80
yang hiperreal ini telah menjadi dunia yang riil dan sesungguhnya dan mengatur eksistensi dari yang riil itu.
2
1. Dari Simbol Ritual ke Simbol Virtual
Kekristenan, sebagai sebuah kepercayaan, hidup di dalam dunia simbol. Menurut Eliade, simbol menjadi jembatan antara Yang Kudus dengan yang
profan, antara manusia dengan Pencipta-Nya. Dalam penelitian ini, penulis melihat pergeseran simbol-simbol di dalam ritual gereja ke dalam simbol-simbol
virtual. Jika selama ribuan tahun umat Kristen menggunakan sebuah tempat yang
dikhususkan untuk beribadah dan mengalami persekutuan dengan sesamanya, maka saat ini perjumpaan dapat dilakukan di dalam ruang virtual, ruang maya.
Gereja-gereja saat ini, selain memiliki tempat untuk mengalami perjumpaan secara riil, juga memiliki ruang virtualnya yang dapat menjadi ruang mahakudus
baru bagi jemaatnya untu k saling bertemu dan merasakan ”hadirat” Tuhan.
Situs
internet
yang dimiliki dan dioperasikan oleh gereja telah menjadi rumah
homepage
rohani bagi jemaatnya. Ketika mengakses itu, jemaat dapat merasakan sukacita yang sesungguhnya, sama ketika mereka datang ke gereja.
Dalam percakapan non formal dan tak terstruktur, penulis bertanya kepada seorang teman penulis yang merupakan anggota jemaat dari gereja Pentakosta
Karismatik terkait apa yang ia rasakan ketika masuk ke dalam
website
milik gereja. Ia mengatakan bahwa perasaan yang berbeda ia dapatkan ketika masuk ke
dalam
website
milik gereja. Ketika ia masuk ke dalamnya dan melihat isinya, ada
2
Jean Baudrillard, ”Simulacra and Simulations”, dalam Mark Poster ed., Jean
Baudrillard, Selected Writings, Stanford: Stanford University Press, 1988, hlm.166-184.
81
perasaan sukacita yang ia rasakan karena ia menemukan informasi yang menguatkan baginya, entah itu melalui kata-kata yang ditulis oleh pendeta gereja
itu atau dalam konten yang ditulis oleh pengelola situs. Setiap harinya, situs gereja-gereja pun mendapatkan kunjungan yang cukup banyak.
Website
GBI Glow FC dikunjungi kurang lebih sebanyak 500 hingga 700 kali setiap harinya.
Bahkan di hari minggu, jumlah kunjungan dapat mencapai tiga kali lipatnya. Jikalau jumlah ini terus dijumlahkan selama seminggu, maka jumlah pengunjung
hampir sama dengan jumlah jemaat yang beribadah di hari Minggu di seluruh cabang GBI Glow FC. Selain itu, rata-rata pengunjung dari
website
menghabiskan waktu cukup lama untuk mengeksplorasi isi dari situs ini oleh karena mereka
yakin isinya sangat baik dan dapat menjadi ”berkat” bagi mereka. Selayaknya
mengikuti ibadah, mereka keluar dari situs dengan perasaan sukacita. Tampilan situs yang men
arik rupanya juga mempengaruhi ”penampilan” gereja serta ibadah yang dilangsungkan oleh gereja. Tampilan situs yang menarik
berkorelasi dengan kemasan ibadah yang menarik di dalam gereja. Situs dari ketiga gereja di atas memiliki tampilan yang menarik untuk dipandang, tidak
membosankan, menggunakan format dan
layout
terbaru yang canggih. Berkaitan dengan itu, hal yang sama penulis jumpai dalam peribadahan di dalam gereja
masing-masing. Pihak gereja telah menggunakan gambar-gambar yang atraktif dan menarik untuk digunakan di dalam ibadahnya. Dalam sebuah ibadah,
tampilan multimedia menampilkan potongan dari film ”Passion of The Christ”
yang berisi kisah sengsara Yesus Kristus. Tampilan ini ditampilkan di layar untuk mengiringi jemaat bernyanyi lagu dengan li
rik, ”karena kita Dia menderita, karena kita Dia disalibkan” yang membuat jemaat ikut larut dalam kesedihan akibat
82
visualisasi penderitaan Yesus yang ditampilkan itu. Penulis membandingkan hal ini dengan gereja-gereja lain yang memiliki situs yang kurang atraktif, kaku, dan
datanya tidak sering diperbarui
update
. Umumnya, kemasan ibadah di gereja ini pun kurang begitu menarik serta tidak mengandalkan visualisasi demi mendapat
perhatian jemaat. Akibatnya, gereja-gereja ini tidak memiliki jemaat dalam jumlah yang besar dalam ibadahnya.
Pergeseran penekanan dari ibadah menjadi ”kemasan” ibadah itulah yang
menjadi kritik dari Baudrillard. Simulakrum ibadah yang glamor dengan visualisasi di seluruh ruangan ibadah telah menjadi konsep ibadah yang
sesungguhnya, melampaui ritus-ritus yang terkandung di dalam ibadah itu sendiri. Jemaat menganggap bahwa hal ini merupakan ibadah yang baik, yang
sesungguhnya adalah ibadah yang dihiasi oleh gambar-gambar visual, lampu- lampu sorot berwarna-warni yang berkelap-kelip sepanjang ibadah,
sound system
yang meriah, serta kamera yang menyorot dari berbagai sudut dan menampilkannya ke layar. Gereja yang menyuguhkan tampilan ibadah seperti ini
pun dianggap sebagai gereja yang benar. Sebagian besar umat bahkan tidak lagi peduli terhadap logika penafsiran ayat-ayat Alkitab yang disampaikan oleh
pengkhotbahnya, yang menurut penulis agak serampangan. Asalkan dia memakai setelan jas, memegang
gadget
berbentuk tablet, maka ia akan dianggap sebagai pengkhotbah yang baik. Umat pun akan berteriak
”amin” sebagai tanda setuju terhadap perkataannya.
83
2. Spiritualitas