baik yang langsung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman pengadilan, maupun pejabat yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman seperti polri dan
jaksa, maupun Advokat yang lazim disebut sebagai Catur Wangsa Penegak Hukum, wajib melakukan tugas dan wewenangnya dengan hukum yang berlaku,
terikat pada kode etik jabatannya, mengedepankan kebenaran dan keadilan. Hal ini dapat dicapai apabila tiap-tiap unsur didalam penegakan hukum memandang
proses penyelesaian perkara pidana sebagai suatu rangkaian kegiatan sejak dari penyidikan, penuntutan, pemutusan perkara ditingkat lembaga pemasyarakatan.
Konsep mana kita kenal dengan konsep Integrated Criminal Justice System.
97
3. Asas legalitas.
Asas legalitas dengan tegas disebut dalam konsiderans KUHAP sebagaimana terdapat pada huruf a yang berbuyi: ”Bahwa negara Republik Indonesia adalah
negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga
negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Dari isi konsiderans tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa:
98
a. Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945. b.
Negara menjamin setiap warganegara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan.
c. Setiap warganegara tanpa terkecuali wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan.
97
Ibid, hlm. 13.
98
M. Yahya Harahap, op.cit, hlm. 36.
Universitas Sumatera Utara
Oleh karena itu, bahwa KUHAP sebagai hukum acara pidana adalah Undang- Undang yang asas hukumnya berlandaskan asas legalitas. Pelaksanaan penerapan
KUHAP harus bersandar pada titik tolak the rule of law. Semua tindakan penegak hukum harus:
99
a. Berdasarkan ketentuan hukum dan Undang-Undang.
b. Menempatkan kepentingan hukum dan perundang-undangan diatas segala-
galanya, sehingga terwujud suatu kehidupan masyarakat bangsa yang takluk dibawah supremasi hukum yang selaras dengan ketentuan-
ketentuan perundang-undangan dan perasaan keadilan bangsa Indonesia. Jadi arti the rule of law dan supremasi hukum menguji dan meletakkan
setiap tindakan penegakan hukum takluk dibawah ketentuan konstitusi, Undang-Undang dan rasa keadilan yang hidup ditengah-tengah keasadaran
masyarakat. Memaksakan atau menegakkan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat bangsa lain tidak dapat disebut sebagai rule of law,
bahkan mungkin merupakan penindasan.
Dalam konteks hukum pidana, asas legalitas mempunyai makna bahwa suatu
perbuatan hanya merupakan tindak pidana jika ditentukan terlebih dahulu dalam suatu ketentuan perundang-undangan.
100
99
Ibid.
Dalam bahasa latin ada pepatah yang sama maksudnya dan yang berbunyi: ”nullum delictum, nulla puna sine praevia
lege punali” tiada kejahatan, tiada hukuman pidana tanpa undang-undang hukum pidana terlebih dahulu. Dengan demikian, dapat dikemukakan 2 dua asas dari
hukun pidana, yaitu: pertama: bahwa sanksi pidana straf-sanctie hanya dapat
100
Perhatikan Pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Universitas Sumatera Utara
ditentukan dengan undang-undang. Kedua: bahwa ketentuan sanksi pidana tersebut tidak boleh berlaku surut geen terugwerkende kracht.
101
Oleh karena itu, dengan asas legalitas yang berlandaskan rule of law dan supremasi hukum, jajaran aparat penegak hukum tidak dibenarkan:
102
a. Bertindak diluar ketentuan hukum, atau undue to law maupun undue
process. b.
Bertindak sewenang-wenang atau abuse of power. c.
Setiap orang, baik ia tersangka ataupun terdakwa mempunyai kedudukan sama sederajat dihadapan hukum atau equality before the law.
d. Mempunyai kedudukan perlindungan ysama oleh hukum atau equality
protection of the law. e.
Mendapat perlakuan keadilan yang sama dibawah hukum atau equality justice under the law.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, sebagaimana diketahui bahwa yang
bertolak belakang dengan asas legalitas adalah asas oportunitas.
103
Hadari Djenawi Tahir mengemukakan: Dengan
demikian perkara tersebut dideponir dikesampingkan. Cara penyampingan yang seperti inilah yang disebut dengan asas oportunitas. Dengan demikian, bagaimana
halnya dengan KUHAP? Apakah disamping asas legalitas masih diperkenankan ruang gerak bagi asas oportunitas.
