manusiawinya. Adanya indhang dalam kesenian ini merupakan mitos
masyarakat Banyumas. Mitos merupakan sebuah keyakinan, kepercayaan yang ada dalam kehidupan masyarakat dan sebagai hasil
kebudayaan yang menjadi tradisi sejak zaman dahulu sampai sekarang. Masyarakat Banyumas mayoritas memeluk agama Islam, namun tidak
meninggalkan tradisi leluhur seperti ziarah ke makam yang dianggap leluhur. Mereka berdoa dan memohon kepada Tuhan agar yang
meninggal dapat diampuni segala dosa-dosanya, diberikan tempat hidup yaitu surga, serta memohon sesuatu untuk dirinya. Untuk itu,
mereka membawa bunga tabur kembang sebagai tanda bahwa bunga
dapat menjadi media agar doanya dapat sampai kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Keyakinan atau kepercayaan masyarakat Banyumas terhadap fenomena
indhang masih tinggi terutama bagi mereka yang menggeluti seni pertunjukan atau kesenian rakyat. Tanpa kehadiran
indhang pertunjukan tersebut tidak seru, artinya kurang greget, bahkan tidak
menarik untuk ditonton. Sehingga banyak kelompok seni yang berusaha untuk dapat menghadirkan
indhang sebagai salah satu syarat mutlak apabila mereka mengadakan pementasan.
42
Pada saat pementasan agar indhang secara cepat dapat
merasuki penari, maka ritus yang harus dilaksanakan yakni menyediakan sesaji sebelum pentas, melantunkan syair tembang
khusus disebut “mantra”. Dalam beberapa waktu kemudian penari akan merasakan kekuatan yang begitu hebat merasukinya.
Indhang yang datang adalah
indhang yang baik. Wajah penari seketika menjadi lebih cantik dan memiliki kekuatan yang sangat kuat. Hal ini
ditunjukkan dengan cara penari menyanyi dan menari selama berjam- jam. Penari yang sudah dirasuki
indhang juga memiliki kekuatan untuk menyembuhkan orang yang sedang sakit dengan cara mencium
42
Wien Pudji Priyanto , Jurnal “Representasi Indhang dalam Kesenian Lengger di
Banyumas ”, Jurusan Pend. Seni Tari FBS-UNY.
keningnya. Banyak masyarakat sekitar yang anaknya sedang sakit diajak menonton agar nanti dapat disembuhkan oleh penari.
43
c. Pandangan Masyarakat Terhadap Ronggeng
Masyarakat Jawa pada dasarnya terbagi menjadi dua golongan yaitu
wong cilik rakyat kecil dan wong gedhe priyayi. Hubungan kedua kelompok ini selalu dibingkai oleh budi pekerti yang khas baik
melalui bahasa maupun tindakan. Hakikat hubungan masyarakat Jawa adalah perwujudan pergaulan sosial yang tanpa mementingkan diri
sendiri. Kepentingan kolektif jauh lebih penting dibanding hanya mementingkan kebutuhan pribadi. Itulah sebabnya, kebersamaan yang
diterapkan dalam tuntunan budi pekerti gotong royong atau tolong- menolong menjadi hal yang istimewa.
44
Seorang ronggeng dalam masyarakat Jawa merupakan milik kolektif, sehingga mementingkan kepentingan orang lain daripada diri
sendiri menjadi tanggungan dan akibat yang harus ditanggung seorang ronggeng. Selain itu berdasarkan penggolongan yang telah dijelaskan
di atas, seorang ronggeng biasanya memiliki kedudukan tinggi dalam status sosial masyarakat di daerahnya. Keberterimaan itu yang
menyebabkan ronggeng dapat dengan mudah mendapatkan perhatian lebih dari masyarakat. Tetapi, tidak jarang ronggeng dikait-kaitkan
dengan pandangan negatif seperti dianggap sebagai sundal. Hal ini tentu memberikan citra negatif terhadap ronggeng.
C. Kebudayaan Jawa-Banyumas
Kata “kebudayaan” berasal dari kata Sanskerta buddhayah yang berarti „budi’ atau „akal’. Kebudayaan dapat diartikan “hal-hal yang bersangkutan
dengan budi dan akal.” Ada pendirian lain mengenai asal dari kata “kebudayaan” itu, ialah bahwa kata itu adalah suatu perkembangan dari
majemuk budi-daya, artinya daya dari budi, kekuatan dari akal.
43
Ibid.
44
Suwardi Endaswara, Budi Pekerti dalam Budaya Jawa, Yogyakarta: PT.
HaninditaGraha Widya, 2003, cet.1, h. 5-6.
Koentjaraningrat mengemukakan
bahwa kebudayaan
berarti keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan
belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu.
45
Kebudayaan mempunyai tiga aspek, yaitu: kebudayaan sebagai tata kelakuan manusia,
kebudayaan sebagai kelakuan manusia itu sendiri, dan kebudayaan sebagai hasil kelakuan manusia.
Pada hakikatnya warna lokal itu ialah realitas sosial budaya suatu daerah yang ditunjuk secara langsung oleh fiksionalitas suatu karya. Secara
intrinsik dalam struktur karya sastra, warna lokal selalu dihubungkan dengan unsure pembangkitnya, yaitu latar belakang, penokohan, gaya bahasa, dan
suasana. Dalam konteks sastra sebagai sistem tanda, warna lokal selalu dikaitkan dengan kenyataan hidup itu ialah kenyataan sosial budaya dalam arti
luas, yang antara lain berkomponen aspek adat-istiadat, agama, kepercayaan, sikap dan filsafat hidup, kesenian, hubungan sosial, struktur sosial, atau sistem
kekerabatan.
46
Perbedaan antara adat dan kebudayaan adalah soal lain, dan bersangkutan dengan konsepsi bahwa kebudayaan itu mempunyai tiga wujud,
ialah: 1 wujud ideal, 2 wujud kelakuan, dan 3 wujud fisik. Adat adalah wujud ideal dari kebudayaan. Secara lengkap wujud itu dapat kita sebut
adat tata-kelakuan, karena adat berfungsi sebagai pengatur kelakuan. Adat dapat
dibagi lebih khusus dalam empat tingkat, ialah 1 tingkat nilai-budaya, 2 tingkat norma-norma, 3 tingkat hukum, dan 4 tingkat aturan khusus.
47
Mulder menyatakan bahwa masyarakat Jawa pada umumnya menganggap kemunggalan dan keharmonisan hubungan manusia dengan
Tuhan sebagai cermin model bagi hubungan antara manusia dengan manusia lain di masyarakat. Bagi orang Jawa, kemunggalan berarti keteraturan,
ketentraman, dan keseimbangan. Hal yang dapat diramalkan kesopanan dan keharmonisan di antara bagian-bagian, baik secara perseorangan maupun
45
Koentjaraningrat, Bunga Rampai: Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan,
Jakarta: PT Gramedia, 2008, h. 9.
46
Antilan Purba, Sastra Indonesia Kontemporer, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012, h. 69.
47
Koentjaraningrat, Op. Cit., h. 10-11.