Studi Ekologi Kijing (Glauconome virens, Linnaeus 1767) Di Ekosistem Mangrove Belawan.

(1)

STUDI EKOLOGI KIJING (Glauconome virens Linnaeus, 1767)

DI EKOSISTEM MANGROVE BELAWAN

T E S I S

Oleh

RUSDI MACHRIZAL

127030015/BIO

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014


(2)

STUDI EKOLOGI KIJING (Glauconome virens Linnaeus, 1767)

DI EKOSISTEM MANGROVE BELAWAN

T E S I S

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Oleh

RUSDI MACHRIZAL

127030015/BIO

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014


(3)

PENGESAHAN

Judul Tesis : STUDI EKOLOGI KIJING (Glauconome virens

Linnaeus, 1767) DI EKOSISTEM MANGROVE BELAWAN

Nama Mahasiswa : RUSDI MACHRIZAL

Nomor Induk Mahasiswa : 12 70 30 015

Program Studi : Magister Biologi

Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Sumatera Utara

Menyetujui Komisi Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Hesti Wahyuningsih, M.Si Dr. Erni Jumilawaty, M.Si

19691018 199412 2 002 19700102 199702 2 002

Ketua Program Studi, Dekan FMIPA,

Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.BioMed Dr. Sutarman, M.Sc

19660209 199203 1 003 19631026 199103 1 001


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 27 Agustus 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Hesti Wahyuningsih, M.Si Anggota : 1. Dr. Erni Jumilawaty, M.Si

2. Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus, M.Sc 3. Dr. Tengku Alief Aththorick, M.Si


(5)

PERNYATAAN ORISINALITAS

STUDI EKOLOGI KIJING (Glauconome virens Linnaeus, 1767)

DI EKOSISTEM MANGROVE BELAWAN

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa saya mengakui semua karya tesis ini adalah hasil kerja saya sendiri kecuali kutipan dan ringkasan yang tiap satunya telah dijelaskan sumbernya dengan benar.

Medan, 27 Agustus 2014 Penulis

Rusdi Machrizal 127030015


(6)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN

AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Rusdi Machrizal

NIM : 127030015

Program Studi : Magister Biologi Jenis karya Ilmiah : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif (Non-Exclusive Royalty Free Right) atas Tesis saya yang berjudul:

Studi Ekologi Kijing (Glauconome virens, Linnaeus 1767) Di Ekosistem Mangrove Belawan.

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media, memformat, mengelola, dalam bentuk data-base, merawat dan mempublikasi Tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemegang dan atau sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.

Medan, Agustus 2014

Rusdi Machrizal


(7)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “STUDI EKOLOGI KIJING (Glauconome virens Linnaeus, 1767) DI EKOSISTEM MANGROVE BELAWAN”. Dibuat sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Magister Biologi Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara Medan.

Penulis menyampaikan terimakasih kepada Ibu Dr. Hesti Wahyuningsih, M.Si sebagai Dosen Pembimbing I dan Ibu Dr. Erni Jumilawaty, M.Si selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan selama penulis melaksanakan penelitian sampai selesainya tesis ini.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ing Ternala Alexander Barus, M.Sc, dan Dr. T. Alief Aththorick, M.Si sebagai Dosen Penguji yang telah memberikan arahan dan masukan dalam penyempurnaan penyusunan tesis ini.

2. Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.BioMed sebagai Ketua Program Studi Magister Biologi, dan Ibu Dr. Suci Rahayu, M.Si, sebagai sekretaris Program Studi Magister Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara. Ibu Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc sebagai kepala Departemen Biologi Universitas Sumatera Utara.

3. Ayahanda Zalwis, dan Ibunda Rita Mourina Pasaribu atas limpahan kasih sayang, dukungan moril dan materil yang senantiasa diberikan kepada penulis hingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.

4. Keluarga Besar Rizal’s Family, kakanda Dian Kemala Riza, S.TP beserta

suami Abanganda Chairil Budi Lubis, SP, Kakanda Azwina Riza Ramadhani, ST dan suami Abanganda Henry Suryadi Nasution, Abanganda Roy Fachrizal, SE beserta Istri Nur Khoirunnisa, dan kakanda Silvany Riza, S.Pt beserta suami abanganda Adrian Dendy, terima kasih atas segala dukungan baik moril maupun materil yang diberikan kepada penulis.


(8)

5. Teman-teman Pasca Sarjana Biologi angkatan 2012, Pak Uswatul Hasan, Bang Khairul, Bang Aulia, Bang Diki, Tiki, Ali Ramadhan, Kak Afrida, Kak Cut, Kak Tuty, Kak Riri, Kak Ummi, Rani, Kiki, Nabila, Elisa, Frantika, terima kasih untuk kebersamaannya selama ini.

6. Teman-teman dalam tim penelitian bidang ekologi perairan yang telah banyak memberikan motivasi dan dukungannya dalam penyelesaian tesis ini.

7. Fika Dara Yolanda Nasution, S.Pd yang telah setia menemani penulis dalam menyelesaikan studi magister.

8. Keponakan tercinta, Cherilla Izzata Putri Lubis, Fatih Muhammad Hadziq Nasution, Athaya Ramiza, Azri Ahmad Radziq Nasution, dan Reyza AlFarizi, yang telah meramaikan keluarga ini.

Akhir kata semoga Allah SWT memberikan rahmatNya kepada kita dalam menuntut ilmu dan semoga penelitian ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, 27 Agustus 2014


(9)

RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama lengkap berikut gelar : Rusdi Machrizal, S.Pi

Tempat dan Tanggal lahir : Pematang Siantar, 27 Maret 1986 Alamat Rumah : Jl. Pimpinan No. 133 Medan Telepon/Hp : +6285374888500

E-mail : rusdi_ik04@yahoo.com

DATA PENDIDIKAN

SD : SDN 142428 Padangsidimpuan Tamat : 1998 SMP : SMPN 1 Padangsidimpuan Tamat : 2001 SMA : SMAN 2 Padangsidimpuan Tamat : 2004 Strata-1 : Ilmu Kelautan UR Tamat : 2009 Strata-2 : Biologi FMIPA USU Tamat : 2014


(10)

ABSTRAK

Kijing, Glauconome virens dari famili glauconomidae, hidup pada kawasan ekosistem mangrove. Spesies ini membenamkan diri pada dasar berlumpur (muddy bottoms) pada kedalaman 13-30 cm dan dapat hidup pada kondisi rendah oksigen. Kijing merupakan salah satu komoditas eksport. Masyarakat Belawan memanfaatkan kijing sebagai salah satu sumber protein.

Tujuan penelitian ini adalah: mengkaji aspek biologi kijing, seperti kepadatan, morfometrik, dan pola pertumbuhan. Mengkaji aspek ekologi yang meliputi pola penyebaran, karakteristik sarang, serta hubungan antara faktor fisik kimia perairan dengan kepadatan kijing. Penelitian dilakukan selama 3 bulan (dari Januari 2014 sampai Maret 2014) di ekosistem mangrove Belawan dimana dibagi atas 3 stasiun pengamatan, dengan tiga kali pengulangan. Analisis data meliputi kepadatan kijing, struktur komunitas mangrove, karakteristik lingkungan perairan (suhu, salinitas, pH, oksigen terlarut, fosfat, nitrat, tekstur sedimen), pola penyebaran kijing, hubungan panjang berat, morfometrik dan analisis korelasi Parson.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepadatan tertinggi berada stasiun III dengan jenis substrat lempung liat berpasir, dengan nilai kepadatan 2,93 Ind/m2. Kepadatan terendah terdapat pada stasiun II sebesar 1,16 Ind/m2, dengan substrat lempung berliat. Pola pertumbuhan kijing adalah alometrik negatif dengan nilai konstanta b<3. Distribusi kijing berbeda pada setiap stasiunnya, stasiun I dan II memiliki pola distribusi seragam, dan stasiun III memiliki pola distribusi mengelompok.

Hasil pengamatan faktor fisik kimia perairan menunjukkan bahwa suhu berada pada kisaran 27,8-28,5oC, salinitas 5-20‰, pH air 6,2-6,8, pH sedimen 6-6,5, DO 3-3,4 ppm, Nitrat berkisar 4-13,7 mg/L, Fosfat 0,03-0,44 mg/l. Hasil pengukuran logam berat pada sampel sedimen menunjukkan kadar Pb sebesar 0,009-0,012 ppm, Cu sebesar 0,042-0,122 ppm, dan Cd sebesar 0,016-0,093 ppm. Analisis substrat menunjukkan, stasiun I memiliki substrat lempung, stasiun II memiliki substrat lempung berliat, dan stasiun III memiliki substrat lempung liat berpasir. Analisis vegetasi mangrove menunjukkan jenis buta-buta (Excoecaria allagocha) memiliki nilai INP tertinggi pada kategori pohon dan anakan, masing-masing sebesar 122,77%, dan 151,72%. Hasil pengamatan terkait karakteristik sarang kijing menunjukkan bahwa kedalaman sarang berkisar 13-30,2 cm, dengan ukuran panjang kijing berkisar 2,4-6,8 cm. Bentuk permukaan sarang menyerupai angka delapan, sama dengan bentuk sifon kijing. Analisis korelasi menunjukkan ada hubungan korelasi searah antara fraksi pasir sedimen dengan kelimpahan dengan koefisien korelasi sebesar 0,964, dan korelasi berlawanan arah terhadap fraksi liat sedimen dengan koefisien korelasi -0,996.


(11)

ABSTRACT

Kijing, Glauconome virens of the family Glauconomidae are found in mangrove area. The clams burrow themselves to the dept 13-30 cm in the muddy bottom and can survive on the anoxic condition. Kijing is a kind of export commudity. In Belawan, Kijing has used as a protein source.

The objectives of this research were : to study biological aspect of kijing, like abundance, mofomometric, growth pattern. Ecological aspect like distribution pattern, hole characteristic, and connetion between water physical chemistry factor with the abundance of kijing. The research was carried out in 3 months( from January 2014 to March 2014) in mangrove ecosystem Belawan. The site was divided into three station sampling, and three repeating. The analyses covered community structure of the mangrove, density of kijing, environmental characteristics of the waters (temperature, salinity, pH, DO, phosphate and nitrate), distribution patterns of the kijing, lengthweight relationship, morfometric, and Pearson correlation analysis.

The results showed that Sandy Clay Loam sediment with higher density of kijing (2,93 Ind/m2) in station III. The lowest density showed that Clay Loam sediment in station II (1,16 Ind/m2). Growth pattern of kijing indicated a negative allometric growth (b<3). Distribution pattern of kijing in station I and II indicated uniform, and clumped in station III.

