Tokoh dan Penokohan Unsur Intrinsik Novel Ronggeng Dukuh Paruk

“Kalian minta upah apa?” ulang Srintil. Berkata demikian Srintil melangkah ke arah Rasus. Dekat sekali. Tanpa bisa mengelak, Rasus menerima cium pipi. Warta dan Darsun masing- masing mendapat giliran kemudian….Kali ini mereka yang berebut mencium pipi Srintil. Perawan kecil itu melayani bagaimana laiknya seorang ronggeng….” 5 “….Mandilah dengan sabun mandiku. Tak usah bayar bila malam nanti kau bukakan pintu bilikmu bagiku. Nah, kemarilah.” Berkata demikian, tangan Pak Simbar menjulur ke arah pinggul Srintil. Aku melihat dengan pasti, Srintil tidak menepiskan tangan laki- laki itu. Bangsat” 6 Kutipan di atas menggambarkan karakter Srintil yang menggoda baik sebelum menjadi ronggeng maupun sesudah menjadi ronggeng. Sifat menggoda sangat wajar dimiliki Srintil karena seorang ronggeng memang gerak-geriknya selalu dilihat dan dinilai masyarakat, sehingga jarang menjadi bahan pembicaraan ke mana pun Srintil pergi. Srintil juga digambarkan sebagai seorang ronggeng yang mempunyai pilihan. Srintil memilih untuk menjadi ronggeng untuk menghapus dosa orang tuanya, Santayib, karena telah meracuni warga Dukuh Paruk dengan tempe bongkrek buatannya. Ketika Srintil melaksanakan upacara bukak-klambu Srintil memilih untuk menyerahkan kegadisannya kepada Rasus, kawannya sejak kecil. Hal ini dilakukan oleh Srintil bukan karena materi, melainkan Srintil berhak mempunyai pilihan kepada siapa dia akan menyerahkan kegadisannya pada upacara bukak- klambu, dan Srintil memilih untuk memberikannya kepada Rasus. Seperti pada kutipan berikut: “Aku benci, benci. Lebih baik kuberikan padamu. Rasus, sekarang kau tak boleh menolak seperti kau lakukan tadi siang. Di sini bukan pekuburan. Kita takkan kena kutuk. Kau mau, bukan?” 7 5 Ibid., h. 14 6 Ibid., h. 83. 7 Ibid., h. 76. Kutipan di atas menjelaskan bahwa Srintil tidak menyukai upacara bukak-klambu, tetapi Srintil memilih untuk menyerahkan kegadisannya dalam bukak-klambu kepada Rasus. Seiring dengan berjalannya waktu, tokoh Srintil mengalami pendewasaan, sehingga Srintil bukanlah seorang ronggeng yang sembarangan. Srintil digambarkan sebagai ronggeng yang cantik, tetapi tetap berwibawa. Seperti pada kutipan berikut: “….Dalam waktu sebulan telah terjadi perubahan pada diri Srintil. Rambutnya yang tidak lagi terjerang terik matahari menjadi hitam pekat dan lebat. Kulitnya bersih dan hidup. Sisik-sisik halus telah hilang. Pipinya bening sehingga aku dapat melihat jaringan halus urat-urat berwarna kebiruan. Debu yang mengendap menjadi daki, lenyap dari betis Srintil. Dan kuanggap luar biasa: Nyai Sakarya berhasil mengusir bau busuk yang dulu sering menguap dari lubang telinga Srintil.” 8 “…Nyai Kartareja kini memanggil Srintil dengan sebutan jenganten atau setidaknya sampean; suatu pertanda bahwa kedewasaan, tepatnya, kemandirian Srintil telah diakuinya.” “ Semua mata memandang ke arah Srintil. Ini juga peyimpangan. Biasanya Kartareja dan Sakarya berani mengambil keputusan tanpa melihat roman muka Srintil lebih dulu. Tetapi kini bahkan wibawa Srintil mampu mencegah siapa saja yang ingin berkata sugestif. Tiba-tiba mata Srintil memancarkan cahaya kuasa. Wajahnya melukiskan citra keangkuhan.” 9 Kutipan di atas, menggambarkan kewibawaan Srintil, dia bukanlah ronggeng sembarangan. Srintil memiliki harga diri yang tinggi untuk ukuran seorang ronggeng. Kewibawaan Srintil bahkan diakui oleh orang- orang di sekitarnya yang selama ini berlaku sembarangan dan tidak menghargai keinginan Srintil. Kejadian keracunan tempe bongkrek yang dilakukan oleh Santayib, orang tua Srintil membuat Srintil harus menerima dosa dan perlakukan yang kurang baik dari warga Dukuh Paruk. Dosa itu kemudian terhapus ketika Srintil dinobatkan menjadi ronggeng. Ronggeng 8 Ibid., h. 36. 9 Ibid., h. 179 203. bagi Dukuh Paruk adalah titisan dari arwah Ki Secamenggala dan dianggap membawa keberkahan. Sehingga, kedudukan Srintil menjadi berubah, orang-orang jadi menyegani Srintil. Kewibawaan Srintil sebagai seorang ronggeng membuat dia menjadi ronggeng yang disegani oleh laki- laki maupun perempuan Dukuh Paruk. Srintil yang dianggap pembawa keberkahan membuat banyak perempuan Dukuh Paruk berusaha sebaik mungkin untuk memanjakan ronggeng cantik tersebut, dan laki-laki Dukuh Paruk berusaha untuk dapat menari atau tidur dengan Srintil. Hal ini membuat kedudukan Srintil menjadi superior di Dukuh Paruk. Warga Dukuh Paruk sangat bangga memiliki ronggeng cantik seperti Srintil. Selain itu, Srintil juga digambarkan sebagai orang yang religius. Hal ini terlihat ketika Srintil tidak pernah lupa ngasrep di hari kelahirannya. Lebih dekat terhadap Tuhan, mematuhi setiap perintah kepercayaannya. Kepribadian Srintil ini terjadi setelah Srintil mengalami masalah yang cukup berat, yakni ketika dia dianggap terlibat oleh PKI yang membuatnya harus terpenjara selama dua tahun. Kejadian itu membuat perubahan yang sangat besar dalam diri Srintil. Srintil sebelum dianggap terlibat kisruh PKI adalah seorang ronggeng yang tenar, cantik, percaya diri, dan berwibawa. Namun, Srintil berubah menjadi pemurung, malu, rendah diri, dan takut terhadap orang-orang di luar Dukuh Paruk setelah Srintil dianggap terlibat dalam kisruh PKI. Srintil menjadi orang yang takut berbuat