sebelum diserahkan ke pasien Jumlah
Persentase n = 23
1 Ya
23 100
2 Tidak
Total 23
100 Tabel XXIX menunjukkan bahwa semua apotek 100 selalu
melakukan pengecekan terhadap kesesuaian obat dan etiket terhadap resep sebelum diserahkan kepada pasien. Pemeriksaan akhir medication review
dilakukan dengan tujuan untuk menghindari terjadinya medication error terutama dispensing error yang merupakan tanggung jawab pihak
farmasis. Kepmenkes RI Nomor 1027MENKESSKIX2004 menyebutkan
bahwa penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga kesehatan. Hal ini
juga tertera pada Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal asuhan kefarmasian yang menyebutkan bahwa salah satu standar prosedur
operasional apoteker di apotek adalah memberikan pelayanan informasi obat dan memberikan konsultasi obat. Pasal 7 Kode Etik Apoteker
Indonesia menyebutkan bahwa seorang Apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya. Berdasarkan keterangan tersebut
dapat disimpulkan bahwa salah satu kewajiban apoteker adalah memberikan informasi mengenai obat kepada pasien sehingga apoteker
sebaiknya selalu terlibat langsung dalam penyerahan obat kepada pasien agar dapat menjalankan kewajiban tersebut. Peraturan Pemerintah Nomor
32 tahun 1996 juga menyebutkan bahwa jika apoteker tidak melaksanakan kewajibannya dalam memberikan informasi kepada pasien maka akan
dikenakan pidana denda paling banyak Rp 10.000.000,00 sepuluh juta rupiah.
Tabel XXX. Apotek yang Apotekernya Selalu Terlibat Langsung Dalam Penyerahan Obat ke Pasien
No Selalu terlibat dalam penyerahan obat
Jumlah Persentase
n = 23 1
Ya 15
65,22 2
Tidak 8
34,78 Total
23 100
Tabel XXX menunjukkan bahwa apotek yang apotekernya selalu terlibat langsung dalam penyerahan obat ke pasien sebesar 65,22 dan
34,78 sisanya tidak selalu terlibat langsung dalam penyerahan obat kepada pasien sehingga tidak bisa menjalankan kewajibannya untuk
memberikan informasi kepada pasien.
c. Informasi obat Kepmenkes RI Nomor 1027MENKESSKIX2004 menyebutkan
bahwa informasi obat yang harus diberikan kepada pasien sekurang- kurangnya meliputi cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka
waktu pengobatan, makanan dan minuman yang harus dihindari dan aktivitas yang harus dihindari.
Tabel XXXI. Informasi Obat yang Diberikan Apoteker
No Informasi Obat yang diberikan
Jumlah Persentase
n = 23 1
Cara pemakaian obat+jangka waktu pengobatan
2 8,70
2 Cara pemakaian obat+cara
penyimpanan obat+jangka waktu pengobatan
8 34,78
3 Cara pemakaian obat+cara
penyimpanan obat+jangka waktu pengobatan+ makanan dan
minuman yang harus dihindari+aktivitas yang harus
dihindari 13
56,52
Total 23
100 Tabel XXXI menunjukkan bahwa apoteker yang memberikan
informasi kepada pasien meliputi cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, makanan dan minuman yang harus
dihindari dan aktivitas yang harus dihindari sesuai Kepmenkes RI Nomor 1027MENKESSKIX2004 sebesar 56,52, selebihnya belum
memberikan informasi secara menyeluruh kepada pasien. Pemberian informasi ini seharusnya lebih diperhatikan oleh apoteker
karena melalui pemberian informasi apoteker dapat meminimalisasi terjadinya medication error yang mungkin dilakukan oleh pasien pada saat
pasien mengkonsumsi obat. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
d. Konseling Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027MENKESSKIX2004
konseling adalah suatu proses komunikasi dua arah yang sistematik antara apoteker dan pasien untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah
yang berkaitan dengan obat dan pengobatan. Kepmenkes RI Nomor 1027MENKESSKIX2004 juga menyebutkan bahwa apoteker harus
memberikan konseling mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup
pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya.
