Otoritas Religius: Kabur dan Tersebar

84 Spiritualitas yang pada mulanya merupakan hubungan tertutup antara Tuhan dengan umatnya, kini terbuka bagi seluas mungkin orang. Iman yang tumbuh dan terpelihara dalam ranah privat, kini telah keluar ke dalam ranah publik. Seorang informan yang penulis tanya, yang merupakan anggota jemaat dari GBI Glow FC, mengakui bahwa ia merasa terpanggil untuk menuliskan kata- kata syukur kepada Tuhan di dalam akun Twitter-nya setiap pagi setelah bangun tidur karena dengan begitu ia yakin bahwa dengan bersyukur, kegiatannya sepanjang hari akan diberkati Tuhan dan berjalan dengan baik. Selain diberkati oleh Tuhan, dengan menulis ungkapan syukur itu dalam akunnya, maka ia bisa memberkati banyak orang lain yang menjadi ’pengikut-pengikutnya’. Bahkan tidak menutup kemungkinan untuk terjadi diskusi singkat mengenai permasalahan iman Kristen. Status-status ini dapat dikomentari secara langsung oleh orang lain, entah komentar itu bersifat menguatkan pernyataan iman dari si pemilik akun, atau justru menyanggahnya dengan pernyataan iman lainnya.

