Pelayanan HASIL DAN PEMBAHASAN

d. Konsultasi dengan dokter penulis resep Permenkes Nomor 26 tahun 1981 pasal 10 menyebutkan bahwa resep harus ditulis dengan jelas dan lengkap. Kepmenkes RI Nomor 1027MENKESSKIX2004 menyatakan bahwa jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan. Hal ini bertujuan untuk meminimalisasi terjadinya medication error. Konsultasi dengan dokter penulis resep juga dapat dimanfaatkan untuk membangun dan meningkatkan hubungan dengan rekan sejawat petugas kesehatan. Hal ini sesuai dengan pasal 25 Kode Etik Apoteker Indonesia. Tabel XXVII. Apotek yang Selalu Melakukan Konsultasi dengan Dokter Apabila Ada Ketidakjelasan Pada Resep No Selalu melakukan konsultasi dengan dokter penulis resep Jumlah Persentase n = 23 1 Ya 18 78,26 2 Tidak 5 21,74 Total 23 100 Tabel XVII menunjukkan bahwa apotek yang selalu melakukan konsultasi dengan dokter penulis resep apabila ada ketidakjelasan dalam penulisan resep sebesar 78,26 dan 21,74 sisanya tidak selalu melakukan konsultasi dengan dokter penulis resep apabila ada ketidakjelasan dalam penulisan resep. e. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian skrining resep

