Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka teori.

c. Sebagai bahan kajian bagi kalangan akademis untuk menambah wawasan dalam bidang ilmu hukum, khsususnya yang berkaitan dengan urgensi pemberian bantuan hukum oleh Advokat terhadap pelaku tindak pidana terorisme.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pengamatan serta penelusuran kepustakaan yang dilakukan, penelitian yang mengangkat judul tentang “ Urgensi Pemberian Bantuan Hukum Oleh Advokat Terhadap Pelaku Tindak Pidana Terorisme” ini belum pernah dilakukan baik dalam judul maupun permasalahan yang sama. Sehingga penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian yang baru dan keasliannya dapat saya pertanggungjawabkan, karena dilakukan dengan nuansa keilmuan, kejujuran, rasional, objektif dan terbuka serta dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan akademis.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka teori.

Indriyanto Seno Adji mengatakan bahwa Sistem Peradilan Pidana di Indonesia sebenarnya merupakan terjemahan sekaligus penjelmaan dari Criminal Universitas Sumatera Utara Justice System, suatu sistem yang dikembangkan oleh praktisi hukum Law enforcement officers di Amerika Serikat. 18 Sedangkan Norvel Morris sebagaimana dikutip Mardjono Reksodiputro, mengatakan bahwa: Sistem Peradilan Pidana adalah suatu operasionalisasi atau suatu sistem yang bertujuan untuk menanggulangi kejahatan, salah satu usaha masyarakat untuk mengendalikan terjadinya kejahatan negara berada dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima. Sistem ini dianggap berhasil apabila sebagian besar dari laporan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dapat “diselesaikan” dengan diajukannya pelaku kejahatan ke sidang pengadilan dan diputus bersalah serta mendapat pidana. 19 Sementara itu, Loebby Loqman mengatakan tujuan dari sistem peradilan pidana adalah : Terciptanya keadilan dalam memperjelas suatu perkara, disamping untuk menjaga agar hak asasi manusia terlaksana meskipun terjadi upaya paksa yang tentunya akan terjadi pelanggaran hak asasi manusia tersebut. Tujuan lain dari SPP adalah menjaga agar seorang yang tidak bersalah dilakukan pemidanaan, sebagai tujuan dari Hukum Acara Pidana lainnya, yaitu mencari kebenaran materiil dimana dengan demikian akan tercipta suatu keadilan dalam masyarakat. 20 Dalam perkembangannya sistem peradilan pidana itu mengalami prluasan arti dan tujuannya sebagaimana dipaparkan oleh Mardjono Reksodiputro 18 Indriyanto Seno Adji, Arah dan Sistem Peradilan Pidana terpadu Indonesia suatu tinjauan pengawasan aplikatif dan praktek, Jakarta: Komisi Hukum Nasional, 2001, hlm. 5. 19 Mardjono Reksodiptro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan karangan buku kedua, Jakarta; Lembaga Kriminologi UI, hlm. 140 20 Loebby Loqman, Eksistensi Kejaksaan RI dalam Sistem Peradilan Pidana¸Makalah, Jakarta, 13 November 2001. Universitas Sumatera Utara sebagai berikut: 21 Diatas memang tugas utama dari sistem ini, tetapi tidak merupakan keseluruhan tugas sistem. Masih merupakan bagian tugas sistem adalah mencegah terjadinya korban kejahatan maupun mencegah bahwa mereka yang sedang ataupun telah selesai menjalani pidana tidak mengulangi lagi perbuatan mereka melanggar hukum itu. Dengan demikian cakupan tugas sistem ini memang luas : a mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, b menyelesaikan kejahatan yang terjadi, sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana, serta c berusaha agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi perbuatannya. Berbicara tentang sistem peradilan pidana criminal justice system tidak terlepas kaitannya dengan sistem hukum legal system, karena sistem peradilan pidana adalah merupakan sub-sistem dari sistem hukum itu sendiri. Dalam hal ini Lawrence M. Friedman mengemukakan: 22 Sistem hukum legal system tidak saja merupakan rangkaian larangan atau perintah, akan tetapi lebih dari itu sebagai serangkaian aturan yang bisa menunjang, meningkatkan, mengatur, dan menyuguhkan cara untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, kita