Dalam penelitian ini, peneliti sengaja tidak memberikan batasan mengenai pengertian konseling karena peneliti bermaksud mengetahui
kesesuaian antara pemahaman apoteker dengan Kepmenkes RI Nomor 1027MENKESSKIX2004 mengenai pengertian konseling. Melalui
wawancara lepas kepada beberapa responden, sebagian besar dari mereka mempunyai pemahaman yang hampir sama mengenai pengertian
konseling yaitu konseling adalah proses tanya jawab searah antara pasien dengan apoteker, dimana apoteker hanya menjawab pertanyaan yang
diajukan oleh pasien. Dari sini terlihat bahwa apoteker mempunyai pemahaman yang berbedatidak sesuai dengan yang tertera pada
Kepmenkes RI Nomor 1027MENKESSKIX2004. Responden juga berpendapat bahwa konseling dan konsultasi itu mempunyai pengertian
yang sama, padahal konseling dan konsultasi mempunyai pengertian yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
berbeda. Jika konseling merupakan proses dua arah, konsultasi merupakan proses satu arah dan ada perbedaan status, baik dalam hal pengalaman
maupun pengetahuan. Salah seorang responden berpendapat bahwa konseling merupakan proses searah, sedangkan konsultasi merupakan
proses dua arah. Berdasarkan hasil wawancara ini terlihat kalau apoteker belum mengetahui pengertian konseling yang sebenarnya. Namun
demikian, walaupun mempunyai pemahaman yang berbeda namun dalam pelaksanaannya apoteker sering melakukan apa yang disebut konseling
karena mereka juga menerima masukan dari pasien yang mungkin lebih mengetahui dari dokter yang menangani pasien tersebut, tentang obat-
obatan yang sering mereka konsumsi.
Tabel XXXII. Apoteker yang Selalu Menyediakan Jam Konseling Setiap Hari di Apotek
No Selalu menyediakan jam
konseling setiap hari Jumlah
Persentase 100 n = 23
1 Ya
20 86,96
2 Tidak
3 13,04
Total 23
100 Tabel XXXII di atas menunjukkan bahwa apoteker yang menyatakan
bahwa mereka selalu menyediakan jam konseling bagi pasien setiap harinya di apotek sebesar 86,96, selebihnya yaitu sebesar 13,04 belum
menyediakan jam konseling setiap hari. Kepmenkes RI Nomor 1027MENKESSKIX2004 menyebutkan
bahwa untuk penderita penyakit tertentu seperti cardiovascular, diabetes, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan. Gambaran mengenai pelaksanaan
pemberian konseling secara berkelanjutan dapat dilihat pada Tabel XXXIII berikut.
Tabel XXXIII.
Apoteker yang Memberikan Konseling Secara Berkelanjutan
No Memberikan konseling secara
berkelanjutan Jumlah
Persentase n = 23
1 Ya
15 65,22
2 Tidak
8 34,78
Total 23
100 Tabel XXXIII menunjukkan bahwa apoteker yang memberikan
konseling secara berkelanjutan untuk penderita penyakit tertentu seperti cardiovascular, diabetes, TBC, asthma dan penyakit kronis lainnya hanya
sebesar 43,48 dan apoteker yang tidak memberikan konseling secara berkelanjutan sebesar 56,52. Penderita penyakit tertentu seperti yang
telah disebutkan membutuhkan jangka waktu pengobatan yang tidak sebentar untuk dapat sembuh dan harus teratur meminum obat yang telah
diberikan, karena itulah apoteker seharusnya memberikan perhatian khusus kepada mereka, salah satunya adalah dengan memberikan
konseling secara berkelanjutan guna mendukung proses penyembuhan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
e. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian penyiapan obat
91.30 100
65.22 86.96
65.22 56.52
0.00 50.00
100.00
etiket jelasdapat dibaca pengecekan resep sebelum diserahkan
keterlibatan apoteker dalam penyerahan obat jam konseling setiap hari
konseling secara berkelanjutan informasi yang diberikan meliputi : cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat,
jangka waktu pengobatan, makanan dan minuman yang harus dihindari dan aktivitas yang harus dihindari
Gambar 10. Pelaksanaan Penyiapan Obat
Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pelayanan penyiapan obat telah dilaksanakan dengan baik karena memiliki persentase
pelaksanaan di atas 50, maliputi pengecekan resep sebelum diserahkan kepada pasien 100, penulisan etiket yang jelas dan dapat dibaca
91,30, adanya jam konseling setiap hari 86,96, keterlibatan apoteker secara langsung dalam penyerahan obat 65,22, adanya
konseling secara berkelanjutan 65,22 dan pemberian informasi oleh apoteker kepada pasien 56,52.
