64
Tabel 3 Gaya Bahasa Personifikasi
No. data
Pengungkapan Personifikasi No.
data Pengungkapan Biasa
43 Wanita itu berasal dari sebuah
kadipaten yang mengobarkan bara pemberontakan.
43a Wanita itu berasal dari sebuah
kadipaten yang
mengawali pemberontakan.
44
Ia dihadiahkan
pada Tumenggung
Wiroguno sebagai penghargaan atas jasa
sang pahlawan perang yang mampu
memadamkan api
disintegrasi.
44a
Ia dihadiahkan
pada Tumenggung Wiroguno sebagai
penghargaan atas jasa sang pahlawan perang yang mampu
memadamkan pemberontakan
yang telah terjadi.
45 Jam setengah dua belas, malam
semakin diam. 45a
Jam setengah dua belas, malam semakin sunyi
.
46 Ucapan lidahnya yang minta
disaksikan pihak lain, bahkan alam,
adalah sumpah. Tak ada yang berkata-kata, tak ada yang
bersuara. Sekujur tubuh Wijaya merinding
dan bergetar.
Dinding kamarnya menatap Galang
penuh kesangsian.
Angin pun sejenak berhenti berkelana.
Dan, dedaunan yang merimbunkan pepohonan di
samping rumah Wijaya, sesaat menganga.
46a Ucapan lidahnya yang minta
diketahui oleh
pihak lain,
bahkan alam, adalah sumpah.
Tak ada yang berkata-kata, tak ada yang bersuara. Sekujur
tubuh Wijaya merinding dan bergetar.
Dinding kamarnya
memandangi Galang
penuh kesangsian. Angin pun sejenak
berhenti mengembara.
Dan, dedaunan yang merimbunkan
pepohonan di samping rumah Wijaya, sesaat tercengang.
2.5 Gaya Bahasa Alusi
Gaya bahasa alusi adalah semacam acuan yang berusaha untuk mensugestikan kesamaan antara orang, tempat atau peristiwa Keraf, 1984: 141.
Berikut ini gaya bahasa alusi yang ditemukan dalam kumpulan cerita pendek Roro Mendut Atmo:
65 47 “Maaf, saya tidak bersedia menuruti keinginan Menggung,” tolak gadis
dari Kadipaten Pati Roro Mendut Atmo, hal 2.
48 “Saya sudah tahu status itu, Menggung,” kata perawan dari wilayah Pegunungan Kapur Utara
Roro Mendut Atmo, hal 3. 49 Suatu hal yang wajar karena Prono mencintai gadis Pantai Utara itu
Roro Mendut Atmo, hal 8. Kalimat 47, 48, dan 49 terdapat gaya bahasa alusi yaitu pada frasa
gadis dari Kadipaten Pati , perawan dari wilayah Pegunungan Kapur Utara, dan
gadis Pantai Utara. Penulis mempunyai praanggapan yaitu adanya pengetahuan
bersama pada pembaca bahwa keempat bentuk gaya bahasa alusi tersebut dapat disugestikan sebagai Roro Mendut. Berikut bentuk penggantian keempat gaya
bahasa alusi tersebut: 47a “Maaf, saya tidak bersedia menuruti keinginan Menggung,” tolak
Roro Mendut. 48a “Saya sudah tahu status itu, Menggung,” kata Roro Mendut.
49a Suatu hal yang wajar karena Prono mencintai Roro Mendut. Berikut contoh lain dari alusi, yaitu:
50 “Sekarang segeralah kalian, berlutut di kakiku” lanjut Senopati perang Roro Mendut Atmo, hal 11.
51 Pronocitro yang dipihakinya, semakin tak berdaya menandingi arogansi panglima perang negeri Mataram
Roro Mendut Atmo, hal 14. Kalimat 50 dan 51 terdapat gaya bahasa alusi yaitu pada frasa Senopati
perang dan panglima perang negeri Mataram. Penulis mempunyai praanggapan
yaitu adanya pengetahuan bersama pada pembaca bahwa kedua bentuk gaya bahasa alusi tersebut dapat disugestikan sebagai Tumenggung Wiroguno. Berikut
bentuk penggantian kedua gaya bahasa alusi tersebut: 50a “Sekarang segeralah kalian, berlutut di kakiku” lanjut Tumenggung
Wiroguno. 51a Pronocitro yang dipihakinya, semakin tak berdaya menandingi
arogansi Tumenggung Wiroguno.