akan berbicara tentang 3 tiga komponen penting dalam sistem hukum legal system yaitu: legal structure, legal substance, dan legal culture. Ketiga hal ini adalah komponen pembentuk sesbuah sistem hukum legal system yang dikehendaki oleh sebuah masyarakat. Lebih lanjut lagi menurut Lawrence M. Friedman, untuk menggambarkan kinerja kutipan komponen tersebut diatas dapat kita bayangkan apabila komponen struktur hukum legal structure diibaratkan sebagai sebuah mesin, maka substansi hukumnya legal substance adalah apa yang dihasilkan atau dikerjakan 21 Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Makalah, Jakarta, 13 November 2001 22 Lawrence M. Friedman, sebagaimana dikutip dalam majalah Jurnal Keadilan, Vol. 2 No. 1 Tahun 2002, hlm. 1. Universitas Sumatera Utara oleh mesin itu, sedangkan budaya hukum legal culture adalah apa atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan atau mematikan, menetapkan bagaimana mesin itu digunakan. Bagi Friedman yang terpenting adalah fungsi dari hukum itu sendiri, yaitu sebagai kontrol sosial ibarat polisi, penyelesaian sengketa dispute settlement, skema distribusi barang dan jasa goods distributing scheme, dan pemeliharaan sosial social maintenance. 23 Di Indonesia, tahapan dalam peradilan pidana dijalankan oleh subsistem yaitu terhadap penyidikan oleh Kepolisian, penuntutan oleh Kejaksaan, pemeriksaan sidang Pengadilan oleh Pengadilan, pemasyarakatan oleh Lembaga Pemasyarakatan dan bantuan hukum oleh Advokat. Kelima komponen ini bekerjasama membentuk apa yang dikenal dengan nama suatu “Integrated Criminal Justice”. 24 Lebih lanjut Mardjono Reksodiputro mengemukakan bahwa : Sebagai suatu sistem, maka cara kerja sistem peradilan pidana ini didukung oleh kelima komponen diatas Polisi, Jaksa, Hakim, Lembaga Pemasyarakatan dan Advokat. Sering kita melupakan bahwa lembaga-lembaga yang melaksanakan penyelenggaraan peradilan pidana harus saling berhubungan dalam suatu sistem. Oleh karena itulah sering dipergunakan istilah “Sistem Peradilan Pidana”, yang terdiri atas sub-sub sistem : Kepolisian, Kejaksaan, Advokat, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Dalam system peradilan inilah, maka profesi pengacara Advokat, profesi jaksa dan profesi hakim melakukan masing-masing tugas mereka. 25 23 Ibid, hlm. 2. 24 Mardjono Reksodiputro, op.cit, hlm. 85 25 Ibid, hlm. 79. Universitas Sumatera Utara Setiap sistem mempunyai tujuan tertentu yang harus dihayati baik oleh sub sistem itu sendiri maupun sub sistem lainnya. Meskipun setiap sub-sistem akan mempunyai pula tujuannya sendiri, yang merupakan landasan dan pedoman kerja bagi mereka yang bekerja dalam sub-sistem yang bersangkutan, tetapi masing-masing tujuan sub-sistem tidak boleh bertentangan dengan tujuan utama, yaitu dari sistem itu sendiri dalam hal ini: Sistem Peradilan Pidana. 26 Menurut Romli Atmasasmita sebagaimana dikutip Mujahid, lima ciri pendekatan sistem peradilan pidana: Kesalahan pada sub-sistem yang satu akan mengakibatkan kegagalan pada sub-sistem yang lainnya sehingga tujuan dari sistem itu sendiri yaitu tujuan SPP tidak akan terwujud. 27 1. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana; 2. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana; 3. Efektivitas dari sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi penyelesaian perkara; 4. Penggunaan hukum sebagai instrument untuk memantapkan the administration of justice. Sementara Muladi berpendapat, penggunaan istilah sistem dalam system peradilan pidana, semua subsistem harus mengarah pada 6 enam hal, yaitu: 28 1. Berorientasi pada tujuan yang sama; 2. Menjauhkan sifat fragmentaris; 26 Ibid. 27 Mujahid, Menciptakan Mekanisme Pengawasan yang Efektif Dalam SPP, Tesis Jakarta: Program Pasca Sarjana UI, 2004, hlm. 3. 