Konstruksi religiositas Kristen dalam internet : studi atas interaksi Gereja perkotaan dengan internet serta religiositas yang terbentuk.
ABSTRAK
Internet merupakan teknologi komunikasi yang paling masif digunakan oleh sebagian besar penduduk dunia pada saat ini. Penggunaannya pun tidak hanya sebatas bagi kepentingan militer dan pendidikan seperti pada awal kemunculannya, tetapi saat ini telah masuk ke dalam wilayah yang sakral dan privat, yaitu agama. Kekristenan dan gereja merupakan dua tema yang paling sering muncul dalam jagat internet. Hal ini menandakan kuatnya ekspansi internet sebagai media komunikasi modern di dalam tubuh kekristenan.
Keberadaan internet dalam gereja dapat dilihat melalui beberapa hal, yaitu website dan sosial media. Dengan desain dan fasilitas yang beragam dan dirancang secara spesifik, website dan media sosial pun menjadi jendela untuk membaca identitas serta ideologi yang dibangun oleh sebuah gereja. Media sosial yang digunakan oleh para rohaniwan dan jemaat juga menjadi sarana baru untuk berinteraksi sekaligus juga mengalami perjumpaan satu sama lain. Perjumpaan tidak lagi dilakukan di dalam ruang ibadah yang nyata, tetapi dalam ruang virtual digital. Interaksi antara gereja dan internet bahkan membentuk religiositas baru yang berkembang saat ini di dalam gereja-gereja perkotaan.
Analisis fenomenologis dengan mengkaji interaksi gereja dan internet dilakukan sebagai upaya untuk melihat religiositas terbangun di dalamnya. Religiositas baru ini pun memformulasikan ulang beberapa hal, yaitu tentang identitas, otoritas, serta persinggungan antara gereja dengan spiritualitas konsumsi dan budaya instan.
(2)
ABSTRACT
The Internet is the most massive communication technology used by most of the population of the world at this time. Its use is not limited only to the interests of the military and education as the beginning of its appearance, but it has now entered into the realm of the sacred and private, that is religion. Christianity and church are two themes that appear most frequently in the internet survey database based on religion. This indicates the strong expansion of the Internet as a medium of communication in modern Christianity.
The presence of internet in the church can be seen through several things, in examples websites and social media. With differences in design and facilities that are created specifically, websites and social media became a window to observe identities and ideologies that were built by a church. Social media that were used by the clergy and also church members have become new means to interact simultaneously and encounter with each other. The fellowship was no longer performed in the real space, but in the virtual digital space. The interaction between church and internet had even form a new religiosity thriving today in the mega churches in urban area.
Phenomenological analysis was used to examine the interaction of the church and the internet to see religiosity that spring in their relation. This new yet unique religiosity was recently re-formulating some things, like identities, authorities, and also the intersection of church with consuming spirituality and instant culture.
(3)
KONSTRUKSI RELIGIOSITAS KRISTEN DALAM INTERNET: Studi atas Interaksi Gereja Perkotaan dengan Internet
serta Religiositas yang Terbentuk
Tesis
Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M. Hum.) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
Oleh
Johanes Louis Mozez Lengkong NIM: 096322003
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta 2014
(4)
Tesis
KONSTRUKSI RELIGIOSITAS KRISTEN DALAM INTERNET: Studi atas Interaksi Gereja Perkotaan dengan Internet
serta Religiositas yang Terbentuk
Oleh
Johanes Louis Mozez Lengkong 096322003
Telah Disetujui Oleh
Prof. Dr. Augustinus Supratiknya ... Pembimbing
(5)
Tesis
KONSTRUKSI RELIGIOSITAS KRISTEN DALAM INTERNET: Studi atas Interaksi Gereja Perkotaan dengan Internet
serta Religiositas yang Terbentuk
Oleh
Johanes Louis Mozez Lengkong 096322003
Telah dipertahankan di hadapan penguji tesis dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Ketua : Dr. FX. Baskara T. Wardaya, SJ. ...
Sekretaris/Moderator : Dr. Gregorius Budi Subanar, SJ. ...
Anggota : 1. Prof. Dr. Augustinus Supratiknya ...
2. Dr. Stanislaus Sunardi ...
3. Dr. FX. Baskara T. Wardaya, SJ. ...
Yogyakarta, 10 September 2014 Direktur Program Pascasarjana Universitas Sanata Dharma
(6)
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Dengan ini saya, mahasiswa Universitas Sanata Dharma yang bernama Johanes Louis Mozez Lengkong (NIM: 096322003), menyatakan bahwa tesis berjudul KONSTRUKSI RELIGIOSITAS KRISTEN DALAM INTERNET: Studi atas Interaksi Gereja Perkotaan dengan Internet serta Religiositas yang Terbentuk, merupakan hasil karya dan penelitian saya sendiri.
Di dalam tesis ini tidak terdapat karya peneliti lain yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi lain. Pemakaian, peminjaman/pengutipan dari karya peneliti lain di dalam tesis ini saya pergunakan hanya untuk keperluan ilmiah sesuai dengan peraturan yang berlaku, sebagaimana diacu secara tertulis dalam daftar pustaka.
Yogyakarta, 10 September 2014 Yang membuat pernyataan
(7)
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Saya yang bertandatangan di bawah ini, mahasiswa Universitas Sanata Dharma
Nama : Johanes Louis Mozez Lengkong NIM : 096322003
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
KONSTRUKSI RELIGIOSITAS KRISTEN DALAM INTERNET: Studi atas Interaksi Gereja Perkotaan dengan Internet
serta Religiositas yang Terbentuk
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal: 10 September 2014 Yang membuat pernyataan
(8)
KATA PENGANTAR
Gereja dan internet sebagai dua objek material dari penelitian ini. Hal ini tentu saja bukan tanpa pertimbangan. Penulis menyadari bahwa wilayah religi, terutama gereja, adalah ranah yang paling penulis kenal. Internet, yang telah menjadi roh sehari-hari penulis, juga memperlihatkan kepada penulis tentang dunia yang begitu luas dan tak berujung itu. Perjumpaan keduanya tentu saja menjadi hal yang menarik untuk dikaji dan diteliti dalam kacamata kajian budaya.
Penulisan tesis serta perjalanan pendidikan di Magister Ilmu Religi dan Budaya (IRB), sungguh membuat penulis menyadari bahwa ada begitu banyak orang yang telah membantu dan menolong penulis hingga tiba di tahap akhir. Oleh karena itu, sepatutnya penulis berterimakasih kepada mereka semua.
Penulis berterimakasih kepada Prof. Dr. Augustinus Supratiknya yang telah menjadi pembimbing utama tesis penulis. Dalam proses pembimbingan yang minim, „Pak Pratik‟ tetap memberikan masukan yang sangat baik dan tajam bagi tesis ini. Penulis juga berterimakasih kepada Dr. G. Budi Subanar, SJ sebagai ketua program studi IRB yang teramat sangat sabar dan peduli terhadap para mahasiswa yang kerap kali mangkir dari tugas dan kewajiban. Penulis juga berterimakasih kepada Dr. St. Sunardi dan Dr. FX. Baskara T. Wardaya, SJ. yang telah mengoreksi serta mempertajam cara menganalisis penulis dengan menjadi penguji dalam ujian tesis. Ucapan terimakasih juga penulis layangkan kepada para pengajar lainnya selama penulis berkuliah: Dr. Katrin Bandel, Dr. Budiawan, Dr. Hary Susanto, SJ., Dr. J. Haryatmoko, SJ., Dr. George J. Aditjondro, Dr. Ishadi S. K., Y. Devi Ardhiani, M. Hum., dan Dr. B. Hari Juliawan, SJ. Apa yang kalian
(9)
bagikan sungguh telah membuka cakrawala ilmu penulis. Demikian pula para dewi di sekretariat IRB, mbak Henkie dan mbak Desi, yang rela berhenti sejenak mengerjakan tugas demi memenuhi permintaan tolong para mahasiswa.
Getir, pahit, susah, serta senangnya pergumulan di IRB juga penulis rasakan dan bagikan bersama dengan rekan-rekan seperjuangan penulis: Iwan, Leo, Abed, Fairuz, Titus, Agus, Probo, Luci, Eli, Herlina, Vita, mbak Lulud. Bersama dengan kalian, penulis belajar menjadi seorang intelektual kantin, yang senang makan dan minum sambil menertawakan masalah. Penulis juga berterimakasih kepada rekan-rekan STTJ-ers Jogja: Silo Wilar, sang pembelajar yang baik hati, yang selalu mendorong penulis untuk berusaha melampaui kemampuan penulis; Dani “Danox” Pattinaja, sahabat seperjuangan dalam suka dan duka; Vonni Malelak, Paula Loppies, Misere Mawene, Ranto Marbun, Irmanda Saroinsong, dan Andreo Radjagukguk. Juga bagi keluarga Sihotang-Fobia (Opung & Ka‟ Lina) yang sangat membantu penulis di saat-saat terakhir perampungan tesis ini.
Penulis sungguh bersyukur karena memiliki keluarga yang sungguh luar biasa dalam mendukung perjalanan hidup penulis. Mama Yul yang dalam doanya nama penulis selalu disebut, dan dalam kasihnya penulis dibesarkan. Hanny, adik penulis yang bekerja keras dan sungguh berjuang demi keluarga. Juga keluarga besar Lapian – Nayoan, secara khusus Mami Tes dan Papi Sammy, serta keluarga besar Lengkong yang mendukung penulis dalam menjalani pendidikan di Jogja. Penulis juga mengucap syukur terima kasih kepada keluarga besar Krisnadi – Jonathans yang sangat mengasihi penulis dan memberi dukungan selalu.
(10)
Penulis bersyukur atas kehadiran Kishia Fidoresi, seorang adik, sahabat, dan kekasih hati penulis. Terimakasih untuk senyum, seringai, tawa, nasihat, serta teguran yang kau berikan, yang merupakan bentuk cinta dan kasih yang tulus. Juga penulis berterimakasih kepada semua orang yang telah menjadi bagian dalam perjalanan hidup penulis, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu di lembaran yang sangat terbatas ini.
Penulis sungguh menyadari bahwa tesis ini amat jauh dari sempurna. Ada begitu banyak kekurangan, entah yang disadari atau yang tidak disadari. Dalam kelemahan tesis ini, kiranya pembaca dapat menemukan hal-hal positif dan bermanfaat bagi pengembangan studi kajian budaya, sekaligus juga hal-hal negatif yang sebaiknya dihindari dalam pembuatan tesis. Pencarian akan makna akan terus berlanjut, demikian pun tesis ini menjadi titik awal, bukan akhir dari perjalanan panjang itu.
Yogyakarta, September 2014
(11)
ABSTRAK
Internet merupakan teknologi komunikasi yang paling masif digunakan oleh sebagian besar penduduk dunia pada saat ini. Penggunaannya pun tidak hanya sebatas bagi kepentingan militer dan pendidikan seperti pada awal kemunculannya, tetapi saat ini telah masuk ke dalam wilayah yang sakral dan privat, yaitu agama. Kekristenan dan gereja merupakan dua tema yang paling sering muncul dalam jagat internet. Hal ini menandakan kuatnya ekspansi internet sebagai media komunikasi modern di dalam tubuh kekristenan.