sesuatu yang dianggap salah dan tidak ingin bertingkah karena merasa malu dirinya telah melakukan kesalahan. Seperti pada kutipan berikut: “Jadi Sakarya tidak ikut berhura-hura. Persiapannya menyambut kembali pementasan Srintil lebih ditekankan pada segi kejiwaan. Lebih sering memasang sesaji di dekat makam Ki Secamenggala, lebih banyak terjaga di malam hari serta mengurangi minum-minum. Srintil diperintahkannya dengan sangat ngasrep pada hari kelahirannya.” “Eh lha, Jenganten, Mbok sampean jangan membiarkan diri terkatung-katung. Segala keinginan harus disetiari. Sampean tidak lupa ngasrep pada hari kelahiran?” Srintil diam. “Sampen tidak lupa berpuasa Senin-Kamis?” Srintil masih diam. Oh, kamu, Nyai Kartareja. Jangankan ngasrep dan puasa Senin-Kamis. Setiap saat aku memohon kepada Tuhan, kiranya segera datang laki-laki yang suka mengawiniku….” 10 Kutipan di atas menjelaskan bahwa keinginan Srintil sebagai seorang perempuan untuk menjadi perempuan somahan, diperistri, bahagia dalam kehidupan berumah tangga, tetapi karena namanya yang telah tercoreng akibat kisruh PKI membuat Srintil pasrah. Srintil merasa orang- orang menjadi segan mendekati dia, karena takut dianggap terlibat seperti Srintil. Hingga pada akhirnya Srintil merasa dirinya telah diterima kembali dan kesalahannya telah dimaafkan oleh orang-orang setelah Bajus mendekati Srintil. Srintil mulai diterima kembali keberadaannya setelah didekati oleh Bajus, yang bukan karyawan biasa dalam proyek pembangunan irigasi tersebut. Tokoh utama dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah Srintil. Srintil merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadia maupun yang dikenai kejadian, dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain. Setiap kejadian atau peristiwa yang terjadi di dalam novel senantiasa menghadirkan Srintil. Srintil sebagai tokoh utama sangat menentukan perkembangan alur cerita secara keseluruhan. Selain sebagai tokoh utama, Srintil juga dikatergorikan sebagai tokoh protagonis. Srintil digambarkan sebagai tokoh yang menjadi pusat sorotan dalam kisahan dan memiliki hubungan denga tokoh-tokoh lain di dalam novel. Tokoh Srintil adalah tokoh yang keberadaannya untuk mencapai tujuan yang dalam hal ini adalah menjadi ronggeng untuk 10 Ibid., h. 180 370. menghapus dosa masa lalu kedua orang tuanya dan Srintil menghadapi persoalan-persoalan yang muncul ketika Srintil hendak menjadi seorang ronggeng, seperti harus memendam dalam-dalam perasaannya terhadap Rasus, tidak boleh menikah, dan dianggap sebagai sundal oleh orang luar Dukuh Paruk. Persoalan-persoalan yang dialami oleh Srintil disebabkan oleh tokoh antagonis seperti Nyai Kartareja dan Kartareja yang tidak menyetujui kalau anak asuhnya mencintai Rasus dan memilih berhenti menjadi seorang ronggeng. Srintil dapat pula dikategorikan sebagai tokoh kompleks atau tokoh bulat. Srintil sebagai tokoh mengalami perubahan-perubahan dan perkembangan sikap. Perubahan ini terkait dengan keterlibatan Srintil dengan tragedi PKI. Sebelum dianggap terlibat PKI, Srintil merupakan tokoh yang berwibawa, percaya diri, dan periang. Namun, setelah dianggap terlibat PKI Srintil menjadi penakut, pemurung, dan pendiam. Perubahan semacam ini jika dikaji secara dalam merupakan hal yang wajar dan dapat dipertanggungjawabkan secara alur dengan relasi sebab akibat. Srintil merupakan tokoh yang mencerminkan kehidupan manusia yang sesungguhnya yang memiliki berbagai kemungkinan mengalami perubahan sikap dalam diri Srintil menyebabkan Srintil dapat dikategorikan sebagai tokoh kompleks. Tokoh Srintil juga dapat dikategorikan sebagai tokoh dinamis karena Srintil mengalami perubahan watak sejalan dengan perkembangan peristiwa yang dikaisahkan di dalam novel. Sikap dan watak Srintil mengalami perkembangan mulai dari awal, tengah hingga akhir cerita sesuai dengan tuntutan logika cerita secara keseluruhan. b. Rasus Rasus dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad juga menjadi tokoh yang mempunyai peranan penting seperti Srintil. Rasus digambarkan sebagai seorang anak yang selalu membayangkan sosok Emak dalam diri Srintil. Hal ini dikarenakan Rasus harus kehilangan Emak akibat kejadian tempe bongkrek beberapa tahun silam. Rasus yang menyukai Srintil, selalu menggambarkan Emak seperti Srintil, yang mempunyai cambang halus, dan berlesung pipi. Rasus mengagumi Srintil karena sosok Emak terbayang dalam diri Srintil, sehingga Rasus berusaha untuk selalu melindungi dan menyayangi Srintil, hingga Srintil menjadi ronggeng, bayangan akan Emak dalam diri Srintil telah menghilang. Rasus tetap menyayangi dan melindungi Srintil sebagai kawan lama. Terlebih Sakarya memberikan amanat kepada Rasus untuk menjaga Srintil, sehingga Rasus merasa sangat bersalah karena tidak dapat menjaga Srintil dengan baik hingga akhirnya Srintil mennjadi gila karena dikecewakan oleh Bajus. Rasus sangat marah setelah mengetahui bahwa Srintil menjadi gila. Rasus berusaha untuk membawa Srintil berobat dan berharap Srintil sembuh untuk bisa memperbaiki kesalahannya karena tidak menjaga Srintil dengan baik. Seperti pada kutipan berikut: “Keris yang kubawa dari rumah masih kuselipkan di ketiakku, rapi tergulung dalam baju. Aku merasa lebih baik menyerahkan benda itu kepada Srintil selagi dia tertidur. Ternyata kesan penyerahan semacam itu, dalam. Sangat dalam. Aku sama sekali tidak merasa menyerahkan sebilah keris kepada seorang ronggeng kecil. Tidak. Yang kuserahi keris itu adalah perempuan sejati, perempuan yang hanya hidup dalam alam angan-angan, yang terwujud dalam diri Srintil yang sedang tidur. Tentu saja perempuan yang kumaksud adalah lembaga yang juga mewakili Emak, walau aku tidak pernah tahu di mana dia berada.