14 Ia menjadi kaya-raya karena sedikit mengadakan komersialisasi dengan
jabatannya.
o Antifrasis
Antifrasis adalah semacam ironi yang berwujud penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya, yang bisa saja dianggap sebagai ironi
sendiri, atau kata-kata yang dipakai untuk menangkal kejahatan, roh jahat, dan sebagainya.
Engkau memang orang yang mulia dan terhormat Lihatlah sang Raksasa telah tiba maksudnya si Cebol.
p Pun atau paronomasia
Pun atau paronomasia adalah kiasan dengan mempergunakan kemiripan bunyi. Ia merupakan permainan kata yang didasarkan pada kemiripan
bunyi, tetapi terdapat perbedaan besar dalam maknanya. Tanggal dua gigi saya tanggal dua.
”Engkau orang kaya” ”Ya, kaya monyet”
1.6.3 Kajian Stilistika
Stilistika stylistic adalah ilmu tentang gaya, sedangkan stil style secara umum adalah cara-cara yang khas, bagaimana segala sesuatu diungkapkan dengan
cara tertentu, sehingga tujuan yang dimaksudkan dapat dicapai secara maksimal Ratna, 2008: 3. Shipley dalam Ratna 2008: 8 mengatakan bahwa stilistika
stylistic adalah ilmu tentang gaya style, sedangkan style itu sendiri berasal dari arti kata stilus Latin, semula berarti alat berujung runcing yang digunakan untuk
menulis di atas bidang berlapis lilin. Pada dasarnya di sinilah terletak makna kata
15 stilus
sehingga kemudian berarti gaya bahasa yang sekaligus berfungsi sebagai penggunaan bahasa yang khas. Dalam bidang bahasa dan sastra stil dan stylstic
berarti cara-cara penggunaan bahasa yang khas sehingga menimbulkan efek tertentu Ratna, 2008: 9.
Tujuan utama gaya bahasa adalah menghadirkan aspek keindahan. Tujuan ini terjadi baik dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa sebagai sistem model
pertama, dalam ruang lingkup linguistik, maupun sebagai sistem model kedua, dalam ruang lingkup kreativitas sastra. Meskipun demikian, menurut Wellek dan
Warren dalam Ratna 2008: 67 kualitas estetis menjadi pokok permasalahan pada tataran bahasa kedua sebab dalam sastralah, melalui metode dan teknik
diungkapkan secara rinci ciri-ciri bahasa yang disebut indah, sebagai stilistika. Menurut Wellek dan Warren ada dua cara yang dapat dilakukan untuk memahami
timbulnya aspek-aspek keindahan tersebut, pertama, melalui analisis sistematis sistem linguistik karya sastra, dilanjutkan dengan makna total. Hasilnya adalah
sistem linguistik yang khas karya tertentu, karya sastra seorang pengarang, atau sekelompok karya, sebagai periode. Kedua, dengan cara meneliti ciri-ciri estetis
karya secara langsung sekaligus membedakannya dengan pemakaian bahasa biasa, seperti deviasi, distorsi, dan inovasi. Langkah-langkahnya, misalnya, mengamati
terjadinya perulangan bunyi, inversi, hierarki klausa, yang secara keseluruhan berfungsi untuk menyembunyikan maksud yang sesungguhnya. Baik cara pertama
maupun cara kedua sama-sama bertujuan untuk menemukan makna estetis Ratna, 2008: 67- 68.
16 Persamaan bunyi dalam pantun, seperti: Berakit-rakit ke hulu, berenang-
renang ke tepian Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian bukan semata-mata konvensi tetapi ada kaitannya dengan struktur sosial yang
melatarbelakanginya, sehingga sebuah karya di samping menampilkan ciri-ciri genesisnya juga terserap ke dalam kekinian pembacanya. Benar, sesuai dengan
konvensi pantun harus ada persamaan bunyi antara ‘berakit-rakit’ dan bersakit- sakit’, ‘berenang-renang’ dan ‘bersenang-senang’, ‘ke hulu’ dan ‘dahulu’, ‘ke
tepian’ dan ‘kemudian’. Tetapi, persamaan bunyi bukan semata-mata hiasan, tetapi memiliki makna yang sekaligus menopang kualitas persamaan bunyi
tersebut. Pertama, pantun ini menunjuk situasi pedesaaan, pedalaman, di situ terdapat gunung, sungai, dan prasarana transportasi. Kedua, persamaan
mengimplikasikan makna tekstual yang digali melalui semestaan tertentu di tempat karya tersebut lahir. Orang berakit-rakit ke hulu pasti menimbulkan
kelelahan, kesakitan, sebaliknya, pada saat ketepian, menuju hilir, kita tinggal bersenang-senang, bahkan sambil bernyanyi dan bersiul. Ketiga, persamaan bunyi
pada gilirannya mengevokasi kualitas estetis. Dari segi jumlah suku kata pada setiap baris, demikian juga permainan bunyinya, antara sampiran dan isi, pantun
tersebut juga sangat baik. Pada tahap permukaan persamaan inilah memperoleh perhatian sehingga pantun tersebut sering digunakan dalam masyarakat. Di
samping itu, persamaan bunyi juga berfungsi mempermudah untuk menghafalkannya Ratna, 2008: 252-253.