Keberadaan internet dalam gereja dapat dilihat melalui beberapa hal, yaitu website dan sosial media. Dengan desain dan fasilitas yang beragam dan dirancang secara spesifik, website dan media sosial pun menjadi jendela untuk membaca identitas serta ideologi yang dibangun oleh sebuah gereja. Media sosial yang digunakan oleh para rohaniwan dan jemaat juga menjadi sarana baru untuk berinteraksi sekaligus juga mengalami perjumpaan satu sama lain. Perjumpaan tidak lagi dilakukan di dalam ruang ibadah yang nyata, tetapi dalam ruang virtual digital. Interaksi antara gereja dan internet bahkan membentuk religiositas baru yang berkembang saat ini di dalam gereja-gereja perkotaan.
Analisis fenomenologis dengan mengkaji interaksi gereja dan internet dilakukan sebagai upaya untuk melihat religiositas terbangun di dalamnya. Religiositas baru ini pun memformulasikan ulang beberapa hal, yaitu tentang identitas, otoritas, serta persinggungan antara gereja dengan spiritualitas konsumsi dan budaya instan.
(12)
ABSTRACT
The Internet is the most massive communication technology used by most of the population of the world at this time. Its use is not limited only to the interests of the military and education as the beginning of its appearance, but it has now entered into the realm of the sacred and private, that is religion. Christianity and church are two themes that appear most frequently in the internet survey database based on religion. This indicates the strong expansion of the Internet as a medium of communication in modern Christianity.
The presence of internet in the church can be seen through several things, in examples websites and social media. With differences in design and facilities that are created specifically, websites and social media became a window to observe identities and ideologies that were built by a church. Social media that were used by the clergy and also church members have become new means to interact simultaneously and encounter with each other. The fellowship was no longer performed in the real space, but in the virtual digital space. The interaction between church and internet had even form a new religiosity thriving today in the mega churches in urban area.
Phenomenological analysis was used to examine the interaction of the church and the internet to see religiosity that spring in their relation. This new yet unique religiosity was recently re-formulating some things, like identities, authorities, and also the intersection of church with consuming spirituality and instant culture.
(13)
DAFTAR ISI
Lembar Persetujuan ... ii
Lembar Pengesahan ... iii
Lembar Pernyataan Keaslian ... iv
Lembar Pernyataan Persetujuan Publikasi ... v
Kata Pengantar ... vi
Abstrak …….……….. ix
Abstract ……….. x
Daftar Isi …..……… xi
BAB I. Pendahuluan ………. 1
1. Latar Belakang ………. 1
2. Rumusan Masalah ……… 8
3. Tujuan Penelitian ………. 9
4. Pentingnya Penelitian ……….. 9
5. Tinjauan Pustaka ……… 10
6. Kerangka Teori 6.1. Religiositas... 13
6.2. Makna Ritual ……… 15
6.3. Internet dan Pembentukan Realitas ……….. 18
6.4. Simulacrum dan Konsumsi Tanda ..………. 22
7. Metode Penelitian ……… 24
8. Pengumpulan Data ……….. 25
(14)
BAB II. Gereja dan Internet: Sejarah dan Perkembangannya ………. 29
1. Internet: Awal Kemunculan dan Perkembangannya ……….. 29
2. Agama dan Teknologi: Perjumpaan yang Menghidupkan ………….. 34
3. Gereja dan Internet: Simbiosis Mutualis ... 38
4. Pentakostal Kharismatik: Lahan Subur Penggunaan Internet ..…... 43
5. Kesimpulan ………... 56
BAB III. Realitas Gereja dan Internet ………. 48
1. Jakarta Praise Community Church ………... 49
2. GBI Glow Fellowship Centre ……….. 52
3. GBI Praise Revival for Jesus ……….. 55
4. Website Gereja: Sarana Informasi dan Persekutuan ………... 58
5. Media Sosial: Eksistensi di Dunia Virtual ………... 65
5.1. Facebook ……….. 66
5.2. Twitter ………... 69
5.3. Youtube ………... 72
5.4. Live Video Streaming ………... 75
6. Kesimpulan ... 77
BAB IV. Internet dan Religiositas Umat ....………... 79
1. Dari Simbol Ritual ke Simbol Virtual ………... 80
2. Spiritualitas Online: ’Klik’ sebagai Refleksi dan Doa ………… ... 83
(15)
4. Identitas Virtual: Anonimitas, Multiplisitas, dan Avatar ………... 88 5. Religiositas Online, Spiritualitas Konsumsi, dan Budaya Instan …... 92 6. Cybergnosis: Mencari Kepuasan Digital ……… ... 97
BAB V. Penutup ……….... 100
(16)
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Di dalam tradisi Kristen, esensi dari ibadah adalah persekutuan. Di dalam persekutuan itu terjadi perjumpaan antara umat dengan umat, juga perjumpaan antara Sang Khalik dengan umat-Nya. Umat dapat saling bertegur sapa dan bertukar cerita tentang pengalaman hidup sehari-hari mereka. Gembala/Pendeta akan menyampaikan Firman Tuhan yang tentu bertujuan menguatkan kepercayaan dan keyakinan jemaat kepada Tuhan sebagai Sang Khalik dan Pemelihara kehidupan. Umat pun mendengarkan dengan baik, bahkan sesekali merespon dengan ungkapan-ungkapan tertentu yang menegaskan terjadi interaksi yang berujung pada komunikasi.
Pengalaman beribadah di dalam persekutuan seperti ini rupanya mendapatkan sebuah tantangan baru saat ini di tengah-tengah dunia yang memberi ruang dan mengakomodasi perkembangan teknologi informasi. Persekutuan secara fisik tidak melulu menjadi syaratnya dan perjumpaan aktual menjadi hal yang mungkin untuk dihindari. Perjumpaan pun dapat terjadi di ruang lain, yaitu di ruang media.
Pada suatu Minggu pagi, penulis berada di rumah seorang kerabat penulis1. Ia terlihat lemah dan sakit. Penulis mengajaknya untuk pergi ke gereja, tetapi dia menolak dengan alasan sedang sakit sehingga tidak mampu untuk keluar rumah. Penulis kemudian bersiap untuk berangkat ke gereja dan mengikuti ibadah
1 Percakapan penulis dengan seorang sepupu penulis pada bulan Agustus 2010. Ia adalah
anggota terdaftar dari sebuah gereja protestan arus utama yang berlokasi di Manado, yang juga aktif mengikuti kebaktian yang diselenggarakan sebuah gereja Karismatik di sana.
(17)
minggu. Ketika keluar dari kamar, penulis cukup terkejut ketika melihat kerabat penulis ini sedang duduk di depan radio dan mengikuti siaran ibadah Minggu di salah satu stasiun radio yang menyiarkan langsung ibadah Minggu di salah satu jemaat di Jakarta. Kerabat penulis tidak hanya duduk dan mendengarkan, tetapi juga ikut bernyanyi ketika siaran (baca: ibadah) tiba pada nyanyian umat, dan juga ikut berdoa ketika siaran tiba di doa umat. Sepulangnya dari gereja, iseng-iseng penulis bertanya kepada kerabat penulis ini tentang apa yang ia rasakan ketika mengikuti ibadah Minggu di depan radio. Ia menjawab bahwa mengikuti ibadah di radio sama saja dengan mengikuti ibadah di gereja, karena ada nyanyian, doa, pembacaan Alkitab dan khotbah. Baginya, media apapun dapat menjadi alat untuk memuliakan nama Tuhan.
Pengalaman lain yang sejenis penulis alami adalah ketika penulis mendapatkan kesempatan mengunjungi sebuah gereja Pentakostal-Kharismatik di Manado.2 Saat itu ibadah sedang berlangsung. Umat pun bernyanyi lagu pujian dengan semangat. Sampai waktunya tiba di bagian khotbah, tiba-tiba layar besar yang terletak di atas mimbar menampilkan gambar sang gembala sidang yang sedang memimpin doa untuk masuk ke dalam khotbah. Penulis cukup terkejut karena sang pendeta tidak berada di mimbar, dan biasanya layar hanya menampilkan apa yang terjadi di atas panggung dan mimbar. Ternyata, sang gembala sidang tidak berada di ruangan itu, di gedung itu, atau bahkan di kota Manado. Ia berada di sebuah ruang ibadah di Jakarta. Ia membawakan khotbah di tempat itu yang juga disiarkan ke ruang ibadah ini dan ke beberapa ruang ibadah lain di kota lainnya. Di awal khotbah, penulis merasakan keanehan luar biasa
2 Gereja yang penulis kunjungi ini adalah GBI Glow Fellowship Centre yang berpusat di
(18)
karena menurut penulis, seorang pengkhotbah harus berada satu ruangan dengan jemaat yang menyaksikan dan mendengarkannya. Jemaat harus bisa melihat dan berinteraksi dengan sang pengkhotbah secara langsung. Memang, jemaat dapat melihat pengkhotbahnya bergerak-gerak di atas panggung dan mendengarkan setiap perkataannya dengan jelas. Tetapi, ia tetap berada jauh di kota lain. Setelah khotbah, penulis mengikuti warta jemaat dan mendapati bahwa cara yang sama akan dilakukan kembali di ibadah minggu depan. Bahkan, setelah bertanya kepada jemaat, cara ini digunakan setiap minggu dan jemaat sangat antusias, bahkan lebih antusias dibandingkan pengkhotbah lain yang berkhotbah secara langsung di atas mimbar ruangan ini.
Praktik serupa tapi tak sama juga terjadi di gereja-gereja besar perkotaan saat ini. Suatu ketika penulis datang dan mengikuti ibadah di sebuah megachurch yang terletak di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Pusat. Gereja ini memiliki sebuah ruang ibadah yang luas dan mampu menampung ribuan orang dalam sekali ibadah. Mereka juga mengaplikasikan teknologi multimedia dengan amat sangat baik. Kamera video diletakkan di beberapa sudut ruang ibadah sehingga mampu menangkap setiap momen di seluruh ruang ibadah itu. Hasil tangkapan kamera kemudian dihubungkan langsung ke proyektor yang akan menembakkannya ke layar putih besar yang terbentang di beberapa penjuru ruangan sehingga dapat dilihat oleh seluruh jemaat, dari depan hingga belakang. Hampir dapat dipastikan bahwa jemaat yang duduk di bagian belakang serta samping kanan dan kiri ruangan hanya dapat menyaksikan apa yang terjadi di panggung dan mimbar melalui layar yang ada di dekat mereka. Apa yang mereka lihat di layar merupakan hasil tangkapan para juru kamera. Kadang kamera diarahkan langsung
(19)
ke muka pemimpin yang sedang memimpin, tapi juga terkadang diarahkan ke jemaat yang sedang berdoa dengan khusuk dan menangis atau ke jemaat yang tiba-tiba tersungkur jatuh karena ekstase spiritual ketika bernyanyi. Penulis lalu melihat pengumuman yang tertulis di dalam buletin mingguan yang dibagikan secara cuma-cuma kepada seluruh jemaat, dan mendapat informasi bahwa gereja ini menyiarkan secara langsung setiap ibadah Minggu yang diselenggarakan melalui situs internetnya, atau yang lebih dikenal dengan istilah live video streaming. Dengan teknologi ini semua orang, tak peduli tempat dan waktu, diundang untuk ikut beribadah secara langsung tepat dari depan komputer, bahkan dari gadget canggih mereka masing-masing. Iseng-iseng, penulis mencoba melihat live video streaming ibadah yang disiarkan oleh gereja ini dan menemukan bahwa apa yang disiarkan langsung adalah seluruh rangkaian ibadah, dari awal hingga akhir, tanpa terputus selama kurang lebih dua jam. Apakah kemudian hal ini menjadi sebuah kebiasaan yang baru di dalam gereja-gereja modern, di mana perjumpaan fisikal umat tidak lagi dibutuhkan?