“ 11 Keris yang diberikan oleh Rasus kepada Srintil merupakan tanda bahwa Rasus mengagumi Srintil sehingga Rasus ingin melihat Srintil menari di panggung dengan keris yang sesuai dengan tubuhnya. Keris yang diberikan Rasus bernama Kyai Jaran Guyang, pusaka Dukuh Paruk yang telah lama lenyap. Keris itu merupakan keris pekasih yang dulu menjadi jimat para ronggeng. Keris itu yang akan menjadikan Srintil ronggeng tenar. Rasus memberikan sesuatu yang berharga kepada Srintil. 11 Ibid., h. 41. Selain itu, Rasus juga digambarkan sebagai orang yang pandai dan selalu ingin tahu. Bermula ketika Rasus merasa kecewa setelah Srintil menjadi Ronggeng. Rasus banyak belajar mengenai dunia baru di luar Dukuh Paruk. Sifatnya yang selalu ingin tahu membuatnya mengetahui banyak hal, mulai dari adat yang berbeda di luar Dukuh Paruk, pengetahuannya semakin bertambah ketika Rasus menjadi tobang dan diajarkan banyak hal oleh Sersan Slamet. Seperti pada kutipan berikut: “Berbagai pengetahuan takkan pernah kudapat bila aku tak berkesempatan mengenal Sersan Slamet. Hanya dua bulan aku belajar membaca dan menulis. Sesudah itu aku mulai berkenalan dengan buku-buku yang berisi pengetahuan umum, wayang, buku sejarah, sampai buku-buku yang berisi pengetahuan umum. Seluk- beluk senjata juga kuperoleh dari sersan yang baik itu. Dari namanya seperti Pietro Beretta, Parabellum, Lee Enfield, Thomson, dan sebagainya.” 12 Seperti pada kutipan di atas, Rasus digambarkan sebagai orang yang pandai dan serba ingin tahu. Dalam waktu sebentar Rasus dapat belajar banyak hal sehingga dia bisa meneruskan karirnya dan tidak hanya menjadi tobang, yaitu pesuruh tentara yang bertugas membelikan rokok, menyiapkan makanan, dan membersihkan peralatan militer. Selain memiliki kepandaian, Rasus juga digambarkan sebagai orang yang berani. Hal ini terbukti ketika Rasus berani membunuh penjahat yang ingin mencuri harta Srintil di rumah Nyai Kartareja. Seperti pada kutipan berikut: “Penjahat yang berdiri di belakang rumah kelihatan gelisah. Aku mencari sesuatu di tanah. Sebuah batu sudah cukup. Tetapi yang kutemukan sebatang gagang pacul. Ketika perampok membelakangiku, aku maju dengan hati-hati. Pembunuhan kulakukan untuk kali pertama. Aku tidak biasa melihat orang terkapar di tanah. Aku belum pernah melihat bagaimana seorang manusia meregang nyawa. Pengalaman pertama itu membuat aku gemetar. Dan siap lari andaikata tidak tertahan oleh keadaan. Aku mendengar langkah mendekat. Cepat aku mengambil senjata milik orang yang sudah kubunuh. Sebuah Thomson yang tangkainya 12 Ibid., h. 94. sudah diganti dengan kayu buatan sendiri. Tak mengapa. Senjata yang telah terkokang itu kugunakan untuk pembunuhan kali kedua.” 13 Kutipan tersebut menggambarkan bahwa Rasus berani membunuh dua orang penjahat dan karena keberaniannya itu ia menjadi naik pangkat dan tidak lagi menjadi seorang tobang. Dan karena keberaniannya itu pula membuat Srintil menginginkan Rasus untuk menikahinya. Tetapi karena tanggungjawabnya sebagai seorang tentara dan masih ada kekecewaan di dalam hatinya terhadap Dukuh Paruk membuat Rasus pergi meninggalkan Srintil. Selain memiliki sifat yang berani, Rasus juga sangat taat dalam beribadah dan rendah hati. Hal ini terlihat ketika Rasus pulang ke Dukuh Paruk, meskipun dia sudah menjadi tentara, Rasus tetap mengakui orang- orang Dukuh Paruk sebagai saudaranya. Selain itu, Rasus juga sangat rajin sembahyang. Seperti pada kutipan berikut: “Sampean bibiku, pamanku, uwakku, dan sedulurku semua, apakah kalian selamat?” kata Rasus kepada semua orang yang ada di sekelilingnya. Namun, sebutan “sedulur” yang diucapkan Rasus dengan tulus malah mengunci semua mulut orang Dukuh Paruk. Mereka terharu masih diakui saudara oleh Rasus yang tentara, yang kuasa menentukan apakah seseorang harus ditahan atau dibebaskan. Lama tak ada yang bersuara sampai terdengar Sakarya terbatuk dari kur sinya.” “Rasus tersenyum melihat ulah Nyai Kartareja berjalan cepat dan girang seperti anak kecil. Handuk disampirkannya pada pelepah pisang di halaman. Baju dan celananya diganti, dan menyisir rambut. Sebuah kain sarung digelar di atas tanah dekat lincak. Rasus bersembahyang.” 14 Seperti pada kutipan di atas, tokoh Rasus digambarkan sebagai seorang yang rendah hati, meskipun dia sudah merasa tersakiti oleh Dukuh Paruk. Rasus tetap mengakui Dukuh Paruk sebagai kampungnya dan warganya sebagai saudara-saudaranya. Hal ini membuktikan bahwa Rasus tidak menjadi sombong atau lupa diri meski dia telah menjadi seorang tentara. 13 Ibid., h. 101-102. 