Chitin dan Chitosan Penurunan Kadar Logam Berat dengan Pemanfaatan Chitosan dari Cangkang Udang

Artinya kadar kadmium pada ketiga jenis kerang tersebut telah melebihi nilai ambang batas yang ditetapkan oleh Standar Nasional Indonesia yaitu 0,2 ppm Alfian, 2005. Jenis kerang banyak digunakan sebagai indikator pencemaran logam. Hal ini disebabkan karena kerang dapat mengakumulasi logam lebih besar daripada hewan air lainnya karena habitat hidupnya yang menetap, lambat untuk menghindarkan diri dari pengaruh polusi dan mempunyai toleransi yang tinggi terhadap logam tertentu. Kerang banyak dikonsumsi oleh manusia maka sifat bioakumulatif inilah yang menyebabkan kerang harus diwaspadai bila dikonsumsi terus menerus Darmono, 2001.

2.6. Penurunan Kadar Logam Berat dengan Pemanfaatan Chitosan dari Cangkang Udang

Upaya menurunkan kadar logam berat pada makanan banyak dilakukan dengan penambahan sekuestran. Sekuestran pada penelitian ini adalah chitosan Cangkang Udang.

2.6.1. Chitin dan Chitosan

Chitin merupakan poli 2-asetamido-2-deoksi- β-14-D-glokopiranosa yang paling melimpah di alam setelah selulosa. Chitin tidak beracun dan bahkan mudah terurai secara hayati biodegradable. Bentuk fisiknya merupakan padatan amorf yang berwarna putih. Keberadaan chitin di alam umumnya terikat dengan protein, mineral, dan berbagai macam pigmen Sugita, 2009. Chitin banyak dijumpai pada jamur, crustaceae, insect, mollusca, dan arthropoda. Dalam cangkang udang, chitin terdapat sebagai mukopoli sakarida yang berikatan dengan garam-garam Universitas Sumatera Utara anorganik, terutama kalsium karbonat CaCO 3 , protein, dan lipida termasuk pigmen- pigmen Wardaniati, 2009. Chitosan ditemukan oleh C. Roughet pada tahun 1859 dengan cara mendeasetilasi kitin dalam basa. Chitosan merupakan produk diasetilasi kitin. Kualitas chitosan berdasarkan penggunaanya dapat dibagi kedalam 3 jenis yaitu kualitas teknis, pangan, dan farmasi. Chitosan adalah poli-2-amino-2-deoksi- β-1-4- D-glukopiranosa yang dapat diperoleh dari deasetilasi chitin. Bentuk fisiknya merupakan padatan amorf yang berwarna putih kekuningan Sugita, 2009. Untuk memperoleh chitin dari cangkang udang melibatkan proses deproteinasi penghilangan protein dan demineralisasi penghilangan mineral. Sedangkan untuk mendapatkan chitosan dilanjutkan dengan proses deasetilasi penghilangan gugus asetil Wardaniati, 2009. Deproteinasi chitin merupakan hasil reaksi hidrolisis dalam suasana asam dan basa. Umumnya hidrolisis dilakukan dalam suasana basa dengan menggunakan larutan NaOH. Demineralisasi secara umum dilakukan dengan larutan HCl atau asam lain seperti H 2 SO 4 . Keefektifan HCl dalam melarutkan kalsium 10 lebih tinggi daripada H 2 SO 4. Hal yang terpenting dalam tahap penghilangan mineral adalah jumlah asam yang digunakan. Secara stoikiometri, perbandingan antara padatan dan pelarut dapat dibuat sama atau dibuat berlebih pelarutnya agar reaksinya berjalan sempurna. Urutan deproteinasi dan demineralisasi juga berperan penting. Deproteinasi sebaiknya dilakukan lebih dahulu jika protein yang terlarut akan dimanfaatkan lebih lanjut. Deproteinasi pada tahap awal dapat memaksimumkan hasil dan mutu proteinserta mencegah kontaminasi protein pada proses Universitas Sumatera Utara demineralisasi. Kandungan gugus asetil pada chitin secara teoritis ialah sebesar 21,2. Deasetilasi secara kimiawi dapat dilakukan dengan menggunakan basa kuat NaOH atau KOH Sugita, 2009. Cara pembuatan chitin dan chitosan dari cangkang udang dapat dilihat melaui tahapan deproteinasi, demineralisasi, dan deasetilasi pada skema dibawah ini Pratiwi, dkk., 2008 Universitas Sumatera Utara

a. Deproteinasi