Pengalaman-pengalaman yang penulis jumpai di atas bercerita tentang bagaimana orang-orang Kristen saat ini memilih dan mendeskripsikan ibadahnya. Saat ini, pilihan untuk beribadah tidak sekadar ditentukan oleh denominasi dan corak ibadah seperti yang terjadi dua sampai tiga dekade yang lalu. Misalnya, ketika beribadah di gereja-gereja Protestan Arus Utama maka ibadah yang ditawarkan adalah ibadah yang teratur karena menggunakan tata ibadah yang baku dan lagu-lagu himnal peninggalan para misionaris Barat, dan tidak memberi tempat kepada ekspresi umat yang dianggap berlebihan (contoh: tidak boleh bertepuk tangan dan mengangkat tangan). Sementara gereja-gereja Pentakostal
(20)
dan Kharismatik, sebaliknya, lebih membuka ruang bagi ekspresi umat, bahkan yang spontan sekalipun (contoh: menangis, memberi kesaksian spontan di atas mimbar). Akan tetapi, ternyata ada pilihan lainnya yang hadir saat ini, yaitu beribadah dengan dan dalam media elektronik, seperti radio, televisi, penggunaan kamera dan layar dalam ruang ibadah, dan tentu saja yang paling mutakhir saat ini yaitu menjangkau seluruh penjuru dunia dengan internet.
Hal ini sangat menarik bagi penulis karena pemahaman ibadah terhadap ibadah Minggu di kalangan umat Kristen adalah di dalam gereja, entah di sebuah gedung yang memang diperuntukkan sebagai tempat beribadah, atau di dalam pertokoan seperti ruko dan pusat perbelanjaan besar/mal yang salah satu ruangannya digunakan untuk tempat beribadah, bahkan pun di atas sebidang tanah lapang yang digunakan sementara sebagai tempat beribadah. Ibadah melalui media elektronik telah ”meruntuhkan” tembok-tembok bangunan gereja sehingga orang Kristen dapat beribadah di mana saja, entah di rumah, kantor, rumah sakit, atau bahkan sambil berkendara di dalam mobil. Umat Kristen tidak lagi terpaku pada bangunan gereja atau ruang persekutuan yang mempertemukan umat dengan umat lainnya untuk beribadah bersama, tetapi mengutamakan kepraktisan dalam beribadah yang ternyata bisa dipuaskan oleh media.
Media elektronik, yang tadinya dianggap sebagai sesuatu yang sekular, kini ”dibaptis” menjadi ”alat Tuhan” dalam pekabaran Injil. Siaran-siaran di radio dan televisi yang pada awalnya menyiarkan berita-berita dunia, kini menyiarkan
”berita keselamatan dalam Kristus”. Di hari Minggu, lagu-lagu sekuler bertema percintaan dan patah hati yang biasanya mengisi siaran-siaran di radio, tiba-tiba berubah menjadi ”lagu sorgawi” dengan lirik yang menaikkan pujian bagi Tuhan,
(21)
yang membuat orang yang mendengarnya tergugah dan merindukan ”jamahan” Tuhan. Internet, sebuah ruang tanpa batas, pun seolah dipagari dan diberi label
”wilayah kemuliaan Tuhan”.
Berdasarkan hal di atas, maka penelitian penulis akan mengangkat tema
”Konstruksi Gereja dalam Dunia Internet”. Dengan tema ini penulis ingin mengkaji secara lebih mendalam fenomena penggunaan internet di dalam kehidupan gereja saat ini. Penulis membatasi ranah penelitian ini pada media internet karena penggunaannya sudah sangat masif dan masuk hampir ke dalam seluruh aspek kehidupan gereja. Dengan memperhatikan kontinuitas juga diskontinuitas internet dengan media elektronik pendahulunya, maka penelitian ini berusaha melihat dan mengkaji peran internet sebagai media yang lahir dalam semangat yang sama, yaitu globalisasi informasi, di dalam kehidupan beragama saat ini. Objek kajian penulis terutama adalah orang-orang Kristen yang menjadi anggota di gereja yang akrab dengan teknologi informasi dan internet. Penulis juga akan memberi perhatian lebih dan khusus kepada fenomena penggunaan medium internet di dalam peribadahan. Hal ini menjadi sebuah hal yang menarik bagi penulis mengingat internet adalah teknologi informasi generasi ketiga, setelah radio dan televisi. Ia tidak hanya mengandalkan kemampuan audiovisual, tetapi juga kemampuan interaksi langsung antar pengguna dengan tingkat aksesibilitas tinggi sehingga semua orang yang memiliki koneksi internet dapat mengakses semua konten yang ada di dalamnya.
Ada beberapa penelitian sebelumnya yang menjadi titik berangkat bagi penulis dalam melakukan penelitian, tanpa bermaksud mengulang kembali penelitian-penelitian itu. Richard Wolff, seorang peneliti dari Dowling College,
(22)
Oakdale, New York, pernah melakukan penelitian serupa di tahun 1999 yang diberi judul ”A Phenomenological Study of In-Church and Televised Worship”. Di dalam penelitiannya, Wolff melakukan studi fenomenologis dengan melakukan wawancara kepada beberapa orang yang mengikuti ibadah melalui media elektronik. Karena studinya adalah studi semiotika fenomenologis, maka ia berusaha mengumpulkan sebanyak mungkin data wawancara lalu melihat dan mengkaji tanda-tanda apa saja yang muncul dalam pengalaman orang-orang yang mengikuti ibadah di gereja dan juga dalam media elektronik, yaitu televisi. Ia berusaha mensintesakan pengalaman langsung orang-orang ini dengan makna eksistensial yang muncul di dalam percakapan dalam mendeskripsikan fenomena ini. Penelitian ini menjadi sumber dan contoh bagi penulis untuk mengkaji fenomena penggunaan internet di gereja. Penulis juga membandingkan objek penelitian di atas dengan fenomena streaming worship, yaitu menyaksikan ibadah dengan medium internet.
Penelitian lainnya adalah tentang bagaimana media elektronik menjadi media rohani yang digunakan oleh gereja sebagai media pekabaran Injil. Penelitian tentang ini umumnya menggunakan perspektif etis-teologis, yaitu bagaimana gereja secara bijak menggunakan media elektronik. Juga banyak terdapat penelitian dari disiplin ilmu komunikasi tentang media itu sendiri, yaitu radio, televisi, dan internet.
Penulis akan mengambil sudut pandang yang berbeda di dalam melakukan penelitian ini, yaitu dengan pisau analisis kajian budaya, yang berusaha mensintesakan antara semiotika, teknologi informasi, dan kajian budaya populer. Harapan penulis adalah penelitian ini dapat memberi suatu perspektif baru untuk
(23)
memahami perkembangan gereja dan peribadahan Kristen dalam perjumpaannya dengan teknologi informasi digital saat ini, termasuk bagaimana umat Kristen memaknai ritual dan arti bergereja itu sendiri.
2. Rumusan Masalah
Ada beberapa rumusan masalah dalam bentuk pertanyaan yang muncul terkait dengan penelitian ini. Pertama, bagaimana ibadah dan persekutuan di dalam gereja dimaknai oleh orang Kristen saat ini? Bagaimana ritual-ritual di dalam peribadahan Kristen? Bagaimana peran simbol-simbol religius yang ada dalam peribadahan dimaknai oleh orang Kristen dewasa ini? Umat Kristen sepertinya mulai meninggalkan tanda dan simbol yang terdapat di dalam gereja, seperti mimbar dan altar, dan menggantinya dengan simbol-simbol virtual baru sebagai lambang persekutuan. Simbol yang semula dianggap menjadi lambang dari ibadah yang membawa perjumpaan dengan Yang Mahakudus itu, saat ini terdesakralisasi menjadi sekadar aksesoris yang ada atau tidaknya pun tidak lagi menjadi masalah.
Kedua, sampai sejauh mana peran internet sebagai salah satu bentuk teknologi informasi? Apakah ia hanya sekadar menjadi media komunikasi bagi gereja atau justru menjadi ’roh’ penggerak yang baru dalam kehidupan gereja modern saat ini? Saat ini internet telah digunakan dengan begitu masif sampai ke kehidupan gereja, misalnya sebagai sarana media sosial ataupun situs informasi. Beberapa gereja di kota-kota besar bahkan sangat mengandalkan teknologi ini di dalam peribadahannya, misalnya saja untuk penggunaan fasilitas live streaming. Sampai sejauh manakah internet membentuk dan mendefinisikan
(24)
kehidupan bergereja? Bagaimana internet yang mulanya adalah media informasi yang dianggap sekular, bergeser dan ”ditahbis” menjadi media religius? Apakah ada hubungan budaya konsumsi dengan hal ini?
Ketiga, religiositas seperti apa yang terbangun dalam gereja yang mengaplikasikan teknologi dengan begitu masifnya? Pertanyaan ini hendak melihat religiositas yang terbentuk melalui realitas penggunaan internet di kalangan jemaat dan gereja-gereja perkotaan. Apakah internet membentuk religiositas baru yang mengagungkan teknologi sebagai sebuah medium baru untuk berjumpa dengan Tuhan. Apakah gereja modern dapat bertahan tanpa internet? Atau justru pengguna internet tidak lagi membutuhkan gereja karena internet telah “ditahbis” menjadi ruang persekutuan dan beribadah yang baru?
3. Tujuan Penelitian
Dengan melihat gambaran permasalahan di atas maka penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mendeskripsikan proses terbentuknya realitas ibadah di dalam media. 2. Mengungkapkan ideologi-ideologi yang terkandung dalam
penggunaan internet di dalam kehidupan bergereja.
3. Melihat perkembangan religiositas baru di dalam kekristenan modern.
4. Pentingnya Penelitian
Penelitian tentang media digital dan realitas ibadah ini dapat menjadi sebuah diskursus baru di dalam kajian media dan religi. Media elektronik dan teknologi informasi saat ini secara tidak disadari telah menjadi penopang
(25)
kehidupan masyarakat modern dan masuk sampai ke wilayah yang paling privat, yaitu agama dan keyakinan. Diharapkan penelitian ini dapat memperlihatkan sebuah realitas baru, yaitu beragama di dalam media, kedua hal yang pada prinsipnya berseberangan namun akhirnya dikombinasikan dan menghasilkan suatu perspektif baru dalam memahami religiositas manusia saat ini.
Penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi orang-orang Kristen saat ini, bagaimana kehadiran gereja tidak lagi dimaknai dalam bentuk persekutuan di suatu tempat, tetapi dalam bentuk persekutuan virtual di mana aspek kehadiran digantikan oleh representasi media informasi. Media pun akhirnya menjadi ruang ibadah itu sendiri.