3. Otoritas Religius: Kabur dan Tersebar

Internet menawarkan prinsip kesetaraan di tengah dunia yang sarat akan hierarki struktur dan tawar menawar kekuasaan. Semua orang yang memiliki konektivitas internet tentu memiliki akses penuh untuk masuk dan menjelajahi dunia maya yang tanpa batas ini. Mulai dari media sosial, surat kabar online , situs pemerintah, sampai kepada situs-situs dari kelompok-kelompok garis kiri di suatu wilayah dapat diakses dengan mudahnya. Dalam media sosial, semua orang yang memiliki akun Facebook dan Twitter adalah sama dan setara. Tidak ada lagi boss dan pekerja, semuanya adalah warga masyarakat dunia maya. Semuanya dapat 85 memiliki akses penuh terhadap akunnya masing-masing juga untuk mengunjungi akun yang lainnya, bahkan mengirimkan pesan atau berkomentar dalam halaman akun lainnya. Semua akun media sosial ibarat catatan harian terbuka yang dapat dilihat oleh semua orang. Walau juga penyedia layanan media sosial memberikan fasilitas privasi sehingga pemilik akun bisa membatasi siapa saja yang dapat berkunjung dan mencorat-coret halaman akunnya. Menarik jika melihat hal ini dalam penggunaannya di gereja. Website dan media sosial gereja dapat diakses oleh siapa saja, bahkan dikomentari oleh siapa saja. Dalam hal ini, gereja pun menjadi terbuka sejelas-jelasnya bagi umatnya. Umat dapat dengan mudah mengetahui informasi seputar gereja dari berbagai sumber yang beredar di dalam internet , entah informasi yang sifatnya mendukung gereja, atau sebaliknya informasi yang menjatuhkan gereja. Situs yang dimiliki oleh gereja memberi kemungkinan bagi partisipasi interaktif umat. Misalnya saja, gereja memberi kemungkinan setiap orang yang ingin untuk berbicara langsung kepada gembala sidang dengan masuk ke dalam situs dan mengisi halaman permohonan doa atau konseling. Bahkan situs-situs tertentu menyediakan halaman seperti ”surat kepada gembala” sehingga jemaat dapat langsung berkomunikasi dengan gembalanya. Jemaat pun dapat berinteraksi langsung dengan gembala sidangnya melalui media sosial sang gembala itu, entah dengan menulis di halaman akun Facebook dari sang gembala, atau dengan me- retweet setiap ’kicauan’ sang gembala di Twitter. Kesempatan-kesempatan yang diberikan ini tentu saja meruntuhkan hierarki struktural yang secara tegas dipelihara di dalam lembaga gereja. Jika di masa lalu setiap orang yang ingin bertemu dengan kaum klerus 86 harus mempersiapkan diri terlebih dahulu, misalnya dengan berefleksi dan merenungi kesalahan dan pelanggaran yang telah dibuat, maka saat ini, para pendeta dapat dijumpai kapan saja dan dimana saja. Jika di masa lalu berkomunikasi dengan pendeta identik dengan memiliki masalah dan beban berat yang membutuhkan dukungan dan doa dari pendeta, maka saat ini komunikasi itu dapat dilakukan dalam segala kondisi, entah susah atau senang, entah pembicaraan serius atau sekadar bergurau dengan sang pendeta. Seorang gembala sidang dari sebuah megachurch di Jakarta, dalam akun Twitter-nya, terlihat saling berbalas komentar dengan pengikutnya mengenai pertandingan sepakbola yang sedang sedang disiarkan di televisi. Dukungan dan ledekan ringan bagi kedua kesebelasan pun keluar dari akun gembala dan pengikutnya ini sehingga tidak terlihat sama sekali perbedaan jabatan antara keduanya. Kenyataan berbeda penulis temui ketika melihat sang gembala sidang masuk ke dalam ruang ibadah untuk berkhotbah. Dalam ibadah yang dihadiri oleh ribuan orang itu, sang gembala mendapat pengawalan ketat dari para bodyguard demi menghindari jemaat yang hendak datang langsung kepadanya. Pemandangan a la kerajaan, di mana sang raja dikawal prajuritnya ketika berjalan, tentu saja bertolak belakang dengan kebebasan yang diberikan oleh internet yang memberikan kuasa bagi setiap orang untuk membangun kerajaannya sendiri, yaitu kerajaan virtual. Fenomena mengutip khotbah pada saat ibadah pun menunjukkan bagaimana otoritas untuk memberitakan firman bukan lagi eksklusif milik gereja, melainkan juga umat. Saat umat mendengar firman, di saat yang sama juga umat memberitakan kembali firman itu. Proses reproduksi informasi pun terjadi antara pengkhotbah yang memproduksi encoding dan umat yang mendengarkan 87 decoding . Umat kemudian memproduksi ulang informasi ini dengan framing sosio-kultural masing-masing, dan menyebarkan kembali informasi yang didengarnya. Bukan tidak mungkin terjadi distorsi dalam proses ini yang mengakibatkan bias makna. Sifat eklektik dari internet , yang mencampur fakta dan fiksi, kebenaran dan kebohongan, baik dan buruk, tampilan publik sesungguhnya semakin mendorong relativitas dari otoritas itu. Ketika sudah berada di ranah internet , gereja tidak lagi memiliki kontrol atas apa yang dinyatakan oleh umat, sekalipun bias dan tidak menyatakan kebenaran. 3 Kebebasan ini memungkinkan munculnya komunitas-komunitas virtual yang berafiliasi dengan gereja. Misalnya muncul forum anak muda dari suatu gereja yang sama dan membahas problem anak muda Kristen dalam konteks perkotaan. Dalam perjalanannya, anggota yang bergabung semakin banyak dan terbuka bagi orang lain yang bukan anggota dari gereja itu sendiri. Dengan demikian pun percampuran ajaran menjadi tidak terhindarkan. Hal yang menarik di sini adalah pengelola situs web masterweb administrator pun menjadi orang yang, secara diam-diam, memiliki kekuasaan sama seperti sang gembala sidang. Secara langsung, para pengelola situs yang adalah para pekerja gereja melakukan framing terhadap konten dari situs gereja. Secara langsung mereka mengatur tampilan dari situs dan mengarahkan jemaat untuk memilih konten yang akan dilihat. Misalnya saja, tautan dan hyperlink yang dicantumkan dalam satu halaman akan menggiring seseorang untuk masuk ke halaman yang lainnya. Desain dari situs pun, secara tidak langsung, menunjukkan arah dari gereja ini. Misalnya saja, situs dari JPCC memiliki tampilan menarik dan 3 Nathan D. Mitchell, ’Ritual and the New Media’ dalam Concilium 20051. Hlm. 90 88 berkesan high-tech sehingga memberi kesan bahwa gereja ini adalah gereja yang dikhususkan bagi anak muda perkotaan yang akrab dengan kecanggihan teknologi. Sementara itu, GBI Glow FC mencantumkan banyak foto dari gembala sidangnya yang menampakkan bahwa sang gembala sidang adalah pusat dari semua aktivitas pelayanan GBI Glow FC. Bahkan dapat dikatakan bahwa gereja ini adalah tentang dirinya.

4. Identitas Virtual: Anonimitas, Multiplisitas, dan