The results showed that temperature 27,8-28,5oC, salinity 5-20‰, water pH 6,2 -6,8, sediment pH 6-6,5, DO 3-3,4, Nitrate 4-13,7 mg/L, Posphate 0,03-0,44 mg/L. heavy metal concentration in sediment showed Pb 0,009-0,012 ppm, Cu 0,042-0,122 ppm, and Cd 0,016-0,093 ppm. Texture sediment analysis showed, station I Loam, station II Clay Loam, and station III Sandy Clay Loam. The results showed that mangrove area was dominated by Excoecaria allagocha with Importance Value Index 122,77%, - 151,72%. Observations related to the characteristic of kijing hole indicates that the depth of hole ranged from 13-30,2 cm, with size kijing from 2,4 – 6,8 cm. The hole surface shape similar with the syfon like number 8 (eight). Correlation analysis showed positive correlation between density and sandy fraction sediment, with a correlation coefficient of 0,964, and negative correlation between density and clay fraction sediment, with a correlation coefficient of -0,996.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR i

RIWAYAT HIDUP iii

ABSTRAK iv

ABSTRACT v

DAFTAR ISI vi

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR viii

BAB I. PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Rumusan Masalah 2

1.3 Tujuan Penelitian 3

1.4 Manfaat Penelitian 3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 4

2.1 Sistematika dan Morfologi Glauconome virens 4 2.2 Habitat dan Distribusi 5

2.3 Kebiasaan Makan 5

2.4 Ekosistem Mangrove 6

2.5 Faktor Lingkungan 7

2.6 Logam Berat 8

BAB III. METODE PENELITIAN 10

3.1 Waktu dan Tempat 10

3.2 Deskripsi Lokasi Penelitian 11

3.3 Alat dan Bahan 12

3.4 Prosedur Penelitian 12 3.4.1 Pengambilan sampel Kijing 12 3.4.2 Pengamatan Kerapatan Jenis Mangrove 13 3.4.3 Morfometrik Kijing 14 3.4.4 Hubungan Panjang Berat 14 3.4.5 Faktor Fisik Kimia Perairan 14 3.4.6 Karakteristik Sarang Kijing 15

3.4.7 Sedimen 15

3.5 Analisis Data 16

3.5.1 Kelimpahan G.virens 16 3.5.2 Analisis Vegetasi Mangrove 16 3.5.3 Distribusi dan Pola Penyebaran 17

3.5.4 Morfometrik 18


(13)

3.5.6 Karakteristik Sarang Kijing 18 3.5.7 Karakteristik Fisik Kimia Perairan 19 3.5.8 Analisis Korelasi 19

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 20

4.1 Kepadatan Kijing 20

4.2 Morfometrik dan Hubungan Panjang Berat 22

4.2.1 Morfometrik 22

4.2.2 Hubungan Panjang Berat 24

4.3 Pola Penyebaran 26

4.4 Struktur Komunitas Mangrove 27

4.5 Sedimen 29

4.6 Faktor Fisik Kimia Perairan 33 4.7 Karakteristik Sarang Kijing 38 4.8 Analisis korelasi Faktor Fisik Kimia Perairan dengan

Kelimpahan Kijing 41

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 43

5.1 Kesimpulan 43

5.2 Saran 43


(14)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

3.1. Alat dan bahan yang diperlukan dalam penelitian 12 3.2. Teknik Pengumpulan data parameter fisik kimia

perairan

19 4.1. Hubungan panjang berat kijing (G.virens) pada

setiap stasiun

24 4.2. Nilai Indeks Morisita pada setiap Stasiun

Penelitian

26 4.3. Indeks nilai penting vegetasi mangrove kategori

pohon pada stasiun III

28 4.4. Indeks nilai penting vegetasi mangrove kategori

anakan pada stasiun III

28 4.5. Tekstur tanah berdasarkan komposisi ukuran

butiran tanah berdasarkan USDA.

29 4.6. Proporsi fraksi menurut kelas tekstur tanah 30 4.7. Faktor Fisik Kimia Perairan selama penelitian 33 4.8. Nilai Analisis Korelasi Kelimpahan Kijing dengan

Faktor Fisik- Kimia Perairan


(15)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

2.1. Morfologi Kijing (G.virens) 4 2.2. Daerah penyebaran kijing (G.virens) 5 3.1. Peta Lokasi Penelitian 10 3.2. Stasiun Penelitian 11 3.3. Skema tata letak transek dalam pengambilan

sampel kerang

13 3.4. Skema pengamatan jenis dan kerapatan mangrove 13 3.5. Pengukuran morfometrik Kijing (G.virens) 14 3.6. Segitiga Tekstur Tanah berdasarkan USDA 15 4.1. Kelimpahan kijing pada 3 stasiun pengamatan 20 4.2. Grafik hubungan morfometrik Kijing (G.virens) 23 4.3. Grafik hubungan panjang berat kijing (G.virens) 25 4.4. Tekstur Sedimen berdasarkan USDA (2006) 31 4.5. Bentuk permukaan sarang kijing (G.virens) 38 4.6. Bentuk sifon kijing 39 4.7. Lubang permukaan sarang 40 4.8. Kondisi sarang saat pasang 41


(16)

ABSTRAK

Kijing, Glauconome virens dari famili glauconomidae, hidup pada kawasan ekosistem mangrove. Spesies ini membenamkan diri pada dasar berlumpur (muddy bottoms) pada kedalaman 13-30 cm dan dapat hidup pada kondisi rendah oksigen. Kijing merupakan salah satu komoditas eksport. Masyarakat Belawan memanfaatkan kijing sebagai salah satu sumber protein.

Tujuan penelitian ini adalah: mengkaji aspek biologi kijing, seperti kepadatan, morfometrik, dan pola pertumbuhan. Mengkaji aspek ekologi yang meliputi pola penyebaran, karakteristik sarang, serta hubungan antara faktor fisik kimia perairan dengan kepadatan kijing. Penelitian dilakukan selama 3 bulan (dari Januari 2014 sampai Maret 2014) di ekosistem mangrove Belawan dimana dibagi atas 3 stasiun pengamatan, dengan tiga kali pengulangan. Analisis data meliputi kepadatan kijing, struktur komunitas mangrove, karakteristik lingkungan perairan (suhu, salinitas, pH, oksigen terlarut, fosfat, nitrat, tekstur sedimen), pola penyebaran kijing, hubungan panjang berat, morfometrik dan analisis korelasi Parson.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepadatan tertinggi berada stasiun III dengan jenis substrat lempung liat berpasir, dengan nilai kepadatan 2,93 Ind/m2. Kepadatan terendah terdapat pada stasiun II sebesar 1,16 Ind/m2, dengan substrat lempung berliat. Pola pertumbuhan kijing adalah alometrik negatif dengan nilai konstanta b<3. Distribusi kijing berbeda pada setiap stasiunnya, stasiun I dan II memiliki pola distribusi seragam, dan stasiun III memiliki pola distribusi mengelompok.

Hasil pengamatan faktor fisik kimia perairan menunjukkan bahwa suhu berada pada kisaran 27,8-28,5oC, salinitas 5-20‰, pH air 6,2-6,8, pH sedimen 6-6,5, DO 3-3,4 ppm, Nitrat berkisar 4-13,7 mg/L, Fosfat 0,03-0,44 mg/l. Hasil pengukuran logam berat pada sampel sedimen menunjukkan kadar Pb sebesar 0,009-0,012 ppm, Cu sebesar 0,042-0,122 ppm, dan Cd sebesar 0,016-0,093 ppm. Analisis substrat menunjukkan, stasiun I memiliki substrat lempung, stasiun II memiliki substrat lempung berliat, dan stasiun III memiliki substrat lempung liat berpasir. Analisis vegetasi mangrove menunjukkan jenis buta-buta (Excoecaria allagocha) memiliki nilai INP tertinggi pada kategori pohon dan anakan, masing-masing sebesar 122,77%, dan 151,72%. Hasil pengamatan terkait karakteristik sarang kijing menunjukkan bahwa kedalaman sarang berkisar 13-30,2 cm, dengan ukuran panjang kijing berkisar 2,4-6,8 cm. Bentuk permukaan sarang menyerupai angka delapan, sama dengan bentuk sifon kijing. Analisis korelasi menunjukkan ada hubungan korelasi searah antara fraksi pasir sedimen dengan kelimpahan dengan koefisien korelasi sebesar 0,964, dan korelasi berlawanan arah terhadap fraksi liat sedimen dengan koefisien korelasi -0,996.


(17)

ABSTRACT

Kijing, Glauconome virens of the family Glauconomidae are found in mangrove area. The clams burrow themselves to the dept 13-30 cm in the muddy bottom and can survive on the anoxic condition. Kijing is a kind of export commudity. In Belawan, Kijing has used as a protein source.

The objectives of this research were : to study biological aspect of kijing, like abundance, mofomometric, growth pattern. Ecological aspect like distribution pattern, hole characteristic, and connetion between water physical chemistry factor with the abundance of kijing. The research was carried out in 3 months( from January 2014 to March 2014) in mangrove ecosystem Belawan. The site was divided into three station sampling, and three repeating. The analyses covered community structure of the mangrove, density of kijing, environmental characteristics of the waters (temperature, salinity, pH, DO, phosphate and nitrate), distribution patterns of the kijing, lengthweight relationship, morfometric, and Pearson correlation analysis.

The results showed that Sandy Clay Loam sediment with higher density of kijing (2,93 Ind/m2) in station III. The lowest density showed that Clay Loam sediment in station II (1,16 Ind/m2). Growth pattern of kijing indicated a negative allometric growth (b<3). Distribution pattern of kijing in station I and II indicated uniform, and clumped in station III.

The results showed that temperature 27,8-28,5oC, salinity 5-20‰, water pH 6,2 -6,8, sediment pH 6-6,5, DO 3-3,4, Nitrate 4-13,7 mg/L, Posphate 0,03-0,44 mg/L. heavy metal concentration in sediment showed Pb 0,009-0,012 ppm, Cu 0,042-0,122 ppm, and Cd 0,016-0,093 ppm. Texture sediment analysis showed, station I Loam, station II Clay Loam, and station III Sandy Clay Loam. The results showed that mangrove area was dominated by Excoecaria allagocha with Importance Value Index 122,77%, - 151,72%. Observations related to the characteristic of kijing hole indicates that the depth of hole ranged from 13-30,2 cm, with size kijing from 2,4 – 6,8 cm. The hole surface shape similar with the syfon like number 8 (eight). Correlation analysis showed positive correlation between density and sandy fraction sediment, with a correlation coefficient of 0,964, and negative correlation between density and clay fraction sediment, with a correlation coefficient of -0,996.


(18)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Glauconome virens dikenal masyarakat Belawan dengan nama Kijing. Namun di

Malaysia kerang ini dikenal dengan nama “Siput cangkul atau Kupang” (Yap et

al., 2009; Hamli et al., 2012). Carpenter dan Niem (1998) menjelaskan, kijing

memiliki lebih dari satu nama ilmiah yaitu Glauconome virens (Linnaeus, 1767);

Sinovacula virens (Linnaeus, 1767); Tanysiphon virens (Linnaeus, 1767);

Glauconome rugosa (Reeve, 1844). Kijing juga dikenal dengan nama Greenish glauconomya (Inggris) dan Glauconomye verte (Perancis).