104
Didalam KUHAP nampaknya tidak dianut asas oportunitas lagi, yaitu ditiadakan penuntutan dengan alas an berdasarkan kepentingan umum
101
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Jakarta: PT. Eresco, 1981, hlm. 36.
102
M. Yahya Harahap, loc.cit.
103
Asas oportunitas atau opportuniteitsbeginsel adalah suatu asas untuk tidak menuntut terhadap suatu tindak pidana yang dilakukan seseorang berdasarkan kepentingan umum, hal ini merupakan hak
dari kejaksaan dan asas ini dianut dalam KUHAP. J.C.T. Simorangkir, Rudy T. Erwin, dan J.T. Prasetyo, Kamus Hukum, Jakarta: Aksara Baru, 1980, hlm. 118.
104
Hadari Djenawi Tahir, Pokok-Pokok Pikiran Dalam KUHAP, Bandung: Alumni, 1981, hlm. 122.
Universitas Sumatera Utara
sebagaimana yang kita kenal sebagai kebiasaan selama ini, asas yang dianut tampaknya sudah bergeser kepada asas legalitas. Pendapat ini disimpulkan
berdasarkan Pasal 140 ayat 2 KUHAP dihubungkan dengan Pasal 14, yang menentukan bahwa semua perkara yang memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan oleh hukum, penuntut umum harus menuntutnya dimuka pengadilan, kecuali terdapat cukup bukti bahwa peristiwa tersebut ternyata
bukan merupakan tindak pidana atau perkaranya ditutup demi hukum. Sedangkan Pasal 14 huruf h hanya memberi wewenang kepada penuntut
umum untuk menutup suatu perkara demi kepentingan hukum tapi bukan demi kepentingan umum.
Namun demikian, apabila kita merujuk kepada Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang memberikan wewenang kepada Jaksa Agung untuk mendeponirmengenyampingkan suatu perkara
berdasarkan alasan kepentingan umum.
105
105
Perhatikan Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang menyatakan bahwa salah satu wewenang Jaksa Agung adalah
mengenyampingkan perkara demi kepentingan umum.
Dengan demikian apakah keadaan seperti ini tidak mengakibatkan pertentangan dan dualistis dalam pelaksanaan
KUHAP? Satu segi mengakui dengan tegas asas legalitas, akan tetapi pada sisi lain asas legalitas tersebut menjadi kabur oleh kenyataan pengakuan KUHAP
sendiri akan eksistensi asas oportunitas. Bukankan keadaan yang seperti ini menyesatkan kewibawaan KUHAP sendiri, serta adanya kemungkinan untuk
mempergunakan alas an kepentingan umum sebagai kedok untuk mengenyampingkan suatu perkara? Apalagi pengertian kepentingan umum sangat
kabur dan mengambang, karena KUHAP atau Undang-Undang sendiri tidak
Universitas Sumatera Utara
merinci secara tegas dan jelas apa-apa yang masuk dalam kategori kepentingan umum.
106
Dalam konsiderans tegas dinyatakan bahwa KUHAP menganut asas legalitas, akan tetapi masih tetap mengakui asas oportunitas. Kenyataan ini mau tak mau
harus diterima, dengan penjernihan. Ada baiknya ditempuh suatu perbandingan. Bukankan pelaskanaan the rule of law itu sendiripun mempunyai corak yang
berbeda pada setiap Negara yang berpegang pada asas supremasi hukum? Tidak dijumpai dua Negara yang serupa sistemnya dalam menjalankan asas the rule of
law. Masing-masing mempunyai variasi pertumbuhan mengikuti jalan perkembangan yang berbeda sesuai dengan kehendak masyarakat yang
bersangkutan.
107
Dalam hal ini Sunaryati Hartono, mengemukakan: “Tidak ada dua masyarakat yang mengikuti jalan perkembangan yang persis sama, sekalipun
perkembangan itu didasarkan pada asas perjuangan atau cita-cita yang sama”.
108
Dengan demikian, perkembangan pembinaan hukum melalui KUHAP untuk periode yang sekarang, bangsa Indonesia melalui DPR telah telah
menggabungkan kedua asas tersebut dalam suatu jalinan yang titik beratnya cenderung lebih mengutamakan asas legalitas. Sedangkan asas oportunitas hanya
merupkan pengecualian yang dapat dipergunakan secara terbatas sekali. Mungkin dalam sejarah penegakan hukum yang akan datang, bangsa Indonesia semakin
memahami semakin adilnya mempergunakan asas legalitas secara mutlak dan
106
M. Yahya Harahap, op.cit, hlm. 37.
107
Ibid.