95.65 56.52

47.82 78.26

0.00 50.00 100.00 persyaratan administratif kesesuaian farmasetik meliputi : bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara pemberian dan lama pemberian pertimbangan klinis meliputi : alergi, efek samping, interaksi, durasi dan jumlah obat konsultasi dengan dokter penulis resep Gambar 9. Pelaksanaan Skrining Resep Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian skrining resep sebagian besar telah dilaksanakan dengan baik. Pelayanan skrining resep yang telah dilaksanakan, yaitu yang memiliki persentase pelaksanaan di atas 50, meliputi skrining resep persyaratan administratif 95,65, konsultasi dengan dokter penulis resep 78,26 dan skrining resep kesesuaian farmasetik 56,52. Namun demikian, masih terdapat skrining resep yang belum dilaksanakan, yaitu yang memiliki persentase di bawah 50, meliputi skrining resep pertimbangan klinis 47,82 sehingga perlu ditingkatkan lagi pelaksanaannya. 2. Penyiapan obat a. Etiket Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027MENKESSKIX2004 bahwa etiket harus jelas dan dapat dibaca. Etiket yang tidak jelas dapat menyebabkan terjadinya medication error karena pasien salah membacamengartikan apa yang tertulis di etiket, karena itulah maka etiket harus jelas dan dapat dibaca. Tabel XXVIII. Apotek yang Pernah Menerima Keluhan Tentang Etiket Oleh Pasien No Pernah terjadi keluhan tentang etiket Jumlah Persentase n = 23 1 Ya 2 8,70 2 Tidak 21 91,30 Total 23 100 Tabel XXVIII menunjukkan bahwa terdapat 91,30 apotek yang tidak pernah menerima keluhan tentang etiket oleh pasien dan 8,70 sisanya pernah menerima keluhan tentang etiket oleh pasien karena tidak jelas atau sulit dibaca sehingga dapat menyebabkan terjadinya medication error. b. Penyerahan obat Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027MENKESSKIX2004 sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Tabel XXIX. Apotek yang Selalu Melakukan Pengecekan Resep Sebelum Diserahkan ke Pasien No Selalu melakukan pengecekan sebelum diserahkan ke pasien Jumlah Persentase n = 23 1 Ya 23 100 2 Tidak Total 23 100 Tabel XXIX menunjukkan bahwa semua apotek 100 selalu melakukan pengecekan terhadap kesesuaian obat dan etiket terhadap resep sebelum diserahkan kepada pasien. Pemeriksaan akhir medication review dilakukan dengan tujuan untuk menghindari terjadinya medication error terutama dispensing error yang merupakan tanggung jawab pihak farmasis. Kepmenkes RI Nomor 1027MENKESSKIX2004 menyebutkan bahwa penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga kesehatan. Hal ini juga tertera pada Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal asuhan kefarmasian yang menyebutkan bahwa salah satu standar prosedur operasional apoteker di apotek adalah memberikan pelayanan informasi obat dan memberikan konsultasi obat. Pasal 7 Kode Etik Apoteker Indonesia menyebutkan bahwa seorang Apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya. Berdasarkan keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa salah satu kewajiban apoteker adalah memberikan informasi mengenai obat kepada pasien sehingga apoteker sebaiknya selalu terlibat langsung dalam penyerahan obat kepada pasien agar dapat menjalankan kewajiban tersebut. Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1996 juga menyebutkan bahwa jika apoteker tidak melaksanakan kewajibannya dalam memberikan informasi kepada pasien maka akan dikenakan pidana denda paling banyak Rp 10.000.000,00 sepuluh juta rupiah. Tabel XXX. Apotek yang Apotekernya Selalu Terlibat Langsung Dalam Penyerahan Obat ke Pasien No Selalu terlibat dalam penyerahan obat Jumlah Persentase n = 23 1 Ya 15 65,22 2 Tidak 8 34,78 Total 23 100 Tabel XXX menunjukkan bahwa apotek yang apotekernya selalu terlibat langsung dalam penyerahan obat ke pasien sebesar 65,22 dan 34,78 sisanya tidak selalu terlibat langsung dalam penyerahan obat kepada pasien sehingga tidak bisa menjalankan kewajibannya untuk memberikan informasi kepada pasien. c. Informasi obat Kepmenkes RI Nomor 1027MENKESSKIX2004 menyebutkan bahwa informasi obat yang harus diberikan kepada pasien sekurang- kurangnya meliputi cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, makanan dan minuman yang harus dihindari dan aktivitas yang harus dihindari. Tabel XXXI. Informasi Obat yang Diberikan Apoteker No Informasi Obat yang diberikan Jumlah Persentase n = 23 1 Cara pemakaian obat+jangka waktu pengobatan 2 8,70 2 Cara pemakaian obat+cara penyimpanan obat+jangka waktu pengobatan 8 34,78 3 Cara pemakaian obat+cara penyimpanan obat+jangka waktu pengobatan+ makanan dan minuman yang harus dihindari+aktivitas yang harus dihindari 13 56,52 Total 23 100 Tabel XXXI menunjukkan bahwa apoteker yang memberikan informasi kepada pasien meliputi cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, makanan dan minuman yang harus dihindari dan aktivitas yang harus dihindari sesuai Kepmenkes RI Nomor 1027MENKESSKIX2004 sebesar 56,52, selebihnya belum memberikan informasi secara menyeluruh kepada pasien. Pemberian informasi ini seharusnya lebih diperhatikan oleh apoteker karena melalui pemberian informasi apoteker dapat meminimalisasi terjadinya medication error yang mungkin dilakukan oleh pasien pada saat pasien mengkonsumsi obat. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI d. Konseling Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027MENKESSKIX2004 konseling adalah suatu proses komunikasi dua arah yang sistematik antara apoteker dan pasien untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah yang berkaitan dengan obat dan pengobatan. Kepmenkes RI Nomor 1027MENKESSKIX2004 juga menyebutkan bahwa apoteker harus memberikan konseling mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya. Dalam penelitian ini, peneliti sengaja tidak memberikan batasan mengenai pengertian konseling karena peneliti bermaksud mengetahui kesesuaian antara pemahaman apoteker dengan Kepmenkes RI Nomor 1027MENKESSKIX2004 mengenai pengertian konseling. Melalui wawancara lepas kepada beberapa responden, sebagian besar dari mereka mempunyai pemahaman yang hampir sama mengenai pengertian konseling yaitu konseling adalah proses tanya jawab searah antara pasien dengan apoteker, dimana apoteker hanya menjawab pertanyaan yang diajukan oleh pasien. Dari sini terlihat bahwa apoteker mempunyai pemahaman yang berbedatidak sesuai dengan yang tertera pada Kepmenkes RI Nomor 1027MENKESSKIX2004. Responden juga berpendapat bahwa konseling dan konsultasi itu mempunyai pengertian yang sama, padahal konseling dan konsultasi mempunyai pengertian yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI berbeda. Jika konseling merupakan proses dua arah, konsultasi merupakan proses satu arah dan ada perbedaan status, baik dalam hal pengalaman maupun pengetahuan. Salah seorang responden berpendapat bahwa konseling merupakan proses searah, sedangkan konsultasi merupakan proses dua arah. Berdasarkan hasil wawancara ini terlihat kalau apoteker belum mengetahui pengertian konseling yang sebenarnya. Namun demikian, walaupun mempunyai pemahaman yang berbeda namun dalam pelaksanaannya apoteker sering melakukan apa yang disebut konseling karena mereka juga menerima masukan dari pasien yang mungkin lebih mengetahui dari dokter yang menangani pasien tersebut, tentang obat- obatan yang sering mereka konsumsi. Tabel XXXII. Apoteker yang Selalu Menyediakan Jam Konseling Setiap Hari di Apotek No Selalu menyediakan jam konseling setiap hari Jumlah Persentase 100 n = 23 1 Ya 20 86,96 2 Tidak 3 13,04 Total 23 100 Tabel XXXII di atas menunjukkan bahwa apoteker yang menyatakan bahwa mereka selalu menyediakan jam konseling bagi pasien setiap harinya di apotek sebesar 86,96, selebihnya yaitu sebesar 13,04 belum menyediakan jam konseling setiap hari. Kepmenkes RI Nomor 1027MENKESSKIX2004 menyebutkan bahwa untuk penderita penyakit tertentu seperti cardiovascular, diabetes, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan. Gambaran mengenai pelaksanaan pemberian konseling secara berkelanjutan dapat dilihat pada Tabel XXXIII berikut. Tabel XXXIII. Apoteker yang Memberikan Konseling Secara Berkelanjutan No Memberikan konseling secara berkelanjutan Jumlah Persentase n = 23 1 Ya 15 65,22 2 Tidak 8 34,78 Total 23 100 Tabel XXXIII menunjukkan bahwa apoteker yang memberikan konseling secara berkelanjutan untuk penderita penyakit tertentu seperti cardiovascular, diabetes, TBC, asthma dan penyakit kronis lainnya hanya sebesar 43,48 dan apoteker yang tidak memberikan konseling secara berkelanjutan sebesar 56,52. Penderita penyakit tertentu seperti yang telah disebutkan membutuhkan jangka waktu pengobatan yang tidak sebentar untuk dapat sembuh dan harus teratur meminum obat yang telah diberikan, karena itulah apoteker seharusnya memberikan perhatian khusus kepada mereka, salah satunya adalah dengan memberikan konseling secara berkelanjutan guna mendukung proses penyembuhan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI e. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian penyiapan obat