Penelitian ini juga hendaknya menjadi sarana bagi penulis yang ingin semakin mendalami perjumpaan gereja dengan budaya populer. Penulis yakin bahwa penelitian ini menjadi pintu masuk bagi penulis untuk melakukan penelitian-penelitian selanjutnya. Berbekal kemampuan menganalisis dengan menggunakan pisau kajian budaya, penulis juga ingin menyumbang suatu pemikiran baru bagi kajian budaya di Indonesia yang sampai dengan saat ini masih terus berkembang dan mencari bentuk yang tepat di tengah arus keilmuan lainnya.
5. Tinjauan Pustaka
Beberapa buku dapat membantu penulis dalam membangun teori. Pertama, karya dari sosiolog Perancis, Jacques Ellul, The Humiliation of The Word, yang percaya bahwa dominasi visual televisi menciptakan korosi bagi religiositas
(26)
manusia.3 Di matanya, adalah sebuah bencana bagi gereja untuk menjiplak dan mengikuti teknik pencitraan budaya seperti yang dilakukan oleh televisi. Baginya gereja tidak boleh menciptakan program televisi, karena dapat menghancurkan dirinya, fondasi dan isi darinya. Akan tetapi, Ellul terjebak pada esensialisme teologi Kristen a la Karl Barth, yang melihat bahwa Firman adalah pusat dari iman Kristen dan memiliki makna yang tetap dan tidak dapat berubah sehingga mediasi Firman melalui media dianggap sebagai korosi bagi pesan Ilahi dalam Firman itu sendiri.
Karya berikutnya adalah karya Malcolm Muggeridge, Christ and Media, yang melihat perjumpaan antara orang Kristen dengan media.4 Menurutnya, media dapat menciptakan suatu realitas palsu yang membuat pemirsa semakin jauh dari realitas yang sesungguhnya. Media bahkan menciptakan fantasi baru tentang Kristus yang berbeda dengan Kristus di dalam dogmatika arus utama kekristenan. Muggeridge mengambil sikap resisten terhadap perjumpaan media dengan kekristenan. Baginya media dapat menjadi sarana destruksi bagi agama.
Pandangan Ellul dan Muggeridge ini sesungguhnya mencerminkan pandangan awal ketika media elektronik dengan segala kelebihannya mulai menginvasi kehidupan religius. Muncul kecurigaan, terutama yang muncul dari kalangan rohaniwan, bahwa media dapat menjadi penghancur dari sakralitas agama. Dengan kebebasan yang dimiliki, mereka berpendapat bahwa agama dan kepercayaan dapat dengan mudah disalah-artikan oleh para pemirsa yang menyaksikan tayangan. Bukan tidak mungkin, akan ada terjemahan baru
3 Jacques Ellul, The Humiliation of The Word (Grand Rapids: Eerdmans, 1985) 4
(27)
Di tahun 1990-an, para peneliti media dan religi, menjadi semakin terbuka dan bersikap lebih apresiatif terhadap perjumpaan media dan agama. Ben Armstrong di dalam bukunya, The Electric Church, mengatakan bahwa teknologi mutakhir di dalam dunia penyiaran adalah sebuah mujizat di abad modern.5 Media elektronik telah menghancurkan tembok-tembok tradisi dan denominasi, serta mengembalikan kondisi gereja saat ini kepada kondisi gereja mula-mula yang sederhana dan terbuka bagi semua orang.
Stewart Hoover di dalam bukunya, Mass Media Religion: The Social Sources of The Electronic Church, mengatakan bahwa media massa menjadi alat sempurna bagi penginjilan. Prinsip-prinsip utama gereja, yaitu terbuka dan dapat diakses oleh semua orang menjadi dasar bagi perkembangan gereja elektronik melalui televisi.6 Televisi adalah sebuah anugerah dari Tuhan yang harus digunakan untuk menyebarkan kabar baik ke seluruh penjuru dunia. Mereka percaya bahwa nilai-nilai yang dianut oleh penyiaran komersial tidak bertentangan dengan nilai-nilai kekristenan.
Pada tahun 2000 awal, sebuah buku yang disunting oleh Lorne L. Dawson dan Douglas E. Cowan, Religion Online: Finding Faith on The Internet7, menunjukkan bagaimana internet telah mengubah wajah agama-agama dunia. Internet, yang digunakan secara masif di hampir seluruh penjuru dunia, telah mendorong adanya bentuk-bentuk baru beragama. Cyberspace pun dimaknai sebagai sacredspace, tempat di mana Yang Mahakudus berdiam dan membuka diri untuk ditemukan oleh manusia.
5 Ben Armstrong, The Electric Church (Nashville: T. Nielsen, 1979) 6
Stewart Hoover, Mass Media Religion: The Social Sources of The Electronic Church (New York: Columbia University Press,1999)
7 Lorne L. Dawson & Douglas E. Cowan, Religion Online: Finding Faith on The Internet
(28)
Dalam sebuah tulisannya, Idy Subandy Ibrahim menulis tentang berkembangnya ruang virtual atau cyberspace. Kemunculannya memberi pengaruh dalam segala aspek kehidupan manusia, termasuk pengalaman beragama. Muncul kemudian cyberreligion dimana mereka dapat menjadi orang yang akan Di akhir penelitiannya, ia mempertanyakan akankah cyberreligion ini menggantikan realreligion dalam ruang internet yang telah menjadi ruang alternatif dalam peradaban manusia.
Karya-karya dan tulisan di atas dapat menjadi titik berangkat yang membuka pengetahuan penulis tentang perjumpaan media dan agama. Akan tetapi, penulis melihat bahwa mereka semua terjebak pada pola pikir teologis, dan tidak melakukan pendekatan fenomenologis. Misalnya saja, mereka terbentur pada masalah otoritas bahwa Kristus hanya dapat disampaikan oleh gereja yang dipahami secara normatif dan bukan oleh gereja yang telah masuk ke dalam media. Pembelaan yang dilakukan oleh para ahli yang lebih kemudian pun seolah-olah hanya menjadi apologi bagi perjumpaan media dan agama yang memang saat ini tak terhindarkan lagi.
6. Kerangka Teori VI. 1. Religiositas
Menurut seorang teolog, seperti dikutip G. Moedjanto dan St. Sunardi, mendefinisikan agama dan religiositas adalah sesulit mendefinisikan seni.8 Perspektif dan pendekatan yang berbeda dapat menghasilkan pengenalan dan pemahaman yang berbeda tentangnya. Salah
8G. Moedjanto & St. Sunardi, “Religiositas Kaum Beriman di Indonesia” dalam Basis
(29)
satu definisi yang diberikan oleh dictionary.reference.com adalah bahwa religiositas itu berkaitan dengan kualitas religius dan kesalehan hidup seseorang.9 Religiositas berkaitan dengan kebebasan orang untuk menjaga kualitas keberagamaannya dilihat dari dimensinya yang paling mendalam. Dalam sejarah panjang peradabannya, manusia berusaha memuaskan kerinduannya akan kebutuhan-kebutuhan yang paling dalam dan paling eksistensial yang seringkali tidak bisa dituntaskan dengan rumusan-rumusan doktrinal agama yang terbatas.10
Friedrich Schleiermacher mengungkapkan bahwa agama adalah indra dan rasa dari yang infinit itu sendiri (sense and taste of Infinite). Pengalaman beragama itu pertama-tama tidak terkait dengan rumusan-rumusan teologis, melainkan bagaimana pemeluk agama dapat merasakan dan mencicipi Realitas Yang Tak Terbatas itu dalam pengalaman hidupnya sehari-hari.11 Religiositas sebagai pengalaman ini menandakan bahwa ia melampaui agama itu sendiri. Ia tidak sekadar dipahami sebagai kadar kepatuhan seseorang terhadap ajaran dan doktrin dalam suatu agama, tetapi lebih kepada pemaknaan seseorang terhadap realitas lain yang transenden dan lebih berkuasa di luar dirinya. Pemaknaan ini membuat manusia menyadari akan keterbatasan hidupnya, dan terdorong dari dalam untuk mencapai yang transenden guna pemenuhan diri dan hidupnya. Agus M. Hardjana mengatakan bahwa hal yang transenden ini dialami manusia melalui pengalaman yang membuat manusia mengalami ekstase, yaitu saat manusia keluar dari dirinya. Pengalaman ekstase inilah yang
9http://dictionary.reference.com/browse/religiosity diakses pada 10 Juli 2014. 10 G. Moedjanto & St. Sunardi, Op. Cit., hlm. 209.
11
(30)
biasa disebut sebagai pengalaman religius. Pengalaman-pengalaman akan Allah inilah yang nantinya membentuk religiositas – rasa dan kesadaran akan hubungan dan ikatan manusia dengan Tuhannya.12
Pengalaman religius saat ini juga dirasakan di dalam internet. Konten religius yang ada di dalam internet seolah membuat manusia berada dalam ruang maha kudus yang maya dan tak berujung. Pengalaman iman komunitas Kristen tidak lagi hanya dijumpai di dalam gereja, tetapi di dalam internet yang menjadi gereja virtual bagi mereka. Sekularisasi dan modernitas, yang menjadi cikal bakal pengembangan teknologi mutakhir, ternyata tidak berujung pada negasi religiositas supra natural. Saat ini, teknologi malah menjadi medium bagi munculnya religiositas virtual di dalam internet.
VI. 1. Makna Ritual
Agama selalu sarat akan makna. Di dalam agama setiap orang berusaha untuk memaknai seluruh eksistensi dirinya dalam pengalaman hidup sehari-hari. Makna di dalam agama pun akhirnya tersimpan dalam simbol. Menurut Mircea Eliade, Yang Kudus adalah pusat di dalam agama.13 Inti dari setiap agama adalah Yang Kudus itu sendiri. Akan tetapi, manusia tidak dapat menjangkau Yang Kudus itu. Di sini simbol berfungsi sebagai ”pagar” yang membatasi Yang Kudus itu ke dalam realitas eksistensial manusia. Yang Kudus itu menjadi nampak dan
12
Agus M. Hardjana, Religiositas, Agama, dan Spiritualitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm. 28-29.
13 PS Hary Susanto, Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade, Yogyakarta: Kanisius,
(31)
tersentuh di dalam simbol. Lain halnya dengan Emile Durkheim yang melihat inti agama bukan pada Yang Kudus di luar manusia itu sendiri, tetapi kepada hubungan sosial yang membentuk suatu tindakan di dalam agama. Tujuan agama yang sebenarnya bukanlah intelektual, tetapi sosial. Agama bertindak sebagai pembawa sentimen sosial, memberi simbol dan ritual yang memungkinkan orang mengungkapkan ekspresi yang dalam, yang melabuhkan mereka pada komunitas mereka.14 Dengan mensintesakan kedua pemikiran ini, maka agama merupakan suatu sistem kepercayaan yang menghayati realitas Yang Kudus di luar diri manusia, sekaligus juga menyertakan unsur sosialitas sebagai wilayah penghayatan makna Yang Kudus itu dalam kehidupan sehari-hari. Penghayatan makna ini terdapat di dalam ritual-ritual keseharian manusia.