G.virens adalah spesies asli kawasan indopasifik, kerang ini tersebar dari bagian Selatan tropis Pasifik, Philipina, Kamboja, Myanmar, Laos, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia dan bagian Utara Australia (Tropis Australia) (Carpenter & Niem, 1998). G.virens hidup dengan cara membenamkan diri kedalam substrat lumpur di daerah hutan mangrove dan membuat lubang-lubang sebagai sarang. Lubang yang dibuat terlihat seperti membentuk angka delapan. Semakin besar ukuran lubang maka akan semakin besar pula kerang yang hidup di dalamnya. Carpenter & Niem (1998) mengemukakan bahwa di kawasan hutan mangrove kijing hidup berasosiasi dengan dengan kerang lokan (Geloina sp) dan pisau lipat (Pharella sp).

G.virens merupakan salah satu jenis kerang yang bernilai ekonomis tinggi. Menurut masyarakat yang sering menangkap kerang ini, kijing (G.virens) merupakan komoditi ekspor. G.virens dijual dalam keadaan segar dan kering di pasar-pasar Malaysia, Jepang, Hong Kong, dan Philipina (Davidson, 1976; Amornjaruchit, 1988; Saraya, 1982; Young & Serna, 1982). Kijing dimanfaatkan sebagai sumber protein, sama halnya dengan kerang hijau, kerang darah, dan jenis-jenis kerang pada umumnya. Tidak hanya sebagai sumber protein, kerang


(19)

2

Lubang-lubang yang dijadikan sarang oleh G.virens dapat membantu masuknya oksigen ke dalam substrat hutan mangrove. Hal ini juga dijelaskan oleh Efriyeldi (2012) bahwa lubang-lubang yang dibangun kerang dapat membantu masuknya oksigen ke dalam substrat hutan mangrove yang sering mengalami kondisi anoksik.

Kawasan hutan mangrove Belawan adalah salah satu kawasan yang memiliki potensi sumberdaya G.virens. Namun kajian tentang sumberdaya ini belum pernah dilakukan di Indonesia khususnya di Sumatera Utara. Hal ini dapat dilihat dari minimnya informasi yang tersedia. Printrakoon et al., (2008) menginformasikan distribusi G.virens yang dijumpai pada kawasan hutan mangrove di daerah Teluk Thailand, Yap et al., (2009) mengukur kandungan logam berat pada G.virens yang hidup di daerah intertidal Peninsular Malaysia. Kemudian Hamli et al., (2012) melaporkan tentang keberadaan G.virens sebagai jenis bivalva yang dapat dikonsumsi di kawasan hutan mangrove Sarawak, Malaysia.

Sehubungan dengan belum adanya publikasi tentang kerang G.virens di Indonesia, maka perlu dilakukan kajian tentang spesies ini, mengingat tingginya ancaman kerusakan terhadap ekosistem mangrove Belawan yang menjadi habitat kijing (G.virens) ini. Kajian ini meliputi aspek ekologi kijing di ekosistem mangrove Belawan.

1.2 Perumusan Masalah

Tingginya tingkat kerusakan hutan mangrove saat sekarang ini, disebabkan oleh eksploitasi secara terus menerus terhadap ekosistem ini. Bentuk-bentuk ancaman yang terus terjadi adalah penebangan, konversi lahan mangrove menjadi pertambakan, pelabuhan, bahkan pemukiman, dikhawatirkan akan mengancam kehidupan seluruh organisme yang hidup di dalamnya. Degradasi lingkungan mangrove akibat dari aktivitas industri dan konversi lahan menyebabkan penurunan kualitas lingkungan mangrove yang menjadi habitat berbagai jenis kerang, termasuk G.virens.


(20)

3

Keterbatasan informasi mengenai G.virens ini, disebabkan oleh terbatasnya kajian yang berkaitan dengan kerang ini, sehingga sangat disayangkan apabila terjadi kepunahan sebelum semua informasi tentang organisme ini dapat diungkap. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian mengenai aspek ekologi kijing di ekosistem mangrove Belawan sehingga hasil dari penelitian diharapkan dapat menjadi acuan bagi pengelolaan sumberdaya moluska dan ekosistem mangrove secara berkelanjutan.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui aspek ekologi terkait karakteristik sarang kijing (G.virens) dan penyebarannya di hutan mangrove Belawan.

2. Mengetahui aspek biologi kijing (G.virens), yang meliputi morfometrik, pola pertumbuhan, dan kepadatan populasi di kawasan hutan mangrove Belawan. 3. Menganalisis hubungan antara faktor fisik kimia perairan dengan kepadatan

kijing (G.virens).

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang keberadaan kijing (G.virens) di kawasan hutan mangrove Belawan Sicanang. Data yang diperoleh juga diharapkan dapat menjadi dasar dalam pengambilan kebijakan dalam upaya pengelolaan kawasan hutan mangrove, sehingga kekayaan flora dan fauna yang hidup di hutan mangrove dapat tetap terjaga.


(21)

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistematika dan Morfologi Glauconome virens

Sistematika Kijing (Glauconome virens) menurut Carpenter & Niem (1998) adalah sebagai berikut:

Phylum : Mollusca Class : Bivalva Subclass : Heterodonta Ordo : Veneroida Superfamily : Cyrenoidea Family : Glauconomidae Genus : Glauconome

Species : Glauconome virens (Linnaeus, 1767)

Gambar 2.1. Morfologi kijing (G.virens)

Carpenter & Niem (1998) mendeskripsikan, G.virens memiliki cangkang yang simetris, tipis, oval memanjang, dan agak renggang pada bagian posterior. Bagian anterior berbentuk bulat lebar dan agak pendek, sedangkan bagian posteriornya memanjang dan agak tajam. Pada bagian luar cangkang terdapat garis membentuk alur yang tidak teratur. Warna cangkang bagian luar krim kehijauan, sedangkan bagian dalamnya putih halus. Panjang maksimum cangkang 7 cm, sedangkan umumnya dijumpai 5 cm.


(22)

5

2.2 Habitat dan Distribusi

Kerang G.virens hidup pada dasar lumpur di daerah kawasan hutan mangrove. Hidup pada perairan payau dan sering dijumpai pada daerah dengan vegetasi nipa (Nypa fruticans). Kerang ini juga sering dijumpai hidup bersama

Pharella sp dan Geloina sp. Kerang ini tersebar didaerah tropis, bagian Selatan tropis Pasifik, Philipina, Kamboja, Myanmar, Laos, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia dan bagian Utara Australia (Tropis Australia) (Carpenter & Niem, 1998). Daerah penyebaran spesies ini seperti terlihat pada gambar 2.2.

Keterangan : Daerah penyebaran kijing --- Zona Polynesia

Gambar 2.2 Daerah penyebaran kijing (G.virens)( Carpenter & Niem, 1998).

2.3 Kebiasaan Makan dan Pencernaan

Bivalva umumnya dikenal sebagai hewan yang menyaring makanannya (Filter feeder), tidak terkecuali kijing (G.virens). Menurut Efriyeldi (2012) umumnya bivalva yang makan secara menyaring (filter feeder) akan memakan material organik yang terdapat pada kolom air sesuai ukuran yang bisa masuk ke mulutnya.

Natan (2008) menjelaskan saluran pencernaan terdiri atas mulut, oesophagus yang pendek, lambung yang dikelilingi kelenjar pencernaan, usus, rectum dan anus. Usus biasanya panjang dan melingkar-lingkar melalui bagian dalam kaki dan gonad. Usus dan rektum berfungsi menjadikan sisa percernaan (feses) ke dalam bentuk pelet, dan pada dindingnya tidak terjadi absorbs makanan.


(23)

6

Hasil analisis isi saluran pencernaan beberapa jenis kerang yang hidup di kawasan pesisir seperti kerang sepetang (P.acutidens) yang dilakukan oleh Efriyeldi (2012), diperoleh detritus atau hancuran material bahan organik dalam jumlah besar, yang diperkirakan mencapai 90%. Selain detritus, ditemukan juga plankton, khususnya berupa fitoplankton. Plankton yang ditemukan dalam saluran pencernaan sepetang terdiri dari kelompok Bacillariophycea (11 genera) dan

Cyanophyceae (2 genera), namun kelompok zooplankton tidak ditemukan. Sebagian besar plankton yang ditemukan dalam saluran pencernaan sepetang berasal dari kelompok Bacillariophyceae, yang berkisar antara 92.31-100%. Selain itu Kelompok Bacillariophyceae juga ditemukan sebagai makanan yang disukai (nilai IE positif) pada kerang tahu (Meretrix meretrix) dan pada kerang

Gafariumdivaricatum dan Ostreacucullata (Rudi, 1999; Hari, 1999).

2.4 Ekosistem Mangrove

Ekosistem mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Bengen, 2001). Ekosistem mangrove Indonesia memiliki keragaman tertinggi di dunia dengan jumlah jenis tercatat sebanyak 202 jenis yang terdiri atas 89 pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit, dan 1 jenis sikas. Namun demikian hanya terdapat kurang lebih 47 jenis tumbuhan yang spesifik hutan mangrove. Paling tidak di dalam hutan mangrove terdapat salah satu jenis tumbuhan sejati penting/dominan yang termasuk ke dalam empat famili: Rhizophoraceae (Rhizophora, Bruguiera, dan

Ceriops), Avicenniaceae (Avicennia), Sonneraticeae (Sonneratia), dan Meliaceae

(Xylocarpus). Komposisi jenis tumbuhan penyusun ekosistem mangrove ditentukan beberapa faktor lingkungan terutama jenis tanah, genangan pasang surut, dan salinitas (Bengen, 2002).


(24)

7

Ekosistem mangrove juga berperan sebagai habitat bagi jenis-jenis ikan, kepiting dan kerang-kerangan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Dilihat dari aspek fisik, hutan mangrove mempunyai peranan sebagai pelindung kawasan pesisir dari hempasan angin, arus dan ombak dari laut, serta berperan juga sebagai benteng dari pengaruh banjir dari daratan. Tipe perakaran beberapa jenis tumbuhan mangrove (pneumatophore) tersebut juga mampu mengendapkan lumpur, sehingga memungkinkan terjadinya perluasan areal hutan mangrove. Disamping itu, perakaran jenis tumbuhan mangrove juga mampu berperan sebagai perangkap sedimen dan sekaligus mengendapkan sedimen, yang berarti pula dapat melindungi ekosistem padang lamun dan terumbu karang dari bahaya pelumpuran (Pramudji, 2001).

Natan & Uneputty (2010) menjelaskan bahwa ekosistem mangrove merupakan produsen primer melalui serasah yang dihasilkannya. Serasah mangrove setelah melalui proses dekomposisi oleh sejumlah mikroorganisme menghasilkan detritus yang meningkatkan kesuburan perairan sehingga berbagai jenis fitoplankton dapat hidup dan berkembang. Menurut Pramudji (2001) hutan mangrove merupakan habitat dari komunitas biota perairan yang dihuni oleh 61 jenis gastropoda, 9 jenis bivalvia, dan 54 jenis krustacea.

