Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

Kongres keenam di Makassar jumlah cabang bertambah menjadi 23. Lonjakan jumlah cabang meroket saat kongres HMI ketujuh di Jakarta yakni menjadi 42 cabang. 7 Jumlah Cabang HMI meningkat menjadi 90 cabang saat kongres Solo pada tahun 1966. 8 Dari segi kuantitas cabang, periode 1963-1966 menunjukkan kenaikan yang signifikan. Agussalim Sitompul mencatat fase-fase sejarah HMI, yakni: pertama, fase pengukuhan, 5 Februari – 30 November 1947, yaitu ketika hadirnya HMI memperoleh reaksi dari berbagai pihak, namun dapat diatasi dengan baik. Kedua, Perjuangan Besenjata fisik 1947-1949. Ketiga, fase pertumbuhan dan pembangunan HMI 1950 – 1963. Pada fase pembangunan ini HMI berkembang cukup pesat. Terjadi perkembangan di dalam tujuan HMI termaktub dalam konstitusi yang berbunyi “Ikut mengusahakan terbentuknya manusia akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam.” Perkembangan tujuan ini disahkan dalam kongres ke-4 HMI di Bandung pada 15 Oktober 1955. Selain itu, tercatat terdapat 41 jumlah cabang yang mengikuti kongres ke-7 tahun 1963 di Jakarta ini. 9 Keempat, fase tantangan I 1963 – 1965. Kelima, fase kebangkitan HMI sebagai pelopor Orde Baru dan Angkatan 1966, 1966-1968. Dan keenam, fase Pembangunan 1969 – 1970. 10 Pada fase tantangan I, HMI menghadapi upaya pembubaran oleh Partai Komunis Indonesia PKI yang dihadapi HMI dengan strategi PKI Pengamanan, Konsolidasi, dan Integrasi. Di zaman Orde Baru 7 Pada kongres tersebut HMI komisariat Ciputat yang tadinya berada di bawah Cabang Jakarta Raya sudah menjadi Cabang sendiri. 8 M. Alfan Alfian, HMI 1963-1966; Menegakkan Pancasila di Tengah Prahara, Jakarta: Kompas Media Nusantara 2013 h. 1 9 Op.Cit, h.118, 131 10 Agussalim Sitompul, Historiografi Himpunan Mahasiswa Islam tahun 1947-1993, Jakarta: Intermasa, 1995 h. 158-162 1966 – 1998, zaman ini dibagi ke dalam fase kebangkitan HMI sebagai pejuang Orde Baru dan pelopor kebangkitan angkatan 66 1966 – 1968, fase partisipasi HMI dalam pembangunan 1969 – 2010, dan fase pergolakan dan pembaruan pemikiran 1970-1998 yang ”gong”-nya dilakukan Nurcholish Madjid Ketua Umum PB HMI ketika itu dengan menyampaikan pidatonya dengan topik ”Keharusan Pembaruan Pemikiran dalam Islam dan Masalah Integrasi Umat” tahun 1970 di Taman Ismail Marzuki. Pada zaman Reformasi 1998 – 2014. Zaman ini dibagi dalam fase reformasi 1998 – 2000 dan fase tantangan II 2000 – 2014. Dalam fase tantangan II HMI dituntut dapat terus eksis meskipun alumninya banyak tertimpa musibah dan HMI digerogoti berbagai macam permasalahan termasuk konflik internal yang ditingkat PB HMI sempat menimbulkan dua kali dualisme kepemimpinan. Seiring dengan berjalannya waktu HMI menjadi organisasi mahasiswa yang besar. Dengan banyaknya cabang di seluruh Indonesia, jumlah kader dan alumni HMI yang tersebar di segala profesi, baik di lingkungan pemerintahan ataupun juga di tengah-tengah masyarakat, menjadi bukti sahih eksistensi HMI hingga saat ini sebagai organisasi mahasiswa terbesar dan tertua di Indonesia. HMI organisasi mahasiswa Islam yang di dalamnya terdapat pola pelatihanpendidikan yang nantinya akan membentuk karakter mahasiswa Islam yang akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam, bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT sesuai dengan yang tercantum dalam Anggaran Dasar, Bab III pasal 4 Tujuan HMI. 11 Dengan jenjang perkaderan yang semakin sistematis dan terorganisir, seperti 11 Badridduja, Sirajudin Arridho Modul Latihan Kader 1, Basic Training HMI Cabang Ciputat, Ciputat: HMI Cab.Ciputat, 2011 h. 29 tahap pertama setelah perekruitan adalah Maperca Masa Perkenalan Calon Anggota Baru, yang kemudian dilanjutkan dengan basic training Latihan Kader 1, Intermmadiate Training Latihan Kader 2, dan Advance Training Latihan Kader 3, diharapkan alumni-alumni HMI ini dapat menjalankan tugas, pokok dan fungsinya di masyarakat luas ataupun untuk nusa bangsa dan agamanya. HMI masih dapat eksis, survive dan yang lebih penting lagi masih sangat berpengaruh dalam kehidupan sosial – politik di Indonesia ini. Semua itu tidak lepas dari perjuangan para kader HMI pada setiap zamannya yang mampu menjalankan dan memainkan peran dalam dinamika sosial – politik di Indonesia yang diwarnai dengan kompetisi politik dan ideologi yang kental. Kemudian juga posisi HMI yang merupakan organisasi mahasiswa yang bersifat independen, tetap dihitung sebagai kekuatan sosial – politik yang penting. 