keberhasilan atau kegagalan para penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan hukum yang harus dijalankan tersebut
dibuat. Misalnya, badan legislatif membuat peraturan yang sulit untuk dilaksanakan dalam masyarakat, maka sejak saat itu sebetulnya badan tersebut telah menjadi
arsitek bagi kegagalan para penegak hukum dalam menerapkan peraturan tersebut.
128
Berdasarkan pemaparan diatas, apabila dikaitkan dengan pembahasan permasalahan yaitu tentang hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Advokat dalam
memberikan bantuan hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme, maka dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
A. Hambatan Dari Sisi Undang-Undang.
Hambatan dari sisi Undang-Undang yang dimaksud disini adalah hambatan dari sisi materisubstansi peraturan perundang-undangan. Materi peraturan
perundang-undangan seyogyanya harus dapat dijadikan sebagai dasar untuk dapat diterapkan dan ditegakkan agar masyarakat dapat menikmati kepastian, ketertiban
dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran, menumbuhkan dan mengembangkan disiplin nasional, kepatuhan serta tanggungjawab sosial
setiap warga negara termasuk penyelenggara negara, menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, memberikan rasa aman dan tenteram,
128
Ibid, hlm. 25.
Universitas Sumatera Utara
mendorong kreativitas dan peran aktif masyarakat dalam pembangunan, serta mendukung stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
129
Pada kenyataannya norma-norma yang beroperasi dalam sebuah sistem hukum tidak berupa prinsip atau standard-standard abstrak. Hukum bekerja
dengan peraturan-peraturan perundang-undangan yang jauh lebih membumi. Bahkan bisa dipertanyakan apakah peraturan-peraturan perundang-undangan itu
benar-benar telah bekerja. Kalangan yang skeptis terhadap peraturan perundang- undangan bertolak dari wawasan yang tak terbantahkan lagi. Mereka melihat
sebahagian peraturan perundang-undangan jarang diberlakukan, dan yang lainnya tidak sama sekali. Banyak peraturan perundang-undangan yang sangat abstrak
atau bahkan bersifat tautologis
130
129
M. Solly Lubis, Modul Politik Hukum, Medan: Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2006, hlm. 25.
, misalnya Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang tidak memberikan perlindungan hukum bagi
advokat yang menjadi kuasa hukum dari pelaku tindak pidana terorisme, ini merupakan pertentangan dari asas equality before the law, karena saksi, penyidik,
penuntut umum, dan hakim yang memeriksa beserta keluarganya dalam perkara tindak pidana terorisme wajib diberi perlindungan. Peraturan perundang-
undangan demikian kemungkinan tidak bisa menuntun tindakan para hakim yang bebas untuk menginterpretasi sesuai diskresi mereka. Ringkasnya, peraturan
perundang-undangan tidak dengan sendirinya menjadi pegangan. Tidak
130
Dalam hal ini tautologis diartikan sebagai pengulangan beberapa kata dalam sebuah kalimat, perhatikan Burhani MS dan Hasbi Lawrens, op.cit, hlm. 645.
Universitas Sumatera Utara
seorangpun yang bisa melihat peraturan perundang-undangan yang tercetak diatas kertas dan kemudian menyimpulkan atau memperkirakan.
131
Berdasarkan pemaparan tersebut diatas, maka apabila dikaitkan dengan hambatan yang dihadapi oleh Advokat dalam memberikan bantuan hukum
terhadap pelaku tindak pidana terorisme dari sisi peraturan perundang-undangan antara lain dapat diuraikan sebagai berikut:
Mahmud Irsyad Lubis mengemukakan: Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang diundangkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tidak terdapat perlindungan
hukum bagi Advokat yang menjadi kuasa hukum dari pelaku tindak pidana terorisme, hal ini berseberangan dengan ketentuan Pasal 33 aturan tersebut yang
menegaskan: “Saksi, penyidik, penuntut umum, dan hakim yang memeriksa beserta keluarganya dalam perkara tindak pidana terorisme wajib diberi
perlindungan oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, danatau hartanya, baik sebelum, selama, maupun sesudah proses
pemeriksaan perkara”.
132
Lebih lanjut lagi Mahmud Irsyad Lubis mengemukakan:
131
Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum, Perspektif Ilmu Sosial, Bandung: Nusa Media, 2009, hlm. 54-55.