91.30 100

65.22 86.96

65.22 56.52

0.00 50.00 100.00 etiket jelasdapat dibaca pengecekan resep sebelum diserahkan keterlibatan apoteker dalam penyerahan obat jam konseling setiap hari konseling secara berkelanjutan informasi yang diberikan meliputi : cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, makanan dan minuman yang harus dihindari dan aktivitas yang harus dihindari Gambar 10. Pelaksanaan Penyiapan Obat Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pelayanan penyiapan obat telah dilaksanakan dengan baik karena memiliki persentase pelaksanaan di atas 50, maliputi pengecekan resep sebelum diserahkan kepada pasien 100, penulisan etiket yang jelas dan dapat dibaca 91,30, adanya jam konseling setiap hari 86,96, keterlibatan apoteker secara langsung dalam penyerahan obat 65,22, adanya konseling secara berkelanjutan 65,22 dan pemberian informasi oleh apoteker kepada pasien 56,52. 3. Promosi, edukasi dan tindak lanjut terapi a. Diseminasi informasi kesehatan Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027MENKESSKIX2004, dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut membantu diseminasi informasi, antara lain dengan penyebaran leafletbrosur, poster, penyuluhan dan lain-lainnya. Tabel XXXIV. Apoteker yang Pernah Melakukan Diseminasi Informasi Kesehatan No Pernah melakukan diseminasi informasi kesehatan Jumlah Persentase n = 23 1 Ya 15 65,22 2 Tidak 8 34,78 Total 23 100 Tabel XXXIV menunjukkan bahwa apoteker yang pernah melakukan diseminasi penyebaran informasi kesehatan hanya sebanyak 30,43 dan 69,57 sisanya tidak pernah melakukan diseminasi penyebaran informasi kesehatan. b. Tindak lanjut terapi Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027MENKESSKIX2004 setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat. Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI pelayanan residensial, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Tabel XXXV. Apoteker yang Melakukan Tindak Lanjut Terapi No Melakukan tindak lanjut terapi Jumlah Persentase n = 23 1 Ya 10 43,48 2 Tidak 13 56,52 Total 23 100 Tabel XXXV menunjukkan bahwa apoteker yang melakukan tindak lanjut terapi, misalnya dengan mengunjungi pasien atau komunikasi melalui telepon untuk memantau keadaan pasien hanya sebanyak 43,48, sedangkan 56,52 sisanya tidak melakukan tindak lanjut terapi. Selain melakukan konseling secara berkelanjutan, tindak lanjut terapi dengan kunjungan rumah atau komunikasi dengan telepon merupakan salah satu bentuk perhatian khusus yang seharusnya dilakukan apoteker guna mendukung proses penyembuhan pasien, terutama bagi pasien lansia atau pasien yang karena penyakit yang dideritanya tidak memungkinkan untuk datang dan melakukan konseling secara langsung ke apotek. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI c. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian promosi, edukasi dan tindak lanjut terapi