28 Muladi, Peran Administrasi Peradilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Newsletter Komisi Hukum Nasional, Edisi Mei 2002. Universitas Sumatera Utara 3. Berinteraksi dengan sistem yang lebih besar; 4. Adanya keterkaitan dan ketergantungan antar sub-sistem; 5. Operasionalisasi bagian-bagiannya menciptakan nilai tertentu; 6. Adanya mekanisme kontrol dalam rangka pengendalian. Dengan melihat pendapat diatas dapat dilihat terdapat jenis pendekatan internal dan eksternal dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana. Pendekatan internal mencakup bagaimana sistem peradilan pidana bekerja untuk mencapai tujuan dimana salah satu sub-sistem dari sistem peradilan pidana adalah Advokat, sedangkan pendekatan eksternal menempatkan sistem peradilan pidana dalam sistem yang lebih besar dimana terdapat interaksi antara sistem peradilan pidana dengan sistem sosial lainnya. Dalam hal ini Advokat sebagai Sub-sistem dalam sistem peradilan pidana merupakan bagian dari interaksi tersebut. Dari pendekatan tersebut, dibutuhkan sebuah mekanisme pengawasan untuk menilai bagaimana sistem peradilan pidana bekerja untuk mencapai tujuannya. Dari uraian diatas dapat dilihat 3 tiga hal mendasar yang harus diperhatikan dalam pembaharuan sistem peradilan pidana di Indonesia yaitu keterpaduan dalam sistem peradilan pidana, adanya interaksi sistem peradilan pidana dan adanya mekanisme kontrol. Pendekatan sistem dalam sistem peradilan pidana menyangkut masalah perencanaan, organisasi dan kebijakan. Dengan sendirinya seluruh komponen-komponen yang ada yaitu: Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan dan Advokat mempunyai perencanaan, pengorganisasian dan pengambilan kebijakan dimungkinkan berbeda. Akan tetapi, perbedaan antar sub-sistem harus dalam kerangka pandangan dan tujuan. Universitas Sumatera Utara Oleh karena itu dalam sistem peradilan pidana memungkinkan adanya konsep Unity in diversity. Maksudnya, dalam peradilan pidana setiap subsistem sistem peradilan pidana menjalankan fungsi masing-masing dengan membedakan praktis yang berbeda pula tetapi tetap dalam kerangka besar sistem peradilan pidana. Menurut Muladi, tidak hanya dalam konteks hukum acara semata. sistem peradilan pidana juga mencakup kesamaan pandang dalam hukum materiel dan hukum pelaksanaan pidana. Lebih jauh Muladi berpendapat: 29 Konotasi bahwa sistem peradilan pidana tidak hanya bersentuhan dengan hukum formal semata, apa yang dinamakan sistem abstrak tercermin dari hukum materiil yang menggambarkan secara jelas aliran hukum pidana yang dianut suatu bangsa, yang selanjutnya diterjemahkan dalam hukum formil dan hukum pelaksanaan pidana. Hubungan antara sub-sistem dalam sistem peradilan pidana bersifat interdependen, yakni pendekatan sistem terhadap peradilan pidana membuka ruang adanya konsultasi dan kooperasi antar sub-sistem. 30 Lebih jauh Harkristuti Harkrisnowo menggambarkan, pendekatan sistem yang digunakan untuk mengkaji peradilan pidana mempunyai implikasi: 31 1. Semua sub-sistem akan saling tergantung, karena produk suatu sub- sistem merupakan masukan bagi sub-sistem yang lain; 2. Pendekatan sistem mendorong adanya inter-agency consultation and corporation, yang pada gilirannya akan meningkatkan upaya penyusunan strategik dari keseluruhan sub-sistem; 29 Muladi, Akses Pengadilan dan Bantuan Hukum, Makalah Workshop Akses Publik ke Pengadilan,. Jakarta 10 Juli 2002 30 Harkristuti Harkrisnowo, Sistem Peradilan Pidana Terpadu dan peran Akademis, Makalah Pada Forum Dengar Pendapat Publik: Pembaharuan Kejaksaan, Kejaksaan Agung, Jakarta 24-25 Juni 2003 31 Ibid. Universitas Sumatera Utara 3. Kebijakan yang diputuskan dan dijalankan oleh satu sub-sistem akan berpengaruh pada sub-sistem lain. Menjadi keharusan, sub-sistem dalam sebuah sistem berorientasi pada tujuan yang sama. Untuk mencapainya, dibutuhkan sebuah mekanisme yang terarah. Ketidakpaduan antar sub-sistem administrasi peradilan pidana akan menyebabkan terhambatnya proses peradilan. Fragmentasi sub-sistem akan mengurangi efektivitas sistem bahkan menyebabkan keseluruhan sistem disfungsional. 32 Untuk mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu dan menghindari adanya fragmentasi maka perlu adanya sinkronisasi dalam sistem peradilan pidana baik substansi, struktur maupun budaya hukum. 33 Sinkronisasi substansial mencakup sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan sistem peradilan pidana mengenai tugas dan wewenang aparat penegak hukum. 