2.5 Faktor Lingkungan

Tomascik et al., (1997) menyatakan bahwa bivalvia yang berada di sedimen hutan mangrove dapat mentoleransi dalam periode yang panjang suhu yang tinggi dan oksigen yang rendah. Suhu air di ekosistem mangrove berkisar 27-29oC dan suhu sedimen berada pada kisaran 27-28.5oC (Efriyeldi, 2006; Natan, 2008; Efriyeldi, 2012). Hewan akuatik dipengaruh variabel abiotik (seperti suhu, salinitas, oksigen terlarut dan substrat) dan variabel biotik (seperti, makanan, predasi dan kompetisi) (Sahin et al., 2006). Trisyani et al., (2007) mendapatkan suhu perairan yang merupakan habitat kerang lorjuk (Solen vaginalis) di perairan pantai timur Surabaya sebesar 28-30oC.


(25)

8

Salinitas perairan pesisir sangat dipengaruhi oleh masukan air tawar dari sungai (Effendi, 2003). Natan (2008) mendapatkan salinitas perairan hutan mangrove teluk Ambon bagian dalam yang merupakan habitat kerang lumpur (Anadontia edentula) berkisar 29.15-30.08‰. Selanjutnya Efriyeldi (2012) mendapatkan salinitas pada habitat kerang sepetang (Pharella acutidens) di ekosistem mangrove Dumai pada rata-rata 20.9-22.9‰.

Derajat keasaman (pH) perairan merupakan parameter lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan organisme. Setiap jenis organisme mempunyai pH optimal, pH optimal untuk kehidupan moluska adalah 6.5-7.5 (Russel-Hunter 1983). Nilai pH air yang didapatkan Natan (2008) pada habitat kerang lumpur di ekosistem mangrove teluk Ambon bagian dalam sebesar 6.24-6.9. Berbeda halnya dengan yang didapatkan Efriyeldi (2012) pH air pada ekosistem mangrove Dumai yg merupakan habitat dari kerang sepetang sebesar 6.8-7.2, selanjutnya Efriyeldi (2006) menyatakan bahwa pH sedimen pada ekosistem mangrove stasiun kelautan Dumai adalah 5.0-6.8. Menurut Effendi (2003) sebahagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH 7.0-8.5.

Oksigen merupakan faktor yang berperan penting untuk menunjang kehidupan organisme dalam proses respirasi dan metabolisme sel. Kandungan oksigen terlarut pada ekosistem mangrove Dumai berkisar antara 4.17-5.38 ppm (Efriyeldi, 2012). Menurut Effendi (2003), kadar oksigen terlarut kurang dari 4 mg/l mengakibatkan efek yang kurang menguntungkan bagi hampir semua organisme akuatik.

2.6 Logam Berat

Logam merupakan unsur esensial yang sangat dibutuhkan setiap makhluk hidup, namun beberapa diantaranya (dalam kadar tertentu) bersifat racun. Di alam, unsur ini biasanya terdapat dalam bentuk terlarut atau tersuspensi (terikat dengan zat padat) serta terdapat sebagai bentuk ion (Ernawaty, 2010). Banyak jenis logam berat yang sering ditemukan terakumulasi pada ekosistem mangrove, seperti air raksa (Hg), Timbal (Pb), Kadmium (Cd), dan lain sebagainya.


(26)

9

Arisandi et al., (2012) melaporkan tentang akumulasi logam berat jenis timbal (Pb) pada sedimen dikawasan hutan mangrove Kebon Agung Surabaya sebesar 13.157 ppm, nilai ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan yang diperoleh Ernawaty (2010) sebesar 0.0403-0.478 ppm pada sedimen muara sungai Asahan. Tugiyono (2007) mencatat kandungan logam berat Pb pada sedimen di kawasan Teluk Lampung berkisar antara 0.009-0.0036 ppm.

Kusumawaty (2009) mendapatkan kandungan logam berat raksa, timbal, dan cadmium pada sedimen di kawasan hutan mangrove desa Kepetingan Sidoarjo berturut-turut sebesar <0.01 mg/kg, 15-64 mg/kg, dan <0.05 mg/kg. Jalaludin & Ambeng (2005), mendapatkan kandungan logam berat timbal dan kadmium pada kerang Anadara granosa yang hidup disekitar gusung tanjung bunga Makassar, masing-masing 5.337 mg/kg dan 22.876 mg/kg.


(27)

10

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Maret 2014, yang menjadi lokasi penelitian adalah kawasan hutan mangrove Belawan Sicanang. Lokasi dibedakan menjadi tiga stasiun, dimana penentuan stasiun dilakukan berdasarkan jenis vegetasi mangrove. Stasiun I terletak pada 3o 44’ 17,1” LU dan 98o 39’ 3,04” BT, hutan mangrove dengan vegetasi Nipah (Nypa fruticans), Stasiun II berada 3o

45’ 7,6” LU dan 98o 38’ 17,6” BT hutan mangrove denga

n vegetasi berembang (Soneratia caseolaris), Stasiun III terletak pada 3o 45’ 27,8” LU dan 98o 38’ 14,3” BT hutan mangrove dengan vegetasi heterogen. Lokasi penelitian ditentukan melalui pengamatan pada saat penelitian pendahuluan. Peta lokasi penelitian seperti pada Gambar 3.1.


(28)

11

3.2 Deskripsi lokasi penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kawasan hutan mangrove kelurahan Belawan Sicanang. Lokasi pengambilan sampel dibagi menjadi tiga stasiun. Penentuan lokasi pengambilan sampel ditentukan berdasarkan jenis vegetasi mangrove.

Stasiun I adalah lokasi dengan vegetasi Nipah (Nypa fruticans). Lokasi ini merupakan daerah dengan vegetasi yang homogen. Stasiun ini berada di depan muara sungai terjun, daerah ini merupakan jalur lalulintas kapal nelayan. Stasiun II terletak pada saluran outlet tambak masyarakat. Stasiun ini merupakan daerah pembuangan limbah tambak masyarakat sicanang. Vegetasi yang hidup pada lokasi ini juga homogen yaitu Soneratia caseolaris (Berembang). Stasiun III, adalah stasiun yang berada di daerah paluh leman. Pada daerah ini juga dekat dengan tambak, tetapi bukan merupakan daerah pembuangan limbah tambak udang. Daerah ini ditumbuhi berbagai spesies mangrove (Gambar 3.2).

Gambar 3.2 (a). Stasiun I, hutan mangrove dengan vegetasi Nypafruticans, (b). Stasiun II, hutan mangrove dengan vegetasi Soneratia caseolaris, (c). Stasiun III, hutan mangrove dengan vegetasi beragam (heterogen).


(29)

12

3.3 Alat dan Bahan

Peralatan dan bahan yang digunakan untuk mengukur parameter ekologi perairan, dan parameter biologi disajikan pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Alat dan Bahan yang diperlukan dalam Penelitian.

No Parameter Alat Bahan

1. Kualitas air (suhu, salinitas, pH, DO, NO3, PO4)

Termometer, refraktometer, pH meter, DO meter, spectrofotometer Air sampel

2. Fraksi substrat (sedimen) Sediment core, Ayakan, oven furnance, timbangan, cawan poselen

Sedimen, H2O2

3. Morfometrik Jangka sorong, timbangan digital, pisau.

Sampel kerang

G.virens

4. Distribusi dan kepadatan kerang

Meteran,

tali, label, kantong plastik

Sampel kerang

G.virens

5. Struktur komunitas Mangrove Meteran, tali, lembaran data

Vegetasi mangrove

3.4 Prosedur Penelitian

3.4.1 Pengambilan Sampel Kijing

Metode yang digunakan dalam penentuan titik pengambilan sampel adalah secara purposive sampling. Sampel G.virens langsung dikumpulkan dengan cara menangkap langsung dengan tangan. Waktu pengambilan sampel dilakukan berdasarkan pola pasang surut, dimana sampel diambil pada saat surut terendah. Pengambilan contoh kijing dilakukan dengan cara membuat plot berukuran 1 x 1 meter sebanyak 45 buah, dimana pada masing-masing plot diberi jarak 1 meter. Plot pengambilan kerang di letakkan di dalam transek kuadrat berukuran 30 x 20 meter yang dibuat untuk pengamatan mangrove. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 3 kali ulangan dengan interval satu bulan. Metode pengambilan sampel seperti terlihat pada Gambar 3.3.


(30)

13 30 meter 15 Plot 1 10 meter 1 10 meter 15 Plot 30 meter

Gambar 3.3 Skema tata letak transek dalam pengambilan sampel kerang.

3.4.2 Pengamatan Kerapatan Jenis Mangrove

Pengamatan kerapatan jenis mangrove dilakukan dengan metode petak kuadrat yaitu dengan membuat petak pengamatan berukuran 30 m × 20 m, untuk kategori pohon (diameter > 10 cm) pada tiap stasiun pengamatan. Selanjutnya diidentifikasi dan dihitung jumlah individu perjenisnya. Hal yang sama juga dilakukan untuk kategori anakan (diameter 2-10 cm) dengan membuat petak pengamatan berukuran 10 m × 10 m di dalam petak pengamatan 30 m × 20 m tersebut. Ilustrasi pengamatan mangrove seperti pada Gambar 3.4.

10

Gambar 3.4. Skema pengamatan jenis dan kerapatan mangrove. 30 20 10 10 30 20 10 10 1 1 1

1 1 1 1 1

1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1


(31)

14

3.4.3 Morfometrik Kijing

Untuk mendapatkan data morfometrik kijing, maka dilakukan pengukuran terhadap seluruh kijing yang tertangkap selama penelitian. Data morfometrik yang diambil berupa data panjang, lebar, dan tebal. Adapun cara pengukuran seperti terlihat pada Gambar 3.5.

Gambar 3.5 Pengukuran morfometrik Kijing (G.virens). (a). pengukuran lebar, (b). pengukuran tebal, (c). pengukuran panjang.

3.4.4 Hubungan Panjang Berat

Hubungan panjang berat diperoleh dengan cara membuat persamaan regresi sederhana menggunakan data panjang yang diperoleh dari pengukuran morfometrik seperti pada (Gambar 3.5). Data berat diperoleh dengan cara menimbang kijing dengan timbangan digital dengan tingkat ketelitian 0,01 g.

3.4.5 Faktor Fisik Kimia Perairan

Pengukuran faktor fisik kimia perairan dilakukan untuk mendapatkan data lingkungan perairan di lokasi penelitian. Pengukuran dilakukan dengan cara langsung (Insitu) dan analisis laboratorium (Exsitu). Parameter yang diukur dalam penelitian ini adalah Suhu, Salinitas, pH air, pH sedimen, DO, nitrat dan fosfat. Seluruh parameter diukur langsung di lokasi penelitian (Insitu) kecuali nitrat dan fosfat, dilakukan di Laboratorium Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit kelas I Medan. Nitrat dan fosfat diukur dengan metode spektrofotometri dan dinyatakan dalam satuan mg/L.


(32)

15

3.4.6 Karakteristik Sarang Kijing

Pengamatan karakteristik sarang dilakukan degan cara visual (pengamatan langsung). Data yang diambil terkait karakteristik berupa data bentuk lubang, kedalaman lubang. Pengamatan hanya dilakukan pada beberapa individu kijing, berdasarkan ukuran.

