Cak Nur sebagai Tonggak Pewaris Tradisi Intelektual di HMI

. dijadikan model, rekonstruksi pemikiran dan gerakannya telah terkonservasi dalam lusinan tesis pada tingkat master dan doktoral dari sarjana-sarjana dalam dan luar negeri. Bahkan mungkin Cak Nur adalah segelintir ilmuwan di dunia yang buah pemikirannya memadai untuk melahirkan ensiklopedia 6 tersendiri. Dilihat dari konteks ini, posisi dan prestasi intelektual Nurcholih Madjid sulit tertandingi oleh siapapun di Indonesia. 7 Tradisi intelektual dimulai oleh generasi Cak Nur, dengan Cak Nur sendiri sebagai pelopor intelektualnya dan berada di puncak sendirian. Pada waktu itu terdapat jarak intelektual antara generasi Cak Nur dengan generasi di bawahnya. Pada generasi selanjutnya yang lebih dekat dengan Cak Nur antara lain Mursjid Ali, M. Atho Mudzhar, Lukman Hakim Batalemba. Bukan hanya membaca, berdiskusi, berbagi literatur, tetapi juga menulis yang selalu jadi santapan sehari- hari para kader HMI. Cak Nur benar-benar dapat menjadi panutan bagi para kader HMI, bagaimana tidak seseorang yang berasal dari IAIN, mempunyai pengetahuan yang begitu luas tentang bidang-bidang non agama dan begitu fasih dalam berbahasa asing, terutama Inggris dan Perancis seperti lulusan dari kampus umum. Kepiawaian Cak Nur bukan saja fasih menyebut ayat-ayat al-Qur’an, melainkan juga mengaitkan persoalan-persoalan Islam kepada dunia di luar dengan kekuatan analisis, ia mendemontrasikan ketika menjadi pemateri dalam pelatihan-pelatihan di HMI, telah memotivasi kader-kader juniornya di Ciputat. Itu menjadikan inspirasi bagi generasi sesudahnya. Tradisi menulis sendiri di HMI Cabang Ciputat telah dimulai sejak akhir 60-an, saat M. Atho Mudzhar aktif 6 Di bawah kerja gigih Budhy Munawar-Rahman, telah terbit pada 2006 ensiklopedi Cak Nur sebanyak 4 jilid, masing-masing terdiri dari lebih 700 halaman. 7 Fachry Ali, Lima Puluh Tahun HMI Ciputat, Sebuah Narasi Tentang Warisan Intelektual, dalam Rusydy Zakaria dkk, Membingkai Perkaderan Intelektual.... h. xxxi 0 1 menjadi pimpinan Buletin Pemersatu bersama kawan-kawan HMI yang lain. Generasi sesudahnya angkatan 70-an ke atas seperti Fachry Ali, Hadimulyo, Komarudin Hidayat, Nabhan Husein, Kurniawan Zulkarnaen, Hari Zamharir, Azyumardi Azra, Pipip A Rifai, Iqbal Abd Rauf Saimima alm, Bahtiar Effendy, Badri Yatim alm dan lain-lain seperti ingin menyamai apa yang telah dicapai oleh Cak Nur. Sehingga semangat ini yang mereka pegang untuk membentuk intellectual community di Ciputat dengan diskusi rutin, membagi-bagi literatur, saling mengkritik, sampai pada saling membantu dalam penampilan di depan publik dan mewajibkan untuk menulis. Yang terpenting adalah ketika semangat intelektual ini dilanjutkan secara kolektif. Untuk makin mempertajam intelektualnya pada saat itu dilakukan pelatihan menulis. 8 Kemudian lewat perkawanan di HMI juga angkatan 1970-an Fachry Aly, Komarudin Hidayat, Azyumardi Azra, dkk mendapatkan mentor yang sangat baik. M. Dawan Raharjo walaupun bukan alumni dari HMI Cabang Ciputat melainkan HMI Cabang Yogya, namun berkat perkawanan di HMI, M. Dawan Raharjo menjadi mentor yang baik bagi kawan-kawan angkatan 70-an dalam menulis. Dengan mengajak bergabung dan aktif dalam LSM Lembaga Swadaya Masyarakat LP3ES, sehingga kemampuan menulisnya semakin baik dan mengembangkan Tradisi Intelektual. Karena tak bisa dipungkiri memainkan peranan konkrit dalam usaha peningkatan kehidupan manusia dan lingkungan. 