66 Berikut contoh lain dari alusi, yaitu:
52 Mereka lebih suka memanggilnya dengan ‘Atmo Jogja’ Roro Mendut Atmo
, hal 25. Kalimat 52 terdapat gaya bahasa alusi yaitu pada frasa Atmo Jogja.
Penulis mempunyai praanggapan yaitu adanya pengetahuan bersama pada masyarakat Gang Dahlia, RT 06, bahwa Suratmo Hartono yang berasal dari
Jogjakarta lebih dikenal dengan nama Atmo Jogja. Berikut bentuk penggantian Atmo Jogja
: 52a Mereka lebih suka memanggilnya Atmo yang berasal dari Jogja.
Berikut contoh lain dari alusi, yaitu: 53 Menurut seorang saksi mata yang berjualan rokok di dekat situ, si korban
sudah ditolong penduduk Roro Mendut Atmo, hal 35. Kalimat 53 terdapat gaya bahasa alusi yaitu pada frasa si korban. Penulis
mempunyai praanggapan yaitu adanya pengetahuan bersama pada pembaca dan masyarakat dimana kecelakaan tersebut terjadi bahwa
si korban dapat
disugestikan sebagai Yuri. Berikut bentuk penggantian si korban: 53a Menurut seorang saksi mata yang berjualan rokok di dekat situ, Yuri
sudah ditolong penduduk.
Tabel 4 Gaya Bahasa Alusi
No. data
Pengungkapan Alusi No.
data Pengungkapan Biasa
47
“Maaf, saya tidak bersedia menuruti
keinginan Menggung,” tolak gadis dari
47a
“Maaf, saya tidak bersedia menuruti keinginan Menggung,”
tolak Roro Mendut.
67 Kadipaten Pati.
48 “Saya sudah tahu status itu,
Menggung,” kata perawan dari wilayah Pegunungan Kapur
Utara. 48a
“Saya sudah tahu status itu, Menggung,” kata Roro Mendut.
49
Suatu hal yang wajar karena Prono mencintai gadis Pantai
Utara itu.
49a
Suatu hal yang wajar karena Prono mencintai Roro Mendut.
50 “Sekarang
segeralah kalian, berlutut di kakiku” lanjut
Senopati perang.
50a “Sekarang
segeralah kalian,
berlutut di
kakiku” lanjut
Tumenggung Wiroguno.
51
Pronocitro yang dipihakinya, semakin
tak berdaya
menandingi arogansi panglima perang negeri Mataram.
51a
Pronocitro yang dipihakinya, semakin tak berdaya menandingi
arogansi Tumenggung
Wiroguno.
52 Mereka lebih suka
memanggilnya dengan ‘Atmo Jogja’.
52a Mereka
lebih suka
memanggilnya Atmo
yang berasal dari Jogja.
53 Menurut seorang saksi mata
yang berjualan rokok di dekat situ, si korban sudah ditolong
penduduk. 53a
Menurut seorang saksi mata yang berjualan rokok di dekat
situ, Yuri
sudah ditolong
penduduk.
2. 6 Gaya Bahasa Epitet
Epitet epiteta adalah semacam acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang khusus dari seseorang atau sesuatu hal. Keterangan itu adalah suatu frasa
deskriptif yang menjelaskan atau menggantikan nama seseorang atau suatu barang Keraf, 1984: 141. Berikut gaya bahasa epitet yang ditemukan dalam kumpulan
cerita pendek Roro Mendut Atmo karya Besar S.W: 54 Ia dihadiahkan pada Tumenggung Wiroguno sebagai penghargaan atas
jasa sang pahlawan perang yang mampu memadamkan api disintegrasi Roro Mendut Atmo, hal 1.
Kalimat 54 gaya bahasa epitet ditunjukkan oleh frasa sang pahlawan perang.