3.4.7 Sedimen

Analisis ukuran butiran sedimen pada lokasi penelitian dilakukan untuk mendapatkan jenis tekstur tanah yang ada di lokasi penelitian. Analisis ukuran butiran sedimen berdasarkan skala ukuran yang dikeluarkan oleh United State Department of Agricultural (USDA, 2006). Sampel sedimen diambil menggunakan sediment core yang tebuat dari pipa paralon berdiameter 10 cm. Sedimen diambil sampai kedalaman 30 cm, selanjutnya sampel dimasukkan kedalam kantong plastik dan dianalisis di Laboratorium Riset dan Teknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Hasil dari pengukuran butiran sedimen dinyatakan dalam bentuk persen (%), setelah nilai diperoleh, kemudian dilakukan penentuan jenis tekstur dengan menggunakan segitiga tekstur USDA (USDA Textural Triangel) (Gambar 3.6).

Gambar 3.6 Segitiga Tekstur Tanah berdasarkan USDA (2006). (sumber ; modifikasi USDA (2006).


(33)

16

3.5 Analisis Data 3.5.1 Kepadatan Kijing

Untuk menentukan kepadatan kijing digunakan formula menurut Krebs (1978) :

Kepadatan (ind/m2) = Jumlah ind.suatu spesies Luas Plot

Data yang diperoleh dari hasil pengamatan akan disajikan dalam bentuk deskriptif, sehingga dapat dilihat perbedaan kepadatan pada tiap stasiun pengamatan.

3.5.2 Analisis Vegetasi Mangrove

Perhitungan kerapatan jenis mangrove dilakukan dengan menggunakan formula menurut English et al. (1997):

K= Jumlah individu jenis Luas contoh

Kerapatan Relatif adalah perbandingan antara jumlah tegakan jenis ke i (ni) dan jumlah total tegakan seluruh jenis:

KR= Kerapatan suatu jenis

Kerapatan seluruh jenisx100%

Frekuensi jenis (Fi) adalah peluang ditemukannya jenis i dalam petak contoh/plot yang diamati:

F=Jumlah plot ditemukan suatu jenis Jumlah seluruh plot

Frekuensi Relatif jenis (FR) adalah perbandingan antara frekuensi jenis i (Fi) dan jumlah frekuensi untuk seluruh jenis:

FR=Frekuensi dari suatu jenis


(34)

17

Dominasi jenis adalah luas penutupan jenis i dalam suatu unit area:

D=Jumlah bidang dasar Luas petak contoh

Dominasi relatif adalah perbandingan antara luas area penututupan jenis i (Di) dan luas total area penutupan antara seluruh jenis :

DR= Dominansi suatu jenis

Dominansi seluruh jenisx100%

Indeks Nilai Penting (INP) (%) adalah jumlah nilai kerapatan relatif jenis (KR), frekuensi relatif jenis (FR) dan penututupan relatif jenis (DR) :

INP=KR+FR+DR

3.5.3 Distribusi dan Pola Penyebaran

Pola distribusi kijing (G.virens) ditentukan dengan menggunakan Indeks Penyebaran Morisita (Khouw, 2009) berdasarkan rumus :

Id=n ∑X

2

-∑X (∑X)2- ∑X Keterangan :

Id = Indeks Penyebaran Morisita n = Jumlah plot / besar sampel

∑X = Jumlah Individu disetiap plot

∑X2

= Jumlah individu disetiap plot dikuadratkan

Dengan kriteria pola sebaran sebagai berikut :

• Jika nilai Id = 1, maka distribusi populasi kategori acak

• Jika nilai Id >1, maka distribusi populasi kategori bergerombol/mengelompok


(35)

18

3.5.4 Morfometrik

Analisis hubungan morfometrik antara panjang dengan lebar dan tebal serta antara lebar dan tinggi menggunakan persamaan berikut :

P = a + b L P = a + Tb L = a + Tb

dimana: P = panjang cangkang, L = lebar cangkang, T = tebal cangkang, a dan b = konstanta.

3.5.5 Hubungan Panjang Berat Kijing

Pertumbuhan kijing dapat diketahui melalui analisis hubungan panjang cangkang dengan berat tubuh kijing (berat total), yang dianalisis melalui persamaan (King, 1995) :

W= aLb

Dimana :

W = Berat total (g)

L = Panjang cangkang (mm) a dan b = Konstanta

3.5.6 Karakteristik sarang kijing

Pengamatan karakteristik sarang kijing dilakukan untuk mendapatkan data terkait lebar lubang, kedalaman lubang, dan bentuk lubang. Data yang diperoleh selanjutnya akan dianalisis secara deskriptif sehingga didapatkan informasi yang jelas tentang karateristik sarang kijing (G.virens).


(36)

19

3.5.7 Karakteristik Fisik Kimia Perairan

Data yang diperoleh dari hasil pengamatan karakteristik fisik kimia perairan akan di analisis secara deskriptif. Kemudian data akan disajikan dalam bentuk tabel, dan dianalisis secara deskriptif untuk mendapatkan hubungan antara karakteristik fisik kimia perairan dengan kepadatan kijing. Teknik pengumpulan data parameter fisik kimia perairan seperti pada Tabel 2.

Tabel 2. Teknik pengumpulan data parameter fisik kimia perairan.

NO Parameter Metode

1. Suhu In situ

2. Substrat Laboratorium 3. DO (dissolved oxygen) In situ

4. Nitrat (NO3) Laboratorium

5. Posfat (PO4) Laboratorium

6. pH (sedimen, Air) In situ

7. Kadmium (Cd) pada sedimen Laboratorium 8. Cuprum (Cu) pada sedimen Laboratorium 9. Timbal (Pb) pada sedimen Laboratorium

3.5.8 Analisis Korelasi

Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui hubungan antara faktor-faktor fisik kimia perairan dengan kepadatan kijing menggunakan metode komputerisasi analisis korelasi Pearson SPSS Ver.17.00.


(37)

20

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kepadatan Kijing

Hasil penelitian yang dilakukan selama tiga bulan menunjukkan adanya perbedaan kepadatan kijing disetiap stasiunnya. Dari ketiga stasiun pengamatan diperoleh kepadatan tertinggi pada stasiun III sebesar 2,93 Ind/m2, dan yang terendah pada stasiun II sebesar 1,16 Ind/m2. Kepadatan kijing seperti terlihat pada Gambar 4.1.

2.80 1.16 2.93 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00

I II III

K e p a d a ta n K ij in g (I n d /m 2) Stasiun Penelitian

Gambar 4.1 Kepadatan kijing pada 3 stasiun pengamatan Keterangan :

I. Hutan mangrove dengan vegetasi nipah (Nypa fruticans)

II. Hutan mangrove dengan vegetasi brembang (Soneratia caseolaris) III. Hutan mangrove dengan vegetasi heterogen

Berdasarkan Gambar 4.1 dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan kepadatan pada masing-masing stasiun. Perbedaan kepadatan ini diduga terkait dengan berbagai faktor yang ada di kawasan hutan mangrove seperti tipe substrat (sedimen), jenis vegetasi, dan juga faktor biofisik kimia sedimen dan perairan.


(38)

21

Rendahnya kepadatan pada stasiun II diduga disebabkan karena berbagai faktor, diantaranya kondisi dasar mangrove yang ditutupi oleh vegetasi jeruju, selain itu sistem perakaran Soneratia sp yang memiliki akar pensil menyebabkan sulitnya kijing dalam membuat liang. Hal yang sama juga disampaikan Efriyeldi (2012), bahwa kepadatan bivalva pada hutan mangrove sangat dipengaruhi oleh kondisi vegetasi hutan mangrove, sedimen dan faktor biofisik kimia perairan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepadatan kijing berada pada kisaran 1,16-2,93 Ind/m2. Jika dibandingkan dengan kepadatan kerang Pharella acutidens

dan Anodontia edentula yang tergolong kedalam kelompok razor clam, nilai ini tergolong rendah. Efriyeldi (2012) mendapatkan kepadatan kerang Pharella acutidens di kawasan mangrove Dumai sebesar 6,7 - 10,2 Ind/m2.Sementara itu Natan (2008) mendapatkan kepadatan kerang lumpur (Anadontia edentula) pada kawasan hutan mangrove Ambon sebesar 9 - 29 Ind/m2.

Perbedaan kepadatan ini diduga sangat terkait oleh ketersediaan makanan, kemampuan beradaptasi, dan predatorisme. Rendahnya kepadatan pada stasiun II diduga disebabkan karena faktor kemampuan adaptasi kijing dan predatorisme. Permukaan mangrove yang tertutupi oleh vegetasi jeruju menyebabkan substrat dipenuhi perakaran mangrove sehingga menghambat gerak kijing dalam membuat lubang. Selain daripada itu pada stasiun II banyak ditemukan kijing dalam keadaan mati, hal ini ditandai dengan banyaknya cangkang yang kosong.

Predatorisme diduga merupakan salah satu penyebab kematian kijing pada stasiun II. Pemangsaan dilakukan oleh kepiting tulik (Metopograpsus latifrons) dengan cara menjepit kijing hingga hancur, kemudian memakannya. Kepiting ini banyak dijumpai pada sarang-sarang kijing di stasiun II. Nybakken (1992) mengungkapkan bahwa ketersediaan makanan, pemangsaan dan kemampuan beradaptasi merupakan faktor biologi yang mempengaruhi keberadaan suatu spesies. Selanjutnya Natan & Uneputty (2010) menjelaskan apabila disuatu kawasan pasang surut tidak terdapat predator, maka spesies-spesies yang ada dikawasan tersebut akan berkembang dengan pesat.


(39)

22

Faktor lain yang juga sangat mempengaruhi kepadatan kijing adalah tipe substrat di kawasan mangrove. Hasil analisis substrat menunjukkan adanya perbedaan jenis substrat pada masing-masing stasiun penelitian. Dimana stasiun I memiliki substrat lempung (Loam), stasiun II lempung berliat (Clay loam), sedangkan pada stasiun III tekstur tanahnya lempung liat berpasir (Sandy-clay Loam). Substrat lempung (stasiun I) didominasi fraksi debu dan liat, jenis substrat ini mudah mengeras apabila dalam kondisi kering.

Stasiun III memiliki substrat lempung liat berpasir dengan jumlah fraksi pasir mencapai 50,56%. Fraksi pasir memiliki ukuran butiran yang lebih besar sehingga terdapat rongga yang lebih besar, dan lebih sulit mengeras. Welch (1952) dalam Wijayanti (2007) menyebutkan substrat di dasar perairan akan menentukan kelimpahan dan komposisi jenis hewan benthos. Hal ini juga dipertegas oleh Cernohorsky (1978) & (Nybakken, 1988) bahwa kepadatan suatu spesies dipengaruhi oleh faktor ekologi dan biologi seperti tipe substrat yang disenangi, ketersediaan makanan, predator, dan aktivitas manusia.