9 HMI Cabang Ciputat saat itu cukup beruntung karena sering didatangi oleh para 8 Fachry Ali dan kawan-kawan dipengaruhi oleh M. Dawan Raharjo untuk mendirikan lembaga HP2M. melalui lembaga-lembaga ini berbagai latihan dan praktik penelitian serta pengembangan masyarakat dilakukan oleh para kader angkatan 70-an yang kemudian melahirkan kelompok studi di Ciputat. Cak Nur, Dialog Keterbukaan Jakarta: Paramadina 1998 h. xxxiv 9 Azyumardi Azra, Kondisi Kemanusiaan Lebih Baik: Agenda LPSM-LSM, Panji Masyarakat No 532, Februari 1987 h. 36 2 3 senior dan tokoh-tokoh HMI yang memberikan wejangan berharga bagi kader- kader; antara lain Ahmad Tirtosudiro, Dahlan Ranuwihardjo, dr. Sulastomo, Mar’ie Muhammad, Ridwan Saidi, M. Dawan Raharjo, Eky Syahruddin, Fahmi Idris, dan lain-lain. Wejangan-wejangan yang diberikan sangat memotivasi diri kader-kader untuk meningkatkan kualitasnya. Pada awal tahun 70-an juga kader-kader HMI menjadi bintang di kampus yang mendominasi momen-momen penting kegiatan mahasiswa. Mursyid Ali misalnya setelah menjadi ketua umum HMI Cabang Ciputat periode 1971-1972, juga menjadi ketua umum Dewan Mahasiswa DEMA periode 1973-1975. Pada periode ini, DEMA IAIN sangat aktif, beberapa kegiatannya adalah mengirimkan kunjungan muhibah empat orang anggotanya ke Malaysia atas undangan pemerintah Malaysia, kemudian menjadi tuan rumah BKSDM IAIN se-Indonesia dan Porseni Mahasiswa se-Jakarta, serta mengadakan Leadership Training Course LTC yang diikuti oleh seluruh cabang IAIN di Jakarta. Selain pada masa Mursyid Ali, DEMA IAIN pada tiga periode sebelumnya juga diisi oleh kader- kader HMI, seperti; Sokama Karya, Mustoha, Hamdi Ayusa dan lain-lain. Saat itu kader-kader HMI menduduki posisi-posisi yang strategis di DEMA IAIN, karena kualitasnya. Bahkan Hamdi Ayusa juga ketua umum DEMA IAIN. 10 Selain itu aktivis HMI yang juga aktif di DEMA IAIN bersama Mursyid Ali adalah M. Atho Mudzhar, Lukman Hakim Bhetalemba, Syatibi al-Haqiri, Kamil Amrullah, Djaelani Syarif, dan Sumarni Sumi, Azizah K. 10 Mursyid Ali, HMI Cabang Ciputat; Refleksi Seorang Kader, dalam Rusydy Zakaria, dkk, ed., Membingkai Perkaderan Intelektual........ h. 54-55 4 5 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mursyid Ali dalam penulisan skripsinya yang berjudul “Nilai-Nilai Edukatif dalam Aktivitas HMI Cabang Ciputat”, saat itu tergambar bahwa minat mahasiswa khususnya di HMI, terfokus pada kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada; kepemimpinan, politik, agama, ekonomi, IPTEK, sosial, dan etika. Kemudian kegiatan ilmiah selalu hidup dengan diskusi-diskusi bulanan dengan tema yang bermacam dan ditemani oleh senior-senior seperti Cak Nur dan Dahlan Ranuwiharjo. Selain berdiskusi kader HMI waktu itu termotivasi untuk mengekspresikan diri dengan menulis, sebagai tahap dasar HMI menerbitkan Buletin Pemersatu menjadi ruang bagi kader-kader untuk menuangkan pikirannya. 