Proses Menjadi Ronggeng Hakikat Ronggeng
Koentjaraningrat mengemukakan
bahwa kebudayaan
berarti keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan
belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu.
45
Kebudayaan mempunyai tiga aspek, yaitu: kebudayaan sebagai tata kelakuan manusia,
kebudayaan sebagai kelakuan manusia itu sendiri, dan kebudayaan sebagai hasil kelakuan manusia.
Pada hakikatnya warna lokal itu ialah realitas sosial budaya suatu daerah yang ditunjuk secara langsung oleh fiksionalitas suatu karya. Secara
intrinsik dalam struktur karya sastra, warna lokal selalu dihubungkan dengan unsure pembangkitnya, yaitu latar belakang, penokohan, gaya bahasa, dan
suasana. Dalam konteks sastra sebagai sistem tanda, warna lokal selalu dikaitkan dengan kenyataan hidup itu ialah kenyataan sosial budaya dalam arti
luas, yang antara lain berkomponen aspek adat-istiadat, agama, kepercayaan, sikap dan filsafat hidup, kesenian, hubungan sosial, struktur sosial, atau sistem
kekerabatan.
46
Perbedaan antara adat dan kebudayaan adalah soal lain, dan bersangkutan dengan konsepsi bahwa kebudayaan itu mempunyai tiga wujud,
ialah: 1 wujud ideal, 2 wujud kelakuan, dan 3 wujud fisik. Adat adalah wujud ideal dari kebudayaan. Secara lengkap wujud itu dapat kita sebut
adat tata-kelakuan, karena adat berfungsi sebagai pengatur kelakuan. Adat dapat
dibagi lebih khusus dalam empat tingkat, ialah 1 tingkat nilai-budaya, 2 tingkat norma-norma, 3 tingkat hukum, dan 4 tingkat aturan khusus.
47
Mulder menyatakan bahwa masyarakat Jawa pada umumnya menganggap kemunggalan dan keharmonisan hubungan manusia dengan
Tuhan sebagai cermin model bagi hubungan antara manusia dengan manusia lain di masyarakat. Bagi orang Jawa, kemunggalan berarti keteraturan,
ketentraman, dan keseimbangan. Hal yang dapat diramalkan kesopanan dan keharmonisan di antara bagian-bagian, baik secara perseorangan maupun
45
Koentjaraningrat, Bunga Rampai: Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan,
Jakarta: PT Gramedia, 2008, h. 9.
46
Antilan Purba, Sastra Indonesia Kontemporer, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012, h. 69.
47
Koentjaraningrat, Op. Cit., h. 10-11.
secara sosial. Untuk mencapai keharmonisan di dalam hidup, segenap keinginan, ambisi, dan nafsu pribadi dianggap membahayakan keserasian
sosial dan orang harus mengorbankan diri demi masyarakat dan bukannya memaksakan kehendaknya kepada masyarakat. Kondisi yang paling tidak
disukai adalah kekacauan dan ketakharmonisan.
48
Banyumas sebagai salah satu bagian dari wilayah provinsi Jawa Tengah, memiliki berbagai macam budaya, adat istiadat, dialek, dan kesenian
yang unik dan menarik. Hal tersebut dikarenakan letak geografis Banyumas yang berada pada perbatasan dua etnis yang berbeda yaitu masyarakat Jawa
Barat Sunda dan masyarakat Jawa Tengah Surakarta dan Yogyakarta. Oleh sebab itu, pengaruh kebudayaan dan kesenian etnis yang berbeda menjadi
cukup kuat terhadap masyarakat Banyumas.
49
Salah satu kesenian rakyat yang berkembang sampai saat ini di daerah Banyumas adalah tayub. Tayub pada awalnya merupakan jenis kesenian yang
berfungsi sebagai upacara adat, memohon kesuburan dan sebagai bentuk rasa terimakasih atas hasil panen, namun perkembangannya sekarang berfungis
sebagai seni hiburan atau tontonan. Penari wanita yang menjadi pusat dari tayuban yang dikenal dengan istilah
ronggeng, taledhek tledhek, ledhek, tandhak.
Dialek Banyumas merupakan salah satu identitas budaya Banyumas, selain kesenian tayub yang telah dijelaskan di atas. Banyak kosakata dialek
Banyumasan yang berasal dari Jawa Kuna, Jawa Pertengahan, Sunda Kuna, dan Sunda. Dialek Banyumasan adalah hasil kontak antarbudaya lokal yang
terjadi sejak masa Majapahit akhir hingga sekarang. Bahasa Jawa baku menampakkan fenomena feodalisasi dalam
masyarakat Jawa, tidak terkecuali Banyumas. Para elite keturunan Banyumas yang mengacu kepada budaya keratin menjadi korban feodalisme bahasa Jawa
baku. Di pihak lain, gejala tersebut tidak menyentuk secara intensif
48
Slamet Riyadi, dkk, Idiom Tentang Nilai Budaya Sastra Jawa, Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994, h. 12-13.
49
Wien Pudji Priyanto DP, “Estetika Tari Gambyong Calung dalam Kesenian Lengger
Banyumas”, Jurnal Imaji,Vol. 2, No. 2, Agustus 2004, h. 206.
masyarakat Banyumas yang hidup di daerah pedesaan. Masyarakat pedesaan Banyumas merupakan basis kehidupan dialek Banyumasan yang bersifat
demokratis karena tidak megenal tingkatan atau strata bahasa. Masyarakat Banyumas amat menghargai kesepadanan di antara para penuturnya, terbuka
terhadap pengaruh budaya
lain, dan
memiliki kebebasan
dalam mengapresiasikan budaya Banyumas yang selaras dengan wataknya.
Keegaliteran masyarakat Banyumas merupakan hasil didikan bahasa dialeknya selama berates-ratus tahun yang lalu. Roh keegaliteran kesepadanan inilah
yang membedakan dialek Banyumasan dengan dialek lainnya.
50
Kehidupan sosial masyarakat Banyumas masih akrab dengan foklor
yang sangat dipengaruhi oleh ajaran dinamisme-animesme dan perkembangan
islam abangan. Kepercayaan terhadap takhayul, kekuatan-kekuatan supranatural yang melingkupi hidup manusia dan kepercayaan tentang
ketuhanan menggambarkan pencampuran sistem kepercayaan dan ajaran agama. Hal ini yang merupakan gambaran kehidupan religi masyarakat
Banyumas.