Sudut Pandang Unsur Intrinsik Novel Ronggeng Dukuh Paruk
lain karena kata-kata tersebut merupakan umpatan yang sangat kasar. Kata- kata tersebut di antaranya,
asu buntung, bajul buntung, bangsat, dan asu. Seperti pada kutipan berikut:
“Santayib. Engkau anjing Asu buntung. Lihat, bokor ini biru karena beracun.
Asu buntung. Engkau telah membunuh semua orang. Engkau… engkau aaasssu….”
56
Kutipan di atas merupakan majas sarkasme yang digunakan oleh para tokoh di dalam novel untuk mengumpat, memaki, dan menghina orang lain.
Tetapi, karena kemeralatan, kebodohan, dan rendahnya nilai moral warga Dukuh Paruk maka kata-kata tersebut menjadi hal yang biasa untuk
diucapkan. Penggunaan majas sarkasme menunjukan bahwa Dukuh Paruk yang merupakan desa terpencil di tenggara Jawa Tengah yang masih
tertinggal, sehingga mereka memiliki budaya, adat, dan moral tersendiri dalam bermasyarakat di pedukuhan tersebut. Hal ini tentu berkaitan dengan
kemelaratan, kebodohan, dan kemiskinan yang terjadi di Dukuh Paruk, sehingga umpatan dan makian kasar menjadi hal yang biasa diucapkan oleh
warga Dukuh Paruk.
Majas sarkasme digunakan untuk mengekspresikan bahwa Dukuh Paruk dengan kebodohan dan kemiskinannya meneyebabkan umpatan dan
makian kasar menjadi hal yang biasa. Terlebih pengarang seakan menertawakan kebodohan, kemisikinan Dukuh Paruk. Pengarang seakan-
akan tengah mengejek atau menyindir kebodohan dan kemiskinan warga Dukuh Paruk. Seperti dalam kutipan di bawah ini:
“Entah sampai kapan pemukiman sempit dan terpencil itu bernama Dukuh Paruk. Kemeralatannya, keterbelakangannya,
penghuninya yang kurus dan sakit, serta sumpah serapah cabul yang menjadi bagiannya yang sah. Keramat Ki Secamenggala pada
puncak bukit kecil di tengah Dukuh Paruk seakan menjadi pengawal abadi atas segala kekurangan di sana. Dukuh Paruk yang
dikelilingi amparan sawah berbatas kaki langit, tak seorang pun penduduknya memiliki lumbung padi meski yang paling kecil
56
Ibid., h. 26.
sekalipun. Dukuh Paruk yang karena kebodohannya tak pernah menolak nasib yang diberikan alam.”
57
Kutipan di atas menunjukan bahwa pengarang tampak mengejek dan menertawakan kebodohan warga Dukuh Paruk, sebagai kebodohan
yang langgeng, kemeralatan, dan keterbelakangan, sumpah serapah cabul, keramat Ki Secamenggala, dan lain-lain. Ironisnya, warga Dukuh Paruk
sendiri justru tidak merasakan kenistaan itu, maka jangankan mereka sadar akan kebodohannya, disadarkan pun tidak mau. Pengarang menggunakan
bahasa sebagai ekspresi dalam menyikapi keadaan para tokoh melalui sindiran dan ejekan. Kutipan tersebut juga menunjukkan bahwa pengarang
yang berdialog dalam novel sebagai narator yang memandang dan menceritakan Dukuh Paruk seakan-akan pengarang adalah warga luar
Dukuh Paruk yang tengah mengejek dan menertawakan kemelaratan, kebodohan, dan kemiskinan yang dialami oleh warga Dukuh Paruk.