11 Selain itu juga di akhir 60-an dan awal 70-an, suasana politik Nasional yang mulai berubah. Pada masa Orde Lama politik aliran sangat terasa kental antara golongan Nasionalis, golongan Islamis dan Komunis. Padahal saat itu bangsa Indonesia sangat butuh persatuan sebagai bagian dari konsolidasi bangsa. Untuk itu Bung Karno mengeluarkan gagasan NASAKOM. Walaupun ide ini akhirnya tidak berhasil dan malah makin mengguncang stabilitas politik nasional. Untuk itu, saat masa Presiden Soeharto mengalami trauma dengan dampak politik aliran, melakukan kebijakan depolitisasi untuk melemahkan politik aliran dengan berusaha mengintervensi dan mengkooptasi partai-partai politik. Sehingga konstelasi politik nasional saat itu sedikit lebih tenang dari pada tahun-tahun sebelumnya. Tenangnya keadaan ini sedikit mengubah pergeseran di lingkungan HMI Cabang Ciputat, yang tadinya ramai dengan nuansa politik bergeser menjadi 11 Mursyid Ali, Ibid, h. 55-56 66 nuansa kekaryaan. 12 Maka dari itu tidak heran hampir semua lembaga kekaryaan di HMI Cabang Ciputat berlomba untuk memberikan yang terbaik untuk kader HMI dan masyarakat luas. Lapenmi mengadakan program pendidikan yang beragam, mulai dari madrasah sampai ke pengajian majelis ta’lim tingkat desa di sekitar Ciputat, Pondok Cabe dan Cirendeu, serta mengadakan bimbingan belajar bagi mahasiswa yang ingin mengikuti test masuk IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Hal ini dilakukan sebagai langkah awal pendekatan terhadap calon mahasiswa baru untuk bergabung dengan HMI nantinya setelah diterima di IAIN Jakarta. LDMI Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam juga aktif melakukan kegiatan dakwah dengan diskusi dan pengajian yang mencerahkan di masjid- masjid sekitar Ciputat dengan berbekal materi NDP Nilai-Nilai Dasar Perjuangan yang dibuat oleh Cak Nur dan kawan-kawan. Tak kalah juga LSMI Lembaga Seni Mahasiswa Islam aktif, mereka memainkan pertunjukan teater beberapa lakon Shakespeare, serta band LSMI yang seolah menjadi milik masyarakat Ciputat dengan mengisi acara tetap di Balai Kecamatan Ciputat untuk kegiatan hari-hari besar keagamaan. Lalu dengan program “hura-hura” seperti rujak party untuk memancing mahasiswa bergabung dengan HMI Cabang Ciputat. 13 Namun, tetap politik intra kampus dalam perebutan kader antara HMI, PMII dan IMM tetap terjadi, tapi dalam persaingan yang sehat. 12 Atiq Susilo, HMI Pasca Gejolak 1968-1972, dalam Rusydy Zakaria dkk, ed., Membingkai Perkaderan Intelektual....... h. 58-59 13 Kegiatan ini rutin terjadi pada masa Atiq Susilo selama aktif di HMI lebih khususnya di LSMI. Atiq Susilo, Ibid, h. 59 7 KOHATI 14 , sebagai bagian dari HMI juga tak kalah memainkan peran yang penting dalam membina kader-kader HMI Cabang Ciputat, khususnya kader- kader yang perempuan. KOHATI juga menjadi wadah kegiatan perkaderan dan pengabdian masyarakat bagi HMI-wati. Misalnya saja pada masa Rifqiyaty menjadi ketum KOHATI 1973-1974 yang saat itu ketua umum HMI Cabang Ciputat adalah Irchamni, KOHATI mengadakan kegiatan seperti lomba keterampilan bagi anggota KOHATI, pertemuan rutin dengan ibu-ibu alumni yang diisi dengan ceramah tentang berbagai materi dan dengan kegiatan keputrian lainnya. Kemudian ada juga kegiatan pengabdian masyarakat yang dilakukan KOHATI Cabang Ciputat sebagai bentuk respon sosial terhadap masyarakat sekitar Ciputat. Kegiatan ini bekerja sama dengan camat Ciputat Nawar Ilta beserta istrinya, berupa pemberian sembako, pakaian layak pakai, yang diperoleh dari para alumni