Lebih lanjut menurut Durkheim, ritual adalah suatu hal yang penting posisinya di dalam agama karena ia menentukan sentimen dan emosi agama.15 Bahkan, Durkheim mengatakan bahwa di dalam suatu agama bukan kepercayaannya yang penting, melainkan ritualnya. Jadi menurut Durkheim, ritual itu sendiri adalah agama. Tanpa sebuah ritual, maka tidak akan ada agama. Ritual menjadi sesuatu yang sakral, Yang Kudus itu sendiri. Ia merupakan suatu tindakan simbolik, sebagai perwujudan dari makna religius dan sarana untuk mengungkapkan sikap-sikap religius. Bila seseorang beragama mesti mempertahankan pengalaman asli religiusnya dengan relasinya yang melampaui pengalaman biasa dengan yang Ilahi, ia harus mengungkapkan ini lewat
14 Diktat Mata Kuliah Fenomenologi Religi IRB 2010. 15
(32)
bentuk-bentuk simbolis yang bersifat empiris dan menjadi bagian dari wilayah profan, sebagai perpanjangan dari penampakan yang ilahi.16
Menurut Rudolf Otto, di dalam ritual, setiap orang melihat yang Ilahi itu sebagai sesuatu ”tremendum et fascinosum”. Ada sikap ambivalen di dalam ritual: takut tetapi sekaligus tertarik, negatif dan positif, sikap tabu tetapi juga preservasi dan proteksi. Di dalam ritual, seseorang merasa takjub, yaitu dengan sikap takut dan hormat, tetapi sekaligus juga terus menerus melakukannya sebagai ketertarikan personal terhadap kuasa yang Ilahi itu.
Dalam kaitannya dengan kesadaran kolektif masyarakat, ritual bertujuan untuk mempromosikan kesadaran klan, membuat orang merasa menjadi bagiannya, dan untuk memeliharanya dalam cara yang terpisah dari yang profan. Tanpa klan (ruang sosial) sebuah ritual tidak akan memiliki makna transenden secara kolektif. Oleh karena itu, suatu ritual harus berakar dan menjadi bagian dari sosialitas tertentu, sekaligus memaknai kembali masyarakat itu.
Di dalam kekristenan, mulai dari kemunculannya sampai dengan saat ini, ritual masih menempati posisi penting bahkan sentral. Kekristenan adalah sebuah agama ritual, yang kaya akan simbol dan makna. Ritual membawa umat ke dalam perjumpaan dengan Sang Khalik, yang menciptakan dunia dan segala isinya. Di dalam kenyataan ini, gereja sebagai perwujudan orang-orang yang percaya kepada Kristus dilihat sebagai sebuah persekutuan yang beribadah. Ibadah mengajak setiap orang
16
(33)
percaya untuk masuk ke dalam misteri karya penciptaan dan penyelamatan oleh Allah secara bersekutu.
Dalam konteks penelitian ini, ibadah melalui media elektronik menjadi suatu varian lain yang muncul. Persekutuan dengan umat yang lain tidak lagi penting. Segala ornamen dan simbol dalam ruang ibadah pun dihilangkan. Dengan mengikuti ibadah di radio, televisi, dan internet, umat menarik diri dari kebersamaan dengan orang lain. Ibadah tidak lagi menjadi suatu hal komunal, melainkan telah menjadi sesuatu yang individual. Jemaat memang hadir di ruang ibadah, ikut bernyanyi dan bertepuktangan, tetapi di waktu yang sama ia pun sedang berinteraksi dengan temannya yang berada ratusan kilometer darinya melalui chatting di Facebook dari smartphone yang canggih. Alkitab, yang menjadi simbol Firman Tuhan di dalam ibadah, digantikan oleh ”gadget suci” yang dapat membukakan ayat-ayat Alkitab sekaligus catatan-catatan para ahli kitab tentang ayat-ayat yang dibaca. Pemberian persembahan yang menjadi sebuah ritual kolektif pun telah digantikan dengan transfer secara individual.
VI. 2. Internet dan Pembentukan Realitas
Media elektronik seperti, radio, televisi dan saat ini jaringan internet, menjadi alat komunikasi yang paling masif digunakan di seluruh dunia. Keduanya menyediakan informasi populer tentang kejadian-kejadian yang berlangsung di seluruh dunia, baik di negara modern-industrialis, maupun di negara berkembang-agraris. Radio hanya
(34)
mengandalkan suara, sedangkan televisi sudah menghadirkan visualisasi berupa gambar. Melalui radio, informasi yang disampaikan masih bersifat bebas dan memerlukan imajinasi pendengar untuk membayangkan suatu kejadian atau informasi yang diberikan. Sedangkan televisi menutup ruang imajinasi itu, karena suatu informasi disampaikan melalui televisi dengan gambar dan suara.
Selain kedua media di atas, internet pun muncul sebagai sebuah medium informasi baru. Tidak hanya memiliki kemampuan audiovisual seperti televisi, internet pun menawarkan kemampuan interaksi langsung antara pengguna dengan setiap konten yang hendak diakses. Para pengguna bebas untuk memilih sendiri segala informasi yang hendak dilihat dan didengarkan. Peran stasiun radio dan televisi digantikan oleh server sebagai gudang penyimpan berbagai informasi. Tidak kalah dengan radio dan televisi yang dapat diakses di berbagai tempat di seluruh penjuru dunia, internet saat ini dapat diakses di hampir seluruh negara di dunia.17 Terikatnya dunia ke dalam sebuah jaringan global internet membuat manusia saling terhubung satu dengan yang lain secara langsung.
Studi tentang media elektronik telah menjadi bagian penting dalam kajian budaya. Di awal kemunculannya di Inggris, kajian budaya menempatkan media elektronik sebagai bagian dari ontologi sosialnya. Kajian tentang televisi, misalnya, telah mendapatkan makna baru dari para pegiat kajian budaya bahwa televisi tidak hanya menjadi alat untuk
17 Situs http://submarine-cable-map-2013.telegeography.com/ menunjukkan sebuah peta
dari jaringan kabel optik yang menghubungkan seluruh dunia ke dalam jaringan internet. Jaringan kabel optik dan sinyal satelit adalah dua hal yang dibutuhkan bagi jaringan internet saat ini. jaringan ini telah berhasil menghubungkan seluruh wilayah di dunia, baik dengan jaringan kabel optik bawah laut, maupun bawah tanah.
(35)
menggambarkan realitas, tetapi ia adalah realitas itu sendiri. Apa yang disampaikan di dalam televisi justru menjadi dunia bagi para pemirsanya. Selain itu, informasi yang disampaikan oleh media adalah sebentuk konstruksi yang dimainkan di dalam sebuah kerangka pikir tertentu untuk mengatur cara pandang pemirsa melihat dunia. Hasilnya, yang disebut berita di seluruh dunia adalah isu-isu aktual seputar hal ekonomi, politik, urusan dalam negeri dan luar negeri. Di luar ini bukanlah berita, tetapi hanya sekadar informasi tambahan yang menjadi pelengkap dari berita utama tadi. Pemahaman ini menjadi sesuatu yang common sense. Stuart Hall, mengikuti Gramsci, melihat hal ini sebagai hegemoni media.18 Media telah terhegemoni oleh pemahaman yang terbentuk di dalam masyarakat dalam suatu situasi kultural tertentu, sehingga informasi yang diberikan tidak bebas nilai, tetapi mengandung pemahaman mengikat yang dikonstruksi dari masyarakat, tetapi juga yang kemudian berbalik mengkonstruksi masyarakat.
Akan tetapi, di balik kondisi hegemonik itu, para pemirsa pun menjadi audience aktif. Mereka tidak hanya menerima segala informasi dan memberlakukannya sebagai kebenaran yang mutlak, tetapi menafsir kembali makna dari setiap informasi yang dihadirkan dalam konteks kultural masing-masing.19 Teks-teks dalam media bukanlah teks yang ambigu, melainkan bersifat polisemi, sehingga pemaknaannya sangat bergantung pada situasi dan kondisi setempat. Proses encoding yang dilakukan oleh produser melalui serangkaian proses yang memungkinkan
18 Chris Barker, Cultural Studies: Theory & Practice, (London: SAGE Publications,
2008), hlm. 319.
19
(36)
bagi terjadinya distorsi makna. Proses decoding oleh pemirsa dan pendengar pun bisa saja bermakna yang lain, bergantung pada konteks masyarakat. Hall kemudian membagi tiga jenis penerimaan informasi oleh pemirsa. Pertama, dominan-hegemonik, yaitu pemirsa menerima semua informasi yang diberikan dan pemaknaannya sesuai dengan apa yang diinginkan oleh produsen informasi. Kedua, negosiatif, yaitu pemirsa membuka ruang bagi pemaknaan yang berbeda dari informasi yang diserap bergantung dari kondisi kultural setempat. Ketiga, oposisional, yaitu pemirsa memaknai secara berbeda seluruh informasi yang diberikan dengan cara-cara pandang alternatif. Jenis ketiga ini niscaya membentuk suatu subkultur dalam masyarakat.
Internet, sebagai bagian dari media modern, pun tidak bebas nilai. Ia terbentuk dalam frame penyedia layanan, pengembang program, serta desainer web. Hanya saja, sifat interaktif dari internet yang memberikan kebebasan tanpa batas kepada para penggunanya membuat pengguna tidak hanya sekadar penerima berita, tetapi juga berbalik menjadi pencipta berita dan frame yang baru. Yang terjadi bukan lagi terciptanya subkultur, melainkan membalikkan proses produksi informasi. Pemirsa pun menjadi produser. Pengguna internet mengolah informasi secara eklektik, dengan mencampuradukkan fakta dan opini, dan membuat informasi baru yang dapat dianggap kebenaran oleh orang lain. Contohnya, dalam aktifitas blogging dan micro-blogging melalui media sosial, pengguna dapat menuliskan informasi yang kebenarannya tidak dapat dipastikan, lalu
(37)
mengirimnya dan membuat semua orang membacanya sehingga membentuk sebuah kebenaran baru.
Penggunaan teknologi internet ini telah menciptakan realitas baru dalam kehidupan bergereja. Gereja dianggap mengikuti perkembangan zaman dan cocok bagi masyarakat perkotaan adalah gereja yang ” high-tech”. Gereja seperti ini pun dinilai mampu berkembang di kalangan anak muda. Penggunaan media internet pun akhirnya membentuk dan mendikte arah perkembangan gereja. Jikalau ingin menjadi gereja yang besar dan ramai, maka fasilitas-fasilitas yang berkaitan dengan internet dan teknologi informasi harus disediakan, contohnya terlibat aktif dalam media sosial, membuat website resmi gereja yang lengkap, atraktif dan interaktif, juga menyediakan fasilitas video streaming sehingga ibadah pun bisa dinikmati semua orang yang berada di luar tembok gereja. Khusus bagi video streaming, awalnya ia hanya sebagai syarat mutlak jika sebuah gereja ingin mendapatkan label ”high-tech” yang mengakomodir perkembangan zaman, dan tidak ada maksud untuk membentuk suatu subversi dalam ibadah Kristen. Akan tetapi, proses decoding dari ibadah seperti ini justru dapat menghasilkan makna baru yang berbeda. Sebagian pemirsa dan jemaat melihatnya sebagai ibadah sebenarnya, yang dapat diikuti sebagaimana mengikuti ibadah di gedung gereja.