Dalam kalimat tersebut digambarkan bahwa Tumenggung Wiroguno
68 berhasil memadamkan api disintegrasi sehingga ia disebut sebagai sang pahlawan
perang . Berikut contoh lain dari epitet, yaitu sang pembantai:
55 “Lahirmu saja baru kemarin sore, sudah berlagak sebagai sang pembantai
. Kencangkan dulu kolor celanamu, kalau hendak berlaga dengan tuanmu. Ayo jangan mundur meski selangkah karena pantang
bagiku menyerah kalah” Tumenggung menerima tantangan Roro Mendut Atmo
, hal 12. Kalimat 55 gaya bahasa epitet ditunjukkan oleh frasa sang pembantai.
Sang pembantai merupakan sebutan yang diberikan Tumenggung Wiroguno
kepada Pronocitro karena dianggap terlalu banyak berlagak. Berikut contoh lain dari epitet, yaitu mahasiswa krempeng yang nyentrik itu:
56 Yah, mahasiswa krempeng yang nyentrik itu akhirnya memang jadi buah simalakama bagi Galang Roro Mendut Atmo, hal 82.
Kalimat 56 gaya bahasa epitet ditunjukkan dengan kalimat mahasiswa kerempeng yang nyentrik itu
. Sebutan itu menggambarkan keadaan Nico, saingan Galang dalam memperebutkan cinta Reni. Reni memberikan julukan itu karena
sifat Nico yang memang nyentrik dan badannya yang kurus. Berikut contoh lain dari epitet, yaitu si dosen bujang perlente:
57 “Mataku jadi saksi, Lang. Sayang sekali, punya teman terlalu ketinggalan jaman. Oh ya, aku barusan dari rumah Pak Anto, si dosen bujang
perlente . Biasalah, diskusi sambil rujakan. Eh, ternyata mereka ada di
sana. Nah, apa kamu tidak berani bersaing dengan teman sendiri?” begitu kata Wijaya Roro Mendut Atmo, hal 82.
Pada kalimat 57 gaya bahasa epitet ditunjukkan oleh si dosen bujang perlente
. Frasa tersebut menggambarkan keadaan Pak Anto yang belum menikah, gagah, dan suka berpakaian rapi.
58 Padahal, kepasrahan sang triman adalah suatu keadaan yang diharap- harapkan oleh Pak Tumenggung Roro Mendut Atmo, hal 5.
69 Pada kalimat 58 gaya bahasa epitet ditunjukkan oleh sang triman. Frasa
tersebut menggantikan Roro Mendut yang akan ditriman oleh Tumenggung Wiroguno.
2. 7 Gaya Bahasa Antonomasia
Antonomasia juga merupakan bentuk khusus dari sinekdoke yang berwujud penggunaan sebuah epiteta untuk menggantikan nama diri, atau gelar
resmi, atau jabatan untuk menggantikan nama diri Keraf, 1984: 142. Berikut ini adalah gaya bahasa antonomasia yang ditemukan dalam kumpulan cerpen Roro
Mendut Atmo karya Besar S.W:
59 Di istana ia tak bisa menolak ketika sang raja memanfaatkannya sebagai
seorang triman untuk kepentingan Negara Roro Mendut Atmo, hal 1. Kalimat 59 gaya bahasa antonomasia ditunjukkan dengan frasa sang
raja . Sang raja di kalimat tersebut menggantikan Raja Mataram. Berikut contoh
lain dari antonomasia, yaitu seorang perawan: 60
Asalkan, si penerima hadiah menghormatinya sebagai seorang perawan Roro Mendut Atmo, hal 2.
Kalimat 60 gaya bahasa antonomasia ditunjukkan oleh frasa seorang perawan
. Seorang perawan dalam kalimat ini menggantikan Roro Mendut. Berikut contoh lain dari antonomasia, yaitu pejabat kerajaan:
61 “Jangan khawatir, Ndut Aku akan menjamin kehidupan yang sangat
layak untuk masa depanmu. Kamu akan hidup mewah bergelimang harta di ibukota Negara. Juga bergaul dengan kalangan elite. Tinggal di sebuah
rumah mewah dilayani banyak abdi dan jongos. Punya kendaraan tak bermotor, lengkap dengan kusirnya. Bagaimana Cah Ayu?” pejabat
kerajaan
itu menjanjikan segalanya Roro Mendut Atmo, hal 3.
