38
budaya media elektronik. Ketika budaya tulisan muncul, masyarakat pun terdorong untuk melakukan pembakuan-pembakuan dan pencatatan sejarah serta
kearifan lokal yang sebelumnya dituturkan secara lisan. Ajaran dan sejarah agama pun menjadi baku dan tetap, walau diajarkan dari generasi ke generasi. Begitu
pula ketika mesin cetak ditemukan, proses replikasi dari tulisan-tulisan pun menjadi lebih cepat dan mudah. Kitab Suci yang sebelumnya hanya dimiliki oleh
kaum klerus pun dapat disebarluaskan dan dimiliki oleh kaum awam. Otoritas kaum berjubah untuk membaca dan menafsir ayat-ayat suci pun terbuka bagi
semua orang yang memiliki Kitab Suci. Produksi pengetahuan secara masif pun dapat dilakukan. Buku-buku keilmuan tidak lagi hanya berada di lingkungan
sekolah, tetapi mencapai daerah yang terpencil sekalipun. Ketika masuk ke dalam era komunikasi elektronik, distribusi pengetahuan dan informasi pun menjadi
lebih cepat dan mudah. Transmisi gelombang radio dan siaran televisi mampu memangkas jarak yang terbentang cukup jauh dan waktu yang lama untuk
dijangkau oleh ekspedisi pengiriman surat dan barang. Semua orang, di waktu yang bersamaan dapat mendengarkan berbagai informasi yang diberikan oleh
berita. Agama pun akhirnya menjadi terbuka bagi semua orang, tidak lagi eksklusif bagi para penganutnya saja karena akses tak terbatas akibat
perkembangan teknologi komunikasi ini.
3. Gereja dan
Internet
: Simbiosis Mutualis
Gereja dipandang sebagai sebuah lembaga sakral yang di dalamnya setiap orang dapat berjumpa dengan Tuhan. Gedung gereja ditata dengan sedemikian
rupa sehingga menciptakan kesan keagungan Tuhan yang melingkupinya. Umat
39
masuk ke dalam gedung dengan hening dan sikap sempurna mengarahkan hati kepada Tuhan. Dalam beberapa tradisi gereja, umat bahkan tidak boleh
menggunakan sembarang pakaian ketika masuk ke dalam gedung gereja. Mereka diwajibkan untuk menggunakan pakaian yang sesuai dengan aturan gereja
setempat.
12
Aturan yang mengikat ini tidak dianggap sebagai suatu hal yang memberatkan umat, karena dengan keteraturan dan kerapihan itu niscaya umat
dapat mengalami perjumpaan dengan Tuhan Yang Mahakudus. Emile Durkheim mengatakan bahwa ritual adalah aturan perilaku yang
mengharuskan bagaimana seseorang harus menyesuaikan dirinya di hadapan Yang Kudus.
13
Ritus dan ritual komunal niscaya membuat jemaat mengalami perjumpaan dengan Yang Kudus dan menbuat kehidupan jemaat tetap berakar
pada Yang Kudus itu. Di dalam kehidupan gereja, ritus dan ritual terwujud dalam ibadah. Jemaat berbondong-bondong datang setiap minggu untuk beribadah demi
mengalami perjumpaan dengan Yang Kudus itu, sekaligus mengukuhkan komunalitasnya di dalam suatu gereja. Dalam hal ini, gereja adalah komunitas,
sebuah masyarakat yang terbentuk atas makna fundamental kolektif yang sama. Di lain pihak,
internet
adalah ruang di mana semua orang, tanpa melihat afiliasi keimanannya, dapat menjelajahi dunia tanpa batas. Setiap orang yang
masuk ke dalam dunia
internet
dapat masuk dan menemukan berbagai macam informasi yang ia inginkan. Ketika mereka ingin mencari sesuatu yang mereka
tidak tahu, maka mereka cukup masuk ke dalam situs-situs pencari yang dapat
12
Ada beberapa gereja yang masih mengharuskan kaum perempuan untuk menggunakan rok dan melarang mereka menggunakan celana ketika masuk ke dalam gereja. Ada pula gereja
yang secara implisit mengharuskan jemaatnya untuk menggunakan pakaian warna tertentu untuk ibadah tertentu. Bahkan ada sebuah gereja di daerah Sulawesi Utara yang mewajibkan seluruh
kaum perempuan untuk mengenakan kerudunghijab ketika mereka memasuki ruang ibadah.