3. Promosi, edukasi dan tindak lanjut terapi a. Diseminasi informasi kesehatan
Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027MENKESSKIX2004, dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus berpartisipasi secara
aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut membantu diseminasi informasi, antara lain dengan penyebaran leafletbrosur, poster,
penyuluhan dan lain-lainnya.
Tabel XXXIV. Apoteker yang
Pernah Melakukan Diseminasi Informasi Kesehatan
No Pernah melakukan diseminasi
informasi kesehatan Jumlah
Persentase n = 23
1 Ya
15 65,22
2 Tidak
8 34,78
Total 23
100 Tabel XXXIV menunjukkan bahwa apoteker yang pernah melakukan
diseminasi penyebaran informasi kesehatan hanya sebanyak 30,43 dan 69,57 sisanya tidak pernah melakukan diseminasi penyebaran
informasi kesehatan.
b. Tindak lanjut terapi Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027MENKESSKIX2004 setelah
penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat. Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat
melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pelayanan residensial, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya.
Tabel XXXV. Apoteker yang Melakukan Tindak Lanjut Terapi
No Melakukan tindak lanjut
terapi Jumlah
Persentase n = 23
1 Ya
10 43,48
2 Tidak
13 56,52
Total 23
100 Tabel XXXV menunjukkan bahwa apoteker yang melakukan tindak
lanjut terapi, misalnya dengan mengunjungi pasien atau komunikasi melalui telepon untuk memantau keadaan pasien hanya sebanyak 43,48,
sedangkan 56,52 sisanya tidak melakukan tindak lanjut terapi. Selain melakukan konseling secara berkelanjutan, tindak lanjut terapi dengan
kunjungan rumah atau komunikasi dengan telepon merupakan salah satu bentuk perhatian khusus yang seharusnya dilakukan apoteker guna
mendukung proses penyembuhan pasien, terutama bagi pasien lansia atau pasien yang karena penyakit yang dideritanya tidak memungkinkan untuk
datang dan melakukan konseling secara langsung ke apotek. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
c. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian promosi, edukasi dan tindak lanjut terapi
65.22 43.48
0.00 50.00
100.00
diseminasi informasi kesehatan tindak lanjut terapi
Gambar 11. Pelaksanaan Promosi, Edukasi dan Tindak Lanjut Terapi
Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian promosi, edukasi dan tindak
lanjut terapi belum dilaksanakan dengan baik secara menyeluruh. Pelayanan promosi, edukasi dan tindak lanjut terapi yang telah
dilaksanakan, yaitu yang memiliki persentase pelaksanaan di atas 50, meliputi diseminasi informasi kesehatan 65,22 dan yang belum
dilaksanakan, yaitu yang memiliki persentase pelaksanaan di bawah 50, meliputi pelayanan tindak lanjut terapi 43,48 sehingga perlu
ditingkatkan lagi pelaksanaannya.
D. Evaluasi Mutu Pelayanan
Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027MENKESSKIX2004 indikator yang digunakan untuk mengevaluasi mutu pelayanan adalah :
1. Tingkat kepuasan konsumen : dilakukan dengan survey berupa angket atau wawancara langsung.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa apotek yang pernah melakukan survey mengenai tingkat kepuasan konsumen hanya sebanyak 21,74,
sedangkan sebanyak 78,26 apotek tidak pernah melakukan survey mengenai tingkat kepuasan konsumen. Hal ini dapat dilihat pada Tabel XXXVI berikut.
Tabel XXXVI. Apotek yang Pernah Melakukan Survey
No Pernah melakukan survey tingkat
kepuasan konsumen Jumlah
Persentase n = 23
1 Ya
5 21,74
2 Tidak
18 78,26
Total 23
100 Survey ini dimaksudkan untuk mengetahui pendapat pasienpengunjung
apotek mengenai kinerja di apotek dan dapat digunakan sebagai bahan evaluasi oleh APA agar dapat meningkatkan mutu pelayanan di apotek
mereka. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dari apotek yang pernah melakukan survey tersebut, 40 di antaranya melakukan survey dengan
angket dan 60 dengan wawancara.