108
Sunaryati Hartono, Apakah The Rule Of Law Itu, Bandung: Alumni, 1996, hlm. 2.
Universitas Sumatera Utara
menyeluruh, tanpa diskriminasi dengan alas an kepentingan umum, dan segera melenyapkan praktek penegakan hukum yang berdasarkan oportunitas demi
tegaknya equality before the law, equality protection on the law, and equality justice under the law.
109
C. Urgensi Pemberian Bantuan Hukum Oleh Advokat Terhadap Pelaku Tindak Pidana Terorisme.
Satu hal yang sangat memprihatinkan bahwa Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme adalah Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tersebut mencoba mengatur dengan komprehesif delik pidana, proses hukum dan hukuman pidana, namun sama sekali
tidak mengatur dan memperhatikan hak-hak TersangkaTerdakwa. Ketiadaan aturan ini entah dengan disengaja karena dipandang sudah cukup dengan merujuk pada
ketentuan hukum acara di KUHAP atau memang sekali lagi membuktikan bahwa Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ini bias kepentingan untuk
memperkuat kewenangan dan posisi politik negara.. Banyak dari mekanisme dan prosedur dalam Undang-Undang ini yang tidak memadai jika mengandalkan
KUHAP, antara lain kewenangan aparat negara yang begitu luas sehingga
109
M. Yahya Harahap, op.cit, hlm. 38.
Universitas Sumatera Utara
memungkinkan tersangka pelaku tindak pidana terorisme akan kehilangan hak- haknya.
110
Dalam hal ini Pasal 2 KUHAP secara jelas menyebutkan bahwa “Undang- undang ini berlaku untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkup peradilan
umum pada semua tingkat peradilan”. Sementara itu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada konsideran
menimbang point e menyatakan, ‘bahwa peraturan perundang-undangan yang berlaku sampai saat ini belum secara komprehensif dan memadai untuk memberantas tindak
pidana terorisme”.
111
Pernyataan di atas bisa mengandung interpretasi bahwa Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme adalah perangkat khusus dan komprehensif,
termasuk perihal pengaturan hak-hak TersangkaTerdakwa karena tidak secara eksplisit menyatakan acuannya pada KUHAP, seperti misalanya UU No 26 Tahun
2000 Tentang Pengadilan HAM yang secara tegas menyebutkan pada pasal 10 Sementara pada penjelasan dinyatakan bahwa Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme merupakan ketentuan khusus dan spesifik karena memuat ketentuan
ketentuan baru yang tidak terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang ada, dan menyimpang dari ketentuan umum sebagaimana dimuat dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
110
Lihat Laporan Kontras dan LPSHAM Palu ke Asian Human Rights Commission AHRC, http:indonesia.ahrchk.netnewsmaifile.phpbahasa11?print=yes. Diakses pada tanggal 22 April
2011.
111
Perhatikan Konsiderans Menimbang huruf e Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Universitas Sumatera Utara
bahwa: “Dalam hal tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini, hukum acara atas perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan berdasarkan ketentuan
hukum acara pidana”.
1. Pemberian bantuan hukum oleh Advokat terhadap pelaku tindak pidana terorisme kewajiban Advokat untuk menegakkan keadilan.
Pembukaan Kode Etik Advokat Indonesia KEAI menyatakan bahwa Advokat adalah suatu profesi terhormat officium nobile. Kata officium nobile
mengandung arti adanya kewajiban yang mulia atau yang terpandang dalam melaksanakan pekerjaan mereka. Sama halnya dengan ungkapan yang kita kenal
noblesse oblige, yaitu kewajiban perilaku yang terhormat honorable, murah-hati generous, dan bertanggung jawab responsible yang dimiliki oleh mereka yang
ingin dimuliakan. Hal ini berarti bahwa Advokat tidak saja harus berperilaku jujur dan bermoral tinggi, tetapi harus juga mendapat kepercayaan publik, bahwa
Advokat tersebut akan selalu berperilaku demikian.
