Tujuan Penelitian Pentingnya Penelitian Tinjauan Pustaka

9 kehidupan bergereja? Bagaimana internet yang mulanya adalah media informasi yang dianggap sekular, bergeser dan ”ditahbis” menjadi media religius? Apakah ada hubungan budaya konsumsi dengan hal ini? Ketiga, religiositas seperti apa yang terbangun dalam gereja yang mengaplikasikan teknologi dengan begitu masifnya? Pertanyaan ini hendak melihat religiositas yang terbentuk melalui realitas penggunaan internet di kalangan jemaat dan gereja-gereja perkotaan. Apakah internet membentuk religiositas baru yang mengagungkan teknologi sebagai sebuah medium baru untuk berjumpa dengan Tuhan. Apakah gereja modern dapat bertahan tanpa internet ? Atau justru pengguna internet tidak lagi membutuhkan gereja karena internet telah “ditahbis” menjadi ruang persekutuan dan beribadah yang baru?

3. Tujuan Penelitian

Dengan melihat gambaran permasalahan di atas maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mendeskripsikan proses terbentuknya realitas ibadah di dalam media. 2. Mengungkapkan ideologi-ideologi yang terkandung dalam penggunaan internet di dalam kehidupan bergereja. 3. Melihat perkembangan religiositas baru di dalam kekristenan modern.

4. Pentingnya Penelitian

Penelitian tentang media digital dan realitas ibadah ini dapat menjadi sebuah diskursus baru di dalam kajian media dan religi. Media elektronik dan teknologi informasi saat ini secara tidak disadari telah menjadi penopang 10 kehidupan masyarakat modern dan masuk sampai ke wilayah yang paling privat, yaitu agama dan keyakinan. Diharapkan penelitian ini dapat memperlihatkan sebuah realitas baru, yaitu beragama di dalam media, kedua hal yang pada prinsipnya berseberangan namun akhirnya dikombinasikan dan menghasilkan suatu perspektif baru dalam memahami religiositas manusia saat ini. Penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi orang-orang Kristen saat ini, bagaimana kehadiran gereja tidak lagi dimaknai dalam bentuk persekutuan di suatu tempat, tetapi dalam bentuk persekutuan virtual di mana aspek kehadiran digantikan oleh representasi media informasi. Media pun akhirnya menjadi ruang ibadah itu sendiri. Penelitian ini juga hendaknya menjadi sarana bagi penulis yang ingin semakin mendalami perjumpaan gereja dengan budaya populer. Penulis yakin bahwa penelitian ini menjadi pintu masuk bagi penulis untuk melakukan penelitian-penelitian selanjutnya. Berbekal kemampuan menganalisis dengan menggunakan pisau kajian budaya, penulis juga ingin menyumbang suatu pemikiran baru bagi kajian budaya di Indonesia yang sampai dengan saat ini masih terus berkembang dan mencari bentuk yang tepat di tengah arus keilmuan lainnya.

5. Tinjauan Pustaka

Beberapa buku dapat membantu penulis dalam membangun teori. Pertama, karya dari sosiolog Perancis, Jacques Ellul, The Humiliation of The Word , yang percaya bahwa dominasi visual televisi menciptakan korosi bagi religiositas 11 manusia. 3 Di matanya, adalah sebuah bencana bagi gereja untuk menjiplak dan mengikuti teknik pencitraan budaya seperti yang dilakukan oleh televisi. Baginya gereja tidak boleh menciptakan program televisi, karena dapat menghancurkan dirinya, fondasi dan isi darinya. Akan tetapi, Ellul terjebak pada esensialisme teologi Kristen a la Karl Barth, yang melihat bahwa Firman adalah pusat dari iman Kristen dan memiliki makna yang tetap dan tidak dapat berubah sehingga mediasi Firman melalui media dianggap sebagai korosi bagi pesan Ilahi dalam Firman itu sendiri. Karya berikutnya adalah karya Malcolm Muggeridge, Christ and Media , yang melihat perjumpaan antara orang Kristen dengan media. 4 Menurutnya, media dapat menciptakan suatu realitas palsu yang membuat pemirsa semakin jauh dari realitas yang sesungguhnya. Media bahkan menciptakan fantasi baru tentang Kristus yang berbeda dengan Kristus di dalam dogmatika arus utama kekristenan. Muggeridge mengambil sikap resisten terhadap perjumpaan media dengan kekristenan. Baginya media dapat menjadi sarana destruksi bagi agama. Pandangan Ellul dan Muggeridge ini sesungguhnya mencerminkan pandangan awal ketika media elektronik dengan segala kelebihannya mulai menginvasi kehidupan religius. Muncul kecurigaan, terutama yang muncul dari kalangan rohaniwan, bahwa media dapat menjadi penghancur dari sakralitas agama. Dengan kebebasan yang dimiliki, mereka berpendapat bahwa agama dan kepercayaan dapat dengan mudah disalah-artikan oleh para pemirsa yang menyaksikan tayangan. Bukan tidak mungkin, akan ada terjemahan baru 3 Jacques Ellul, The Humiliation of The Word Grand Rapids: Eerdmans, 1985 4 Malcolm Muggeridge, Christ and Media London: Hodder and Stoughton, 1977. 12 Di tahun 1990-an, para peneliti media dan religi, menjadi semakin terbuka dan bersikap lebih apresiatif terhadap perjumpaan media dan agama. Ben Armstrong di dalam bukunya, The Electric Church , mengatakan bahwa teknologi mutakhir di dalam dunia penyiaran adalah sebuah mujizat di abad modern. 5 Media elektronik telah menghancurkan tembok-tembok tradisi dan denominasi, serta mengembalikan kondisi gereja saat ini kepada kondisi gereja mula-mula yang sederhana dan terbuka bagi semua orang. Stewart Hoover di dalam bukunya, Mass Media Religion: The Social Sources of The Electronic Church , mengatakan bahwa media massa menjadi alat sempurna bagi penginjilan. Prinsip-prinsip utama gereja, yaitu terbuka dan dapat diakses oleh semua orang menjadi dasar bagi perkembangan gereja elektronik melalui televisi. 6 Televisi adalah sebuah anugerah dari Tuhan yang harus digunakan untuk menyebarkan kabar baik ke seluruh penjuru dunia. Mereka percaya bahwa nilai-nilai yang dianut oleh penyiaran komersial tidak bertentangan dengan nilai-nilai kekristenan. Pada tahun 2000 awal, sebuah buku yang disunting oleh Lorne L. Dawson dan Douglas E. Cowan, Religion Online: Finding Faith on The Internet 7 , menunjukkan bagaimana internet telah mengubah wajah agama-agama dunia. Internet , yang digunakan secara masif di hampir seluruh penjuru dunia, telah mendorong adanya bentuk-bentuk baru beragama. Cyberspace pun dimaknai sebagai sacredspace , tempat di mana Yang Mahakudus berdiam dan membuka diri untuk ditemukan oleh manusia. 5 Ben Armstrong, The Electric Church Nashville: T. Nielsen, 1979 6 Stewart Hoover, Mass Media Religion: The Social Sources of The Electronic Church New York: Columbia University Press,1999 7 Lorne L. Dawson Douglas E. Cowan, Religion Online: Finding Faith on The Internet New York: Routledge, 2004 13 Dalam sebuah tulisannya, Idy Subandy Ibrahim menulis tentang berkembangnya ruang virtual atau cyberspace . Kemunculannya memberi pengaruh dalam segala aspek kehidupan manusia, termasuk pengalaman beragama. Muncul kemudian cyberreligion dimana mereka dapat menjadi orang yang akan Di akhir penelitiannya, ia mempertanyakan akankah cyberreligion ini menggantikan realreligion dalam ruang internet yang telah menjadi ruang alternatif dalam peradaban manusia. Karya-karya dan tulisan di atas dapat menjadi titik berangkat yang membuka pengetahuan penulis tentang perjumpaan media dan agama. Akan tetapi, penulis melihat bahwa mereka semua terjebak pada pola pikir teologis, dan tidak melakukan pendekatan fenomenologis. Misalnya saja, mereka terbentur pada masalah otoritas bahwa Kristus hanya dapat disampaikan oleh gereja yang dipahami secara normatif dan bukan oleh gereja yang telah masuk ke dalam media. Pembelaan yang dilakukan oleh para ahli yang lebih kemudian pun seolah- olah hanya menjadi apologi bagi perjumpaan media dan agama yang memang saat ini tak terhindarkan lagi.

6. Kerangka Teori