70 Kalimat 61 gaya bahasa antonomasia ditunjukkan oleh frasa pejabat
kerajaan . Dalam kalimat ini, pejabat kerajaan menggantikan Tumenggung
Wiroguno . Berikut contoh lain dari antonomasia, yaitu dedengkot:
62 Dedengkot
majalah dinding sekolah itu bahkan menilainya sebagai kisah murahan yang tidak punya konflik Roro Mendut Atmo, hal 57-58.
Kalimat 62 gaya bahasa antonomasia ditunjukkan oleh kata dedengkot. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 2002: 244, kata dedengkot berarti orang
yang menjadi tokoh pemimpin dalam suatu perkumpulan dsb, baik dalam arti yang baik maupun yang buruk. Kata dedengkot dalam kalimat ini menggantikan
Ratri, karena Ratri adalah ketua mading sekolah.
2. 8 Gaya Bahasa Ironi
Sebagai bahasa kiasan, atau sindiran adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang
terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Ironi akan berhasil kalau pendengar juga sadar akan maksud yang disembunyikan di balik rangkaian kata-katanya
Keraf, 1984: 143. Terdapat juga istilah lain yaitu sinisme yang diartikan sebagai suatu
sindiran berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. Walaupun sinisme dianggap lebih keras dari ironi, namun kadang-
kadang masih sukar diadakan perbedaan antara keduanya. Bila contoh mengenai ironi di atas diubah, maka akan dijumpai gaya yang lebih bersifat sinis Keraf,
1984: 143.
71 Sarkasme
merupakan suatu acuan yang lebih kasar dari ironi dan sinisme. Ia adalah suatu acuan yang mengandung kepahitan dan celaan yang getir.
Sarkasme dapat juga bersifat ironis, dapat juga tidak, tetapi yang jelas adalah bahwa gaya ini akan selalu menyakiti hati dan kurang enak didengar. Kata
sarkasme diturunkan dari kata Yunani sarkasmos, yang lebih jauh diturunkan dari
kata kerja sakasein yang berarti “merobek-robek daging seperti anjing”, “menggigit bibir karena marah”, atau “berbicara dengan kepahitan” Keraf, 1984:
143. Berikut ini gaya bahasa ironi, sinisme, dan sarkasme yang ditemukan dalam kumpulan cerita pendek Roro Mendut dan Atmo karya Besar S.W:
63 “Wah-wah kamu bilang pelanggan. Tapi dari tadi kamu berbisik-bisik dan saling tersenyum berdua.
Jangan kira, baru sekarang aku mengetahui hubunganmu ini, Mendut. Kamu memang wanita tidak tahu diuntung.
Kalau tidak kuselamatkan, mungkin engkau telah mati keterjang senjata nyasar di kancah peperangan.”
Wiroguno marah Roro Mendut Atmo, hal 8.
Kalimat 63 terdapat gaya bahasa ironi dan sarkasme. Kalimat Wah-wah kamu bilang pelanggan. Tapi dari tadi kamu berbisik-bisik dan saling tersenyum
berdua yang diucapkan oleh Wiroguno mengandung ironi. Dalam kalimat tersebut
Wiroguno menyindir kedekatan antara Roro Mendut dan Pronocitro. Wiroguno menyindir Roro Mendut karena wanita tersebut merupakan trimannya. Karena
itulah ia merasa memiliki hak atas Roro Mendut dan tidak senang apabila wanita tersebut berdekatan dengan lelaki lain. Sedangkan pada kalimat Kamu memang
wanita tidak tahu diuntung. Kalau tidak kuselamatkan, mungkin engkau telah mati keterjang senjata nyasar di kancah peperangan
merupakan sarkasme. Kalimat yang diucapkan oleh Wiroguno tersebut bermaksud untuk mencela Roro
72 Mendut yang kelakuannya membuat Wiroguno marah. Kalimat tersebut sangat
menyakitkan hati dan tidak enak didengar. Berikut contoh lain dari ironi, yaitu: 64 “Hai, kamu pemuda ingusan Menurut laporan asistenku, kamu orang
yang bernama Pronocitro brengsek itu, bukan?” Roro Mendut Atmo, hal 9.
