Faktor fisik kimia perairan

4.6 Faktor fisik kimia perairan

Parameter lingkungan merupakan bagian terpenting bagi kehidupan organisme akuatik. Kondisi lingkungan sangat mempengaruhi keberadaan suatu organisme di suatu kawasan habitat. Hasil rata-rata pengukuran parameter lingkungan di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 4.7. Tabel 4.7. Faktor fisik kimia perairan selama penelitian. Parameter Satuan Baku Mutu Stasiun 1 2 3 FISIKA Suhu o C 28-32 27,8 28,2 28,5 KIMIA Salinitas ppt sd 34 5 18 20 pH Air Unit 7-8,5 6,2 6,6 6,8 pH Sedimen Unit - 6 6,2 6,5 DO ppm 5 3 3,2 3,4 NO 3 Nitrat mgl 0,008 11 13,7 4 PO 4 Fospat mgl 0,015 0,2 0,44 0,03 Pb sedimen ppm - 0,012 0,010 0,009 Cu sedimen ppm - 0,122 0,095 0,042 Cd sedimen ppm - 0,093 0,024 0,016 Sumber : data primer dan Kepmen LH No 51 Thn 2004. Baku mutu air laut untuk biota laut. Suhu Hasil pengukuran suhu rata-rata selama penelitian, terlihat bahwa suhu air berada pada kisaran 27,8 - 28,5 o C. Hal ini sesuai dengan pernyataan Whitten et al, 1997; Muhammed Yassien, 2003 bahwa suhu pada kawasan perairan pantai tropis berkisar 27-30 o C. Suhu merupakan salah satu faktor terpenting bagi organisme. Kon et al, 2009 menjelaskan bahwa suhu memberikan pengaruh pada kehidupan organisme. Suhu merupakan parameter yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan pertumbuhan organisme Farhan, 1998; Verween et al 2007. Universitas Sumatera Utara Suhu yang diperoleh pada stasiun III merupakan suhu yang paling optimum bagi kehidupan kijing di ekosistem mangrove Belawan. Hal ini ditandai dengan tingginya kepadatan kijing pada lokasi ini. Hal yang sama juga didapat oleh Natan 2008 dimana kepadatan tertinggi kerang lumpur Anadontia edentula sebesar 26 ekorm 2 dengan suhu 27,94 o C di ekosistem mangrove Teluk Ambon bagian dalam. Hal ini sesuai dengan Kepmen LH No 51. Tahun 2004 yang menyatakan bahwa suhu yang optimum bagi biota perairan berkisar 28- 32 o C. Perbedaan suhu pada masing-masing stasiun diduga sangat terkait dengan intensitas cahaya matahari yang masuk ke perairan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Efriyeldi 2012; Tamsar et al, 2013 bahwa perbedaan suhu di kawasan hutan mangrove sangat erat kaitannya dengan naungan kanopi vegetasi mangrove yang dapat mempengaruhi intensitas cahaya matahari saat penyinaran. Salinitas Salinitas adalah kandungan garam terlarut dalam satuan volume air yang biasanya dinyatakan dengan satuan promil ‰ Barus, 2004. Nilai salinitas bervariasi di setiap stasiun berkisar 5- 20‰. Stasiun III merupakan lokasi dengan salinitas tertinggi sebesar 20‰. Pada lokasi ini juga diperoleh kepadatan kijing tertinggi sebesar 2,93 Indm 2 . Hal ini menunjukkan bahwa kijing lebih menyukai salinitas yang lebih tinggi. Sama halnya dengan yang didapat Efriyeldi 2012 pada kerang sepetang Pharella acutidens, dimana kepadatan yang tinggi sebesar 6,7-10,2 Indm 2 dijumpai pada kisaran salinitas 20,9- 22,9‰ pada kawasan hutan mangrove Kota Dumai. Kepadatan yang tinggi juga didapat oleh Natan 2008 pada kerang lumpur Anodontia edentula sebesar 21 Indm 2 di kawasan hutan mangrove Teluk Ambon bagian dalam dengan salinitas 29‰. Perbedaan nilai salinitas sangat terkait dengan pasokan air tawar yang masuk ke suatu kawasan perairan. Salinitas terendah didapat pada