14 Ibid., h. 257 351. Rasus dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk memiliki kedudukan sebagai tokoh utama. Seperti halnya dengan Srintil, Rasus juga merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Meskipun demikian, Rasus sebagai tokoh utama tidak selalu muncul dalam setiap kejadian yang terjadi di dalam novel, atau tidak langsung ditunjuk dalam setiap bagian di dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, namun ternyata dalam setiap kejadian atau setiap bagian di dalam novel yang tidak menyertakan Rasus. Rasus tetap memiliki keterikatan dengan tokoh utama, Srintil. Misalnya, pada bagian Jantera Bianglala, Rasus sebagai tokoh utama tidak muncul di dalam cerita tetapi tetap dikaitkan dengan konflik batin yang dialami Srintil hingga Srintil menolak untuk naik pentas. Dengan demikian, Rasus dapat dikategorikan sebagai tokoh utama tambahan. Rasus juga dikategorikan sebagai tokoh protagonis. Rasus merupakan tokoh yang menjadi sorotan kedua setelah tokoh Srintil dan memiliki keterikatan dengan tokoh-tokoh lain dalam novel. Kehadiran sosok Rasus memunculkan konflik batin pada Srintil karena Srintil menyukai Rasus dan Srintil ingin dijadikan istri oleh Rasus tetapi Rasus tahu kalau Srintil milik Dukuh Paruk. Konflik yang dialami tokoh Rasus disebabkan oleh tokoh antagonis, Nyai Kartareja dan Kartareja yang tidak menginginkan Rasus menikah dengan Srintil karena takut anak asuhnya berhenti menjadi seorang ronggeng. Selain itu, Rasus juga merasa kecewa dengan adat Dukuh Paruk yang menjadikan ronggeng sebagai milik umum hingga Rasus tidak dapat berteman lagi dengan Srintil yang telah menjadi ronggeng. Dengan persoalan-persoalan yang dialami oleh Rasus, tokoh Rasus dapat dikategorikan sebagai tokoh protagonis. Rasus juga dikategorikan sebagai tokoh kompleks dan dinamis. Rasus mengalami perubahan dan perkembangan sikap dan watak. Perubahan dan perkembangan sikap Rasus terjadi seiring dengan pendewasaan dan berbagai permasalahan yang dialami Rasus sebagai tokoh kompleks dan dinamis. Perubahan dan perkembangan sikap dan watak Rasus terjadi dari awal cerita yang semula Rasusu digambarkan sebagai tokoh yang rendah diri dan bodoh karena kemiskinan yang terjadi di Dukuh Paruk, lalu sikap Rasus berkembang dan mengalami perubahan menjadi tokoh yang pemberani, pandai, dan bertanggung jawab. Perubahan ini terlihat logis seiring dengan berbagai permasalahan yang menimpa Rasus hingga menyebabkan perubahan dan perkembangan sikap Rasus dalam menghadapi berbagai masalah di hidupnya. Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari ini juga didukung oleh kehadiran tokoh-tokoh tambahan yang turut berperan dalam novel ini, di antaranya: a. Sakarya Tokoh tambahan dalam Ronggeng Dukuh Paruk salah satunya adalah Sakarya. Sakarya memilki sifat yang taat pada aturan-aturan kepercayaannya, serta menganggap beberapa hal yang terjadi dalam hidup ini tidak jauh dari hubungan manusia dengan Ki Secamenggala dan tidak terlepas dari kepercayaan-kepercayaan di dalamnya. Seperti pada kutipan berikut: “….Walaupun sedang menunggu mayat anak dan menantunya, tengah malam Sakarya keluar menuju makam Ki Secamenggala. Laki-laki itu menangis seorang diri di sana. Dalam kesedihannya yang amat sangat, Sakarya mengadukan malapetaka yang terjadi kepada moyang orang Dukuh Paruk. Sakarya tidak lupa, dirinya menjadi kamitua di pedukuhan itu.” “Perasaan kakek Srintil itu lebih dirisaukan oleh peristiwa- peristiwa kecil namun baginya penuh makna….Sakarya selalu membaca sasmita alam. Sakarya tidak pernah berpikir bahwa suatu perkara kecil apa pun bisa berdiri sendiri, lepas dari kehendak semesta. Dan semuanya pastilah mengemban makna yang sasmita. Sepanjang menyangkut binatang asing yang mendekat, apalagi sampai masuk rumah, siapa pun di Dukuh Paruk akan membacanya sebagai pertanda buruk.” 15 Kutipan di atas menggambarkan tokoh kakek Srintil itu sebagai seorang yang selalu percaya akan adanya makna-makna yang tersirat pada semua pertanda-pertanda alam yang terjadi. Selain itu, tokoh Sakarya juga digambarkan sebagai orang yang patuh dan taat terhadap kepercayaannya, terlebih ketika Sakarya telah menjadi kamitua di Dukuh Paruk. b. Kartareja Kartareja digambarkan sebagai dukun ronggeng yang materialistis dan licik. Sebagai dukun ronggeng, Kartareja dipercaya oleh Sakarya untuk mendidik Srintil agar menjadi ronggeng. Kartareja digambarkan sebagai orang yang materialistis dan licik karena ketika mengadakan bukak-klambu, Kartareja memenangkan Dower dan Sulam agar mendapatkan sekeping ringgit emas dan juga seekor kerbau. Seperti digambarkan pada kutipan berikut: “Baiklah. Uang panjarmu bisa kuterima. Tetapi besok malam kau harus datang membawa sebuah ringgit emas. Kalau tidak, apa boleh buat. Kau kalah dan uang panjarmu hilang. Bagaimana?” “Kalau saya gagal memperoleh sebuah ringgit emas maka uang panjar saya hilang?” tanya Dower. “Ya” jawab Kartareja singkat. Rona kelicikan mewarnai wajahnya. Dower termangu, tampak berpikir keras. 16 Pada kutipan di atas, menggambarkan Kartareja yang licik ketika ingin melakukan sayembara bukak-klambu bagi Srintil. Kelicikan itu juga terjadi ketika bukak-klambu itu sedang berlangsung besok malamnya. Seperti pada kutipan berikut: “Kartareja mengeluarkan botol-botol dari lemari. Sebuah masih penuh berisi ciu. Sebuah lagi hanya berisi seperempatnya. 15 Ibid., h. 30 158. 16 Ibid., h. 59. Isi botol yang kedua ditambah dengan air tempatnya hingga penuh. Kepada istrinya yang datang membawa dua buah cangkir, Kartareja memerintahkan menghidangkan minuman keras itu kepada Sulam dan Dower. “Jangan keliru Yang asli buat Sulam. Lainnya buat Dower,” kata Kartareja. Istrinya tersenyum. Walaupun tidak selicik Kartareja, namun perempuan itu sudah dapat menduga ke mana maksud tindakan suaminya.” 