4.2 Morfometrik dan Hubungan panjang berat 4.2.1 Morfometrik

Morfometrik adalah bentuk luar dari bagian tubuh tertentu yang menjadi dasar untuk membandingkan satu bagian dengan bagian lainnya, seperti panjang, lebar, tebal cangkang, serta bagian lainnya (Effendi, 1979). Menurut Efriyeldi (2012), Panjang dan lebar cangkang merupakan komponen morfometri yang relatif konstan untuk moluska, sehingga dapat dijadikan sebagai pembeda dengan jenis lain. Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk grafik dan persamaan regresi (Gambar 4.2). Komponen morfometri yang dianalisis adalah hubungan panjang cangkang dan lebar cangkang, panjang cangkang dan tebal cangkang serta lebar cangkang dan tebal cangkang.


(40)

23

Gambar 4.2 Grafik hubungan morfometrik Kijing (G.virens) (a) Panjang dengan lebar (b) Panjang dengan tebal, dan (c), lebar dengan tebal.

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5

0 2 4 6 8

L eba r (cm ) Panjang (cm) (a)

y = 0.00234 x + 0.571 R2= 0.847

n = 930

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3

0 2 4 6 8

T eba l ( cm ) Panjang (cm) (b)

y = 0.00434x + 0.343 R2= 0.810

n = 930

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3

0 1 2 3 4 5

T ebal (cm ) Lebar (cm) (c)

y = 0.09587x + 0.3582 R2= 0.7474


(41)

24

Gambar 4.2 memperlihatkan bahwa terdapat hubungan linier positif antara panjang dengan lebar, panjang dengan tebal, serta lebar dengan tebal. Hubungan linier positif juga didapat pada Pharella acutidens, dan Anodontia edentula

(Efriyeldi, 2012; Natan, 2008). Hubungan linier positif dapat diartikan bahwa seiring bertambahnya ukuran panjang cangkang maka akan terjadi penambahan pada ukuran lebar dan tebal cangkang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Efriyeldi (2012) hubungan yang linier dan positif menunjukkan semakin bertambah ukuran panjang cangkang, maka ukuran lebar dan tebal kerang juga semakin bertambah, namun besaran pertambahannya cenderung relatif berkurang seiring bertambahnya ukuran panjang kerang. Perbandingan ukuran lebar dan tebal terhadap panjang menurun seiring bertambahnya ukuran panjang.

4.2.2 Hubungan panjang berat

Hasil pengukuran panjang kijing berkisar 2,4 - 6,8 cm dan berat 1,40 - 26,25 g. Hubungan panjang cangkang dan berat total kijing disajikan dalam bentuk persamaan regresi sederhana. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nilai konstanta b, nilai konstanta b berkisar 1,369 - 2,068. Nilai ini berarti pertumbuhan kijing alometrik negatif (Tabel 4.1).

Tabel 4.1 Hubungan panjang berat kijing (G.virens) pada setiap stasiun.

Stasiun Hubungan panjang berat Pola Pertumbuhan

I W= 0,0045L1,37 Alometrik negatif II W= 0,0084L1,47 Alometrik negatif III W= 0,3858L2,18 Alometrik negatif

Hasil analisis hubungan panjang berat kijing, didapatkan pola pertumbuhan allometrik negatif dengan nilai konstanta b<3. Hubungan antara panjang cangkang dan berat dapat dilihat pada Gambar 4.3. Secara umum, nilai b tergantung pada kondisi fisiologis dan lingkungan seperti suhu, pH, salinitas, letak geografis dan teknik sampling (Jenning et al., 2001) dan juga kondisi biologis seperti perkembangan gonad dan ketersediaan makanan (Froese, 2006).


(42)

25

Gambar 4.3 Grafik hubungan panjang berat kijing (G.virens) di ekosistem mangrove Belawan, (a) stasiun 1, (b) stasiun 2, (c) stasiun 3.

0 5 10 15 20 25

0 2 4 6

B er a t (g ) Panjang (cm) (a) y = 0.00452x1.37 R2= 0.710

0 5 10 15 20 25 30

0 2 4 6 8

B er a t (g ) Panjang (cm) (b) y = 0.00884x1.47 R2= 0.765

0 5 10 15 20 25 30 35

0 2 4 6 8

B er a t (g ) Panjang (cm) (c) y = 0.38585x2.18


(43)

26

Pola pertumbuhan bivalva dapat berbeda, tergantung pada jenis dan habitat bivalva itu sendiri. Pola pertumbuhan kijing secara umum adalah alometrik negatif dengan nilai b <3. Nilai konstanta b<3 juga diperoleh pada kerang sepetang (Pharella acutidens) dan Solen strictus dengan nilai b<3 (Efriyeldi et al, 2012; Park & Oh, 2002). Nilai yang sama ini diduga disebabkan oleh bentuk dari kijing yang memanjang sehingga untuk mencapai betuk tersebut dibutuhkan pertumbuhan panjang yang lebih cepat dibandigkan pertambahan beratnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Efriyeldi et al, (2012) bahwa kerang yang memiliki bentuk panjang dan pipih akan mengalami pertumbuhan panjang terlebih dahulu sebelum pertumbuhan berat. Pertumbuhan alometrik dapat dijelaskan degan bentuk yang memanjang dan pipih. Untuk mencapai bentuk pipih dan memanjang pertambahan panjang harus lebih dominan bila dibandingkan pertambahan berat (Del, 2004; Efriyeldi, 2012).

4.3 Pola penyebaran

Hasil analisis indeks morisita (distribusi) G.virens pada ketiga stasiun penelitian, diperoleh indeks morista seperti tertera pada Tabel 4.2. Indeks morisita yang didapat berbeda pada masing-masing stasiun. Nilai indeks morisita tertinggi diperoleh pada stasiun III sebesar 1,421. Pada stasiun I didapat nilai indeks terendah sebesar 0,645.

Tabel 4.2. Nilai Indeks Morisita pada setiap Stasiun Penelitian

Stasiun Morisita Kategori

1 0.645 Seragam 2 0.958 Seragam

3 1.421 Mengelompok/Bergerombol

Nilai indeks sebaran morisita selama penelitian didapat berkisar 0,645 - 1,421, terdapat perbedaan pola sebaran pada msing-masing stasiun pengamatan. Stasiun I dan II memiliki pola sebaran seragam dan pada stasiun III pola sebaran mengelompok. Pola sebaran mengelompok juga didapat pada P.acutidens di hutan mangrove Kota Dumai dan Polymesoda erosa di daerah Pesisi Aceh Barat dengan nilai rerata indeks berturut-turut 1,05 - 1,13 dan 3,00 - 28,15 (Efriyeldi, 2012; Sarong , 2010).


(44)

27

Indeks distribusi yang berkelompok diduga disebabkan kijing (G.virens) memilih tempat hidup pada habitat yang paling sesuai baik faktor fisik kimia maupun tersedianya nutrisi di dasar perairan. Odum (1993) menyatakan bahwa pola sebaran mengelompok adalah bentuk yang paling umum terjadi di alam. Tidak adanya kompetisi antar individu dalam populasi kijing diduga menyebabkan pola penyebaran yang mengelompok. Hal ini sesuai dengan pendapat Odum (1993) sebaran mengelompok disebabkan oleh individu dalam populasi saling melindungi. Sebaran mengelompok juga dapat terjadi karena proses reproduksi, selain itu mengelompoknya individu pada populasi merupakan strategi dalam menanggapi perubahan cuaca dan musim, serta perubahan habitat (Odum, 1993; Soetjipta, 1993).

Pada stasiun I dan II didapat pola sebaran seragam dengan nilai Id < 1. Pola yang sama juga didapat oleh Irwani & Suryono (2006) pada kerang totok (Geloina sp) di Segara anakan Cilacap. Perbedaan pola sebaran ini diduga disebabkan oleh karakter lingkungan dan ketersediaan makanan yang terbatas sehingga menyebabkan kompetisi antar individu dalam mendapatkan ruang yang sama. Pola sebaran merata/seragam ini menurut Odum (1993) terjadi karena adanya persaingan individu sehingga mendorong pembagian ruang secara merata. Effendie (1978) yang menyatakan bahwa pola distribusi merupakan hasil dari seluruh jawaban tingkah laku individu-individu di dalam populasi terhadap kondisi lingkungan disekitarya. Riyanto et al (1985) mengungkapkan pola sebaran seragam (uniform) terjadi apabila kompetisi antar individu sangat hebat atau ada antagonisme positif yang mendorong pembagian ruang yang sama.

4.4 Struktur komunitas mangrove

Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian didapatkan 4 jenis yang termasuk kategori pohon, dan 5 jenis kategori anakan (Tabel 4.3 dan Tabel 4.4). Stasiun III merupakan daerah yang bervegetasi heterogen. Sedangkan pada stasiun I dan II vegetasi homogen yaitu Nipah (Nypa fruticans) dan Berembang (Sonneratiacaseolaris).


(45)

28

Tabel 4.3 Indeks nilai penting vegetasi mangrove kategori pohon pada stasiun 3.

Nama Lokal Spesies Jumlah Individu KR (%) FR (%) DR (%) INP (%) Buta-buta Excoecharia

agallocha 14 50,00 30,00 42,77 122,77

Teruntun Lumnitzera racemosa 4 14,29 20,00 32,16 66,4 Mata

Buaya Bruguiera hainesii 8 28,57 30,00 15,91 74,48 Prepat Sonneratia alba 2 7,14 20,00 9,16 36,30

Total 28 100 100 100 300

Tabel 4.4 Indeks nilai penting vegetasi mangrove kategori anakan pada stasiun 3.

Nama Lokal Spesies Jumlah Individu KR (%) FR (%) DR (%) INP (%)

Teruntun Lumnitzera racemosa 4 14,29 20,00 14,29 48,58

Mata

Buaya Bruguiera hainesii 6

21,43 30,00 18,39 69,81

Dungun Heritiera littoralis 1 3,57 10,00 1,55 15,12

Buta-buta Excoecaria agallocha 16 57,14 30,00 64,58 151,72

Nyirih Xylocarpus granatum 1 3,57 10,00 1,19 14,76

Total 28 100 100 100 300

Hasil analisis vegetasi mangrove menunjukkan bahwa spesies buta-buta (Excoecaria agallocha) memiliki INP tertinggi untuk kategori pohon dan anakan sebesar 122,77 % dan 151,72%. Tingginya nilai INP pada spesies E. agallocha

diduga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya kepadatan kijing pada stasiun III. Hal ini dikarenakan sifat hidup E. agallocha yang akan menggugurkan daun pada musim-musim tertentu, sehingga produksi serasah meningkat. Tingginya serasah akan menyebabkan peningkatan kandungan bahan organik pada kawasan ini. Kandungan bahan organik yang tinggi dapat mempengaruhi ketersediaan makanan bagi kijing. Hal yang sama dinyatakan oleh Efriyeldi (2012), bahwa daerah dengan kandungan bahan organik yang tinggi memiliki kepadatan populasi bivalvia jenis Pharella acutidens yang tinggi juga.

Nilai INP yang tinggi pada jenis E. agallocha pada stasiun III diduga karena pada stasiun ini merupakan daerah yang paling sesuai bagi perkembangan pohon buta-buta, serta ketersedian unsur hara tanah yang akan mempengaruhi pertumbuhan tumbuhan. Hal yang sama diungkapkan oleh Resosoedarmo et al

(1989), dalam suatu komunitas pengendali kehadiran jenis-jenis dapat berupa satu atau beberapa jenis tertentu atau dapat pula sifat-sifat fisik habitat.