34 Sinkronisasi struktural, bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenang mencakup keselarasan dalam mekanisme penyelenggaraan peradilan pidana dalam kerangka hubungan antar sub-sistem. Selain Kepolisian, penyidikan dilakukan juga oleh Kejaksaan dan penyidik PNS lainnya, oleh karena itu perlu adanya sinkronisasi, sehingga tidak tumpang tindih pelaksanaan tugas antara aparat penegak hukum. Sinkronisasi kultural mengandung usaha untuk selalu 32 Muladi, Peran Administrasi Peradilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu, loc.cit. 33 Ibid. 34 Barda Nawawi Arief, Sistem Peradilan Pidana Terpadu dalam kaitannya dengan Pembaharuan Kejaksaan, Makalah pada Forum dengar Publik: Pembaharuan Kejaksaan, diselenggarakan oleh KHN, Kejaksaan Agung dan Partnership for Governance Reform ini Indonesia, Jakarta, 24-25 Juni 2003. Universitas Sumatera Utara serempak dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya Sistem Peradilan Pidana. 35 Perlunya sinkronisasi dalam ketiga aspek tersebut karena perlunya kesamaan pandang dan gerak seluruh sub-sistem sistem peradilan pidana dalam mencapai tujuan sistem peradilan pidana. Masalah utama yang muncul dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana sekarang, menurut Harkristuti belum seluruh ketentuan berorientasi pada sistem demi menunjang kinerja semua lembaga dalam proses peradilan pidana. 36 Untuk mewujudkan sebuah sistem peradilan pidana terpadu, terdapat sejumlah contributing factors yang perlu diperhatikan. Harkristuti menjelaskan contributing factors antara lain: 37 1. Penerapan hukum dan kebijakan mengenai sistem peradilan pidana sangat bergantung pada kerjasama antar lembaga; 2. Persepsi tiap lembaga mengenai peran mereka dalam proses peradilan pidana akan sangat mempengaruhi keputusan-keputusan kunci dan penerapan ketentuan formal; 3. Kerjasama antar lembaga dapat ditingkatkan atau mungkin sebaliknya dihambat oleh sikap dan hubungan antar lembagalembaga yang berbeda dengan para pihak yang terlibat; 4. Setiap perubahan dan reformasi mengenai kebijakan dan perundang- undangan, oleh karenanya harus memperhitungkan pula kesiapan dan kualitas Sumber daya serta budaya hukum masyarakat; 5. Dibutuhkan kepekaan yang lebih tinggi dari lembaga terkait untuk memiliki dan mencapai tujuan bersama. 35 Muladi, Peran Administrasi Peradilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu , loc. cit. 36 Harkristuti Harkrisnowo, Sistem Peradilan Pidana Terpadu dan Peran Akademis, loc.cit 37 Ibid. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa yang menjadi komponen dalam sistem peradilan pidana criminal justice system beserta dengan tugasnya adalah sebagai berikut: 1. Kepolisian. Kepolisian sebagai subsistem peradilan pidana sesuai dengan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik mempunyai tugas pokok untuk: memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. 38 2. Kejaksaan. Sedangkan dalam peradilan pidana, kepolisian mempunyai kewenangan yang khusus sebagai penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 15 dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 dan Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Adapun yang menjadi tugas kejaksaan sebagai subsistem peradilan pidana adalah sebagai berikut: 39 a. Melakukan penuntutan; b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; 38 Perhatikan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. 39 Perhatikan Pasal 30 ayat 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Universitas Sumatera Utara c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; d. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. 3. Pengadilan. Keberadaan pengadilan sebagai subsistem peradilan pidana diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Hal tersebut dapat dilihat dari pengertian kekuasaan kehakiman yaitu: kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. 