Asas praduga tak bersalah presumption of innocent.

1. Asas praduga tak bersalah presumption of innocent.

Asas praduga tak bersalah atau presumption of innocent dijumpai dalam penjelasan umum butir 3 huruf c KUHAP. Dengan dicantumkannya praduga tak bersalah dalam penjelasan KUHAP, dapat disimpulkan bahwa pembuat Undang- Undang telah menetapkannya sebagai asas hukum yang melandasi KUHAP dan penegakan hukum law enforcement. 87 Hakikat asas ini cukup fundamental sifatnya dalam hukum acara pidana. Ketentuan asas praduga tak bersalah eksistensinya tampak dalam Pasal 8 Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam praktik peradilan, manifestasi asas ini dapat diuraikan lebih lanjut, selama proses peradilan masih berjalan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung dan belum memperoleh kekuatan hukum tetap inkracht van gewijsde pelaku tindak pidana terorisme belum dapat dikategorikan bersalah sebagai pelaku tindak pidana sehingga selama proses peradilan pidana tersebut haruslah mendapatkan hak-haknya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang yang salah satunya adalah hak untuk mendapatkan bantuan hukum dari Advokat. 88 Asas praduga tak bersalah ditinjau dari segi teknis yuridis ataupun dari segi teknis penyidikan dinamakan prinsip akusatur atau accusatory procedure. Prinsip 87 M. Yahya Harahap, op.cit, hlm. 40. 88 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya, Bandung: Alumni, 2007, hlm. 13. Universitas Sumatera Utara akusatur menempatkan kedudukan tersangkaterdakwa pelaku tindak pidana terorisme dalam setiap tingkatan pemeriksaan: 89 a. Adalah subjek; bukan sebagai objek pemeriksaan, karena itu tersangka atau terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat martabat harga diri. b. Yang menjadi objek pemeriksaan dalam prinsip akusator adalah kesalahan tindak pidana yang dilakukan tersangkaterdakwa. Kearah itulah pemeriksaan ditujukan. Dengan asas praduga tak bersalah yang dianut KUHAP, memberi pedoman kepada aparat penegak hukum untuk mempergunakan prinsip akusatur dalam setiap tingkatan pemeriksaan. Aparat penegak hukum menjauhkan diri dari cara- cara pemeriksaan inkuisitur atau inquisitorial systeminquisitorial system yang menempatkan tersangkaterdakwa pelaku tindak pidana terorisme dalam pemeriksaan sebagai objek yang dapat diperlakukan dengan sewenang-wenang. Prinsip inkuisitur ini dulu dijadikan landasan pemeriksaan dalam periode HIR, sama sekali tidak memberi hak dan kesempatan yang wajar bagi tersangkaterdakwa untuk membela diri dan mempertahankan hak serta kebenarannya, sebab sejak semula aparat penegak hukum: 90 a. Sudah apriori menganggap tersangkaterdakwa bersalah. Seolah-olah tersangka sudah divonis sejak saat pertama diperiksa dihadapan penyidik. b. Tersangkaterdakwa dianggap dan dijadikan sebagai objek pemeriksaan tanpa memperdulikan hak-hak asasi manusia dan haknya untuk membela diri serta mempertahankan martabat kebenaran yang dimilikinya. Akibatnya, sering terjadi dalam praktek, seseorang yang benar-benar tidak bersalah terpaksa menerima nasib sial, meringkuk dalam penjara. Hal inilah yang dialami Karta dan Sengkon yang meringkuk menjalani 89 M. Yahya Harahap, loc.cit. 90 Ibid, hlm. 41. Universitas Sumatera Utara hukuman beberapa tahun, akan tetapi pembunuhan yang dihukumkan kepadanya ternyata pelakunya adalah orang lain. Didalam sistem Akuasator atau Advsersarial System, para pihak, tersangkaterdakwa pelaku tindak pidana terorisme dan penasehat hukum serta penyidik polisi dan penuntut umum memiliki kedudukan sejajar satu sama lain. Para pihak memiliki hak yang sama secara optimal untuk mengajukan bantahan dan bukti-bukti yang menguntungkan bagi masing-masing pihak. Tidak ada hakim penyidik investigating judge dalam menemukan kebenaran kecuali retorika tentang imparsialitas penuntutan. Sistem plea bargaining diperluas untuk menghasilkan kesepakatan mengenai penuntutan dan penghukuman antara penuntut umum dan terdakwa. Didalam sistem peradilan pidana Indonesia versi KUHAP, model sistem plea bargaining ini tidak ada padanannya karena SP3 dan SKPP tidak ada imbalan atau semacam konsesi apapun dari penuntut umum atas pengakuan bersalah dari seorang terdakwa. Penetapan SP3 dan SKPP sepenuhnya murni menjadi wewenang penyidik dan penuntut umum sesuai dengan alasan- alasan yang diatur dalam Pasal 109 dan Pasal 140 KUHAP. 