stasiun I dengan vegetasi nipah sebesar 5‰, hal ini diduga karena stasiun I berada pada muara sungai terjun, sehingga pasokan air tawar sangat besar dikawasan ini. Universitas Sumatera Utara Sementara nilai salinitas tertinggi diperoleh pada stasiun III yang merupakan hutan mangrove dengan v egetasi heterogen sebesar 20‰. Hal ini disebabkan karena letaknya yang lebih dekat dengan laut sehingga mendapat pasokan air laut lebih banyak. Irwanto 2006 menjelaskan bahwa kawasan yang jauh dari laut salinitasnya akan lebih rendah bila dibandingkan dengan kawasan yang dekat dengan laut, dikarenakan kawasan tersebut lebih banyak menerima pasokan air tawar dari sungai. Derajat Keasaman pH air dan sedimen Nilai pH air selama penelitian didapat sebesar 6,2-6,8. Nilai pH tertinggi terdapat pada stasiun III dengan nilai 6,8 dan terendah pada stasiun I sebesar 6,2. Nilai pH yang didapat pada stasiun III merupakan pH optimum bagi kijing, hal ini dapat dilihat dari tingginya kepadatan kijing pada stasiun III. Efriyeldi 2012 mendapatkan kepadatan yang tinggi dari bivalvia Pharella acutidens pada pH 6,9 di kawasan hutan mangrove Kota Dumai. Nilai pH air yang berada dibawah angka 7 disebabkan lokasi pengambilan contoh air masih dipengaruhi oleh massa air sungai yang masuk ke suatu kawasan. Selain itu pH air yang cenderung asam pada lokasi penelitian diduga terkait dengan tingginya kandungan bahan organik yang berasal dari dekomposisi serasah mangrove Sitorus, 2004. Nilai pH pada sedimen berada dalam kisaran 6-6,5. Nilai pH sedimen tertinggi juga didapat pada stasiun III. Nilai pH sedimen yang cenderung bersifat asam masih dapat mendukung kehidupan kijing. Hal ini dapat diartikan bahwa kijing mampu hidup dalam kondisi substrat yang asam. Pernyataan yang sama diungkapkan Trisyani et al. 2007 bahwa jenis bivalvia razor clam Solen vaginalis menyukai substrat pasir berlumpur, dan pH yang rendah. Kushartono 2009 menyatakan pH pada substrat permukaan di kawasan hutan mangrove adalah 6-7. Universitas Sumatera Utara Oksigen Terlarut DO Kandungan Oksigen terlarut pada suatu kawasan sangat penting, karena oksigen dibutuhkan oleh semua organisme yang hidup di kawasan tersebut untuk proses respirasi. Hasil pengukuran kandungan oksigen terlarut selama penelitian berkisar 3-3,4 ppm. Rendahnya kandungan oksigen terlarut disemua stasiun penelitian diduga karena tingginya kekeruhan yang menyebabkan cahaya matahari tidak dapat masuk ke perairan. DO tertinggi diperoleh pada stasiun III, dan terendah pada stasiun I. Hasil ini menunjukkan bahwa kadar DO pada lokasi penelitian sudah berada dibawah baku mutu air untuk biota perairan. Kadar DO yang baik bagi biota perairan adalah ≥ 5 mgL Kepmen LH No 51 Thn 2004. Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam ekosistem air terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar organisme air Barus, 2004. Kandungan oksigen terlarut yang rendah pada lokasi penelitian masih dapat mendukung kehidupan kijing. Hal ini berarti bahwa kijing mampu hidup pada kondisi oksigen yang rendah. Sejalan dengan yang ditemukan oleh Natan 2008 bahwa kandungan oksigen terlarut pada kawasan mangrove Teluk Ambon bagian dalam sebesar 1,50 mgl dengan kepadatan kerang 35 Indm 2 . Nitrat NO 3 dan Fosfat PO 4 Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan kadar nitrat dan fosfat pada masing-masing stasiun. Kadar nitrat berada pada kisaran 4-13,7 mgL. Sedangkan kadar posfat pada kisaran 0,03-0,44 mgL. Kadar nitrat dan fosfat ini telah melebihi ambang batas. Menurut Kepmen LH No 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air laut Untuk Biota Laut, kadar nitrat dan fosfat yang diperbolehkan untuk biota perairan adalah 0,008 mgL Nitrat dan 0,015 mgL Fosfat. Stasiun II memiliki nilai kandungan nitrat dan fosfat tertinggi masing- masing sebesar 13,7 mgL dan 0,44 mgL. Tingginya kadar nitrat dan fosfat pada kawasan ini diduga disebabkan karena stasiun ini merupakan daerah pembuangan limbah tambak udang yang banyak mengandung senyawa nitrat dan fosfat. Universitas Sumatera Utara Stasiun III merupakan stasiun yang paling rendah kadar nitrat dan fosfatnya, kadar nitrat dan fosfat pada stasiun ini secara berturut-turut sebesar 4 mgL dan 0,03 mgL. Hal ini disebabkan karena pada stasiun ini tidak mendapat masukan air limbah domestik yang mengandung unsur N dan P. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Hutagalung dan Rozak 1997, Salah satu penyebabnya peningkatan kadar nitrat adalah masuknya limbah domestik atau pertanian yang umumnya banyak mengandung nitrat. Kadar fosfat di perairan semakin meningkat dengan masuknya limbah domestik deterjen dll., dan pertanianperkebunan pupuk yang banyak mengandung fosfat. Kadar nitrat dan fosfat yang tinggi dapat menyebabkan pengayaan nutrien Eutrofikasi pada kawasan mangrove Belawan. Kondisi ini akan memicu terjadinya ledakan populasi alga beracun Harmfull algae bloom yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian organisme pantai secara massal. Effendi 2003 menyatakan bahwa kandungan nitrat lebih 0.2 mgl dapat menyebabkan terjadinya eutrofikasi. Barus 2004 mengungkapkan peningkatan kadar fosfor dalam air akan meningkatkan populasi alga secara massal, yang dapat menimbulkan eutrofikasi dalam ekosistem air. Logam berat sedimen Hasil analisis laboratorium menunjukkan kadar ketiga logam berat Pb, Cu, dan Cd tertinggi didapat pada stasiun I, hal ini terkait dengan tingginya aktivitas lalu lintas kapal nelayan di kawasan ini. Selain itu letak stasiun I yang berada pada muara sungai terjun di duga menjadi penyebab tingginya kadar logam berat di stasiun ini. Limbah yang masuk dari aktivitas pelayaran banyak mengandung logam Pb. Dojlido dan Bestn 1993 dalam Amin et al, 2011 menyatakan bahwa logam Pb banyak masuk ke perairan melalui buangan air ballast kapal dan emisi mesin berbahan bakar minyak. Selanjutnya Makmur et al, 2013 menjelaskan daerah yang dekat dengan perkotaan dan areal buangan limbah akan memiliki kadar logam berat yang tinggi baik pada sedimen dan badan air. Universitas Sumatera Utara Logam berat merupakan salah satu unsur yang dapat mencemari lingkungan. Masuknya logam berat di suatu kawasan perairan biasanya disebabkan oleh aktivitas antropogenik, seperti pembuangan limbah industri, limbah perkotaan dan aktivitas kendaraan bermotor. Amin et al, 2011 menyatakan, sumber pencemar logam berat dapat masuk ke perairan melalui aktivitas masyarakat seperti dari asap kendaraan, pertanian menggunakan pestisida, perbengkelan, kegiatan industri dan pembuangan sisa limbah rumah tangga.

4.7 Karakteristik sarang