B. Ronggeng dalam Kebudayaan Banyumas
Penelitian yang dilakukan penulis dalam novel Ronggeng Dukuh
Paruk menggunakan penelitian deskriptif kualitatif dan pendekatan objektif. Analisis deskriptif kualitatif merupakan teknik penelitian untuk memperoleh
keterangan dari isi pesan dalam bentuk lambang atau pun tulisan. Pendekatan objektif yang digunakan merupakan pendekatan kajian sastra yang
menitikberatkan kajiannya pada karya sastra. Karya sastra novel Ronggeng
Dukuh Paruk menjadi sesuatu yang inti dalam penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran seorang ronggeng dalam kebudayaan
Banyumas yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad
Tohari. Banyumas sebagai salah satu bagian dari wilayah Jawa Tengah,
memiliki berbagai macam budaya, adat istiadat, dialek dan kesenian yang menarik. Salah satu kesenian yang ada dan berkembang di daerah Banyumas
adalah kesenian ronggeng. Kesenian ronggeng merupakan salah satu primadona yang khas di Banyumas banyak dikenal dan dipentaskan dalam
acara syukuran, peringatan hari besar, festival kesenian tradisional, penyambutan tamu penting dan upacara tertentu yang diselenggarakan oleh
pemerintah maupun masyarakat. Kesenian ronggeng dimainkan oleh seorang ronggeng perempuan yang
menembang dan menari tarian Ronggeng atau tarian Baladewa. Seorang ronggeng dalam novel
Ronggeng Dukuh Paruk digambarkan sebagai tokoh yang berstatus sosial tinggi, memiliki kedudukan istimewa di masyarakat
sehingga diperlakukan istimewa oleh orang-orang sekitar, dianggap membawa keberkahan, penghibur, dan dianggap pula sebagai pelacur. Konteks ronggeng
dalam novel ini dapat diketahui melalui kutipan-kutipan dialog tokoh dan penceritaan yang dikisahkan oleh pengarang. Ronggeng yang digambarkan
dalam novel karya Ahmad Tohari, setelah dilakukan analisis isi ternyata terdapat empat hal yang berkenaan dalam ronggeng, yaitu: fungsi ronggeng,
syarat-syarat menjadi ronggeng, fungsi ronggeng di masyarakat, dan pandangan masyarakat mengenai ronggeng.
1. Fungsi Ronggeng Sebagai Kesenian
Pada dasarnya ronggeng dimainkan oleh seorang wanita yang menari tarian Ronggeng atau tarian Baladewa dengan diiringi oleh suara
calung dan tembang yang dinyanyikan oleh seorang ronggeng. Tarian ronggeng yang tujuannya untuk menghibur dan mengajak penonton untuk
ikut menari ngibing, tarian ini kadang digabung dengan tidak keruan dengan tarian-tarian lain seperti tari Serimpi, tari Bali, dan tari Topeng,
sehingga dalam pentas orang bisa mengatakan lenggak-lenggok seorang ronggeng tidak lebih dari gerakan spontan, bermakna dangkal, dan lebih
ditekankan pada kesan erotik. Namun dari penjelasan itu semua, seorang ronggeng dalam
memiliki fungsi dalam setiap tarian yang ditarikannya, ada yang berfungsi sebagai upacara ritual, hiburan, dan pertunjukan. Pada fungsi ronggeng
untuk upacara ritual ketika Srintil menari setelah melakukan upacara pemandian di makam Ki Secamenggala. Tarian yang ditarikan oleh Srintil
karena bersifat ritual, maka tariannya lembut, halus, sakral dan jauh dari kesan erotik. Seperti pada kutipan di bawah ini:
“Di halaman rumah Kartareja ronggeng bermain satu babak. Tidak seperti biasa, pentas kali ini tanpa nyanyi atau tarian
erotik. Mulut Sakum bungkam. Si buta itu tidak mengeluarkan seruan-seruan cabul. Semua orang tahu permainan kali ini bukan
pentas ronggeng biasa. Tetapi merupakan bagian dari upacara
sakral yang dipersembahkan kepada leluhur Dukuh Paruk.”
58
Kutipan di atas menggambarkan bahwa seorang ronggeng juga dapat menari untuk upacara ritual seperti pada fungsi tarian yang telah
dijelaskan di atas. Tarian tersebut dibawakan dengan sakral dan menghindarkan kesan cabul. Namun pada akhir upacara Srintil sebagai
penari ketika menari harus bertayub dengan Kartareja yang diyakini sedang kerasukan arwah Ki Secamenggala, tarian yang dibawakan tetap
58
Ibid., h. 45.
sakral tetapi tidak lupa memasukan seruan-seruan cabul seperti pada kutipan berikut:
“Konon semasa hidupnya Ki Secamenggala sangat menyukai lagu
Sari Gunung. Maka dalam rangkaian upacara mempermandikan Srintil itu lagu
Sari Gunung-lah yang pertama kali dinyanyikan oleh Srintil, secara berulang-ulang. Seperti pada
awal upacara di rumah Kartareja, pentas di pekuburan itu meniadakan lagu-lagu cabul, Sakum diam. Tetapi menjelang babak
ketiga terjadi kegaduhan…. Semua terkesima. Calung berhenti. Srintil menghentikan tariannya. Sampai di tengah arena laki-laki
tua bangka itu mulai menari sambil bertembang irama gandrung
.” Seorang penari dapat menari untuk upacara sehingga fungsi tari
yang ditarikan oleh Srintil termasuk ke dalam fungsi tarian sebagai upacara ritual. Tarian ini ditarikan dengan sakral dan penuh dengan unsur
magis. Selain berfungsi sebagai upacara ritual. Fungsi tari juga dapat digunakan sebagai pertunjukkan. Fungsi tari sebagai pertunjukkan
digambarkan ketika Srintil menari pada acara tujuh belasan untuk menyambut kemerdekaan Indonesia. Pertunjukan tari yang disajikan
menjadi sebuah tari yang memiliki konsep meski tetap tidak terlepas dari kesan cabul. Fungsi tari sebagai pertunjukan ini untuk menjamu tamu-
tamu penting atau tamu pejabat, dan untuk festival seni. Seperti pada kutipan berikut:
“…. Hampir semua warganya keluar menggiring Srintil yang hendak meronggeng pada malam perayaan Agustusan di
Dawuan. Inilah penampilan pertama ronggeng Dukuh Paruk pada sebuah arena resmi; suatu hal baru yang membawa kebanggaan
istimewa.” Kutipan di atas, menggambarkan fungsi tari sebagai pertunjukkan.
Sebagai seni pertunjukkan tarian yang dibawakan bersemangat, dan memberikan kesan kepada penontonnya. Di dalam pertunjukan tidak
hanya menampilkan penari ronggeng tetapi juga menampilkan seni yang lain, misalnya keroncong, yang memiliki tujuan yang sama menarik
perhatian penonton dengan penampilan seni yang ditampilkan. Selain memiliki fungsi sebagai pertujukan, tari juga memiliki fungsi sebagai