17 c. Nyai Sakarya Nyai Sakarya digambarkan sebagai seorang nenek yang penyayang dan juga sangat memiliki jiwa keibuan. Seperti pada kutipan berikut: “Seorang nenek yang terbungkuk-bungkuk berjalan merangkul cucunya. Nyai Sakarya maupun Srintil membisu. Namun dalam hati masing-masing sudah tumbuh kesepakatan: mereka berdua hendak pulang ke Dukuh Paruk…. Agak jauh di depan sepasang sinar kebiruan bergerak menyeberang pematang diikuti oleh dua pasang lainnya. Srintil merapat ke tubuh neneknya.” 18 Kutipan di atas Nyai Sakarya digambarkan sebagai seorang nenek yang penyayang, dan sabar. Nyai Sakarya dengan sabar mecari Srintil yang kala itu kabur keluar Dukuh Paruk karena ingin mencari Rasus. Selain itu, Nyai Sakarya memliki sifat yang sangat keibuan sehingga dia bisa menenangkan Srintil ketika Srintil takut atau gelisah. d. Nyai Kartareja Tokoh tambahan lain dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah Nyai Kartareja. Nyai Kartareja digambarkan sebagai seorang dukun rongggeng yang licik, dan materialistis. Hal ini tidak jauh berbeda dengan suaminya. Seperti pada kutipan berikut: “Inilah susahnya momong seorang ronggeng cantik tetapi masih kekanak-kanakan. Bayangkan, Pak. Srintil sedang menuntut kalung seperti yang dipakai oleh istri Lurah Pecikalan, sebuah 17 Ibid., h. 73-74 18 Ibid., h. 134-135. rantai emas seberat seratus gram dengan bandul berlian. Seorang priyayi seperti sampean, kalau mau, tentu bisa memenuhi keinginan Srintil itu. Nah, bagaimanakah dengan kami yang melarat ini. Oh, Srintil. Mentang-mentang cantik mudah saja dia memberi beban berat kepada kami.” 19 Kutipan tersebut menggambarkan Nyai Kartareja yang licik karena sebenarnya yang menginginkan kalung emas itu bukan Srintil melainkan dirinya. Akibat Srintil yang tidak mau menemui Marsusi, maka alasan yang digunakan Nyai Kartareja adalah Srintil sedang merajuk karena menginginkan kalung emas. Tidak hanya itu, Nyai Kartareja juga digambarkan sebagai tokoh yang tidak tahu diri, yang tidak mengerti bagaimana perasaan Srintil setelah keluar dari penjara. Seperti pada kutipan berikut: “Oalah, Gusti Pangeran,” tangis Srintil dalam ratap tertahan. “Nyai, kamu ini kebangetan Kamu menyuruh aku kembali seperti dulu? Kamu tidak membaca zaman? Kamu tidak membaca betapa keadaanku sekarang? Oalah, Gusti….” “Eh, sabar dulu, Jenganten. Dengar dulu kata-kataku Siapa bilang ada orang yang tidak mengerti keadaan sampean. Tetapi apakah sampean hanya mau mementingkan diri sendiri dan tidak mau mengerti urusan perut orang Dukuh Paruk yang hanya bisa nunut sampean?” “Aku memang tidak mau tahu. Orang Dukuh Paruk bisa hidup tanpa bergantung kepadaku. Orang Dukuh Paruk biasa makan iles-iles, bahkan bonggol pisang. Lakukan itu dan jangan meminta aku kembali berbuat kesalahan. Oalah, Nyai. Kamu hanya mengalami dua minggu di tahanan. Sedangkan aku dua tahun. Cukup, Nyai. Cukup” 20 e. Pak Bakar Pak Bakar digambarkan sebagai seorang pria yang berwibawa dan memiliki sifat kebapakan. Sifatnya tersebut Pak Bakar dapat dengan mudah diterima oleh orang Dukuh Paruk. Seperti pada kutipan berikut: 19 Ibid., h. 122. 20 Ibid., h. 288. “Di mata Srintil, Bakar adalah ayah yang sangat layak. Ramah, dan kelihatannya paham akan banyak hal termasuk perasaan pribadi Srintil…. Dukuh Paruk yang bersahaja serta- merta menerima Bakar sebagai orang bijak yang bisa memimpin dan melindunginya. Bila datang ke sana ahli pidato itu mendapat penghormatan sebagai seorang kamitua laiknya. Kata-katanya dituruti, pengaturannya dijalankan. Satu-satunya jalan yang menjadi pintu masuk ke Dukuh Paruk berhias lambang partai….” Kutipan di atas menggambarkan tokoh Pak Bakar yang mudah diterima oleh orang Dukuh Paruk karena kewibawaan dan kebaikan- kebaikannya terhadap orang Dukuh Paruk. Dengan kepandaiannya berbicara dia digambarkan sebagai laiknya kamitua di Dukuh Paruk. Pak Bakar dipercaya dapat memimpin dan melindungi Dukuh Paruk. Padahal, Pak Bakar melakukan itu semua karena ada tujuan lain di dalamnya seperti melibatkan Dukuh Paruk ke dalam partai politiknya. Namun, setelah mengenal Pak Bakar ternyata Pak Bakar adalah orang yang tidak sopan, karena menghina Ki Secamenggala, moyang Dukuh Paruk. Seperti pada kutipan di bawah ini: “Nanti dulu, Kang Sakarya,” ujar Bakar sambil tersenyum. “Aku yakin betul, apa yang terjadi di sawah-sawah itu seharusnya tidak asing bagi semua orang Dukuh Paruk. Nah, apa kalian mengira aku tidak tahu siapa dan bagaimana kelakuan nenek moyang kali an?” Sakarya terperanjat. Kata-kata Bakar tak diduganya sama sekali. Kata-kata itu mengandung penghinaan, menyangkut moyang Dukuh Paruk yang amat dikeramatkan oleh sekalian keturunannya. Ki Secamenggala yang semasa hidupnya menjadi bromocorah, pemimpin rampok yang tidak hanya sekali-dua membunuh korbannya. Tetapi bagaimana juga Ki Secamenggala adalah laki- laki dari siapa semua orang Dukuh Paruk berasal.” 