komplek IAIN kepada warga Ciputat yang tidak mampu. Selain itu kegiatan diarahkan kepada para HMI-wati agar mereka menjadi insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernapaskan Islam. Seperti Upgrading KOHATI I dan II diadakan sebagai penempaan HMI-wati dalam hal pengkaderan, keperempuanan dengan mengundang senior dan tokoh perempuan saat itu, yang ahli dalam topik-topik yang disajikan seperti almh. Aniswati Machnan pendiri KOHATI sekaligus Ketum KOHATI pertama, Ety Mar’ie, Aisyiah Amini dan lain-lain. Harapannya dengan berbagai kegiatan baik training-training di KOHATI 14Korps HMI-Wati, lahir pada kongres HMI di Solo tahun 1966. Pendirinya adalah Aniswati Machnan. 8 9 dan jalur training di HMI, dapat menjadikan kader-kader HMI-wati Ciputat yang militan serta berguna bagi umat dan bangsa. 15 Pada level nasional, HMI terdukung melalui kemajuan KOHATI. Berkat para pendiri KOHATI nasional yang dengan semangat perjuangannya dalam perjuangan perempuan di Indonesia. KOHATI pada tahun itu pertengahan 70-an menjadi salah satu pelopor pendirian KOWANI 16 Kongres Wanita Indonesia dan BMOIWI 17 Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia. Kader- kader KOHATI Ciputat yang sangat berperan di sana adalah Maesaroh Yusuf, Estiyati Taufiq Ismail, dan Khodijah Madjid. Kader-kader HMI Cabang Ciputat saat itu terbilang kreatif. Saat itu mereka berpikir sebagai pendukung kegiatan perkuliahan pendidikan, perlu ada laboratorium untuk mahasiswa Fakultas Tarbiyah. Ahmad Syatibi sebagai perintis atas nama Senat Mahasiswa Fakultas Tarbiyah mendirikan Laboratorium Pendidikan Anak Usia Dini, yakni Taman Kanak-kanak TK Ketilang yang ada sekarang ini. Kemudian Ahmad Syatibi menjadi ketua umum dan pengurus TK Ketilang. Saat itu Senat Mahasiswa memiliki kebijakan untuk mengangkat dan memberhentikan kepala sekolah atau guru yang mengajar di sana. Namun, saat ini 15 Rifqiyaty, Catatan Kecil Setengah Abad HMI Cabang Ciputat, dalam Rusydy Zakaria dkk, ed., Membingkai Perkaderan Intelektual....... h. 72-73 16 KOWANI merupakan wadah bagi para perempuan di Indonesia, sebelumnya bernama Kongres Perempoean Indonesia, kongres pertama pada 22 Desember 1928 dan menjadi dasar penetapan “hari Ibu” di Indonesia. Pada tahun 1974 dalam kongres ke XIV, mendeklarasikan “bahwa seluruh organisasi sebagai salah satu kekuatan sosial yang melaksanakan fungsinya sebagai wadah yang menghimpun semua profesional wanita Indonesia yaitu KOWANI sebagai kelanjutan dari Kongres Perempoean Indonesia. Lihat http:lms.aau.ac.idlibraryebookR_2903_11filesresdownloadsdownload_0086.pdf : telah diambil alih oleh UIN sepenuhnya di bawah pengelolaan dharma wanita UIN. 18 Pada pertengahan 70-an masa-masa penuh semarak dalam perkaderan HMI Cabang Ciputat. Pada generasi selanjutnya akhir 70-an sampai pertengahan 80- an, orang-orang seperti Fachry Ali, Komarudin Hidayat, Azyumardi Azra, Bahtiar Efendy dan kawan-kawan yang kemudian melanjutkan tradisi intelektual yang sudah dibentuk dan dibangun oleh Cak Nur sebagai simbol intelektual HMI Cabang Ciputat dan dilanjutkan dengan berbagai macam bentuk kebiasaan ilmiah yang berpengaruh pada intelektual para kadernya sehingga membentuk “intellectual community” yang membesarkan nama HMI Cabang Ciputat sebagai pencetak kader-kader intelektual.