VI. 3. Simulacrum dan Konsumsi Tanda
Jean Baudrillard mengatakan bahwa dunia saat ini adalah dunia hiperrealitas, sebuah realitas yang dilebih-lebihkan oleh imaji yang
(38)
terbentuk dari gambar dan kata-kata yang terkandung dalam suatu informasi. Suatu simbol dan tanda bukanlah realitas yang sebenarnya, tetapi merupakan gambaran dari simbol dan tanda yang lainnya. Dunia ini menjadi seperti simulacrum, sebuah simulasi tanda-tanda yang tidak memiliki asal dan pangkal, sebuah sirkuit besar tanpa referensi awal.20 Simulacrum dan dunia hiperrealitas ini termanifestasi dalam media. Media pun dianggap menghadirkan realitas yang ”lebih real” dari realitas yang sebenarnya. Imaji media adalah imaji kebenaran.
Saat ini muncul sebuah anggapan bahwa bagi seorang Kristen yang akrab dengan teknologi internet menggunggah kalimat-kalimat yang berasal dari Alkitab di dalam media sosial adalah sebuah keharusan. Seolah ada semboyan tak tertulis, ”gak ngetwit ayat alkitab berarti kurang
Kristennya” atau ”Anak Tuhan harus memposting renungan di Facebook”. Sebaliknya juga, jika seorang Kristen melakukan hal yang dianggap tidak baik, seperti mencela di akun media sosialnya, maka ia akan dianggap sebagai seorang Kristen yang tidak baik, yang mungkin sedang menjauh dari Tuhan. Media sosial yang berbasis internet pun menjadi sarana untuk mengidentifikasi seseorang saat ini, termasuk tingkat keimanannya.
Akhirnya, orang pun hanya mengkonsumsi tanda-tanda yang hadir sebagai realitas. Pemaknaan terhadap suatu benda hanya sebatas pemaknaan terhadap tanda dari realitas itu dan bukan kepada realitas yang sesungguhnya. Di dalam ibadah yang memfungsikan internet terlihat jelas bagaimana tanda-tanda dipermainkan dan membentuk suatu realitas baru
20 Kelton Cobb, The Blackwell Guide to Theology and Popular Culture, (Oxford:
(39)
yang hiperreal. Suara dari pengkhotbah terdengar lebih keras dan jelas. Pada ibadah live streaming, visualisasi pun diambil dari sudut-sudut yang terbaik, yang menghasilkan gambar yang enak untuk dinikmati dan membawa permirsa ke dalam ibadah yang sesungguhnya. Website dan media sosial gereja pun menjadi sebuah lahan bagi
VII. Metode Penelitian
Penulis membatasi penelitian kepada beberapa gereja yang mengaplikasikan teknologi internet dengan sangat baik. Salah satu indikatornya adalah terlibatnya mereka dalam media sosial serta memiliki website yang selalu mutakhir. Dalam hal ini, penulis telah memilih tiga gereja sebagai locus penelitian, yaitu Jakarta Praise Community Church, GBI Glow Fellowship Center, dan GBI Praise Revival for Jesus. Ketiga gereja ini berlokasi di Jakarta. Ketiganya merupakan gereja beraliran Pentakostal-Karismatik. Perbedaan dari ketiga gereja ini dapat terlihat dari jumlah jemaat yang hadir, segmentasi usia jemaat, serta jaringan sosial yang terbentuk di dalamnya.
Penulis menggunakan metode observasi partisipatoris guna melihat sejauh mana teknologi internet digunakan di dalam kehidupan gereja-gereja di atas. Penulis pun merasa perlu membandingkan suasana (ambience) dalam peribadahan di gereja-gereja yang telah menerapkan teknologi informasi dengan sangat baik lalu mendeskripsikannya secara interpretatif., Dengan metode ini, penulis berharap dapat menemukan jalinan makna yang mendasari ibadah dan religiositas virtual ini.
(40)
Penulis mengikuti peribadahan yang dilangsungkan secara aktif. Selain itu, penulis juga masuk ke dalam komunitas-komunitas yang berada di dalam naungan gereja-gereja itu. Penulis juga akan melakukan wawancara terhadap anggota dan pemimpin komunitas ini terkait dengan penggunaan internet dalam pengembangan komunitas.
Penulis juga menggunakan metode content analysis untuk menganalisis media sosial dan website dari gereja-gereja tersebut. Dengan metode ini penulis bermaksud menemukan ideologi yang tersembunyi di balik media sosial dan isi yang dari website. Penulis juga berusaha menjawab bagaimana proses encoding dan decoding dilakukan oleh administrator, dalam hal ini pihak multimedia dari gereja, dan jemaat yang menikmati informasi yang disampaikan.
Selain itu, penulis juga menggunakan metode semiotika fenomenologis untuk melihat dan mengkaji tanda-tanda religiositas dari fenomena gereja dan internet ini. Dari metode ini, penulis berusaha menemukan hubungan antara perkembangan media elektronik modern dengan pembentukan religiositas modern.
VIII. Pengumpulan Data
Di dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa metode pengumpulan data, salah satunya adalah pengumpulan data tertulis tentang awal perjumpaan gereja dengan media, baik berupa arsip dan dokumen tertulis yang kemungkinan dimiliki oleh gereja-gereja di atas. Penulis juga mendatangi beberapa gereja dan meminta catatan dan dokumen berikut keterangan tentang hal ini.
(41)
Untuk mencapai analisa yang komprehensif, penulis merasa perlu untuk melengkapi data di atas dengan data lainnya. Penulis pun mewawancarai pihak gereja sebagai pemilik situs elektronik dan media sosial. Penulis menggali informasi tentang apa yang menjadi sejarah perjumpaan gereja tersebut dengan media elektronik, terutama internet, dan menggunakannya sebagai sarana komunikasi dan informasi, serta sejauh mana internet memberikan pengaruh terhadap kehidupan gereja dan religiositas umat.
Penulis juga mewawancarai beberapa orang yang secara aktif terlibat dalam media sosial gereja (menjadi friend atau follower) dan mengikuti perkembangan website gereja serta teknologi informasi yang dibangun di dalam gereja. dengan pendekatan fenomenologis. Khusus tentang hal ini, penulis menjumpai kesulitan di dalam menemukan narasumber yang dapat diwawancarai ini. Aktivitas berselancar dengan internet merupakan aktivitas individual yang tertutup, yang dapat dilakukan oleh semua orang kapan saja dan di mana saja. Penulis akan memulainya dengan mewawancarai para pekerja di gereja (church workers), yang tentunya familiar dengan hal ini, dan berusaha menggali informasi secara mendalam tentang pengalaman mereka berselancar di dunia maya religius.
Penulis juga telah melakukan wawancara dengan beberapa rohaniwan Kristen dan para pengkaji media terkait dengan perkembangan internet di dalam gereja-gereja di Indonesia. Dari wawancara dengan mereka, penulis berharap mendapatkan perspektif teologis juga sosio-kultural terkait perkembangan dengan realitas ini.
Penulis juga telah melakukan tinjauan kepustakaan terkait dengan beberapa konsep yang perlu dijelaskan, seperti teori tentang agama dan ritual,
(42)
encoding dan decoding di dalam produksi informasi media, teori hiperrealitas, dan yang lainnya.
IX. Sistematika Penulisan
Penulis membagi penelitian ini ke dalam beberapa bab. Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, pentingnya penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metode penelitian, pengolahan data, sistematika penulisan, jadwal, daftar pustaka.
Bab kedua akan berisi tentang pemaparan tentang sejarah perjumpaan antara gereja dengan internet serta perkembangannya. Penulis akan melihat sejarah kemunculan internet dan menelusuri perkembangannya hingga sampai ke ranah gereja. Penulis juga akan melihat faktor-faktor yang mendukung teknologi internet dapat digunakan dan dikembangkan di gereja-gereja
Bab ketiga akan berisi tentang data gereja-gereja yang menjadi tempat penelitian penulis. Dalam bab ini penulis juga melihat penetrasi internet dalam berbagai bidang kehidupan bergereja, misalnya penulis akan melihat website dari masing-masing gereja, serta penggunaan media sosial berbasis internet sebagai media persekutuan umat.
Bab keempat akan berisi analisis tentang religiositas umat yang terbentuk dalam hubungan gereja dengan internet. Apakah di era media informasi mutakhir saat ini terbentuk suatu religiositas baru, yaitu religiositas media. Penulis akan mengkajinya dari perspektif fenomenologis, yang melihat gejala-gejala yang muncul dalam kehidupan bergereja saat ini.
(43)
Bab kelima adalah bab penutup yang berisi kesimpulan dari seluruh hasil penulisan serta beberapa masukan dan saran.
(44)
Bab II
Gereja dan Internet: Sejarah dan Perkembangannya
Teknologi informasi digital seolah menjadi syarat baru bagi peradaban manusia. Albert Borgmann, sebagaimana dikutip oleh Karlina Supelli, mendefinisikan teknologi informasi sebagai hasil konvergensi dari dua jenis teknologi, yaitu transmisi informasi dan otomatisasi komputasi.1 Menurutnya teknologi informasi adalah istilah payung bagi semua jenis teknologi yang merancang, mengembangkan, memproduksi, memanipulasi, menyimpan, menyampaikan, dan menyebarkan informasi berbasis komputer. Dasar bagi penerapan teknologi informasi sendiri adalah keterhubungan dua komputer atau lebih sehingga saling berkomunikasi. Komunikasi ini dibangun di dalam mesin dan melalui enkripsi kode digital membentuk sebuah simpul digital yang pada akhirnya membentuk jaringan yang rumit yang menghubungkan komputer yang satu dengan komputer lainnya.
1. Internet: Awal Kemunculan dan Perkembangannya
Awalnya, internet adalah sistem yang dikembangkan oleh Amerika Serikat (AS) dalam rangka persenjataan militer mereka. Setelah perang dunia kedua, otoritas keamanan AS mulai memikirkan upaya preventif agar wilayah mereka tidak lagi dapat diserang secara mendadak dan sembunyi-sembunyi oleh pihak lawan, seperti yang terjadi di Pearl Harbour, yang akhirnya memicu pemboman terhadap Hirosima dan Nagasaki di Jepang. Oleh karena itu, mereka berpikir
1 Karlina Supelli, “Ruang Publik Dunia Maya” dalam F. Budi Hardiman (ed.), Ruang
(45)
untuk mempersenjatai diri mereka dengan sistem yang komprehensif. Sistem komputer digital nan canggih pun mulai dibangun. Segala macam data, seperti penginderaan radar, dapat disajikan oleh teknologi komputer.2
Seiring dengan usaha pengembangan teknologi bagi keamanan AS, ditemukanlah kendala untuk mengumpulkan berbagai sumber data informasi yang mendukung keamanan, yang tersimpan di ribuan komputer yang tersebar di seluruh wilayah AS. Selain itu, para ilmuwan pun membutuhkan teknologi yang memungkinkan mereka untuk berkomunikasi satu sama lain, bukan hanya berkomunikasi secara verbal, tetapi juga komunikasi antar data di dalam komputer mereka masing-masing. Semakin sering mereka berkomunikasi tentang data dan riset mereka, maka semakin baik pula percepatan pengembangan teknologi. Hal inilah yang mendasari dibangunnya sebuah teknologi yang menjadi cikal bakal internet oleh pemerintah AS, yaitu Advanced Research Projects Agency Network (ARPANET).3
ARPANET lahir pada tahun 1969. Ia menghubungkan berbagai komputer dan mengkoordinasikannya dalam jaringan keamanan AS. Melihat fungsi dan kegunaan ARPANET bagi dunia militer, maka muncul keinginan untuk memperluas cakupan jaringan ini, tidak hanya bagi kepentingan riset militer dan keamanan, tetapi juga bagi kepentingan riset ilmu di beberapa universitas.4 Proyek pertama dari pengembangan ini hanya diikuti oleh beberapa universitas, yang kemudian semakin meluas dan menghubungkan semakin banyak universitas.