40 4. Lembaga Pemasyarakatan. Sebagai subsistem peradilan pidana, keberadaan Lembaga Pemasyarakatan Lapas sangat dibutuhkan, karena setelah seseorang dinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana, maka orang tersebut harus mendapat pembinaan agar sehingga diharapkan dikemudian hari pelaku tindak pidana tersebut tidak mengulangi lagi perbuatannya. Karena masksud dan tujuan dari diadakannya pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara 40 Perhatikan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Universitas Sumatera Utara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. 41 5. Advokat. Sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat menyatakan bahwa Advokat adalah sebagai penegak hukum. Artinya, seluruh pelayanan, tindakan dan bahkan tingkah laku Advokat adalah dalam rangka atau sebagai penegak hukum. Sebagai penegak hukum tidak berarti kebal hukum karena semua warga negara bersamaan kedudukannya didepan hukum. Namun dengan pernyataan yang demikian dalam Undang-Undang menjadikan profesi Advokat menjadi jelas dan tegas statusnya khususnya jika berhubungan dengan aparat penegak hukum yang lain. Dengan perkataan lain, secara formal telah diakui bahwa Advokat adalah bahagian dari sistem peradilan pidana. 42 Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa tujuan dari sistem peradilan pidana adalah agar terciptanya keadilan dalam memperjelas suatu perkara, disamping untuk menjaga agar hak asasi manusia terlaksana. Demikian juga halnya dengan hak individu untuk didampingi Advokat acces to legal counsel merupakan sesuatu yang imperative dalam rangka mencapai proses hukum yang adil due proces of law. Dengan kehadiran Advokat dapat dicegah 41 Perhatikan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. 42 Luhut M.P. Pangaribuan, Hukum Acara Pidana, Jakarta: Djambatan, 2008, hlm. 8. Universitas Sumatera Utara perlakuan yang tidak adil oleh Polisi, Jaksa, atau Hakim dalam proses interogasi, investigasi, pemeriksaan, penahanan, peradilan, dan hukuman. 43 Disamping itu juga, diadakannya sistem peradilan pidana dan berhaknya seorang yang diduga telah melakukan tindak pidana didampingi oleh pembela Advokat adalah dalam rangka menegakkan asas equality before the law setiap orang sama dipandang dihadapan hukum dan juga asas presumption of innocence praduga tidak bersalah, artinya adalah bahwa Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 44 Selanjutnya, asas equality before the law dan asas presumption of innocence tersebut ditegakkan adalah dalam rangka menjamin perlindungan terhadap hak asasi manusia. Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara hukum, pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. 45 43 Frans Hendra Winarta, Bantuan Hukum, Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2000, hlm. 104. 44 Perhatikan Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. 45 Perhatikan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Universitas Sumatera Utara Hak asasi merupakan sejumlah hak yang seakan-akan berakar dalam tabiat setiap oknum pribadi manusia justeru karena kemanusiaannya yang tidak dapat dicabut oleh siapapun juga, karena apabila dicabut maka hilang juga kemanusiaan itu. Oleh karena itu, merupakan jaminan kebebasan setiap individu manusia untuk menentukan isi jiwanya sendiri, untuk melahirkan isi jiwanya itu dengan suara atau aktivitas lain, dan untuk mengembangkan aktivitasnya itu baik secara individual maupun secara berorganisasi dengan individu-individu lain dengan kehendaknya. Akan tetapi tidak dapat disangkal bahwa negara pemerintah berhak juga membatasi kebebasan-kebebasan individu itu. 46 Secara harafiah, yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia adalah: 47 Hak pokok atau hak dasar. Jadi, hak asasi itu merupakan hak yang bersifat fundamental sehingga keberadaannya merupakan suatu keharusan conditio sine qua non, tidak dapat diganggu gugat. Bahkan harus dilindungi, dihormati dan dipertahankan dari segala macam ancaman, hambatan dan gangguan dari sesamanya. Sejalan dengan hal tersebut, Ramdlon Naning menyatakan bahwa: 48 Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada martabat manusia, yang melekat padanya sebagai ciptaan Allah Yang Maha Esa atau hak-hak dasar yang prinsip sebagai anugerah Illahi. Berarti Hak Asasi Manusia merupakan hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya, yang tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya, karena itu Hak Asasi Manusia bersifat luhur dan suci. 46 Samidjo, Ilmu Negara, Bandung: CV. Armico, 1986, hlm. 339. 