91 Oleh karena itu jaminan asas praduga tak bersalah dan prinsip pemeriksaan akusatur ditegakkan dalam setiap proses pemeriksaan terhadap pelaku tindak pidana terorisme. Untuk menopang asas praduga tak bersalah dan prinsip akusatur dalam penegakan hukum, KUHAP telah memberi perisai kepada tersangkaterdakwa yang dalam hal ini juga adalah pelaku tinda pidana terorisme 91 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2010, hlm. 63. Universitas Sumatera Utara berupa seperangkat hak-hak kemanusiaan yang wajib dihormati dan dilindungi pihak aparat penegak hukum. Dengan perisai hak-hak yang diakui hukum, secara teoritis sejak semula tahap pemeriksaan, tersangkaterdakwa pelaku tindak pidana terorisme sudah mempunyai posisi yang setaraf dengan pejabat pemeriksa dalam kedudukan hukum dan berhak menuntut perlakuan yang diatur dalam KUHAP yaitu: 92 1. Segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik. 2. Segera diajukan kepengadilan dan diadili oleh pengadilan. 3. Tersangka berhak untuk diberitahu dengan jelas dengan bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai. 4. Berhak untuk diberitahu dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang didakwakan kepadanya. Tujuan kedua hak ini untuk memberi kesempatan kepadanya mempersiapkan pembelaan. 5. Berhak memberi keterangan secara bebas baik kepada penyidik taraf penyidikan maupun kepada hakim pada proses pemeriksaan disidang pengadilan. 6. Berhak untuk setiap waktu mendapat bantuan juru bahasa pada setiap tingkat pemeriksaan, jika tersangkaterdakwa tidak mengerti bahasa Indonesia. 92 Perhatikan Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Universitas Sumatera Utara 7. Berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum selama waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan. 8. Berhak memilih sendiri penasehat hukum yang disukainya. Bahkan mengenai bantuan penasehat hukum bukan semata-mata hak yang ada pada tersangkaterdakwa, akan tetapi guna memenuhi hak untuk mendapat bantuan penasehat hukum, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkatan wajib menunjuk penasehat hukum bagi tersangkterdakwa apabila tersangkterdakwa tidak mampu menyediakan penasehat hukumnya. 9. Berhak mengunjungi dan dikunjungi dokter pribadinya selama tersangkaterdakwa berada dalam tahanan. 10. Berhak untuk diberitahukan kepada keluarganya atau orang yang serumah dengan tersangkaterdakwa atas penahanan yang dilakukan terhadap dirinya. Pemberitahuan tersebut dilakukan oleh pejabat yang bersangkutan. 11. Berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau orang lain guna mendapat jaminan atas penangguhan penahanan atau bantuan hukum. 12. Berhak secara langsung atau melalui perantaraan penasehat hukumnya untuk menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluarga, sekalipun hal tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan tersangkaterdakwa. 13. Berhak mengirim surat atau menerima surat setiap kali diperlukannya yaitu kepada dan dari penasehat hukumnya dan sanak keluarga. Untuk keperluan Universitas Sumatera Utara surat menyurat ini pejabat yang bersangkutan harus menyediakan peralatan yang diperlukan. 14. Surat menyurat ini tidak boleh diperiksa oleh aparat penegak hukum, kecuali cukup alasan untuk menduga adanya penyalahgunaan surat-menyurat tersebut. 15. Terdakwa berhak untuk diadili dalam sidang pengadilan yang terbuka untuk umum. 16. Berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus yang menguntungkan bagi dirinya. 17. Tersangkaterdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Penuntut umumlah yang dibebani kewajiban pembuktian kesalahan terdakwa. Atau penyidiklah yang berkewajiban mengumpulkan bukti-bukti yang diperlukan untuk membuktikan kesalahan tersangkaterdakwa. 18. Berhak untuk menuntut ganti rugi dan rehabilitasi atas setiap tindakan dan perlakuan penangkapan, penahanan dan penuntutan yang tidak sah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, teoritis pemberian hak ini telah menempatkan kedudukan tersangkaterdakwa pelaku tindak pidana terorisme berada dalam posisi yang sama dan sejajar dengan pejabat aparat penegak hukum. Dalam praktek, hak-hak yang diakui hukum ini masih merupakan pertaruhan apakah benar-benar dapat diwujudkan dalam concreto. Barangkali kita merasa optimis, kalau hal-hal tersebut diatas dilanggar oleh pejabat penegak hukum, maka orang yang merasa haknya dilanggar dapat mengajukan sah tidaknya Universitas Sumatera Utara pelanggaran tersebut melalui praperadilan dan sekaligus dapat menuntut ganti rugi dan rehabilitasi.

2. Asas persamaan didepan hukum equality before the law.