65.22 43.48

0.00 50.00 100.00 diseminasi informasi kesehatan tindak lanjut terapi Gambar 11. Pelaksanaan Promosi, Edukasi dan Tindak Lanjut Terapi Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian promosi, edukasi dan tindak lanjut terapi belum dilaksanakan dengan baik secara menyeluruh. Pelayanan promosi, edukasi dan tindak lanjut terapi yang telah dilaksanakan, yaitu yang memiliki persentase pelaksanaan di atas 50, meliputi diseminasi informasi kesehatan 65,22 dan yang belum dilaksanakan, yaitu yang memiliki persentase pelaksanaan di bawah 50, meliputi pelayanan tindak lanjut terapi 43,48 sehingga perlu ditingkatkan lagi pelaksanaannya.

D. Evaluasi Mutu Pelayanan

Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027MENKESSKIX2004 indikator yang digunakan untuk mengevaluasi mutu pelayanan adalah : 1. Tingkat kepuasan konsumen : dilakukan dengan survey berupa angket atau wawancara langsung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa apotek yang pernah melakukan survey mengenai tingkat kepuasan konsumen hanya sebanyak 21,74, sedangkan sebanyak 78,26 apotek tidak pernah melakukan survey mengenai tingkat kepuasan konsumen. Hal ini dapat dilihat pada Tabel XXXVI berikut. Tabel XXXVI. Apotek yang Pernah Melakukan Survey No Pernah melakukan survey tingkat kepuasan konsumen Jumlah Persentase n = 23 1 Ya 5 21,74 2 Tidak 18 78,26 Total 23 100 Survey ini dimaksudkan untuk mengetahui pendapat pasienpengunjung apotek mengenai kinerja di apotek dan dapat digunakan sebagai bahan evaluasi oleh APA agar dapat meningkatkan mutu pelayanan di apotek mereka. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dari apotek yang pernah melakukan survey tersebut, 40 di antaranya melakukan survey dengan angket dan 60 dengan wawancara. 40 60 Angket Wawancara Gambar 12. Bentuk Survey 2. Dimensi waktu : lama pelayanan diukur dengan waktu yang telah ditetapkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya 8,70 apotek yang menetapkan lama pelayanan waktu pelayanan maksimal per pasien dan 91,30 sisanya tidak menetapkan lama pelayanan per pasien. Hal ini dapat dilihat pada Tabel XXXVII berikut. Tabel XXXVII. Apotek yang Menetapkan Lama Pelayanan No Menetapkan lama pelayanan Jumlah Persentase n = 23 1 Ya 2 8,70 2 Tidak 21 91,30 Total 23 100 Penetapan lama pelayanan waktu pelayanan maksimal per pasien bertujuan agar apoteker cepat tanggap dalam melayani pasien sehingga pasien tidak menunggu terlalu lama untuk mendapatkan obat. Salah satu caranya adalah dengan menetapkan lama waktu untuk tiap pembuatan dan pengambilan setiap sediaan, misalnya salep, puyer, kapsul, sirup, baik dalam sediaan tunggal maupun campuran sehingga pasien mendapatkan kepastian waktu. 3. Prosedur tetap : untuk menjamin mutu pelayanan sesuai standar yang telah ditetapkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya 47,83 apotek yang mempunyai prosedur tertulis dan tetap dalam pelayanan pasien dan 52,17 sisanya tidak mempunyai prosedur tertulis dan tetap dalam pelayanan pasien. Hal ini dapat dilihat pada Tabel XXXVIII berikut. Tabel XXXVIII. Apotek yang Mempunyai Prosedur Tertulis dan Tetap No Ada prosedur tertulis dan tetap dalam pelayanan pasien Jumlah Persentase n = 23 1 Ada 11 47,83 2 Tidak ada 12 52,17 Total 23 100 Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027MENKESSKIX2004 prosedur tetap ini antara lain bermanfaat untuk memastikan bahwa praktek yang baik dapat tercapai setiap saat dan adanya pembagian tugas dan wewenang di apotek. Hal ini dapat dilakukan dengan adanya alur pelayanan resep di apotek sehingga pelayanan dapat berjalan dengan baik karena tidak terjadi tumpang tindih tugas dan wewenang. Contoh alur pelayanan resep dapat dilihat pada lampiran 8. 4. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian evaluasi mutu pelayanan