65 “Orang edan, ngapain kamu berlama-lama berduaan dengan trimanku, ha?” pejabat itu naik pitam Roro Mendut Atmo, hal 9.
66 “Tahukah kamu, Prono gemblung, kalau sebentar lagi ia akan menjadi selirku?” Wiroguno mengintrogasi Roro Mendut Atmo, hal 9.
67 “Jangan ikut campur urusanku dengan Prono menying ini, Ndut” Wiroguno memperingatkan trimannya Roro Mendut Atmo, hal 9.
68 “Pasukan Tangkap pemuda gembel jelek itu” komando Panglima Wiroguno pada anak buahnya Roro Mendut Atmo, hal 10.
69 “Hai para begundal Mau pada lari kemana lagi kalian, ha? Tempat ini sudah saya blokade. Ha… ha ha ha …” Wiroguno merasa menang Roro
Mendut Atmo , hal 11.
70 “Dasar anak ingusan tak tahu malu, wanita sudah ditriman masih di mau. Sebaiknya engkau pulang menyusu pada ibumu karena yang
kuhadapi belum banyak ilmu. Lalu, belajarlah mencuci paras muka kalau ingin dihinggapi rasa cinta,”
kata-kata Wiroguno tak kalah menyakitkan hati lawan Roro Mendut Atmo, hal 12.
71 “Lahirmu saja baru kemarin sore, sudah berlagak sebagai sang pembantai. Kencangkan dulu kolor celanamu, kalau hendak berlaga
dengan tuanmu. Ayo jangan mundur meski selangkah karena pantang
bagiku menyerah kalah” Tumenggung menerima tantangan Roro Mendut Atmo
, hal 12. Kalimat 64 sampai dengan kalimat 71 seluruhnya mengandung
sarkasme. Hal ini ditunjukkan dengan kata-kata yang diucapkan oleh Wiroguno yaitu pemuda ingusan, Pronocitro brengsek, orang edan, Pronocitro gemblung,
Pronocitro menying, pemuda gembel jelek , para begundal, Dasar anak ingusan
tak tahu malu, wanita sudah ditriman masih di mau. Sebaiknya engkau pulang menyusu pada ibumu karena yang kuhadapi belum banyak ilmu. Lalu, belajarlah
mencuci paras muka kalau ingin dihinggapi rasa cinta, Lahirmu saja baru kemarin sore, sudah berlagak sebagai sang pembantai. Kencangkan dulu kolor
celanamu, kalau hendak berlaga dengan tuanmu . Semua kata-kata yang
73 diucapkan oleh Wiroguno tersebut bermaksud untuk mengejek dan memanas-
manasi lawannya, Pronocitro. Pronocitro dianggap masih anak kecil yang belum tahu apa-apa. Kalimat-kalimat tersebut begitu menyakitkan hati dan tidak enak
didengar. Berikut contoh lain dari ironi, yaitu: 72 “Hai, panglima kerajaan yang katanya selalu menang perang
Mengakumu saja sebagai ksatria, tapi nyatanya berlaku betina. Engkau hanya besar mulut menghadapi dua orang mengerahkan para pengikut.
Perempuan bisanya hanya menjerit, masih kau takut-takuti dengan segenap prajurit.” Pronocitro memanas-manasi lawannya Roro Mendut
Atmo
, hal 11. Kalimat 72 mengandung ironi. Hal ini ditunjukkan dengan kalimat Hai,
panglima kerajaan yang katanya selalu menang perang Mengakumu saja sebagai ksatria, tapi nyatanya berlaku betina. Engkau hanya besar mulut
menghadapi dua orang mengerahkan para pengikut yang diucapkan oleh
Pronocitro. Kalimat yang diucapkan oleh Pronocitro ini bermaksud untuk membalas ejekan-ejekan yang diucapkan oleh Wiroguno. Wiroguno dikatakan
berkelakuan seperti wanita. Tetapi dalam kalimat tersebut tidak digunakan kata wanita
melainkan kata betina yang berarti kelakuan Wiroguno disamakan dengan hewan betina. Berikut contoh lain dari ironi, yaitu:
73 “Tak ada yang berminat membaca tulisan jelekmu” kata gadis itu acuh tak acuh Roro Mendut Atmo, hal 49.