12 Para pemimpin HMI juga melakukan tugas dan fungsinya dalam mengelola organisasi HMI yang juga mengalami pertumbuhan yang pesat secara nasional. Kemudian juga HMI mampu merespon dan berpengaruh dalam dunia kemahasiswaan di kampus-kampus, hubungan HMI dengan politik elite-elite birokrasi, hubungan dengan para tokoh organisasi kemahasiswaan serta organisasi sosial kemasyarakatan lainnya dan juga hubungan dan pengaruh HMI di internal umat Islam dan segmen kebangsaan lainnya. Yang paling penting adalah karakter independensi HMI yang dihadapkan pada hiruk-pikuk kompetisi ideologi politik, khususnya dalam menghadapi kekuatan politik komunis. Dalam sejarah HMI yang begitu panjang dengan faktor-faktor yang telah dijelaskan di 12 M. Alfan Alfian, Ibid, h. 22 atas membuat HMI masih survive dan menjadi organisasi mahasiswa tertua dan terbesar se-Indonesia. HMI sepanjang sejarahnya memiliki tradisi intelektual untuk menjaga kualitas kadernya ataupun dalam proses perkaderan itu sendiri. Sehingga kemampuan intelektual kader HMI tetap terjaga, sebagai usaha menjaga proses terbentuknya manusia Akademis, Pencipta, Pengabdi yang bernafaskan Islam, 13 yang disahkan dalam kongres ke-4 HMI di Bandung yang menjadi formulasi dan sampai saat ini menjadi jiwa dari tujuan HMI. Berbicara tentang tradisi intelektual di HMI tidak bisa kita pungkiri Nurcholish Madjid yang kemudian secara akrab dipanggil Cak Nur menjadi salah satu tokoh yang paling berperan dalam mengembangkan tradisi intelektual tersebut baik di HMI tingkat Nasional ataupun yang lebih khususnya pada HMI Cabang Ciputat. Dengan pemikiran pembaharuannya, Cak Nur berhasil mengubah paradigma umat Islam di Indonesia dari kejumudan yang melandanya. Umat Islam hanya berorientasi pada fiqh saja, seakan-akan Islam hanya fiqh sebagai ajaran utamanya. Saling berdebat yang tidak membawa banyak manfaat bagi umat Islam di Indonesia. Meskipun banyak yang menentangnya namun lambat laun berhasil mengubah paradigma yang kolot dan jumud tersebut. Dengan kemampuan intelektualnya tersebut, Cak Nur mencoba membentuk suatu tradisi intelektual, diawali dari kawan-kawan HMI Cabang Ciputat sampai membentuk sebuah komunitas intelektual di HMI Cabang Ciputat yang saat ini berhasil membentuk tokoh-tokoh tingkat Nasional ataupun Internasional, dari tradisi intelektual yang ditumbuh kembangkan dan ditularkan oleh Nurcholish Madjid. 13 Agus Salim Sitompul, Op. Cit, h.118 HMI Cabang Ciputat berdiri diawali sebuah komisariat Ciputat yang berinduk pada HMI Cabang Jakarta Raya pada tahun 1960. Dengan AM Fatwa, yang memiliki inisiatif untuk mendirikan HMI di Ciputat. Bersama teman- temannya Abu Bakar, Salim Umar, dan Komaruddin bersepakat untuk memilih Abu Bakar sebagai ketua umum HMI komisariat Ciputat. Empat serangkai ini yang dengan semangat merekruit anggota-anggota baru HMI, sehingga pada tahun berikutnya. Setelah banyak anggota yang mengikuti MAPRAM 14 yaitu Masa Perkenalan Anggota HMI Cabang Jakarta Raya, maka pada tahun berikutnya status HMI komisariat Ciputat ditingkatkan menjadi HMI Cabang Ciputat dan dilantik oleh Ismail Hasan Metareum alm sebagai Ketua Umum HMI PB. 15 HMI Cabang Ciputat berdiri pada akhir rezim Orde Lama yang sangat kental dengan politik ideologi. Islam, Komunis dan Nasionalis menjadi ideologi yang sangat kuat di rezim Orde Lama tersebut. Dari politik aliran yang kental saat itu, sepertinya gesekan yang sangat terlihat terjadi antara Islam dan Komunis. Dengan propaganda yang dilancarkan oleh PKI Partai Komunis Indonesia dan organisasi—organisasi underbouw yang sangat gencar untuk membubarkan HMI. Isu yang diangkat dalam propaganda tersebut adalah HMI adalah organisasi underbouw dari Masyumi 16 , HMI Anti Manipol Usdek, dan kontra revolusi. PB HMI dengan segala upayanya mendekatkan diri dengan pemerintah yang dikenal “adaptasi nasional” dengan tujuan agar HMI tidak jadi dibubarkan, ternyata 14 Saat itu MAPRAM adalah pelatihan awal untuk menjadi anggota HMI dan hanya bisa dilakukan oleh lembaga setingkat Cabang saja. Lihat Moh. Salim Umar, Kenangan Indah di Ciputat, dalam Membingkai Perkaderan Intelektual, Setengah Abad HMI Cabang Ciputat, ed. Rusydy Zakaria dkk, Ciputat: HMI Cabang Ciputat, Presidium KAHMI Ciputat, UIN Jakarta Press AM FATWA CENTER 2012, h. 24-25. 15 AM Fatwa, Op.Cit, h. 7 16 Masyumi adalah partai Islam pertama setelah Indonesia merdeka. Masyumi menjadi partai terlarang akibat propaganda yang dilakukan oleh PKI, sehingga Masyumi akhirnya dibubarkan. usaha-usaha yang dilakukan oleh PB HMI menuai kecaman dari banyak Cabang di Indonesia. karena PB HMI dianggap “menjilat” pemerintah. Dalam kondisi politik yang tidak stabil ini HMI Cabang Ciputat berdiri. Secara otomatis selain melaksanakan perkaderan aktivitas kader HMI Cabang Ciputat saat itu tentu dengan aktivitas politik seperti demonstrasi. Tetapi, menariknya HMI Cabang Ciputat saat dipimpin oleh Cak Nur malah lebih mengembangkan kemampuan intelektual. Dan tradisi intelektual yang dibangun oleh Cak Nur ini menginspirasi dan memotivasi kader-kader dibawahnya untuk meneruskannya. Ini yang membuat saya tertarik menulis tentang HMI Cabang Ciputat karena dengan sejarah panjang dan besarnya dapat melahirkan tokoh-tokoh yang luar- biasa dalam pemikiran, menghasilkan banyak teknokrat, politisi, dan para pemikir. Ini menarik dibahas karena tradisi intelektual yang dibuat Cak Nur tersebut membuahkan hasil. Untuk itu tulisan ini berjudul “Tradisi Intelektual HMI Cabang Ciputat 1960-1998”

B. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

HMI merupakan organisasi mahasiswa yang berorientasi kepada nilai-nilai ke-Islaman, kemudian kader–kader HMI adalah mahasiswa IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang sesuai tujuannya didirikannya “untuk menciptakan tenaga professional di lingkungan Departemen Agama” sebagian besar dari mahasiswanya adalah Pendidikan Guru Agama. Tetapi dalam realitasnya kader- kader HMI Cabang Ciputat memiliki kemampuan intelektual yang baik dibidang selain Agama Islam, seperti ilmu sosial, politik, filsafat, bahkan ekonomi. Ini menjadi menarik untuk dibahas. HMI Cabang Ciputat berdiri dalam satu kondisi politik yang tidak stabil pada rezim Orde Lama. Sehingga HMI Cabang Ciputat tentu ikut aktif dalam kegiatan-kegiatan politik seperti demonstrasi. Tetapi HMI Cabang Ciputat malah memiliki suatu tradisi intelektual yang baik. Dan terus berkembang pada generasi- generasi kader HMI selanjutnya. Bahwa sepanjang perkembangan tradisi intelektual yang menghasilkan banyak tokoh dari rahim intelektual Ciputat ternyata melalui proses dan pola yang berbeda-beda meskipun sama-sama terinspirasi dan termotivasi oleh Cak Nur. Tradisi intelektual mengalami perkembangan yang sangat menarik untuk diteliti.