21 f. Bajus Tokoh tambahan terakhir dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah Bajus. Bajus digambarkan sebagai laki-laki Jakarta yang pandai 21 Ibid., h. 233. dan menarik perhatian Srintil karena sopan terhadap dirinya, seperti pada kutipan berikut: “Dan Srintil tidak bisa menolak kenyataan bahwa Bajus makin lama membuat Rasus tersisih dari hatinya. Bajus yang sama sekali belum memperlihatkan hal-hal yang tidak disukainya. Perkenalan selama lima bulan dengan orang proyek itu adalah harapan. Selama itu Bajus sungguh belum pernah menyentuh kulitnya, belum pernah berbicara tentang hal-hal erotik, baik langsung maupun tersamar. Sopan dan ramah seperti seorang priyayi sejati. Ditambah dengan kenyataan Bajus membantu banyak sekali dalam pembangunan rumah Srintil, maka mahkota Dukuh Paruk itu hanya bisa menarik satu nalar, Bajus adalah lelaki yang baik dan bersungguh-sungguh. Dia bukan laki-laki dari dunia petualangan, dunia yang Srintil bertekad untuk meninggalkannya.” Kutipan di atas Bajus digambarkan sebagai laki-laki sejati, laki- laki yang sopan, laki-laki yang bertanggung jawab, sehingga sifat Bajus ini menarik perhatian Srintil dan memberi harapan kepada Srintil yang memang ingin segera berumah tangga. Namun, di akhir cerita ternyata Bajus bukanlah laki-laki yang seperti digambarkan di awal. Bajus adalah laki-laki yang licik dan jahat karena telah memanfaatkan Srintil untuk karir Bajus dikedepannya. Seperti pada kutipan di bawah ini: “Sementara Blengur terus menatap foto Srintil, Bajus terus memberi keterangan panjang tentang perempuan muda dari Dukuh Paruk itu. Ketika berkata bahwa Srintil kini kelihatan sedang berusaha keras menjadi seorang ibu rumah tangga, Bajus mengubah nada kata-katanya dengan tekanan yang khas. “Jadi begitu,” potong Blengur. “Lalu mengapa dia mau kamu bawa kemari? Kamu tipu dia, kan?” 22 Kutipan tersebut menggambarkan Bajus menipu Srintil dengan kebaikan-kebaikan yang dilakukannya kepada bekas ronggeng itu. Bajus menyuruh Srintil untuk melayani Blengur karena Bajus tidak mungkin menikahi Srintil. Bajus telah kehilangan keperkasaannya akibat peristiwa kecelakaan di Proyek Jatiluhur beberapa tahun sebelumnya. Sikap Bajus yang seperti sangat mengecewakan Srintil. Karena selain menipu Srintil, 22 Ibid., h. 379. Bajus juga digambarkan sebagai laki-laki yang kasar dalam berbicara, apalagi Bajus menghina Srintil yang bekas ronggeng dan bekas PKI. Seperti pada kutipan berikut: “Kamu tetap menolak? Tidak bisa Kamu orang Dukuh Paruk harus tahu diri. Aku telah banyak membantumu. Aku telah banyak mengeluarkan uang untuk kamu” Bajus berjalan berputar-putar sambil tetap menjaga agar dirinya menjadi palang pintu. Srintil duduk kaku, tak bereaksi sedikit pun terhadap kata-kata yang didengarnya. Tiba-tiba Bajus mengentakkan kaki lalu melangkah ke ambang pintu. Sambil menutup pintu dari luar, Bajus berkata dengan tekanan yang berat, “Kamu orang Dukuh Paruk mesti ingat. Kamu bekas PKI Bila tidak mau menurut akan aku kembalikan kamu ke rumah tahanan. Kamu kira aku tidak bisa melakukannya?” 23 Kutipan di atas menggambarkan tokoh Bajus yang sangat tajam dalam berkata-kata sehingga sangat menyakiti perasaan Srintil. Kata-kata yang kasar tersebut tentu tidak pantas keluar dari mulut seorang Bajus, yang digambarkan sebagai laki-laki sejati tetapi justru sangat mengecewakan. Tokoh-tokoh yang terdapat di dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk mempunyai peran masing-masing untuk menjelaskan bagaimana seorang ronggeng di Dukuh Paruk. Tokoh Srintil dan Rasus sebagai tokoh utama mempunyai peranan yang penting dalam penggambaran ronggeng Dukuh Paruk. Mereka didukung oleh tokoh-tokoh tambahan lain untuk meberikan penjelasan bagaimana peran dan kedudukan ronggeng di Dukuh Paruk. Bagi warga Dukuh Paruk, ronggeng dianggap sebagai pembawa keberkahan, milik umum dan memiliki kedudukan yang tinggi. Warga Dukuh Paruk sangat bangga mempunyai ronggeng seperti Srintil. Ronggeng adalah cerminan dari simbol Dukuh Paruk, maka Dukuh Paruk akan terasa hidup apabila di dukuhnya terdapat seorang ronggeng. Meski demikian, warga di luar Dukuh Paruk tetap menganggap ronggeng Srintil 23 Ibid., h. 383. sebagai pelacur atau sundal. Srintil dianggap sebagai perusak rumah tangga dan menjadi bahan cemburu bagi istri-istri di luar Dukuh Paruk. Kedudukan ronggeng Srintil di luar Dukuh Paruk tidak seistimewa di dalam Dukuh Paruk. Selain itu, Sakarya, Nyai Sakarya, Kartareja, Nyai Kartareja, Pak Bakar dan Bajus juga dapat dikategorikan sebagai tokoh statis dan sederhana. Hal ini karena, mereka hanya memiliki satu kualitas, sati sifat, atau watak tertentu, dan tidak mengalami berbagai masalah. Selain itu, mereka juga tidak mengalami perubahan sikap dan watak dari awal hingga akhir cerita. Pak Bakar, Bajus, Kartareja, dan Nyai Kartareja dapat dikategorikan pula sebagai tokoh antagonis. Kehadiran mereka menyebabkan munculya suatu konflik yang dialami oleh tokoh protagonis. Selain itu, mereka juga tokoh yang bertentangan dengan tokoh protagonis, mereka selalu menentang dan melawan apa yang dilakukan oleh tokoh protagonis, serta menyebabkan terjadinya konflik sehingga cerita menjadi lebih hidup. Misalnya, Kartareja dan Nyai Kartareja yang menentang Srintil ketika Srintil memutuskan untuk berhenti menjadi ronggeng dan menjadi perempuan somahan. Mereka melakukan segala cara agar keinginan Srintil tidak terwujud. Hal ini menyebabkan konflik di antara Srintil dan Nyai Kartareja.