13
Emile Durkheim, Elementary Forms of Religious Life, London: Allen Unwin, 1954 hlm. 41.
40
memberikan referensi
pranala
atas hal yang diinginkan. Misalnya, dengan menggunakan situs pencari
google
14
, maka jutaan
pranala
akan keluar ketika pengguna mengetik satu kata kunci.
Selain itu,
internet
dapat menghubungkan seseorang di satu waktu dan tempat dengan orang lain di waktu dan tempat yang berbeda. Fasilitas
chat room
yang bertebaran di dunia
internet
mampu menghubungkan secara langsung antara pengguna yang satu dengan pengguna yang lainnya, walaupun dipisahkan jarak
yang begitu jauh. Sebelum ada
internet
, komunikasi hanya dapat dilakukan dengan pos dan telepon jarak jauh yang tentunya membutuhkan dana yang sangat
besar untuk menggunakannya. Selain itu, kehadiran media sosial di
internet
pun membuat setiap orang terhubung satu sama lain. Media sosial membuat setiap
penggunanya melihat aktivitas orang yang berada jauh darinya, sebaliknya juga membuat dirinya terlihat oleh
”teman-teman mayanya”. Ada sebuah anekdot yang penulis dengar dari seorang pengkhotbah dalam
ibadah kaum muda di sebuah gereja besar di Jakarta, ”
Di masa kini kebanyakan umat Tuhan tidak lagi mencari Tuhan ketika mereka berada dalam kebingungan
dan butuh jawaban. Mereka lebih suka lari ke tuan google untuk menemukan berbagai jawaban dari setiap persoalan. Dengan satu kali klik, jutaan informasi
dan jawaban bisa didapatkan. Lebih cepat dan praktis dari doa yang harus disampaikan dengan cara yang sesuai dan membutuhkan waktu hingga
mendapatkan jawaban dari Tuhan.” Hal ini menggambarkan bahwa teknologi, secara perlahan tapi pasti, mulai menggeser kedudukan Tuhan dan gereja dalam
14
Google adalah salah satu dari situs pencari di dalam jaringan internet. Saat ini google adalah yang terbesar dari antara situs pencari lainnya karena ia mengembangkan diri tidak hanya
sekadar mesin pencari search engine, tetapi juga sebagai penyedia layanan email, cloud storage, peta digital, dan softwa re aplikasi pada platform komputer dan telepon genggam.
41
kehidupan masyarakat modern.
Internet
yang terus-menerus berkembang dan memberikan akses yang luas terhadap segala informasi, membuat agama tidak lagi
menjadi satu-satunya acuan hidup manusia. Seorang peneliti dari Massachusetts Institute of Technology, Allen Downey, membuat kesimpulan terbuka atas
penelitiannya terhadap bertambahnya jumlah orang-orang yang tidak beragama di AS dari tahun 1990
– 2010. Menurutnya, jumlah ini terus bertambah seiring dengan semakin banyaknya pengguna
internet
di negara itu. Tanpa menafikan keberadaan faktor-faktor lain yang mendukung pertambahan tersebut,
internet
sepertinya memang memegang peran yang signifikan dalam hal ini.
15
Fakta di atas membuat gereja-gereja yang awalnya bersikap kontra terhadap kemunculan
internet
menjadi lebih toleran bahkan adaptif terhadap internet. Sebuah gereja Jakarta Praise Community Church yang bertempat di
sebuah mal besar di Jakarta, telah menggunakan teknologi
internet
secara baik dalam kegiatan pelayanannya. Gereja ini mengembangkan sebuah
website
khusus bagi anggota jemaatnya, di mana akses masuk hanya diberikan bagi jemaat yang
sudah terdaftar secara administratif di gereja ini. Secara otomatis, para anggota yang terdaftar akan memiliki akun di
website
resmi gereja itu yang dapat digunakan untuk melihat informasi ibadah dan kegiatan yang akan berlangsung.
