yang tidak bisa dilayani oleh istrinya pada saat-saat tertentu. Seperti pada kutipan berikut:
“Tetapi Dukuh Paruk sungguh tidak ada masalah kerumahtanggaan. Tak ada seorang istri pun yang merasa rugi oleh
kecantikan Srintil. Boleh jadi karena semua orang di sana masih terikat dalam tatanan nilai yang tersendiri. Sudah biasa di sana
seorang istri yang sedang hamil tua atau baru melahirkan menyuruh suaminya meminta jasa kepada Srintil. Nasihat dukun
bayi kepada para suami juga bernada sama. “Awas, jangan dulu menjamah istrimu sebelum seratus hari. Mintalah kepada Srintil
bila tak bisa menahan diri.”
66
Kutipan tersebut menggambarkan peranan atau tugas seorang Srintil sebagai seorang ronggeng di Dukuh Paruk. Seorang ronggeng
selain mempunyai tugas menari dalam pentas, dia juga harus bisa memberikan jasa kepada laki-laki di Dukuh Paruk jika istri laki-laki
tersebut sedang hamil tua atau baru melahirkan. Memang tugas itu tidak sepenuhnya dilaksanakan karena orang Dukuh Paruk tentu belum punya
keberanian untuk mendekati Srintil. Srintil pun melakukan itu hanya sebagai kesadaran primordial yang dengan rela memberikan jasa. Srintil
yang merupakan seorang ronggeng yang memiliki kedudukan serta dianggap membawa berkah, sehingga warga Dukuh Paruk tidak keberatan
apabila suaminya yang tidak dapat dilayani oleh istrinya, mereka dapat memintanya kepada Srintil. Mereka menganggap suatu keberkahan apabila
seorang suami Dukuh Paruk dapat tidur dan dilayani oleh Srintil. Tetapi karena orang Dukuh Paruk sadar bahwa Srintil seorang ronggeng yang
bermartabat. Srintil tidak sama dengan ronggeng-ronggeng sebelumnya, yang menjadikan uang satu-satunya nilai tukar. Srintil hanya akan
melayani laki-laki yang dia sukai atau catatan lain yang istimewa; Srintil senang menerima lelaki yang beristri cantik.
66
Ibid., h. 226-227.
4. Pandangan Masyarakat Terhadap Ronggeng
Keberadaan ronggeng dalam masyarakat Dukuh Paruk menjadikan seorang penari ronggeng milik kolektif atau milik umum, milik Dukuh
Paruk sehingga penari ronggeng memiliki status sosial yang paling atas dalam masyarakatnya. Keberterimaan akan hadirnya seorang ronggeng
membuat Srintil digandrungi baik oleh laki-laki maupun perempuan. Bagi kaum perempuan akan merasa bangga apabila suaminya pernah bertayub
bersama Srintil. Hal ini karena menunjukan kelelakian suaminya diakui oleh umum. Bagi lelaki tentu akan diakui status sosialnya apabila mampu
bertayub dengan ronggeng. Seperti pada kutipan berikut: “Ketika menonton Srintil menari aku pernah mendengar
percakapan perempuan-perempuan yang berdiri di tepi arena. Percakapan mereka akan membuat para suami merasa tidak
menyesal telah hidup dalam kungkungan rumah tangga…. Demikian, seorang ronggeng di lingkungan pentas tidak akan
menjadi bahan pencemburuan bagi perempuan Dukuh Paruk. Malah sebaliknya. Makin lama seorang suami bertayub dengan
ronggeng, makin bangga pula istrinya. Perempuan semacam itu puas karena diketahui umum bahwa suaminya seorang lelaki
jantan, baik dalam arti uangnya maupun berahinya.”