21.74 8.70

47.83 0.00 50.00 100.00 survey tingkat kepuasan konsumen waktu pelayanan per pasien prosedur tetap Gambar 13. Pelaksanaan Evaluasi Mutu Pelayanan Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian evaluasi mutu pelayanan belum dilaksanakan dengan baik karena memiliki persentase pelaksanaan di bawah 50, yaitu untuk pelaksanaan survey tingkat kepuasan konsumen sebesar 21,74, penetapan waktu pelayanan per pasien sebesar 8,70 dan untuk penetapan prosedur tetap sebesar 47,83, sehingga perlu ditingkatkan pelaksanaannya. E. Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kota Yogyakarta Berdasarkan Tiga Parameter Utama Kepmenkes RI Nomor 1027MENKESSKIX2004 Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027MENKESSKIX2004 belum dilaksanakan secara menyeluruh oleh apoteker di apotek-apotek Kota Yogyakarta karena masih terdapat persentase pelaksanaan di bawah 50 pada tiga parameter utama Kepmenkes RI Nomor 1027MENKESSKIX2004, yaitu pengelolaaan sumber daya, pelayanan maupun evaluasi mutu pelayanan Gambar 14. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek yang paling rendah tingkat pelaksanaannya berdasarkan tiga parameter utama Kepmenkes RI Nomor 1027MENKESSKIX2004 adalah bagian evaluasi mutu pelayanan, karena semua persentase pelaksanaannya masih di bawah 50 sehingga perlu perhatian yang lebih agar dapat ditingkatkan lagi pelaksanaannya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Dokumen yang terkait

Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor : 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar pelayanan kefarmasian di apotik - [PERATURAN]

0 6 12

Kajian pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian berdasarkan Kepmenkes RI nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 di apotek-apotek Kabupaten Gunungkidul.

0 1 175

Kajian pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian berdasarkan Kepmenkes RI nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 di apotek-apotek Kabupaten Bantul.

0 2 159

Pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan Kepmenkes RI nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 di Kabupaten Sleman periode Oktober-Desember 2006.

0 8 127

Kajian pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 di apotek-apotek Kabupaten Kulon Progo.

0 1 133

Pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 di Kota Yogyakarta - USD Repository

0 0 131

Kajian pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 di apotek-apotek Kabupaten Kulon Progo - USD Repository

0 1 131

Pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan Kepmenkes RI nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 di Kabupaten Sleman periode Oktober-Desember 2006 - USD Repository

0 0 125

Kajian pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian berdasarkan Kepmenkes RI nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 di apotek-apotek Kabupaten Bantul - USD Repository

0 0 157

Kajian pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian berdasarkan Kepmenkes RI nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 di apotek-apotek Kabupaten Gunungkidul - USD Repository

0 0 173