2. Pembatasan Masalah

Agar kajian dalam skripsi ini fokus, maka perlu diadakan pembatasan masalah terkait judul penulisan penenelitian “Tradisi Intelektual HMI Cabang Ciputat 1960-1998” penulis membatasi kepada tiga hal pokok. Pertama, batasan spasial, yaitu batasan ruang yang hanya meliputi wilayah yang terbatas pada HMI Cabang Ciputat. Kedua, batasan temporal berupa batasan waktu yang dimulai dari tahun 1960-1998. Tahun-tahun tersebut di mana HMI Cabang Ciputat menjadi wadah yang sangat produktif melahirkan tokoh-tokoh intelektual yang berpengaruh hingga saat ini. Ketiga, adalah tema. Tema penelitian ini terfokus pada tradisi yang dibangun untuk pengembangan kemampuan intelektual di HMI Cabang Ciputat.

3. Perumusan Masalah

Adapun perumusan penelitian masalah dapat dibaca dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana muncul dan berkembangnya tradisi intelektual HMI Cabang Ciputat? 2. Mengapa kader HMI Cabang Ciputat memiliki kemampuan intelektual di luar bidang-bidang ilmu Agama? Pertanyaan-pertanyaan di atas akan penulis jawab dalam uraian-uraian dan analisis yang didasarkan pada sumber-sumber yang penulis gunakan.

C. Desain Operasional

Dalam sub-bab ini akan menjelaskan pengertian Tradisi Intelektual. Dalam penjelasan secara umum yang diambil dari Kamus Besar Bahasa Indonesia Tradisi adalah Adat kebiasaan turun temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan dalam masyarakat. 17 Penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan cara yang paling baik dan benar. Intelektual berasal dari kata intelek yang berarti kemampuan seseorang untuk mengetahui atau menerima pengetahuan. Makin berkembang intelek seseorang, makin besar kemampuannya untuk berfikir secara rasional dan intelegen. Berfikir secara rasional berarti berfikir dengan nalar atau akal sehat dan tidak terpengaruh perasaan. Sedang berfikir secara intelegen berarti mampu menerapkan pengetahuan yang dimiliki secara tepat untuk menghadapi situasi baru. Sedangkan intelektual berarti cerdas, 17 Hasan Alwi dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa edisi III Jakarta: Balai Pustaka, 1996 h. 1208 berakal, berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan, mempunyai kecerdasan tinggi, menyangkut pemikiran dan pemahaman. 18 Menurut pemikiran Ali Syari’ati setiap nabi adalah intelektual dalam pengertian yang sebenarnya atau pemikir yang tercerahkan. Mereka berasal dari kelompok miskin yang tertindas oleh sistem kapitalistik dan despolitik pada zamannya. 19 Nabi Muhammad tidak dilahirkan dari golongan Kapitalis mala atau penguasa mutraf, tetapi dari kalangan jelata, kelas kaum tertindas mustad’afin. Nabi Musa adalah manusia penggembala, Nabi Syu’aib dan Nabi Hud adalah guru miskin dan Nabi Ibrahim adalah seorang tukang batu. Para nabi dari kalangan miskin tersebut hadir dalam konteks sosial, politik, dan kebudayaan masyarakat yang beragam. Namun demikian, dasar-dasar dan misi mereka memiliki persamaan, yaitu menyuarakan kebenaran, membangun keadilan sosial bagi seluruh kaumnya, serta perjuangan melawan penindasan dan kesewenang- wenangan terhadap kaum miskin. 20 Nabi Adam dilahirkan untuk memberantas kebatilan dan kebodohan. Nabi Nuh memimpin kaumnya yang lemah untuk menentang para perampas. Nabi Hud dan pengikutnya berjuang menyadarkan penguasa yang otokratik. Nabi Saleh dan kaumnya berjuang untuk menegakkan egalitarianisme sosial. Nabi Ibrahim dengan segenap kesabarannya berjuang melawan penguasa yang kejam sekaligus penyebar pengingkaran terhadap Tuhan. Nabi Yusuf adalah cerminan kaum yang terpingggirkan dan mengalami diskriminasi. Nabi Syu’aib berjuang membebaskan kaumnya dari ketimpangan 18 Dendi Sugono dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa edisi IV, Jakarta: Gramedia 1998 h. 541 19 Hariqo Wibawa Satria, Lafran Pane; Jejak Hayat dan Pemikirannya, Jakarta: Penerbit Lingkar 2010 h. 114 20 Sarbini, Islam di Tepian Revolusi; Ideologi Pemikiran dan Gerakan, Yogyakarta: Pilar Media 2005 h. 83