67
Keberterimaan seorang ronggeng di tengah masyarakat juga tidak hanya melalui perkara itu, melainkan juga perkara mengenai kehidupan
sehari-hari seorang ronggeng. Seorang dianggap milik umum maka semua orang selalu ingin memanjakan Srintil. Baik dalam hal mandi, belanja ke
pasar, apa pun yang diinginkan oleh ronggeng itu maka dengan senang hati mereka akan melakukannya. Seperti pada kutipan di bawah ini:
“Eh, kalian dengar. Srintil bukan milik orang per orang. Bukan hanya kalian yang ingin memanjakan Srintil. Sehabis
pertunjukan nanti aku mau minta izin kepada Nyai Kart areja.”
“Engkau mau apa?”
67
Ibid., h. 38-39.
“Memijat Srintil. Bocah ayu itu pasti lelah nanti. Dia akan kubelai sebelum tidur.”
68
Seorang ronggeng bagi dunia Dukuh Paruk adalah citra sekaligus lambang gairah dan suka cita. Keakuannya adalah tembang dan joget.
Perhiasannya adalah senyum dan lirikan mata yang memancarkan semangat hidup alami, sehingga tidak mengherankan apabila seorang
ronggeng mendapatkan status sosial kelas atas dalam masyarakatnya. Hal ini juga yang menjadi alasan mengapa banyak orang ingin selalu
memanjakan seorang ronggeng. Namun, dalam pandangan masyarakat luar Dukuh Paruk, seorang ronggeng dianggap sebagai perusak hubungan
rumah tangga, karena tidak sedikit laki-laki yang tergila-gila dengan ronggeng tersebut. Seperti pada kutipan berikut:
“Hati ibu Camat risau. Tetapi perasaan itu tersembunyi di balik
senyumannya yang
tawar. Kejujurannya mengakui
keunggulan ronggeng Dukuh Paruk itu. Lebih cantik daripada dirinya, bahkan seandainya Ibu Camat masih sebelia Srintil.
Dengan gerakan yang amat licik mata Ibu Camat menoleh kepada deretan kursi lelaki. Hatinya makin kacau ketika melihat hampir
semua mata laki-laki di sana terarah kepada Srintil tak terkecuali
mata suaminya….”
69
Kutipan tersebut menggambarkan kecemburuan seorang istri yang tidak bisa dihindari ketika mengetahui bahwa suaminya juga menyukai
atau melirik Srintil. Hal ini tentu berbeda dengan rumah tangga warga Dukuh Paruk yang justru merasa bangga apabila suaminya mampu
bertayub dengan Srintil, tetapi bagi istri-istri lain di luar Dukuh Paruk Srintil menjadi pengancam hancurnya rumah tangga orang atau
menyebabkan kecemburuan seeorang istri terhadap suaminya. Perbedaan pandangan antara para istri Dukuh Paruk dan istri di luar Dukuh Paruk
terjadi karena Dukuh Paruk yang terpencil, menyebabkan Dukuh Paruk mempunyai tata nilai, kepercayan, dan keyakinan tersendiri. Srintil sebagai
ronggeng bagi istri Dukuh Paruk dianggap sebagai superior yang
68
Ibid., h. 20.
69
Ibid., h. 186.
membawa keberkahan bagi warga Dukuh Paruk. Berbeda dengan warga luar Dukuh Paruk yang tetap menganggap Srintil tidak membawa
keberkahan. Srintil tidak lebih dari seorang ronggeng yang menjadi pelacur dan sundal sekaligus. Julukan sebagai pelacur, sundal dan perusak
rumah tangga istri di luar Dukuh Paruk. Kecemburuan yang dialami oleh istri-istri di luar Dukuh Paruk menjadi wajar karena mereka tidak
mempercayai bahwa seorang ronggeng dapat membawa keberkahan. Hal ini tentu menjadi gambaran atau stereotip terhadap ronggeng yang tidak
dapat terlepas dari julukan sundal. Hal ini seperti kutipan berikut ini; “…. Srintil telah menjadi dirinya sendiri, dalam kedaulatan
yang sulit kugugat. Dia dengan sadar dan bangga menjadi ronggeng dan sundal, dua predikat yang tiada beda. Aku tahu betul
Srintil berhak mencari sebutan apa pun yang dia sukai. Dukuh Paruk akan hambar tanpa ca
lung dan ronggeng.”