112
Dengan diangkatnya seseorang menjadi Advokat, maka ia telah diberi suatu kewajiban mulia melaksanakan pekerjaan terhormat termasuk memberikan
bantuan hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme, dengan hak eksklusif, yaitu:
113
a. Menyatakan dirinya kepada publik bahwa ia adalah seorang Advokat.
112
Forum Solidaritas LKBH Kampus, Menjamin Hak Atas Bantuan Hukum Masyarakat Marginal, Position Paper RUU Bantuan Hukum dan Peran LKBH Kampus, Jakarta: The Indonesian
Legal Resource Center: 2010, hlm. 30.
113
Ibid, hlm. 31.
Universitas Sumatera Utara
b. Dengan demikian berhak memberikan nasihat hukum dan mewakili kliennya,
dan menghadap di muka sidang pengadilan dalam proses perkara kliennya. Akan tetapi, hak dan kewenangan istimewa ini juga menimbulkan
kewajiban Advokat kepada masyarakat, yaitu:
114
a. Menjaga agar mereka yang menjadi anggota profesi Advokat selalu
mempunyai kompetensi pengetahuan profesi dan mempunyai integritas melaksanakan profesi yang terhormat tersebut.
b. Bersedia menyingkirkan mereka yang terbukti tidak layak menjalankan
profesi. Dalam hal kewajiban Advokat untuk memberikan bantuan hukum
terhadap pelaku tindak pidana terorisme adalah demi terciptanya keadilan.
115
Pemberian bantuan hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme merupakan bentuk pengabdian Advokat dalam menjalankan profesinya sebagai salah satu
unsur aparat penegak hukum. Persyaratan dan tatacara pemberian bantuan hukum diatur dalam Peraturan Pemerintah No.382008 tentang Persyaratan dan Tata Cara
Pemberian Bantuan Hukum. Kemudian u
114
Ibid.
ntuk mengimplementasikan UU Advokat dan Peraturan Pemerintah Tentang Bantuan Hukum, Perhimpunan
Advokat Indonesia PERADI membentuk Pusat Bantuan Hukum PBH dengan SK No.016PERADIDPNV2009 pada tanggal 10 Maret 2009. PBH dibentuk
115
Perhatikan Pasal 3 huruf c Kode Etik Advokat Indonesia, yang menyatakan bahwa Advokat dalam menjalankan tugasnya tidak bertujuan semata-mata untuk memperoleh imbalan materi tetapi
lebih mengutamakan tegaknya hukum, kebenaran, dan keadilan.
Universitas Sumatera Utara
sebagai wujud komitmen PERADI untuk memenuhi tanggung jawab sosial organisasi kepada tiga penerima manfaat utama, yaitu: masyarakat, Advokat dan
negara, melalui penyediaan akses terhadap pelayanan berkualitas bagi masyarakat, peningkatan kapasitas dan kapabilitas Advokat; dan partisipasi aktif
dalam pembangunan hukum, keadilan dan kesejahteraan. Berdasarkan uraian tersebut diatas, bantuan hukum sebagai bagian dari
jalan untuk menuju keadilan acces to justice, maka Roger Smith mengidentifikasi ada 9 sembilan prinsip access to justice, yaitu:
116
1. Akses keadilan merupakan hak konsitusional setiap warga Negara.
2. Kepentingan warga negara harus lebih besar dibandingkan dengan
kepentingan penyedia jasa bantuan hukum, dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan akses keadilan.
3. Tujuannya tidak hanya keadilan prosedural, tetapi juga keadilan
substantif. 4.
Setiap warga negara membutuhkan bantuan hukum untuk kasus perdata maupun pidana.
5. Akses menuju keadilan mensyaratkan untuk melakukan setiap
tindakan untuk mencapai pemenuhan tujuannya termasuk reformasi hukum formil dan materil, pembaruan pendidikan, informasi dan
pelayanan hukum.
6. Kebijakan atas pelayanan hukum dengan memperkenalkan bantuan
hukum yang dibiayai oleh negara publicly funded atau 7.
Keterbatasan sumber daya resource atas bantuan hukum bukan merupakan hal yang mengakhiri akses menuju keadilan, tetapi
merupakan pembatasan cara pemberian bantuan hukum. yang
disediakan oleh Advokat.
8. Bantuan hukum harus efektif, terlalu banyak persyaratan untuk
mendapatkan bantuan hukum hal yang tidak effektif. 9.