Di antara gaya, gaya bahasa, dan majas, dalam karya sastra jelas yang paling berperanan adalah gaya bahasa, cara-cara penggunaan medium bahasa
17 secara khas sehingga tujuan dapat dicapai secara maksimal. Gaya lebih banyak
berkaitan dengan karya seni nonsastra, sedangkan majas lebih banyak berkaitan dengan aspek kebahasaan. Dengan singkat, gaya bahasa meliputi gaya dan majas.
Dalam hubungan ini tujuan yang dimaksudkan meliputi aspek estetis, etis, dan pragmatis. Oleh karena itulah, sebagai pendukung gaya bahasa, jenis majas yang
paling dominan adalah penegasan. Untuk mencapai tujuan yang dimaksudkan, di antara majas penegasan itu sendiri, yang paling luas adalah majas repetisi.
Dominasi berikut ditunjukkan melalui majas perbandingan degan pertimbangan bahwa karya sastra adalah representasi kemampuan manusia untuk meresepsi
keseluruhan aspek kehidupan dengan cara membandingkan. Pertentangan dan sindiran menduduki posisi terendah dengan pertimbangan
bahwa dalam kehidupan ini kedua ciri tidak banyak dimanfaatkan oleh manusia Ratna, 2008:
165-166. Metafora didefinisikan melalui dua pengertian, secara sempit dan luas.
Pengertian secara sempit, metafora adalah majas seperti metonimia, sinekdoke, hiperbola, dan sebagainya. Pengertian secara luas meliputi semua bentuk kiasan,
penggunaan bahasa yang dianggap ‘menyimpang’ dari bahasa baku. Dalam pembicaraan ini metafora lebih banyak ditinjau dalam kaitannya dengan
pengertian kedua. Dikaitkan dengan pengertian gaya bahasa secara sempit, sebagai majas, yang secara tradisional sudah dikenal luas, yang dibedakan
menjadi majas penegasan, perbandingan, pertentangan, dan majas sindiran, metafora termasuk salah satu unsur majas kedua, majas perbandingan. Dilihat dari
hakikat karya sastra secara keseluruhan, sebagai kualitas estetis, perbandingan
18 dianggap sebagai majas yang paling penting sebab semua majas pada dasarnya
memiliki ciri-ciri perbandingan. Metaforalah yang paling banyak dan paling intens memanfaatkan perbandingan Ratna, 2008: 181. Lebih lanjut menurut
Scholes dalam Ratna 2008: 183, dengan mengadopsi pendapat Jakobson, semua bentuk kiasan pada dasarnya dapat disebutkan sebagai metafora.
Dalam pengertian paling luas, stilistika dan estetika bekerja saling meliputi, stilistika mengimplikasikan keindahan, demikian juga sebaliknya,
keindahan melibatkan berbagai sarana yang dimiliki gaya bahasa Ratna, 2008: 251. Stilistika dan estetika jelas merupakan aspek penting dalam karya sastra.
Stilistika berkaitan dengan medium utama, yaitu bahasa, keindahan berkaitan dengan hasil akhir dari kemampuan medium itu sendiri dalam menampilkan
kekhasannya Ratna, 2008: 253. Bahkan menurut Wellek dan Warren dalam Ratna 2008: 255 stilistika itulah, ilmu gaya dengan kualitas estetis yang dapat
menjelaskan ciri-ciri khusus sastra. Stilistika dan estetika merupakan hubungan sebab akibat. Stilistika adalah bagaimana bahasa disusun, digunakan, bahkan
dengan melakukan pelanggaran puitika, sehingga melahirkan keindahan. Dilihat dari segi keindahan itu sendiri, jelas pemahamannya tidak tetap, berubah
sepanjang waktu, sesuai dengan proses hubungan antara karya sastra dengan subjek penikmat Ratna, 2008: 255.
1.7 Metode Penelitian