3. AlurPlot

Alur yang digunakan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari adalah campuran. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam novel ini dikisahkan tidak secara mutlak lurus-kronologis atau sebaliknya sorot balik. Secara garis besar plot sebuah novel mungkin progresif tetapi di dalamnya, betapapun kadar kejadiannya, sering terdapat adegan-adegan sorot balik. 24 Cerita dimulai ketika Srintil hendak menjadi ronggeng, lalu flashback ke peristiwa orang tua Srintil yang meracuni orang Dukuh Paruk 24 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2013, cet. 10. H. 215. akibat tempe bongkreknya yang mengandung racun. Lalu cerita kembali ke proses Srintil menjadi ronggeng, hingga akhirnya Rasus meninggalkan Dukuh Paruk karena kecewa setelah Srintil menjadi ronggeng, itulah awal mula konflik terjadi. Puncak konflik terjadi ketika selama beberapa bulan ditinggal Rasus, Srintil enggan naik pentas dan melayani pria yang datang. Srintil justru asyik merawat Goder anak Tampi, namun ketika akhirnya Srintil memutuskan untuk naik pentas kembali, Srintil justru terlibat ke dalam PKI. Setelah bebas dari penjara, terjadi flashback dengan sedikit menceritakan bagaimana kehidupan Srintil dua tahun di penjara. Lalu, penurunan konflik terjadi ketika indang ronggeng telah menghilang dan Srintil memutuskan untuk berhenti meronggeng dan ingin membangun rumah tangga. Namun, cerita ini dibuat dengan akhir cerita yang menggantung karena ketika Srintil gila akibat dikecewakan oleh Bajus yang ternyata tidak bisa menikahinya. Srintil diajak berobat oleh Rasus. Namun pengarang membiarkan akhir cerita ini menggantung, membiarkan pembaca untuk menerka-nerka sendiri bagaimana kelanjutan hubungan Srintil dengan Rasus. Secara umum, rangkaian peristiwa-peristiwa tersebut dijelaskan melalui tahapan sebagai berikut: a. Tahap Penyituasian Tahapan situation atau tahapan penyituasian, tahap yang menjelaskan atau memperkenalkan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita. Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, tahapan ini di mulai dengan menjelaskan tokoh-tokoh di dalamnya, dan tahapan ketika indang ronggeng memasuki ke dalam diri Srintil. Seperti pada kutipan berikut: “Menjelang tengah malam barangkali hanya Sakarya yang masih termangu di bawah lampu minyak yang bersinar redup. Sakarya, kamitua di pedukuhan terpencil itu, masih merenungi ulah cucunya sore tadi. Dengan diam-diam Sakarya mengikuti gerak- gerik Srintil ketika cucunya itu menari di bawah pohon nangka. Sedikit pun Sakarya tidak ragu, Srintil telah kerasukan indang ronggeng.” 25 Kutipan di atas menjelaskan tahap penyituasian memperkenalkan tokoh Srintil yang pandai menari karena telah kerasukan indang ronggeng, dan memperkenalkan tokoh Sakarya, kakek dari Srintil yang merupakan kamitua di Dukuh Paruk. Selain menggambarkan tentang tokoh, tahap penyituasian juga menggambarkan tentang situasi atau latar dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Latar yang memperkenalkan novel tersebut adalah Dukuh Paruk yang penuh dengan seloroh cabul, yang tidak terganggu dengan kemiskinan dan kebodohan yang menimpa warganya yang tidak akan lengkap tanpa ada ronggeng di dalamnya. Seperti pada kutipan berikut: “Tak seorang pun menyalahkan Sakarya. Dukuh Paruk hanya lengkap bila di sana ada keramat Ki Secamenggala, ada seloroh cabul, ada sumpah serapah, dan ada ronggeng bersama perangkat calungnya. Gambaran tentang Dukuh Paruk dilengkapi oleh ucapan orang luar yang senang berkata misalnya, “jangan mengabadikan kemeralatan seperti orang Dukuh Paruk.” Atau, “Hai, anak-anak, pergilah mandi. Kalau tidak nanti kupingmu mengalir nanah, kakimu kena kudis, seperti anak-anak Dukuh Paruk” 26 Tahapan ini juga dimulai dengan sedikit flashback tentang kejadian keracunan tempe bongkrek Santayib dan Istrinya yang merupakan orang tua Srintil. Peristiwa menceritakan bagaimana proses Srintil dan Rasus menjadi yatim-piatu. Seperti pada kutipan di bawah ini: “Srintil adalah seorang yatim-piatu, sisa sebuah malapetaka, yang membuat banyak anak Dukuh Paruk kehilangan ayah- ibu…. Alam membisu mendengar ratap Sakarya. Dukuh Paruk bungkam. Hanya kadang terdengar keluh sakit. Atau tangis orang-orang yang menyaksikan saudara meregang nyawa. Bau bunga sedap malam dikalahkan oleh asap kemenyan yang 25 Tohari, Op. Cit, h. 15 26 Ibid., h. 15-16. mengepul dari semua rumah di Dukuh Paruk, pedukuhan yang berduka ketika Srintil genap berusia lima bulan.” 