B. Tradisi Intelektual pada masa Komunitas Intelektual Intellectual Community

Kondisi tahun 70-an diwarnai dengan banyak dinamika politik nasional yang berpengaruh pada kondisi sosial di Jakarta sebagai pusat pemerintahan. Posisi Ciputat yang dekat dengan pusat pemerintahan, menyebabkan segala kebijakan pemerintah mendapat respon langsung dari mahasiswa aktivis di lingkungan IAIN Jakarta. Sehigga jalannya pemerintahan Orde Baru juga mempengaruhi aktivitas mahasiwa HMI Cabang Ciputat. Tindakan represif pasti dilakukan tehadap kelompok atau kekuatan apapun yang dianggap menggangu keamanan kekuasaan pemerintahan Orde Baru. 18 Rifqiyaty, Catatan Kecil Setengah Abad HMI Cabang Ciputat, Opcit, h. 74 ; Setelah terjadinya peristiwa Malari pada 15 Januari 1974 yang dipelopori oleh Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia. Peristiwa ini merupakan serangkaian puncak dari serangkaian gerakan mahasiswa melancarkan berbagai protes terhadap pemborosan anggaran negara yang digunakan untuk proyek-proyek eksklusif yang dinilai tidak mendesak dalam pembangunan. Dilatar belakangi kebijakan seperti pembangunan proyek Taman Mini Indonesia Indah TMII di saat Indonesia haus akan pinjaman luar negeri, selanjutnya di tahun 1972 protes terus bergulir dengan isu harga beras naik. Pada 1973 protes disebabkan oleh isu korupsi dikalangan Presiden dengan kroni-kroninya, sampai meletusnya peristiwa Malari disaat kunjungan PM Jepang Kakuei Tanakake Indonesia 19 , ditengah dominasi ekonomi Jepang terhadap Indonesia, sehingga menyebabkan sulit berkembangnya pengusaha lokal di Indonesia. Peristiwa ini menyebabkan sekitar 770 orang aktivis ditahan dan hampir semuanya baru dibebaskan pada Mei 1976. 20 Setelah kejadian Malari maka gerakan mahasiswa bisa dikatakan stagnan karena para aktivis yang dipenjarakan dan kegiatan mahasiswa lebih banyak di internal kampus. Untuk sementara depolitisasi kampus dapat dikatakan berhasil. Pemerintah Orde Baru saat itu tidak lagi menganggap komunis sebagai ancaman terbesar bagi keamanan nasional. Yang terjadi adalah penggunaan eufemisme-eufemisme seperti ideologi impor untuk menggambarkan momok ancaman Islam radikal. Pada 1977 Kopkamtib mengumumkan bahwa mereka telah mengidentifikasi adanya sebuah organisiasi bernama Komando Jihad yang cenderung kepada kekerasan demi tercapainya tujuan terbentuknya negara Islam. 19 Kurniawan Zulkarnaen, HMI Cabang Ciputat dan UIN Jakarta; Sebuah Catatan Kenangan dalam Rusydy Zakaria dkk ed., Membingkai Perkaderan Intelektual..... h.100 20 MC. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta 2007 h.588 Beberapa kalangan menduga bahwa organisasi ini palsu adanya dan hanya dibuat- buat oleh mesin keamanan rezim Orde Baru. Sejumlah aktivis Islam yang jumlahnya kurang diketahui persis ratusan ditahan oleh pemerintah untuk waktu yang lama tanpa melalui jalur pengadilan. 