47 O.C. Kaligis, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana, Bandung: PT. Alumni, 2006, hlm. 60. 48 Ramdlon Naning, Cita dan Citra Hak Asasi Manusia Indonesia, Jakarta: Lembaga Kriminologi UI, 1983, hlm. 12. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan pengertian Hak Asasi Manusia tersebut diatas, paling sedikit terdapat 4 empat kelompok pandangan mengenai Hak Asasi manusia, yaitu: 49 1. Mereka yang berpandangan universal-absolute yang melihat Hak Asasi Manusia sebagai nilai-nilai universal belaka seperti dirumuskan dalam the international bill of human rights. Kelompok ini tidak menghargai sama sekali profil sosial budaya yang melekat pada masing-masing bangsa. Pandangan ini dianut oleh negara-negara maju, pada negara-negara berkembang dalam urusan Hak Asasi Manusia, negara maju dipandang eksploitatif karena menggunakannya sebagai alat untuk menekan dan instrumen penilai tool of judgment. 2. Negara-negara atau kelompok yang memandang Hak Asasi Manusia secara universal-relative. Mereka memandang Hak Asasi Manusia sebagai masalah universal, tetapi asas-asas hukum internasional tetap diakui keberadaannya. 3. Negara atau kelompok yang berpandangan particularistic-absolute, yang berpandangan bahwa Hak Asasi Manusia merupakan persoalan masing-masing bangsa sehingga mereka menolak berlakunya dokumen-dokumen internasional. Pandangan ini bersifat chauvinis, egois dan pasif terhadap Hak Asasi Manusia. 4. Yang berpandangan particularistic-relative, yang melihat persoalan Hak Asasi Manusia disamping sebagai masalah universal juga merupakan persoalan masing-masing negara, berlakunya dokumen- dokumen internasional diselaraskan dan diserasikan dengan budaya bangsa. Selanjutnya, di Indonesia pada saat memasuki era reformasi timbul kehendak berbagai elemen masyarakat untuk mengubah UUD 1945, yang membawa perubahan mendasar terhadap keberadaan dan diakuinya Hak Asasi Manusia serta upaya penegakannya dalam kehidupan sehari-hari. Dari beberapa Pasal UUD 1945 yang menegaskan soal Hak Asasi Manusia, ada beberapa Pasal yang sangat berkaitan erat dengan perlindungan hukum atas hak asasi tersangka, terdakwa, dan terpidana, yaitu Pasal 27 ayat 1, Pasal 28 D ayat 1, Pasal 28 G 49 Muladi, Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996, hlm. 115. Universitas Sumatera Utara ayat 1 dan 2, Pasal 28 I ayat 1 dan 2, dan Pasal 28 J ayat 1 dan 2. Ketentuan-ketentuan Pasal-Pasal dalam UUD 1945 yang dimaksud adalah secara normatif konstitusional memberikan jaminan kepada setiap orang: 50 1. Kedudukan dan perlakuan yang sama dihadapan hukum. 2. Perlindungan dan kepastian hukum yang adil. 3. Perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang berada dibawah kekuasaannya. 4. Rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat sesuatu yang merupakan hak asasinya. 5. Hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat manusia. 6. Hak untuk hidup, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. 7. Hak untuk mendapatkan perlindungan dan bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun. Kesemuanya ini bermuara pada prinsip persamaan kedudukan dihadapan hukum equality before the law. Dalam ranah teoritis, Negara yang berdasarkan atas hukum harus menjamin persamaan equality setiap individu termasuk kemerdekaan individu untuk menggunakan hak asasinya. Hal ini merupakan condition sine qua non, mengingat Negara hukum lahir sebagai hasil perjuangan individu untuk melepaskan diri dari keterikatan serta tindakan sewenang-wenang penguasa. Atas dasar itulah penguasa tidak boleh bertindak sewenang-wenang terhadap individu dan kekuasaannya pun harus dibatasi. Disamping asas persamaan kedudukan dihadapan hukum equality before the law yang menjadi