27 b. Tahap Pemunculan Konflik Tahap pemunculan konflik atau tahap generating circumstances, masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai dimunculkan. Dalam novel ini, tahap pemunculan konflik dimulai ketika proses Srintil menjadi ronggeng hingga menjadi ronggeng. Tahap ini, Srintil mulai melalui tahapan menjadi ronggeng yaitu dimulai dengan upacara pemandian di makam Ki Secamenggala dan sayembara bukak-klambu. Kedua tahapan yang harus dilalui Srintil sebagai seorang ronggeng membuat Rasus kecewa karena Srintil nantinya akan menjadi milik umum dan tidak bisa dimiliki oleh Rasus yang saat itu belum menjadi apa-apa. Seperti pada kutipan berikut: “Kartareja menari makin menjadi-jadi. Berjoget dan melangkah makin mendekati Srintil. Tangan kirinya melingkari pinggang Srintil. Menyusul tangannya yang kanan. Tiba-tiba dengan kekuatan yang mengherankan Kartareja mengangkat tubuh Srintil tinggi-tinggi. Menurunkannya kembali dan menciumi ronggeng itu penuh berahi…. Aku melihat tontonan itu tanpa perasaan apa pun kecuali kebencian dan kemarahan. Tak terasa tanganku mengepal. Hanya itu, karena aku tak bertindak apa-apa. Tak berani berbuat apa-apa. Dan Kartareja terus menciumi Srintil tanpa peduli puluhan pasang mata melihatnya.” 28 Kutipan tersebut menggambarkan adanya pemunculan konflik ketika Srintil melakukan upacara pemandian di makam Ki Secamenggala dan Srintil harus menari dengan Kartareja yang saat itu sedang kerasukan arwah Ki Secamenggala. Melihat itu Rasus merasa amat kecewa dan benci melihatnya karena seorang diperlakukan seperti itu di muka umum. Tetapi Rasus yang saat itu masih remaja tidak bisa berbuat apa-apa. Hingga akhirnya, ketika Srintil sudah menjadi penari ronggeng terkenal, Rasus pergi meninggalkan Dukuh Paruk karena sampai kapan 27 Ibid., h. 2131. 28 Ibid., h. 48.

Dokumen yang terkait

Ronngeng dalam kebudayaan Banyumas dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di SMA “suatu tinjauan objektif”

5 126 140

Konflik batin tokoh utama dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari serta implikasinya terhadap pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di MTS Al-Mansuriyah, Kec Pinang, Kota Tangerang

4 44 99

REALISASI KESANTUNAN BERBAHASA DALAM NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI

3 14 178

KONFLIK BATIN TOKOH UTAMA DALAM NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI: TINJAUAN PSIKOLOGI SASTRA Konflik Batin Tokoh Utama Dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari: Tinjauan Psikologi Sastra Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastr

0 2 12

KONFLIK BATIN TOKOH SRINTIL DALAM NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI: TINJAUAN PSIKOLOGI SASTRA.

0 2 21

REPRESENTASI DISKRIMINASI PEREMPUAN DALAM NOVEL “RONGGENG DUKUH PARUK” (Studi Semiologi Tentang Representasi Diskriminasi Perempuan Dalam Novel “Ronggeng Dukuh Paruk” Karya Ahmad Tohari).

2 7 121

REPRESENTASI DISKRIMINASI PEREMPUAN DALAM NOVEL “RONGGENG DUKUH PARUK” (Studi Semiologi Tentang Representasi Diskriminasi Perempuan Dalam Novel “Ronggeng Dukuh Paruk” Karya Ahmad Tohari).

0 0 121

View of DIKSI SEKSUALITAS DALAM NOVEL TRILOGI RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI

0 0 10

REPRESENTASI DISKRIMINASI PEREMPUAN DALAM NOVEL “RONGGENG DUKUH PARUK” (Studi Semiologi Tentang Representasi Diskriminasi Perempuan Dalam Novel “Ronggeng Dukuh Paruk” Karya Ahmad Tohari)

0 0 25

REPRESENTASI DISKRIMINASI PEREMPUAN DALAM NOVEL “RONGGENG DUKUH PARUK” (Studi Semiologi Tentang Representasi Diskriminasi Perempuan Dalam Novel “Ronggeng Dukuh Paruk” Karya Ahmad Tohari)

0 0 25