(46)

29

Hasil analisis vegetasi mangrove juga menunjukkan adanya perbedaan antara spesies pada kategori pohon dan anakan pohon. Pada kategori pohon tidak ditemukan spesies Xylocarpus granatum (Nyirih), sedangkan pada kategori anakan spesies ini ditemukan dengan nilai INP terendah (14,76%). Fenomena ini diduga terkait aktivitas penebangan hutan mangrove yang dilakukan oleh masyarakat sekitar lokasi penelitian. Spesies ini merupakan spesies yang paling banyak di tebang untuk di manfaatkan sebagai bahan bangunan, perahu (bahan konstruksi ringan). Sehingga spesies ini tidak ditemukan dalam ukuran yang termasuk kedalam kategori pohon (diameter >10 cm).

Hasil pengamatan menunjukkan pada stasiun III kerapatan pohon sebesar 155,5 ind/ha, dan kerapatan anakan sebesar 933,3 ind/ha. Kerapatan keseluruhan antara pohon dan anakan sebesar 1088,85 ind/ha, oleh karena itu vegetasi mangrove pada stasiun III termasuk dalam kondisi sedang. Hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 201 (2004), kondisi hutan mangrove dikatakan baik bila vegetasi mangrovenya memiliki kerapatan vegetasi

≥ 1500 ind/ha, kondisi sedang bila memiliki kerapatan vegetasi ≥ 1000 ind/ha sampai < 1500 ind/ha dan kondisi rusak bila memiliki kerapatan vegetasi < 1000 ind/ha.

4.5 Sedimen

Hasil analisis ukuran butiran sedimen menunjukkan perbedaan komposisi butiran disetiap stasiunnya. Skala ukuran butiran tanah sesuai dengan kelas ukuran butiran yang dikeluarkan oleh United State Department of Agricultural (USDA, 2006) ukuran secara umum dibagi menjadi 3 kelas ukuran yaitu, pasir (Sand), debu (Silt), dan Liat (Clay). Hasil analisis seperti pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5 Tekstur tanah berdasarkan komposisi ukuran butiran tanah berdasarkan USDA.

Stasiun

Fraksi

Total

% Tekstur

Pasir %

Debu %

Liat %

I (Nypa fruticans) 44,56 31,28 24,16 100 Lempung

II (Soneratia spp) 32,56 33,28 34,16 100 Lempung Berliat III (Heterogen) 50,56 27,28 22,16 100 Lempung Liat Berpasir


(47)

30

Hasil analisis menunjukkan bahwa tekstur tanah di ketiga stasiun adalah lempung (liat), dengan karakteristik tanah berwarna hitam, memiliki butiran yang halus, USDA (2006) menyatakan bahwa ukuran butiran lempung (liat) adalah <0,002 mm, jenis tekstur ini memiliki sifat yang unik keras apabila dalam keadaan kering dan lengket apabila dalam keadaan basah.

Hasil pengamatan tekstur tanah, memperlihatkan adanya perbedaan tekstur pada setiap stasiun penelitian. Stasiun I diperoleh tekstur lempung (Loam), stasiun II lempung berliat (Clay loam), sedangkan pada stasiun III tekstur tanahnya lempung liat berpasir (Sandy-clay Loam). Perbedaan tekstur ini diduga berkaitan dengan jenis vegetasi. Vegetasi yang berbeda memiliki jenis perakaran yang berbeda pula, sehingga kemampuan dalam menjerat partikel sedimen akan berbeda. Hal yang sama diungkapkan oleh Indah et al, (2009) bahwa sistem perakaran mangrove mempengaruhi kelas tekstur yang terbentuk pada kawasan hutan mangrove. Komposisi fraksi merupakan faktor yang terpenting dalam penentuan kelas tekstur tanah. Jumlah fraksi tertentu akan membentuk satu jenis takstur tanah. Komposisi tekstur berdasarkan USDA (2006) seperti pada Tabel 4.6.

Tabel 4.6 Proporsi fraksi menurut kelas tekstur tanah

No Kelas Tekstur Tanah Proporsi (%) Fraksi Tanah

Pasir Debu Liat

1. Pasir (Sandy) >85 <15 <10 2. Pasir berlempung (Loam Sandy) 70-90 <30 <15 3. Lempung berpasir (Sandy loam) 40-87,5 <50 <20 4. Lempung (Loam) 22,5-52,5 30-50 10-30 5. Lempung liat berpasir (Sandy clay loam) 45-80 <30 20-37,5 6. Lempung liat berdebu (Sandy silt loam) <20 40-70 27,5-40 7. Lempung berliat (Clay loam) 20-45 15-52,2 27,5-40 8. Lempung berdebu (Silty loam) <47,5 50-87,5 <27,5

9. Debu (Silt) <20 >80 <12,5

10. Liat berpasir (Sandy clay) 45-62,5 <20 37,5-57,5 11. Liat berdebu (Silty clay) <20 40-60 40-60 12. Liat (Clay) <45 <40 >40 Sumber : USDA (2006)


(48)

31

Pada stasiun I substrat yang didapat adalah lempung (Loam), jenis tekstur ini terbentuk karena pada stasiun I fraksi pasir berada pada kisaran 44,56 %, debu 31,28 %, dan liat 24,16%. Stasiun II dibentuk oleh fraksi pasir sebesar 32,56%, debu 33,28%, dan liat 34,16%, dari komposisi ini maka kelas tekstur termasuk kedalam lempung berliat (Clay loam). Pada stasiun III didapat tekstur berupa lempung liat berpasir (Sandy clay loam) yang terbentuk dari komposisi fraksi pasir sebesar 50,56%, debu 27,28%, dan liat 22,16%. Hal ini sesuai dengan USDA (2006) bahwa substrat lempung terbentuk dari fraksi pasir 22,5 - 52,5%, fraksi debu 30 - 50%, dan fraksi liat 10 - 30%. Substrat lempung berliat terbentuk dari komposisi fraksi pasir 20 - 45%, debu 15 - 52,5%, dan liat 27,5 - 40%. Selanjutnya pada stasiun III didapat substrat lempung liat berpasir, jenis ini terbentuk dari pasir 45 - 80%, debu <30%, dan liat 20 - 37,5%. Nilai dari masing-masing fraksi dimasukkan kedalam segitiga tekstur tanah untuk mendapatkan kelas tekstur (Gambar 4.4).

Gambar 4.4 Tekstur Sedimen berdasarkan USDA (2006). (a). Stasiun 1, (b). Stasiun 2, dan (c). Stasiun 3.


(49)

32

Stasiun I dan stasiun II yang merupakan hutan mangrove dengan vegetasi nipah dan berembang memiliki kelas tekstur berupa lempung dan lempung berliat, hal ini diduga karena tingginya nilai fraksi liat dan debu. Fraksi liat dan debu akan membentuk lumpur. Selain itu tekstur lempung juga diduga terbentuk karena stasiun I dan II merupakan stasiun yang berada pada muara sungai dan daerah pembuangan limbah tambak yang banyak membawa partikel lumpur dari daratan. Pernyataan yang sama juga disampaikan oleh Patang (2009) bahwa muara sungai merupakan salah satu sumber lumpur yang ada pada hutan mangrove. Selain itu dekomposisi serasah akan berpengaruh pada pembentukan tekstur tanah, serasah dan akar mangrove akan membantu proses pengikatan partikel debu dan liat sehingga lama-kelamaan partikel tersebut akan mengendap dan membentuk lumpur (Setiawan, 2013).

Pada ketiga stasiun ditemukan bahwa fraksi pasir merupakan fraksi yang mendominasi dari kedua fraksi lainnya dengan nilai 32,56 - 50,56 %. Hal sama juga didapat oleh Natan (2008) pada hutan mangrove Teluk Ambon bagian dalam dengan persentasi pasir berkisar 73,95 - 87,15%. Pada stasiun III ditemukan fraksi pasir mendominasi sebesar 50,56%, sehingga terbentuk tekstur berupa lempung liat berpasir, hal ini diduga karena stasiun ini berada pada paluh yang lebih banyak dipengaruhi oleh aktivitas laut, sehingga partikel substrat juga didominasi oleh substrat pasir. Patang (2013) menjelaskan bahwa daerah yang tidak banyak mendapatkan masukan dari daratan akan memiliki substrat yang didominasi oleh substrat laut yakni pasir.

Pada stasiun III terdapat tekstur lempung liat berpasir merupakan daerah dengan kepadatan kijing tertinggi sebesar 2,93 Ind/m2. Hal ini terkait dengan kondisi substrat yang di dominasi oleh fraksi pasir. Substrat pasir akan menyebabkan terdapatnya rongga, sehingga substrat akan lebih sulit mengeras dalam kondisi kering. Hal yang sama disampaikan oleh Fitriana, 2005; Putri, 2005 bahwa tipe substrat perairan sangat menentukan penyebaran jenis-jenis hewan bentos yang hidup di dalamnya, seperti kerang pada umumnya hidup dengan membenamkan diri ke dalam sedimen pasir atau pasir berlumpur.


(50)

33

4.6 Faktor fisik kimia perairan

Parameter lingkungan merupakan bagian terpenting bagi kehidupan organisme akuatik. Kondisi lingkungan sangat mempengaruhi keberadaan suatu organisme di suatu kawasan (habitat). Hasil rata-rata pengukuran parameter lingkungan di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 4.7.

Tabel 4.7. Faktor fisik kimia perairan selama penelitian.

Parameter Satuan Baku

Mutu

Stasiun

1 2 3

FISIKA

Suhu oC 28-32 27,8 28,2 28,5

KIMIA

Salinitas ppt s/d 34 5 18 20 pH Air Unit 7-8,5 6,2 6,6 6,8 pH Sedimen Unit - 6 6,2 6,5

DO ppm >5 3 3,2 3,4

NO3(Nitrat) mg/l 0,008 11 13,7 4

PO4(Fospat) mg/l 0,015 0,2 0,44 0,03

Pb (sedimen) ppm - 0,012 0,010 0,009 Cu (sedimen) ppm - 0,122 0,095 0,042 Cd (sedimen) ppm - 0,093 0,024 0,016 Sumber : data primer dan Kepmen LH No 51 Thn 2004. Baku mutu air laut untuk

biota laut.

Suhu

Hasil pengukuran suhu rata-rata selama penelitian, terlihat bahwa suhu air berada pada kisaran 27,8 - 28,5oC. Hal ini sesuai dengan pernyataan Whitten et al,

(1997); Muhammed & Yassien, (2003) bahwa suhu pada kawasan perairan pantai tropis berkisar 27-30oC. Suhu merupakan salah satu faktor terpenting bagi organisme. Kon et al, (2009) menjelaskan bahwa suhu memberikan pengaruh pada kehidupan organisme. Suhu merupakan parameter yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan pertumbuhan organisme (Farhan, 1998; Verween et al 2007).


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Amornjaruchit, S. 1988. Economically important molluscan shellfish of Thailand. In: Bivalve Mollusc Culture Research in Thailand. E.W. McCoy and T. Chongpeepien (Eds). ICLARM Tech. Rep. 19. Department of Fisheries, Bangkok, Thailand: International Center for Living Aquatic Resources Management, Manila, Philippines; and Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH.