Penggunaan teknologi yang potensial membantu bantuan hukum seperti teknologi informasi dll;
116
Roger Smith sebagaimana dikutip Uli Parulian Sihombing ed et all dalam, Mengelola
Legal Clinic, Panduan Membentuk dan Mengembangkan Kampus Untuk Memperkuat Akses Keadilan, Jakarta: ILRC, 2009, hlm. 77.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan 9 sembilan prinsip acces to justice sebagaimana dipaparkan diatas dalam kaitannya dengan pemberian bantuan hukum oleh Advokat terhadap
Pelaku Tindak Pidana Terorisme adalah kewajiban Advokat untuk menegakkan keadilan, dapat disimpulkan bahwa akses keadilan merupakan hak konstitusional
setiap warga negara. Oleh karena itu profesi Advokat sebagai officium nobile mempunyai kewajiban untuk memberikan akses keadilan tersebut sebagai hak
konstitusional masyarakat, termasuk juga pelaku tindak pidana terorisme sebagai warga masyarakat.
Selanjutnya Pasal 14 ayat 3 huruf d Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik International Covenant on Civil and Political RightsICCPR
meletakan hak atas bantuan hukum. Istilah yang digunakan ICCPR adalah hak atas Advokat yang ditunjuk oleh negara right to assigned-counsel. Hak ini sama
dengan hak-hak yang berkaitan dengan keadilan prosedural lainnya seperti hak atas independensi peradilan dan imparsialitas hakim. Dalam konteks ini, hak
bantuan hukum dititik beratkan pada hak-hak tersangkaterdakwa termasuk juga hak-hak tersangkaterdakwa pelaku tindak pidana terorisme dalam proses
peradilan yang adil dan tidak memihak fair trial. Pemberian bantuan hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme menjadi penting terkait dengan prinsip
equality of arms persamaan kekuasaan antara pihak tersangkaterdakwa pelaku tindak pidana terorisme dan penuntut umum. Persamaan kekuasaan ini mesti
ditaati pada seluruh persidangan, berarti bahwa kedua belah pihak diperlakukan dalam suatu keadaan yang menjamin posisi mereka yang sama secara prosedur
Universitas Sumatera Utara
selama jalannya suatu peradilan. Prinsip ini didasarkan pada keadaan ter- sangkaterdakwa pelaku tindak pidana terorisme yang sangat tidak seimbang
menghadapi negara. Asas ini menuntut adanya hak bantuan hukum, melalui penyediaan bantuan hukum terdakwatersangka pelaku tindak pidana terorisme
dapat menyeimbangkan posisinya berhadapan dengan negara. Dengan merujuk pada sembilan prinsip akses keadilan dan pengertian akses keadilan sebagai
kemampuan masayarakat untuk mendapatkan pemulihan hak yang dilanggar melalui sarana formal dan non formal dan disesuaikan dengan standar hak asasi
manusia, maka hak bantuan hukum tidak dapat dibatasi pada hak tersangkaterdakwa saja, melainkan meliputi hak setiap orang baik dalam
kapasitasnya sebagai tersangka terdakwa saksi korbanpenggugattergugat untuk mendapatkan pemulihan hak-hak dasarnya.
117
Berdasarkan uraian tersebut diatas, nampak bahwa tujuan bantuan hukum adalah demi terciptanya keadilan acces to justice, hal ini apabila dikaitkan
dengan pembicaraan tentang bantuan hukum, maka tidak terlepas dari hak asasi manusia dan negara hukum. Dalam konteks Indonesia sebagai negara hukum
menjadi penting artinya manakala kita mengingat bahwa dalam bangunan negara hukum itu terlekat ciri-ciri yang mendasar, yaitu:
118
1. Pengakuan dan perlindungan atas hak-hak asasi manusia yang
mengandung persamaan dalam bidang hukum, politik, sosial, kultural, dan pendidikan.
117
Abdurrahman Saleh, Aspek-Aspek Bantuan Hukum, Jakarta: 2009, hlm. 20.
118
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: PT. Gramedia, 1983, hlm. 27.
Universitas Sumatera Utara
2. Peradilan yang bebas dan tidak memihak, tidak dipengaruhi oleh
sesuatu kekuasaan lain apapun. 3.
Legalitas dalam arti hukum dalam semua bentuknya.
2. Pemberian bantuan hukum oleh Advokat terhadap pelaku tindak pidana