132
Wawancara dengan Mahmud Irsyad Lubis, Anggota Tim Pembela Muslim Medan, Rabu, 01 Juni 2011.
Universitas Sumatera Utara
Hambatan sebagaimana dikemukakan diatas lahir sebagai tekanan psikologis bahwa tiada dasar hukum bagi Advokat untuk memperoleh perlindungan hukum
apabila mengalami ancaman yang membahayakan diri, jiwa danatau hartanya, dan hal tersebut lain dengan penegak hukum lainnya. Oleh karena itu, regulasi ini
tidak memuat substansi keadilan dimana penegak hukum seperti hakim, penuntut umum maupun penyidik diberikan perlindungan oleh negara, namun disisi lain
Advokat yang juga ikut dalam proses pemeriksaan perkara tersebut tidak mendapatkan hal yang sama seperti penegak hukum lainnya.
133
Disamping itu juga, pemberian bantuan hukum oleh Advokat terhadap pelaku tindak pidana terorisme tidak dan belum diatur secara khusus dalam regulasi
tindak pidana terorisme maupun dalam peraturan perundang-undangan lainnya, sehingga konsep pemberian bantuan hukum dilakukan dengan memperhatikan
ketentuan umum sebagaimana ditegaskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana maupun Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.
Hambatan lain dari sisi peraturan perundang-undangan bagi Advokat untuk memberikan bantuan hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme adalah
bahwa dalam hal pemberian bantuan hukum terhadap pelaku tindak pidana apapun termasuk tindak pidana terorisme tidak dapat dilakukan oleh seorang
Advokat apabila tidak diminta oleh yang bersangkutan. Dengan demikian pemberian bantuan hukum itu hanya dapat dilakukan oleh Advokat sepanjang
133
Wawancara dengan Mahmud Irsyad Lubis, Anggota Tim Pembela Muslim Medan, Rabu, 01 Juni 2011.
Universitas Sumatera Utara
diminta oleh pelaku tindak pidana. Pemberian bantuan hukum tentunya berbeda dengan hak untuk mendapat bantuan hukum, sebab instrumen penegakan Hak
Asasi Manusia yang konstitutif yang dimiliki oleh setiap orang berdasarkan Undang-Undang Tentang Hak Asasi Manusia menyatakan: “setiap orang yang
diperiksa berhak untuk mendapatkan bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap”.
134
Dalam hal ini Mahmud Irsyad Lubis mengemukakan: Realisasi hak pelaku tindak pidana terorisme untuk memperoleh bantuan
hukum secar formil telah terpenuhi namun secara substantif tidak terpenuhi. Penyelidikan dan penyidikan tindak pidana terorisme secara khusus
dijalankan oleh Detasemen Khusus 88 Anti Teror. Penyelidik maupun Penyidik tindak pidana terorisme merupakan bahagian yang tak terpisahkan
dengan Densus, sehingga hak pelaku tindak pidana terorisme untuk mendapatkan bantuan hukum dilakukan dengan cara menunjuk Advokat yang
sejalan dengan Densus. Kehadiran Advokat hanya untuk menandatangani Surat Kuasa Khusus dan Berita Acara Pemeriksaan BAP yang telah
dipersiapkan sebelumnya tanpa mendampingi pelaku tindak pidana terorisme selama proses pemeriksaan berlangsung. Penandatanganan Surat Kuasa
Khusus dan BAP membuat proses pemeriksaan seolah-olah telah dilaksanakan secara benar menurut ketentuan hukum yang berlaku vide Pasal
56 ayat 1 KUHAP sehingga secara formil telah terpenuhi. Namun secara subtantif, materi ketentuan Pasal 56 ayat 1 KUHAP menghendaki Advokat
yang memberikan bantuan hukum benar-benar mendampingi pelaku tindak pidana terorisme selama proses pemeriksaan berlangsung termasuk
pembuatan BAP. Dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan terkuak bahwa setiap proses pemeriksaan, Advokat hanya datang untuk
menandatangani BAP dan selama pembuatan BAP Advokat yang bersangkutan tidak pernah mendampinginya.
135
134
Perhatikan Pasal 18 ayat 4 Undangt-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
135
Wawancara dengan Mahmud Irsyad Lubis, Anggota Tim Pembela Muslim Medan, Rabu, 01 Juni 2011.
Universitas Sumatera Utara
B. Hambatan Dari Sisi Aparat Penegak Hukum.