2
Marshall T. Poe, A History of Communications, New York: Cambridge University Press, 2011, hlm. 212-213.
3 Ibid. 4
(46)
Setelah sukses di AS, universitas-universitas di luar negeri pun berminat untuk bergabung dan membentuk sebuah jaringan besar komputer.
Logika jaringan inilah yang di kemudian hari dikenal dengan istilah Internet (Interconnection Networking) dan World Wide Web (WWW).5 Jaringan ini saling terhubung satu sama lain dengan menggunakan kabel optik dan teknologi satelit yang terhubung ke seluruh dunia. Internet yang awalnya merupakan sistem komunikasi militer menjadi sistem komunikasi publik. Dunia bisnis pun mulai mengendus nilai komersilnya. Internet, yang awalnya digunakan secara tertutup dan terbatas bagi komunikasi data-data rahasia pun berkembang menjadi jaringan yang paling terbuka, longgar serta sulit dikenai peraturan dan hukum. Dengan desain WWW yang semakin indah, pengguna seolah menonton televisi dan membaca surat kabar di satu layar yang sama. Menurut data survei yang dirilis oleh www.internetworldstats.com, jumlah pengguna internet di seluruh dunia hingga Desember 2013 mencapai 2.405.518.376 dari 7.017.846.922 jumlah penduduk dunia, atau sebesar 34,3% dari penduduk dunia.6 Sumber yang sama juga menyebutkan tentang perkembangan internet dunia selama 12 tahun, yaitu dari tahun 2000 hingga 2012. Di awal milenium ketiga, sebanyak 360.985.492 penduduk dunia. Dibandingkan dengan data terakhir di atas, maka terjadi lonjakan yang sangat signifikan sebesar 566,4%.
Pertumbuhan pesat internet tentunya tidak lepas dari infrastuktur memadai yang mendukung ketersediaan jaringan internet di setiap wilayah. Beberapa
5 Menurut Karlina Supelli, Internet tidak sama dengan WWW, seperti yang saat ini
seringkali dicampuradukkan. Internet adalah sistem inter-komunikasi sedangkan WWW adalah sebuah cara memproses dan menampilkan informasi digital. WWW adalah fasilitas internet yang menghubungkan dokumen dalam lingkup lokal maupun jarak jauh. Sekarang, Web merupakan pusat kegiatan internet. Lihat Ibid., hlm. 336.
6
(47)
wilayah di dunia memiliki pertumbuhan yang signifikan, sementara bagian lainnya relatif lambat. Amerika Utara dan Eropa yang lebih dahulu mengembangkan dan mengimplementasikan teknologi informasi tentunya memiliki tingkat konektivitas internet yang tinggi jika dibandingkan dengan wilayah Afrika dan Amerika Latin, di mana penetrasi teknologi ini baru terjadi dekade belakangan . Asia sendiri mulai mengembangkan internet pada awal tahun 1990. Proyek awal internet di Asia dimulai di beberapa negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan India.
Internet yang awalnya diciptakan sebagai sarana komunikasi digital antar universitas pun menjadi bagian di dalam dunia teknologi informasi di seluruh dunia dan digunakan oleh semua pihak, baik institusi pendidikan maupun dunia korporasi. Di Indonesia sendiri, jaringan komputer (network), yang kemudian menjadi cikal bakal internet, awalnya dikembangkan di laboratorium komputer Universitas Indonesia. Proyek ini diberi nama Inter-University Computer Network (UNINET). Menurut uraian Jos Luhukay dan Bagio Budiarjo, tujuan dari UNINET adalah menyediakan akses jaringan komputer bagi para peneliti dan ilmuwan komputer serta pengelola perguruan tinggi negeri di Indonesia.7 Melalui jaringan komputer, pertukaran data antar sistem komputer dapat lebih mudah dilakukan dan cepat dari segi waktu. Setidaknya tiga perguruan tinggi negeri berpartisipasi dalam pelaksanaan awal program ini: Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, yang kemudian akan diikuti oleh perguruan tinggi negeri lain yang bergabung.
7 Jos Luhukay & Bagio Budiarjo, ”UNINET: An Inter-University Computer Network”,
http://opensource.telkomspeedy.com/wiki/index.php/UNINET:_An_Inter-University_Computer_Network (diakses pada 27 Januari 2014). Artikel elektronik ini merupakan penyederhanaan dari makalah yang disampaikan dalam Asia Electronics Symposium, Jakarta, 19-20 Oktober 1983.
(48)
Pada awal tahun 1990-an, perkembangan internet di Indonesia mulai mengadaptasi fungsi komersial. Internet bukan hanya digunakan sebagai akses antar sistem dalam dunia pendidikan tinggi, tetapi ia juga mulai digunakan sebagai sarana pertukaran data dan informasi dalam dunia bisnis. Bahkan, internet telah menjelma menjadi teknologi paling inti dari berbagai sistem finansial, seperti perbankan dan sekuritas. Begitu pentingnya internet sehingga semua bank akan berhenti beroperasi ketika sistem internet mengalami malfungsi (shut down). Data transaksi setiap nasabah yang tersimpan di pusat data bank tidak dapat diakses yang menyebabkan kemacetan aktivitas keuangan. Selain itu, internet juga mulai dapat diakses secara mudah oleh publik.
Semangat kapitalisme liberal yang kian dihidupi di negeri ini pun turut membangun iklim bagi tumbuhnya internet. Perlahan tapi pasti, internet bukan lagi sekadar alat yang membantu industri, tetapi telah menjadi industri itu sendiri. Onno W. Purbo mencatat di tahun 2000 saja, warung internet (warnet) telah semakin menjamur di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Bogor, dan Yogyakarta dengan kisaran jumlah 40-70 warnet di tiap kota.8 Dengan modal yang tidak terlalu besar tetapi menyasar secara tepat ke segmen kalangan intelektual muda yang melek teknologi, maka keuntungan dengan cepat diraih. Teknologi telepon pintar (smartphone) juga membuat internet kian mudah diakses, bahkan di genggaman tangan, di mana saja dan kapan saja. Mudahnya mendapatkan akses teknologi internet membuat ketergantungan terhadapnya tidak dapat dihindari. Dokumen penting tidak perlu lagi dikirimkan melalui paket surat, tetapi dapat langsung mengandalkan electronic mail (e-mail) yang ’tiba’ sesaat
8 Onno W. Purbo, ”Perkembangan Teknologi Informasi dan Internet di Indonesia” dalam
(49)
setelah dikirimkan ke ’alamat’ penerima. Para pengusaha tidak perlu lagi datang dan bertatap muka untuk memutuskan suatu perkara perusahaan, cukup dengan teknologi streaming di internet maka tatap muka dapat dilakukan dari tempat yang berbeda dan berjarak jauh. Pada akhirnya, internet bagi sistem komputer menjelma tak ubahnya energi listrik bagi peralatan elektronik, menjadi sumber daya utama yang menggerakkan dan menghidupkan.
2. Agama dan Teknologi: Perjumpaan yang Menghidupkan
Jurgen Habermas mengatakan bahwa perkembangan teknologi di dalam masyarakat merupakan proses rasionalisasi modernitas. Di dalam masyarakat pra-modern, rasionalitas terbagi menjadi tiga yaitu rasionalitas kognitif-instrumental, rasionalitas moral-praktis, dan rasionalitas estetis-praktis. Pada saat itu, ketiganya dapat diseimbangkan oleh pandangan dunia yang mistis-religius. Dalam konteks masyarakat modern, pandangan mistis-religius hancur sehingga peran agama digantikan dan diungguli oleh moralitas-rasional dan etika dalam masyarakat modern.9 Modernisasi pun seolah mematikan agama sehingga ketika agama ingin tetap hidup dan berkembang, maka ia harus menghindari modernisasi itu sendiri.
Pada awalnya memang agama dan teknologi rasanya merupakan dua hal yang sama sekali tidak terkait. Keduanya seolah terpisahkan oleh dikotomi antara yang sakral dengan yang profan. Teknologi komunikasi seperti internet berurusan dengan relasi intra-manusia di dunia, sementara agama mengatur relasi extra-numena antara Sang Pencipta dengan ciptaan-Nya di dunia. Internet, dengan segala kecanggihannya, mampu menghubungkan satu manusia dengan manusia
9 A. Widyarsono, ”Masyarakat Teknologi Modern dan Gereja”, Rohani, 044: 000
(50)
lainnya secara real time. Dengan bahasa pemrograman dan algoritma tertentu, penduduk yang berada di Jawa kini dapat terhubung dengan mereka yang berada di Papua secara langsung dengan biaya yang tidak terlalu mahal. Di lain pihak, agama menghubungkan manusia dengan Sang Kudus yang mengatur kehidupan dunia manusia. Agama menyediakan bahasa yang membuat manusia mampu mendengar dan mengerti kehendak dari Sang Kudus itu. Jika seseorang ingin mendapatkan kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat, maka ia harus memeluk agama dan kepercayaan tertentu supaya ia dapat ’diselamatkan’. Bahkan tidak jarang, konsep soteriologis seperti ini mengharuskan seseorang yang beragama untuk hidup memisahkan diri dari hal-hal yang duniawi, termasuk dari produk hasil kemajuan teknologi. Dalam rangka askese rohani dan mengarahkan hati kepada kehendak Ilahi, manusia beragama hidup terpisah dari dunia.
Namun, pemisahan ini sudah tidak dapat lagi dilakukan terutama di tengah era computer-mediated information society, di mana kehidupan manusia telah termediasi oleh jaringan digital komputer. Perjumpaan manusia dengan Sang Khalik pun dapat dilakukan di ruang virtual, dalam koneksi jaringan mesin komputer. Bahasa program yang terdiri dari algoritma rumit yang membentuk program dalam komputer pun saat ini juga diadaptasi menjadi bahasa teologia, di mana Sang Pencipta dapat bersabda di dalamnya. Agama menggunakan internet sebagai medium bagi pemberitaan sabda Ilahi sehingga mampu menjangkau sebanyak mungkin orang, baik yang sudah percaya ataupun yang belum percaya. Sebaliknya, internet menghidupi dan mengasuh agama di dalamnya demi akseptabilitas yang lebih luas di tengah dunia yang sebagian besarnya masih menghidupi agama dalam kehidupan masyarakatnya.