elemen pokok dari konsep Hak Asasi Manusia, juga 50 O.C. Kaligis, op.cit, hlm. 100. Universitas Sumatera Utara dikenal elemen lainnya, yaitu asas peradilan yang berimbang fair trial. Pengaturan kedua asas ini dalam peraturan perundang-undangan dan implementasinya dalam penegakan hukum menjadi tolak ukur sejauh mana Hak Asasi Manusia dijamin dan ditegakkan dan kedua asas ini saling mempengaruhi. Persamaan kedudukan dihadapan hukum equality before the law dapat terwujud bila ada peradilan yang berimbang fair trial. Sebaliknya, peradilan yang berimbang fair trial dapat terjadi apabila persamaan kedudukan dihadapan hukum equality before the law dikedepankan dalam proses peradilan. 51 Dengan perkataan lain, bahwa untuk menjaga efektivitas pelaksanaan hak-hak terdakwa dan suatu penafsiran yang obyektif tentang hukum serta pembuktian kesalahan adalah sangat penting bahwa dalam perkara-perkara pidana itu diserahkan kepada hakim yang memiliki kemungkinan-kemungkinan hukum dan materi untuk menentukan suatu putusan tanpa pengaruh yang tidak semestinya, untuk keperluan ini dapat dibedakan 3 tiga elemen: pembentukan pengadilan oleh hukum, kemampuannya dalam bidang hukum serta kemerdekaan dan sifat tidak memihak dari pengadilan itu. 52 Akhirnya dapat dikatakan bahwa doktrin persamaan kedudukan didepan hukum atau biasa juga disebut dengan the doctrin of equality, menurut Albert Dicey lahir sebagai reaksi akibat perlakuan tiran yang dijalankan oleh bangsawan 51 Mien Rukmini, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Bandung: Alumni, 2003, hlm. 21. 52 Mr. A.C. ’t Hart dan Abdul Hakim Garuda Nusantara, Hukum Acara Pidana Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1986, hlm. 57. Universitas Sumatera Utara Anglo Saxon di Inggris. Raja Jhon menghentikan perlakuan tersebut dengan mengeluarkan Magna Carta yang memuat doktrin tersebut. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa ekspresi equality before the law lahir dari system common law Inggris. 53 Dalam kaitan ini, sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa bagaimanapun tidak terpujinya tindak pidana terorisme, namun sebagai warga negara, pelaku tindak pidana terorisme tetap mempunyai hak yang dijamin oleh hukum. Dalam hukum acara pidana juga diatur tentang perlindungan terhadap hak asasi manusia, diantaranya adalah: 54 1. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda- bedakan orang. 2. Tiada seorang juapun dapat dihadapkan didepan pengadilan selain daripada yang ditentukan baginya oleh Undang-Undang. 3. Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-Undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya. 4. Tiada seorang juapun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan, selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara-cara yang diatur dengan Undang-Undang. 5. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut danatau dihadapkan didepan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap. 6. Hak atas peradilan yang terbuka untuk umum. 7. hak untuk diberitahukan tentang sangkaandakwaan. 8. Hak untuk menunjuk Penasehat Hukum dan hak atas waktu yang cukup untuk mempersiapkan pembelaan. 9. Hak untuk diadili secepatnya. 53 O.C. Kaligis, op.cit, hlm. 106. 54 Samidjo, Responsi Hukum Acara Pidana, Bandung: CV. Armico, 1988, hlm. 53. Universitas Sumatera Utara 10. Hak untu membela diri secara langsung atau lewat Penasehat Hukum atas biaya sendiri atau biaya negara. 11. Hak untuk diadili dengan kehadirannya. 12. Hak untuk menguji pernyataan saksi a charge dihadapan sidang. 13. Hak untuk menghadirkan saksi a de charge dihadapan sidang. 14. Hak untuk meminta penerjemah. 15. Hak untuk tidak dipaksa meminta kesaksian yang memberatkan dirinya atau mengaku bersalah. 16. Hak atas upaya hukum ke Pengadilan yang lebih tinggi. 17. Hak untuk ganti rugi apabila terjadi kesalahan penerapan peradilan. 18. Hak untuk tidak diadili atas perbuatan yang substansi materinya sama. 19. Hak atas non-retroaktif. 20. Hak atas keringanan hukuman manakala terjadi perubahan peraturan yang meringankan.

2. Kerangka konsepsi.