Yang lebih menarik, akun ini digunakan sebagai sarana penghubung antara jemaat dengan sekretariat gereja. Akun ini mencatat seluruh data dari jemaat yang
bersangkutan. Selain itu, akun ini juga digunakan untuk mendaftar segala macam kegiatan yang akan dilangsungkan di gereja ini. Jemaat tinggal mendaftar melalui
15
http:www.technologyreview.comview526111how-the-internet-is-taking-away- americas-religion diakses pada 27 April 2014. Beberapa catatan statistikal dari penelitian Downey
dapat dilihat di http:arxiv.orgabs1403.5534.
42
akun ini sehingga tidak perlu menelepon atau mendatangi kantor sekretariat gereja. Semuanya menjadi a
ll-in-one service
. Seorang jemaat muda yang penulis wawancarai mengakui kecanggihan
teknologi yang digunakan di gereja ini. Dia mengatakan, ”
Gereja ini punya teknologi yang canggih. Mereka punya multimedia yang canggih, sound
systemnya juga canggih. Mereka juga punya website yang canggih. P endetanya juga gaul dan funky. Itu sebabnya banyak anak muda yang datang gereja di sini.
Mereka jadi betah bergereja di sini.
” Secara tidak langsung, teknologi menjadi daya tarik bagi jemaat untuk datang dan bergabung dengan gereja ini.
Kenyamanan yang diberikan oleh teknologi canggih membuat jemaat terakomodasi dan merasa bahwa mereka berada di tempat yang seharusnya.
Eksistensi di dalam media sosial berbasis
internet
pun tak pelak menjadi daya tarik gereja ini bagi jemaatnya dan orang luar. Sudah menjadi hal yang
lumrah jika banyak percakapan antar jemaat dan pendeta dilakukan di dalam media sosial sehingga hampir tidak dibutuhkan perjumpaan fisikal lagi untuk
terciptanya komunikasi. Gembala sidang dan para wakil gembala di gereja ini memiliki berbagai akun media sosial yang digunakan selain untuk menyebarkan
pesan pastoral, juga menjadi sarana bertegur sapa dengan jemaat. Akun jejaring sosial terpopuler, seperti Facebook dan Twitter, yang digunakan oleh para
pemimpin gereja juga seolah menjadi tempat yang wajib dikunjungi oleh jemaat. Sang gembala sidang, Jeffrey Rachmat, tercatat dalam akun Twitternya memiliki
42.170
follower
.
16
Dan hampir setiap
tweet
-nya di-
retweet
oleh puluhan hingga
16
https:twitter.comJeffreyRachmatfollowers diakses pada 1 May 2014. Follower merupakan istilah spesifik dari jejaring sosial Twitter yang berarti pengikut suatu akun. Setiap
akun Twitter yang menjadi follower dari akun Twitter lainnya, secara otomatis akan mendapatkan
43
ratusan
follower
.
Tweet
nya pun hampir selalu berisi kata-kata khas yang menunjukkan identitas dirinya sebagai seorang pemimpin umat. Selain itu, Jeffrey
Rachmat pun mengikuti 196 akun Twitter lain yang semuanya terdiri dari para pendeta lainnya dan orang-orang yang berpengaruh bagi gereja, baik dari dalam
maupun luar negeri, dan secara aktif me-
retweet
kembali
tweet
mereka. Penulis juga bercakap-cakap dengan seorang anggota jemaat dari gereja
lain yang di gerejanya juga menggunakan
internet
sebagai sarana dalam persekutuannya. Ia mengatakan,
”
Zaman sekarang ini sudah canggih, sehingga gereja juga harusnya mengikuti kecanggihan teknologi, misalnya menggunakan
internet dan aktif di media sosial. Gereja yang gak aktif di dunia internet biasanya akan sepi dan ditinggal oleh anak-anak mudanya.
” Postulat seperti ini
berangkat dari kenyataan bahwa banyak gereja yang tidak atau belum mengaplikasikan teknologi informasi kehilangan banyak kaum muda yang
akhirnya bermigrasi ke gereja lain yang lebih maju dalam pengaplikasian teknologi.
4. Pentakosta Kharismatik: Lahan Subur Penggunaan