(51)
Lorne Dawson, salah satu peneliti mula-mula tentang internet dan agama mengatakan bahwa masuknya agama ke dalam medium internet adalah paralel dengan terhisabnya agama ke dalam media informasi lainnya, yaitu mengudaranya siaran keagamaan di radio dan tele-evangelisasi. Semuanya membentuk rangkaian tak terputus bagaimana agama selalu berelasi dengan media elektronik. Agama tidak ingin meninggalkan media elektronik sebagai sarana ekspansi dan menjangkau umat. Sebaliknya, salah satu fungsi media elektronik sebagai media syiar agama membuat media dapat diterima dan digunakan oleh semua orang di semua tempat. Media seolah dibaptis menjadi media suci.
Ketika berselancar di dunia internet, pengguna internet tentu akan menemukan ribuan bahkan jutaan situs, forum, dan pembicaraan di chat room yang terkait dengan agama. Hampir semua aliran keagamaan mencatatkan namanya di dalam mesin jaringan internet, baik itu agama-agama besar maupun agama-agama lokal yang jumlah umatnya hanya sedikit. Berbagai denominasi dari masing-masing agama pun ikut mencatatkan diri. Misalnya, terkait sejarah panjang kekristenan, pengguna internet dapat menemukan banyak hal tentang sejarah dan ajaran dari Katolik Roma, juga ihwal kemunculan Protestantisme di dalam kekristenan, serta ajaran Kristen Pentakostal Karismatik yang menekankan kepada manifestasi kuasa Roh Kudus dalam kehidupan rohani umat.
Hadirnya internet membuat setiap orang dapat menemukan segala hal dalam satu ketukan jari, termasuk agama dan kepercayaan. Mulai dari agama samawi-monoteistik seperti Yahudi, Kristen, dan Islam, sampai kepada agama politeistik layaknya Hindu dan agama-agama suku. Kita dapat menemukan informasi mengenai sejarah terbentuknya agama, termasuk para pendiri dan
(52)
pembawa beserta perkembangannya dari awal hingga saat ini.10 Selain itu, ada pula situs-situs di dalam internet yang dikelola langsung oleh aliran keagamaan tertentu dan memuat informasi spesifik seputar doktrin dan ajaran dari aliran tersebut. Misalnya saja, situs www.vatican.va yang memuat informasi tentang sejarah, ajaran dan doktrin, serta struktur kepemimpinan dari Gereja Katolik Roma. Situs ini merupakan situs resmi Gereja Katolik Roma dan dikelola langsung oleh tahta suci Vatikan. Di Indonesia, ada sebuah situs www.ahlulbaitindonesia.org yang merupakan situs yang berisi informasi tentang aliran Islam Syiah dan perkembangannya di Indonesia. Walau kerap mendapatkan stigma negatif, cap sesat oleh berbagai kalangan muslim, bahkan menjadi korban konflik horizontal di berbagai daerah, tetapi mereka mempertahankan eksistensi mereka di dunia maya dan menggunakannya sebagai corong politik mereka. Masih banyak lagi situs lainnya yang berisi hal serupa yang dimiliki atau berafiliasi kepada satu kelompok agama tertentu.
Perkembangan teknologi media dan informasi secara gradual dan masif membuat agama juga ikut menyesuaikan diri terhadap trend teknologi ini. Menurut Carolyn Marvin, setiap kali terjadi perubahan pada peralatan komunikasi juga mengakibatkan perubahan besar dalam sistem sosial masyarakat, termasuk agama.11 Perubahan ini terkait cara orang memandang dirinya dan masyarakat. Contohnya, perubahan dan pergeseran dari budaya komunikasi oral ke budaya tulisan, lalu kemudian ke budaya komunikasi percetakan, dan kemudian ke
10Ada beberapa situs di internet yang sifatnya menyajikan informasi, seperti
www.wikipedia.com dan www.religionfacts.com. Selain itu, ada juga beberapa situs pencari yang dapat membantu para pengguna untuk menemukan informasi seputar agama-agama dan
kepercayaan di seluruh dunia, seperti www.google.com dan www.yahoo.com.
11Carolyn Marvin, ”When Old Technologies Were New: Implementing the Future”, dalam Hugh Mackay & Tim O’Suliivan (eds), The Media Reader: Continuity and Transformation,
(1)
105 bahkan masih melakukan negosiasi terkait kehadiran internet di dalam gereja. Demikian pula dalam tubuh gereja-gereja Protestan Arus Utama yang menerima kehadiran internet dalam kehidupan gereja tetapi di sisi lain juga terlihat enggan untuk mengembangkan dan mengiplementasikan teknologi ini dengan baik di setiap gereja.
Lorne L. Dawson, dalam artikelnya di tahun 2004 tentang prospek penelitian tentang agama dan internet, mengatakan bahwa ranah ini merupakan ranah penelitian yang masih ’bayi’ usianya, sehingga masih menyisakan banyak wilayah dan aspek untuk dikaji. Selain itu, menurutnya penelitian pun harus lebih spesifik dengan menggunakan metode studi kasus yang akan melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang partikuler. Tema yang sama dalam kasus yang berbeda akan membutuhkan teori dan cara pandang yang berbeda.
Di dalam konteks Indonesia sendiri, agama masih terus bergerak bangkit, entah bergerak dari kutub tradisional esensialis ke posisi liberal inklusif atau sebaliknya, sehingga fenomena-fenomena keagamaan akan terus bermunculan dalam berbagai varian. Gairah terhadap agama ini pun diimbangi dengan perkembangan teknologi internet dan komputerisasi yang semakin pesat. Kiranya hal ini memberi janji bagi para peneliti bahwa masih banyak hal yang dapat mereka teliti, dan juga bagi para pegiat teknologi internet dan gereja untuk memikirkan sebuah model teknologi berbasis internet yang dapat dihidupkan di dalam gereja tanpa mengesampingkan esensi persekutuan intim antara Sang Pencipta dengan umatnya, juga antara umat dengan umat. Atau juga memikirkan sebuah model persekutuan (gereja) yang tepat dan dapat hidup di dalam dunia internet yang menjunjung tinggi kebebasan. Mungkin saja gereja di dalam
(2)
106 dan menjadi subversi baru dalam kekristenan di Indonesia. Jikalau memang itu muncul, maka akan sangat menarik menantikan jawaban gereja-gereja terhadap kemunculannya.
(3)
107 DAFTAR PUSTAKA
Antes, Peter, Armin W. Geertz & Randi R. Warne (ed.). 2004. New Approaches to The Study of Religion, Volume 1: Regional, Critical and Historical Approaches. New York: Walter de Gruyter.
Armstrong, Ben. 1979. The Electric Church. Nashville: T. Nielsen.
Asamoah-Gyadu, J. Kwabena. 2007. ”Cyberspace and Christianity in Contemporary Africa” dalam Studies in World Christianity. Volume 13.3.
Aupers, Stef & Houtman, 2005. Dick ”Reality Sucks’: On Alienation and Cybergnosis” dalam Concilium, No. I.
Barker, Chris. 2008. Cultural Studies: Theory & Practice. London: SAGE Publications. Baudrillard, Jean. ”Simulacra and Simulations”, dalam Poster, Mark (ed.). 1988. Jean
Baudrillard, Selected Writings. Stanford: Stanford University Press
Cobb, Kelton. 2005. The Blackwell Guide to Theology and Popular Culture. Oxford: Blackwell Publishing.
Dale, Edgar. 1969. Audiovisual Methods in Teaching: Third Edition. New York: The Dryden Press.
Dawson , Lorne L. & Cowan, Douglas E. 2004. Religion Online: Finding Faith on The Internet. New York: Routledge.
Dhavamony, Mariasusai. 1995. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius. Diktat Mata Kuliah Fenomenologi Religi IRB 2010
Durkheim, Emile. 1954. Elementary Forms of Religious Life. London: Allen & Unwin. Ellul, Jacques. 1985. The Humiliation of The Word. Grand Rapids: Eerdmans.
(4)
108 Giddens, Anthoby. 1991. Modernity and Self Identity. Self and Society in The Late
Modern Age. Stanford: Stanford University Press.
Hardjana, Agus M. 2005. Religiositas, Agama, dan Spiritualitas. Yogyakarta: Kanisius. Hoover, Stewart. 1999. Mass Media Religion: The Social Sources of The Electronic
Church. New York: Columbia University Press.
Kelsey, Todd. 2010. Social Networking Spaces: From Facebook to Twitter and Everything in Between. New York: Apress.
Kim, Kirsteen. 2007. ”Ethereal Christianity: Reading Korean Mega-Church Websites”, dalam Studies in World Christianity Volume 13.3.
Marvin, Carolyn. ”When Old Technologies Were New: Implementing the Future”, dalam Mackay, Hugh & O’Suliivan, Tim (eds). 2000. The Media Reader: Continuity and Transformation. London: Sage Publications.
Mitchell, Nathan D. ’Ritual and the New Media’ dalam Concilium 2005/1.
Moedjanto, G. & St. Sunardi, “Religiositas Kaum Beriman di Indonesia” dalam Basis XLIV: No. 6. tahun 1995.
Muggeridge, Malcolm. 1977. Christ and Media. London: Hodder and Stoughton.
Poe, Marshall T. 2011. A History of Communications. New York: Cambridge University Press.
Purbo, Onno W. ”Perkembangan Teknologi Informasi dan Internet di Indonesia” dalam Leksono, Ninok (ed.), 2000. Indonesia abad XXI. Jakarta: Kompas.
Sembiring, Norita Novalina. 2010. Menggereja Dalam Masyarakat Konsumsi: Studi Atas Pengalaman Orang Beribadah di Gereja Mal. Tesis: Universitas Sanata Dharma.
(5)
109 Supelli, Karlina. “Ruang Publik Dunia Maya” dalam Hardiman, F. Budi (ed.). 2010.
Ruang Publik. Yogyakarta: Kanisius.
Susanto, Hary PS. 1987. Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade, Yogyakarta: Kanisius.
Teori Agama Emile Durkheim, Diktat Mata Kuliah Fenomenologi Religi.
Widyarsono, A. 1997. ”Masyarakat Teknologi Modern dan Gereja”, Rohani, 044: 000. Yogyakarta: November.
Wilfred, Felix. 2006. “Religion and Theology in Information Society”, dalam Jeevadhara Vol. XXXVI / 21.
Situs:
http://submarine-cable-map-2013.telegeography.com/ http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Internet
http://www.internetworldstats.com/stats.htm
http://opensource.telkomspeedy.com/wiki/index.php/UNINET:_An_Inter-University_Computer_Network
http://www.technologyreview.com/view/526111/how-the-internet-is-taking-away-americas-religion/
http://arxiv.org/abs/1403.5534.
https://twitter.com/JeffreyRachmat/followers http://www.jpcc.org/
(6)
110 http://id.wikipedia.org/wiki/Media_sosial
http://www.internetworldstats.com/facebook.htm http://newsroom.fb.com/company-info/
https://about.twitter.com/company
https://www.facebook.com/help/174987089221178 http://id.wikipedia.org/wiki/Twitter
http://www.youtube.com/yt/press/id/statistics.html
http://www.pewinternet.org/data-trend/mobile/cell-phone-and-smartphone-ownership-demographics/
Wawancara:
- Wawancara dengan Pendeta Robertus Purwadi, 28 Februari 2012.
- Wawancara dengan Bapak Louwrix Simanjuntak yang merupakan pemimpin divisi IT & Design GBI Glow FC.