21 Ketegangan politik ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya yaitu; rencana undang-undang yang akan mengesahkan “aliran kepercayaan” dalam rencana pembangunan lima tahunan dan isu rencana penyeragaman asas tunggal Pancasila, serta penolakan kepada Jendral Soeharto menjadi Presiden kembali. HMI Cabang Ciputat pada 1977-1978 bisa dikatakan masa yang sulit. Saat itu HMI Cabang Ciputat dipimpin oleh Hari Zamharir. Pengurus Besar HMI pada masa Chumaidi Syarief Romas. Gerakan mahasiswa yang dimulai dari kampus ITB dimulai dengan diterbitkannya “buku putih” 22 oleh mahasiswa ITB, gerakan ini menyabar ke kota-kota lain seperti Yogyakarta, Surabaya, Makassar, Medan dan Jakarta sendiri. Puncak gerakan mahasiswa sendiri terjadi pada Maret 1978 bersamaan dengan berlangsungnya sidang MPR. Telah mengundang tentara datang ke dalam kampus, termasuk kampus IAIN Jakarta. Demo mahasiswa diserbu banyak tentara yang umumnya muda-muda dan bengis menyerbu dan merubuhkan pagar tengah dan selatan kampus. Mereka memukuli mahasiswa dan dosen yang mereka temui 21 MC. Ricklefs, Ibid, 597 22 Buku Putih ini diterbitkan dari mahasiswa ITB yang pada intinya tidak mempercayai dan tidak menginginkan Soeharto kembali menjadi Presiden Republik Indonesia dengan alasan: pertama bahwa Presiden mulai memusatkan kekuasaan di tanganya, sehingga melumpuhkan kekuatan-kekuatan politik lainnya. Kedua, korupsi makin membudaya di seluruh sektor kehidupan. Ketiga, para anggota DPR dipandang tidak mewakili rakyat. Keempat, sistem Pemilu yang proporsional bukan sistem distrik telah menyebabkan kebanyakan anggota DPR tidak punya hubungan batin dengan rakyat yang memilih. Kelima, ketua lembaga-lembaga tinggi negara seperti Mahkamah Agung dan BPK ditentukan Presiden, sehingga mereka tidak independen. Keenam, MPR dianggap tidak mewakili rakyat karena 61 anggota MPR pada 1977 diangkat oleh pemerintah. di teras gedung dan bahkan di kelas-kelas di lantai satu dan lantai dua dan juga diperpustakaan, sehingga menimbulkan banyak korban luka-luka yang kemudian dibawa ke RS Fatmawati, RS Pertamina, dan Klinik IAIN. Pemimpin DEMA IAIN dan beberapa Senat Mahasiswa dan sejumlah tokoh mahasiswa ditangkap. Beberapa dosen juga ikut ditangkap bahkan rektor IAIN Harun Nasution ikut diciduk. Dan kampus IAIN “banjir darah” bahkan sampai bau amis berminggu- minggu. 23 Demonstrasi yang bersamaan dengan sidang MPR pada Maret 1978 berujung petaka tersebut tidak sia-sia. Pada sidang MPR isu pertentangan utama adalah mengenai status apa yang harus dikenakan kepada kebatinan yaitu aliran mistis lokal yang disebut “kepercayaan” dan bukan agama. Perlindungan dan pemberian dana dari pemerintah bagi kelompok-kelompok semacam itulah yang dipertaruhkan dalam debat sidang tersebut. Pemerintah akhirnya pun menyerah dan menghapuskan segala program tentang kepercayaan dari rencana pembangunan lima tahunannya. Setelah keputusan tersebut demonstrasi mahasiswa berkurang. Namun pemerintah berkesimpulan perlu adanya satu kampanye untuk membentuk pikiran orang Indonesia. Maka pada tahun yang sama 1978 pemerintah memulai program indoktrinasi wajib mengenai ideologi negara Pancasila bagi semua warga negara dengan nama Pedoman, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila P4 dengan Roeslan Abdulgani sebagai tokoh perancangnya. 24 23 Hari Zamharir, Kurniawan Zulkarnaen, Azyumardi Azra dalam Membingkai Perkaderan Intelektual.., h. 91 – 108. 24 Program P4 dilakukan dalam departemen-departemen pemerintah, tempat-tempat kerja dan sekolah-sekolah. Sejak awal mendapat kritikan dari kaum intelektual, karena terjadi banyak kasus penyimpangan terhadap program P4 ini oleh Soeharto, keluarganya dan kroni-kroninya yang