70
Kutipan di atas menunjukan bahwa seorang ronggeng dengan citra negatifnya tidak terlepas dari kata sundal. Sehingga predikat ronggeng dan
sundal selalu beriringan dengan seorang Srintil. Selain citra negatif, kehidupan seorang ronggeng yang merupakan milik umum, memaksakan
Srintil sebagai ronggeng tidak dapat hamil atau berumah tangga selama indang ronggeng masih ada di dalam dirinya. Ini adalah kegetiran yang
pahit yang harus diterima oleh Srintil sebagai ronggeng yang merupakan milik kolektif. Apabila seorang ronggeng menikah atau hamil maka akan
terjadi kesialan baik untuk ronggeng itu sendiri maupun untuk laki-laki yang menikahinya. Hal inilah yang menyebabkan Srintil tidak boleh
menikah atau hamil selama indang ronggeng masih ada. Seperti pada
kutipan berikut ini: “Jenganten,” sambung Sakum. Kini dengan nada suara
seorang bapak. “Bukan sampean seorang yang menjadi ronggeng dan terpikat oleh laki-laki tertentu. Hal semacam ini sejak dulu
sering terjadi. Tetapi tidak segenting pada di ri sampean…. Selagi
indang masih tinggal dalam diri, sampean tidak mungkin
70
Ibid., h. 84.
mendapatkan lebih dari itu. Tidak mungkin Jadi sekali lagi, lupakan Rasus demi kebaikan sampean sendiri.”
71
Kutipan tersebut menggambarkan tentang kegetiran Srintil karena pandangan masyarakat yang menganggap ronggeng sebagai milik umum.
Sehingga seorang ronggeng tidak boleh menikah, jatuh cinta atau hamil karena hal itu akan membuat karir seorang ronggeng hancur, dan tidak
akan memberikan keselamatan baik bagi laki-laki yang dicintainya maupun bagi ronggeng itu sendiri. Kegetiran itu juga terjadi ketika seorang
yang memang milik umum, tidak boleh hamil, maka seorang ronggeng harus dimatikan indung telurnya dan karena lekat dengan predikat sundal.
Seorang ronggeng di akhir hidupnya kebanyakan terkena penyakit yang mematikan. Seperti pada kutipan berikut:
“Aku menduga keras Srintil mulai dihantui kesadaran bahwa Nyai Kartareja telah memijit hingga mati indung telurnya,
peranakannya. Suami-istri dukun ronggeng itu merasa perlu berbuat demikian sebab hukum Dukuh Paruk mengatakan karir
seorang ronggeng terhenti sejak kehamilannya yang pertama. Ku kira Srintil mulai sadar kemandulan adalah hantu mengerikan, yang
akan menjelang pada hari tua. Atau Srintil telah mendengar riwayat para ronggeng yang tak pernah mencapai hari tua karena keburu
dimakan raja singa atau penyakit kotor lainnya.”
72
Kutipan-kutipan di atas, menggambarkan citra atau pandangan masyarakat terhadap ronggeng. Ronggeng sebagai superior maupun
inferior bagi masyarakat. Pandangan baik dan buruk akan seorang ronggeng akan selalu beriringan dengan keberterimaan masyarakat dengan
kehadiran ronggeng sebagai perhiasan Dukuh Paruk yang memiliki status sosial yang tinggi dalam masyarakat.
Seorang ronggeng dalam kebudayaan Banyumas memiliki fungsi baik dari segi kesenian maupun fungsi dalam kehidupan bermasyarakat.
Syarat-syarat yang ditempuh Srintil untuk menjadi seorang ronggeng tidak akan terlepas dari superior Srintil di Dukuh Paruk yang beriringan dengan
71
Ibid., h. 165-166.
72
Ibid., h. 90.