74 “Biar saja Sudut pandangnya juga kaku, kayak wayang,” Ratri mulai tidak menghadap kearah lain Roro Mendut Atmo, hal 60.
Kalimat 73 dan 74 mengandung sarkasme. Hal ini ditunjukkan dengan kalimat Tak ada yang berminat membaca tulisan jelekmu dan Sudut pandangnya
juga kaku, kayak wayang yang diucapkan oleh Ratri. Kata-kata yang diucapkan
oleh Ratri tersebut bermaksud untuk memberikan pelajaran pada Bramanto karena
74 ia terlalu keras kepala. Sudut pandang dalam cerita yang ditulis oleh Bramanto
disamakan dengan wayang yang begitu kaku. Berikut contoh lain dari ironi, yaitu: 75 “Jangan asal menilai karya orang, ya Apresiasi senimu rendah. Cerpen
baik dibilang jelek,” bantahku Roro Mendut Atmo, hal 52. 76 “Kamu yang kaku kayak tulang.” Aku panas Roro Mendut Atmo, hal
60. Kalimat 75 dan 76 mengandung sarkasme. Hal ini ditunjukkan dengan
kalimat Apresiasi senimu rendah dan Kamu yang kaku kayak tulang yang diucapkan oleh Bramanto. Kata-kata yang diucapkan oleh Bramanto tersebut
bermaksud untuk membalas ejekan Ratri atas tulisannya. Ratri yang merupakan seorang redaktur mading di sekolah dianggap memiliki apresiasi seni yang rendah
oleh Bramanto.
2. 9 Gaya Bahasa Inuendo
Inuendo adalah semacam sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang sebenarnya. Ia menyatakan kritik dengan sugesti yang tidak langsung, dan sering
tampaknya tidak menyakitkan hati kalau dilihat sambil lalu Keraf, 1984: 144. Berikut ini adalah gaya bahasa inuendo yang ditemukan dalam kumpulan cerita
pendek Roro Mendut Atmo karya Besar S.W: 77
“Wah-wah kamu bilang pelanggan. Tapi dari tadi kamu berbisik-bisik dan saling tersenyum berdua.
Jangan kira, baru sekarang aku mengetahui hubunganmu ini, Mendut. Kamu memang wanita tidak tahu diuntung.
Kalau tidak kuselamatkan, mungkin engkau telah mati keterjang senjata nyasar di kancah peperangan.” Wiroguno marah Roro Mendut Atmo,
hal 8.
Kalimat 77 Wiroguno mengecilkan kenyataan dengan menyebut bahwa Pronocitro dan Roro Mendut adalah pelanggan. Dalam kumpulan cerpen Roro
Mendut Atmo karya Besar S.W 2006: 8, tertulis “Ia dan pemuda Pronocitro
75 sama-sama menaruh perhatian. Kedua orang muda itu sering bertemu, lalu saling
jatuh hati. Harkat dan martabatnya dihargai, dihormati, dan diperlakukan sebagai sesamanya. Mereka pun kemudian menjalin benang asmara secara illegal,”
Penulis cerpen menggambarkan bahwa Pronocitro dan Roro Mendut memiliki hubungan yang spesial. Berikut contoh lain dari inuendo, yaitu:
78 “Pasukan Tangkap pemuda gembel jelek itu” komando Panglima
Wiroguno pada anak buahnya Roro Mendut Atmo, hal 10. Kalimat 78 Wiroguno mengecilkan kenyataan yang sebenarnya dengan
mengatakan bahwa Pronocitro adalah pemuda gembel jelek. Dalam kumpulan cerpen Roro Mendut Atmo karya Besar S.W 2006: 6, tertulis “Ndut,
ngomong-ngomong, hari ini kamu harus setor upeti berapa?” Tanya pelanggan yang tak lain adalah pemuda ganteng Pronocitro”.
Penulis cerpen menggambarkan bahwa Pronocitro adalah seorang pemuda ganteng.
76
BAB III FUNGSI GAYA BAHASA KIASAN