40
60 Angket
Wawancara
Gambar 12. Bentuk Survey
2. Dimensi waktu : lama pelayanan diukur dengan waktu yang telah ditetapkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya 8,70 apotek yang
menetapkan lama pelayanan waktu pelayanan maksimal per pasien dan 91,30 sisanya tidak menetapkan lama pelayanan per pasien. Hal ini dapat
dilihat pada Tabel XXXVII berikut.
Tabel XXXVII. Apotek yang Menetapkan Lama Pelayanan
No Menetapkan lama pelayanan
Jumlah Persentase
n = 23 1
Ya 2
8,70 2
Tidak 21
91,30 Total
23 100
Penetapan lama pelayanan waktu pelayanan maksimal per pasien bertujuan agar apoteker cepat tanggap dalam melayani pasien sehingga pasien
tidak menunggu terlalu lama untuk mendapatkan obat. Salah satu caranya adalah dengan menetapkan lama waktu untuk tiap pembuatan dan
pengambilan setiap sediaan, misalnya salep, puyer, kapsul, sirup, baik dalam sediaan tunggal maupun campuran sehingga pasien mendapatkan kepastian
waktu.
3. Prosedur tetap : untuk menjamin mutu pelayanan sesuai standar yang telah ditetapkan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya 47,83 apotek yang mempunyai prosedur tertulis dan tetap dalam pelayanan pasien dan 52,17
sisanya tidak mempunyai prosedur tertulis dan tetap dalam pelayanan pasien. Hal ini dapat dilihat pada Tabel XXXVIII berikut.
Tabel XXXVIII. Apotek yang Mempunyai Prosedur Tertulis dan Tetap
No Ada prosedur tertulis dan tetap
dalam pelayanan pasien Jumlah
Persentase n = 23
1 Ada
11 47,83
2 Tidak ada
12 52,17
Total 23
100 Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027MENKESSKIX2004 prosedur
tetap ini antara lain bermanfaat untuk memastikan bahwa praktek yang baik dapat tercapai setiap saat dan adanya pembagian tugas dan wewenang di
apotek. Hal ini dapat dilakukan dengan adanya alur pelayanan resep di apotek sehingga pelayanan dapat berjalan dengan baik karena tidak terjadi tumpang
tindih tugas dan wewenang. Contoh alur pelayanan resep dapat dilihat pada lampiran 8.
4. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian evaluasi mutu pelayanan
21.74 8.70
47.83
0.00 50.00
100.00
survey tingkat kepuasan konsumen waktu pelayanan per pasien
prosedur tetap
Gambar 13. Pelaksanaan Evaluasi Mutu Pelayanan
Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian evaluasi mutu pelayanan belum
dilaksanakan dengan baik karena memiliki persentase pelaksanaan di bawah 50, yaitu untuk pelaksanaan survey tingkat kepuasan konsumen sebesar
21,74, penetapan waktu pelayanan per pasien sebesar 8,70 dan untuk penetapan prosedur tetap sebesar 47,83, sehingga perlu ditingkatkan
pelaksanaannya.
E. Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kota Yogyakarta Berdasarkan Tiga Parameter Utama Kepmenkes RI Nomor
1027MENKESSKIX2004
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor
1027MENKESSKIX2004 belum dilaksanakan secara menyeluruh oleh apoteker di apotek-apotek Kota Yogyakarta karena masih terdapat persentase
pelaksanaan di bawah 50 pada tiga parameter utama Kepmenkes RI Nomor 1027MENKESSKIX2004, yaitu pengelolaaan sumber daya, pelayanan maupun
evaluasi mutu pelayanan Gambar 14. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek yang paling rendah tingkat pelaksanaannya berdasarkan tiga parameter utama
Kepmenkes RI Nomor 1027MENKESSKIX2004 adalah bagian evaluasi mutu pelayanan, karena semua persentase pelaksanaannya masih di bawah 50
sehingga perlu perhatian yang lebih agar dapat ditingkatkan lagi pelaksanaannya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI