43
ratusan
follower
.
Tweet
nya pun hampir selalu berisi kata-kata khas yang menunjukkan identitas dirinya sebagai seorang pemimpin umat. Selain itu, Jeffrey
Rachmat pun mengikuti 196 akun Twitter lain yang semuanya terdiri dari para pendeta lainnya dan orang-orang yang berpengaruh bagi gereja, baik dari dalam
maupun luar negeri, dan secara aktif me-
retweet
kembali
tweet
mereka. Penulis juga bercakap-cakap dengan seorang anggota jemaat dari gereja
lain yang di gerejanya juga menggunakan
internet
sebagai sarana dalam persekutuannya. Ia mengatakan,
”
Zaman sekarang ini sudah canggih, sehingga gereja juga harusnya mengikuti kecanggihan teknologi, misalnya menggunakan
internet dan aktif di media sosial. Gereja yang gak aktif di dunia internet biasanya akan sepi dan ditinggal oleh anak-anak mudanya.
” Postulat seperti ini
berangkat dari kenyataan bahwa banyak gereja yang tidak atau belum mengaplikasikan teknologi informasi kehilangan banyak kaum muda yang
akhirnya bermigrasi ke gereja lain yang lebih maju dalam pengaplikasian teknologi.
4. Pentakosta Kharismatik: Lahan Subur Penggunaan
Internet
Dalam penelitian ini, penulis menemukan bahwa kebanyakan gereja yang melek dan mengaplikasikan teknologi informasi seperti
internet
adalah gereja- gereja beraliran Pentakostal Karismatik. Gereja-gereja ini saat ini berkembang
secara cukup signifikan. Hampir di setiap sudut Jakarta, gereja ini dapat ditemukan, entah itu menggunakan bangunan resmi yang diperuntukkan bagi
update tentang segala aktivitas yang dilakukan oleh akun Twitter yang diikuti, salah satunya
unggahan status.
44
sarana peribadahan, atau menggunakan fasilitas lainnya seperti ruko, rukan, bahkan ruang pertemuan
ballroom
di hotel dan pusat perbelanjaan
mall
. Gereja-gereja ini awalnya bermunculan di Amerika Serikat pada awal abad
ke-20 sebagai respon atas terjadinya kejumudan spiritualitas saat itu. Gereja- gereja saat itu terkungkung dalam aturan-aturan dogmatis yang mengikat dan
membuat jemaatnya tidak lagi mampu merasakan ’jamahan Tuhan’. Rasionalitas
dan logika modernitas dalam geliat
industrialisme
saat itu ternyata tidak dapat menjawab pertanyaan tentang kebutuhan paling esensi manusia,
”jikalau semuanya bisa dijelaskan dengan logika, bagaimana manusia menjelaskan
penderitaan dan ketidak- bahagiaannya yang masih eksis sampai dengan saat ini?”
Religiositas pun beralih, dari otoritas eksternal yang berasal dari luar manusia ritual dan hukum gereja, menjadi inspirasi internal yang mengobarkan semangat
inner-spirituality
di dalam diri manusia. Ritual-ritual dalam gereja yang dirasakan membosankan, tak rasional dan tak mampu
”menghadirkan hadirat Tuhan”, kemudian digantikan dengan pengalaman spiritual, yaitu perjumpaan pribadi
dengan Tuhan dalam karya Roh Kudus. Penekanan kepada Roh Kudus sebagai suatu hal yang menggerakkan,
dinamis, dan tidak terkungkung, rupanya menjadi modal dan dasar bagi penerapan teknologi di gereja-gereja ini. Mereka menolak untuk tidak mendayagunakan
semua bentuk teknologi terbaru. Bagi mereka, gereja tidak dapat dibatasi dalam ritualisme dan aturan-aturan yang kaku, yang bahkan melarang gereja untuk
bersentuhan dengan segala jenis teknologi. Sistem pemerintahan gereja yang
’absolut’ juga turut andil dalam bagaimana gereja mengadaptasi teknologi informasi. Gembala sidang adalah satu-
45
satunya pemimpin mutlak di gereja. Ia adalah ’pemilik’ gereja, karena ia adalah
orang yang merintis dan membangun suatu gereja dari awal. Ia dipercaya memiliki visi dan misi bagi gereja yang tentu berasal dari Tuhan. Jika sang
gembala sidang memiliki visi dan misi tentang gereja yang dilengkapi teknologi informasi yang paling mutakhir, maka hal itu yang akan dilakukan dan
diupayakan oleh gereja itu. Sebuah penelitian menarik dilakukan oleh J. Kwabena Asamoah-Gyadu
tentang bagaimana
internet
digunakan oleh kekristenan di Afrika. Salah satu poin yang ditekankan olehnya tentang gereja-gereja Pentakostal-Karismatik yang
menggunakan teknologi
internet
dengan masif bahwa dalam pemahaman teologis, gereja-gereja ini berusaha
’membaptis’ teknologi ini menjadi alat Tuhan, setelah sebelumnya digunakan iblis untuk mencelakakan manusia.
Internet
bahkan dianggap sebagai arena virtual dari peperangan rohani antara Tuhan dan iblis,
sehingga memuat konten yang berbau firman Tuhan dapat menyuci bersih pengaruh iblis.
17
Hal-hal simbolik dikotomis antara hitam dan putih seperti ini sengaja diciptakan sebagai legitimasi terhadap penggunaan
internet
oleh gereja dan kekristenan pada umumnya. Dunia yang mengandalkan teknologi, harus
’ditaklukkan’ dengan mengandalkan teknologi pula. Rasanya memang masih terlalu prematur bagi penulis untuk
menyimpulkan bahwa hanya gereja Pentakostal Karismatik yang melek teknologi informasi dan mendayagunakan
internet
secara luar biasa dalam persekutuannya. Walaupun begitu, menurut pengamatan penulis memang cukup banyak gereja-
gereja arus utama di dalam Protestantisme yang tidak begitu mengembangkan diri
17
J. Kwabena Asamoah-Gyadu, ”Cyberspace and Christianity in Contemporary Africa”
dalam Studies in World Christianity Volume 13 .3, 2007, hlm. 228-229.
46
dalam hal teknologi informasi. Pengaruh kuantitas warga jemaat dan lokasi gereja juga mempengaruhi adaptasi teknologi informasi di dalam suatu gereja. Gereja
yang anggota jemaatnya sangat banyak, menempati ruangan yang megah, dan berlokasi di kota besar biasanya lebih peduli akan penggunaan teknologi
internet
. Tanpa bermaksud mendikotomikan bahwa gereja besar lebih melek teknologi
informasi daripada gereja kecil, kecenderungan yang terjadi adalah gereja dengan teknologi informasi yang lebih baik adalah
megachurch
, yaitu gereja yang beranggotakan ribuan orang dan menempati ruangan yang angat megah.
5. Kesimpulan