Amin, B., Ismail, A., Arshad, A., Yap, C.K., Kamarudin, M. S. 2009. Gastropod Assemblages as Indicators of Sediment Metal Contamination in Mangroves of Dumai, Sumatera, Indonesia. Water Air Soil Pullut (201): 9-18.

Amin, B., Afriyani, E., Saputra, M. A. 2011. Distribusi Spasial Logam Pb dan Cu pada Sedimen dan Air Laut Permukaan di Perairan Tanjung Buton Kabupaten Siak Provinsi Riau. Jurnal Teknobiologi, II(1) 2011: 1 – 8. Arisandy, K. R., Herawati. E. Y., Suprayitno. E. 2012. Akumulasi Logam Berat

Timbal (Pb) dan Gambaran Histologi pada Jaringan Avicennia marina (forsk.) Vierh di Perairan Pantai Jawa Timur. Jurnal Penelitian Perikanan 1(1) (2012) 15-25.

Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi. Studi tentang ekosistem air daratan. USU Press. 165 hal.

Bengen, D. G. 2001. Sinopsis: Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. PKSPL-IPB,Bogor.

Bengen, D. G. 2002. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB. Bogor. Carpenter, K .E, Niem. V. H, editor. 1998. FAO Species Identification Guide For

Fisheries Purpose. The Living Marine Resources of the Western Central Pacific. Vol. 1. Seaweed, coral, bivalve and gastropod. FAO of United Nation, Rome.

Cernohorsky, O. W.,1978. Marine Shells of Pasific (Vol III). Pasific Publication, Sydney.

Dahuri, R., Rais. J., Ginting. S. P, Sitepu. M. J. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita, Jakarta. Davidson, A. 1976. Seafood of South-East Asia. Federal Publications, Singapore.


(2)

Del Norte-Campos A. 2004. Some aspects of the population biology of the sunset elongate clam Gari elongata (Lamarck 1818) (Mollusca, Pelecypoda: Psammobiidae) from the Banate Bay Area, West Central Philippines. Asian Fishe Sci 17: 299-312.

Effendie MI. 1978. Biologi Perikanan. Bagian I: Studi Natural History. Yayasan Dewi Sri Bogor. 102 hal.

Effendie MI. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius Yogyakarta.

Efriyeldi, 2006. Distribusi dan Kelimpahan Semaian (Seedling) Xylocarpus granataum di Ekosistem Mangrove Stasiun Kelautan Dumai. Berkala Perikanan Terubuk (33(2): 108-112

Efriyeldi, Bengen .D.G. Affandi. R. dan Prartono. T. 2012. Karakteristik Biologi Populasi Kijing (Pharella acutidens) di Ekosistem Mangrove Dumai, Riau. Berkala Perikanan Terubuk 40(1): 36 – 44

Efriyeldi, 2012. Ekobiologi Kerang Sepetang (Pharella acutidens Broderip & Sowerby, 1828) di ekosistem mangrove pesisir Kota Dumai Riau[disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor 172 hal.

English, S., Wilkinson. C., Baker. V. 1997. Survey Manual for Tropical Marine Resource, 2nd edition. Australian Intitute of Marine Science. Townsville. Ernawati, 2010. Kerang Bulu (Anadara inflata) sebagai Bioindikator Pencemaran

Logam Berat Timbal (pb) dan Cadmium (cd) di Muara Sungai Asahan. Tesis. Program Studi Magister Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara. 110 hal.

Farhan,A., 1998. Studi Laju Pertumbuhan Kerang. Di Pulau Tarakan Jawa Barat. Tesis Program Pascasarjana. Jurusan MSP. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. 54 hal.

Fitriana, Y.R. 2005. Keanekaragaman dan Kelimpahan Makrozoobentos di Hutan Mangrove Hasil Rehabilitasi Tanaman Hutan Raya Ngurah Rai Bali. Jurnal Biodiversitas, 7(1): 67-72.

Froese, R. 2006. Cube law, condition factor and weight length relationship: history, meta-analysis and recommendations. Journal of Applied Ichthyology, 22: 241-253.


(3)

Hamli, M. H. Idris. M . K ., Hena. A., Wong. S. K. 2012. Taxonomic study of edible bivalve from selected division of Sarawak, Malaysia. International Journal of Zoological Research 8 (1): 52-58.

Hari, H. 1999. Beberapa aspek bioekologi komunitas bivalvia di kawasan hutan mangrove Teluk Kulisusu, Kab. Muna, Prop. Sulawesi Tenggara [tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Hutagalung, H. P., Rozak, A. 1997. Penentuan kadar nitrat dan fosfat. Dalam Hutagalung HP, Setiapermana D, Riyono. Metode Analisis Air laut, Sedimen dan Biota. Buku 2. Puslitbang Oseanologi. LIPI.

Indah, R., Jabarsyah, A., Laga, A., 2008. Perbedaan substrat dan distribusi jenis mangrove (studi kasus : hutan mangrove di kota Tarakan). Jurnal Universitas Borneo Tarakan.

Irwani & Suryono, C.A.. 2006. Struktur populasi dan distribusi kerang totok Geloina sp. (Bivalvia: corbiculidae) di Seagara Anakan cilacap ditinjau dari aspek degradasi salinitas. Ilmu Kelautan 11(1): 23 – 27.

Irwanto, 2006. Keanekaragaman Fauna pada Habitat Mangrove. (Online) www.irwantoshut.com diakses 7 Februari 2014.

Isnansetyo, A., Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Fitoplankton dan Zooplankton. Kanisius Yogyakarta.

Jalaluddin, M. N., Ambeng. 2005. Analisis Logam Berat (Pb, Cd, dan Cr) pada Kerang Laut (Hiatula chinensis, Anadara granosa, dan Marcia optima). Marina Chimica Acta 6(2):17-20.

Jennings, S., M.J. Kaiser, J.D. Reynolds. 2001. Marine fishery ecology. Blackwell Sciences, Oxford.

[Kepmen LH]. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2004. Baku Mutu Air Laut untuk Biota dan Budidaya Laut. No. 51/MenKLH/2004).

[Kepmen LH]. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2004. Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove. No. 201. Jakarta. King M. 1995. Fisheries Biology, Assessment and Management. Blackwell

Science, Victoria, Australia.

Khouw, A. S. 2009. Metode dan Analisa Kuantitatif Dalam Bioekologi Laut. Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut (P4L). Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K). DKP. Jakarta.


(4)

Kon K., Kurokura H., Tongnunui P. 2009. Effects of The Physical Structure of Mangrove Vegetation on a BenthicFaunal Community. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 383: 171-180.

Krebs, C. J. 1978. Ecological Methodology. University of British Columbia Harper, Inc. New York.

Kushartono, E. W. 2009. Beberapa aspek Bio-Fisik Kimia Tanah di Daerah Mangrove Desa Pasar Banggi Kabupaten Rembang. Jurnal Ilmu Kelautan. 14 (2) : 76-83.

Kusumastuti, W. 2009. Evaluasi Lahan Basah Bervegetasi Mangrove dalam Mengurangi Pencemaran Lingkungan (Studi Kasus di Desa Kepetingan Kabupaten Sidoarjo) Thesis. Program Magister Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro Semarang. 80 hal.

Makmur, R., Emiyarti., Afu, L. O. A. 2013. Kadar logam berat timbal (Pb) pada sedimen di kawasan mangrove perairan Teluk Kendari. Jurnal Mina Laut Indonesia 6(2): 47-58.

Marshall, G. H. 1986. Identification Manual For Phytoplankton Of The United State Atlantic Coast. Old Dominion University Norfolk. Virginia. 142p. Muhammed SZ, Yassien H.M. 2003. Population parameters of the pearl oyster

Pinctada radiata (Leach) in Qatari waters Arab gulf. Turkey. J.Zool 27:339-343.

Natan, Y. 2008. Studi ekologi dan reproduksi populasi kerang lumpur (Anodontia edentula) pada ekosistem mangrove Teluk Ambon bagian dalam [disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Natan, Y., Uneputty, A.P. 2010. Struktur Komunitas dan Sebaran Spasial Moluska pada Ekosistem Mangrove Passo, Teluk Ambon Bagian Dalam. Ichthyos, 2(9): 69-75.

Nybakken, J.W. 1988. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Diterjemahkan oleh Eidman M, Koesoebiono, Bengen DG, Hutomo M dan Sukardjo S. Gramedia, Jakarta.

Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis. Diterjemahkan oleh Eidman M, Koesoebiono, Bengen DG, Hutomo M dan Sukardjo S. Gramedia, Jakarta.

Odum, E. P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta (diterjemahkan oleh T. Sumingan dan B. Srigandono). 697 hlm.


(5)

Park KY, Oh CW. 2002. Length-weight relationship of bivalves from coastal waters of Korea. Naga, The ICLARM Quarterly Vol. 25, No. 1. January-March 2002.

Patang. 2009. Kajian Kualitas Air dan Sedimen di Sekitar Padang Lamun Kabupaten Pangkep. Jurnal Agrisistem,(5):2.

Pramudji, 2001. Ekosistem Hutan Mangrove dan Peranannya sebagai Habitat Berbagai Fauna Aquatik. Oseana, 26(4) 2001:13 – 23.

Printrakoon, C. 2008. Distribution of Molluscs in Mangroves at Six Sites in The Upper Gulf of Thailand. The raffles bulletin of zoology. supplement (18): 247–257.

Putri, E.R., 2005. Analisis Populasi dan Habitat Sebaran Ukuran dan Kematangan Gonad Kerang Lokan Batissa violacea Lamarck (1818) di Muara Sungai Batang Inai Padang Sumatera Barat. Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 62 hal.

Resosoedarmo, S., K. Kartawinata., & A. Soegiarto. 1989. Pengantar Ekologi. Bandung: Penerbit Remadja Karya. hlm. 79-80.

Riyanto, N.B., J.L. Palenewan, H. Jodjo, D.A. Suwondo, J.Renwarin, P. Kleden, M.N Rahman, G.M. Hatta. 1985. Ekologi Dasar, Telesession. Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Timur. Ujung Pandang. Rudi, E. 1999. Beberapa aspek ekologi, morfologi dan makanan kerang tahu

(Meretrix meretrix) di Teluk Miskam, Panimbang, Selat Sunda, Jawa Barat [tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Russell-Hunter, W. D. 1983. Overview : Planetary Distribution of and Ecological Constraints upon the Mollusca. In : Russell-Hunter (Editor) : The Mollusca. Academic Press. Inc. New York.

Sahin, C., Düzgüne. E., Okumu. I. 2006. Seasonal variations in condition index and gonadal development of the introduced blood cockle Anadara inaequivalvis (Bruguiere, 1789) in the Southeastern Black Sea Coast. Turk J Fish Aquat Sci 6: 155-163.

Saraya, A. 1982. Thailand. In: Bivalve Culture in Asia and the Pacific. F.B. Davy and M. Graham (Eds). Proc. Workshop held in Singapore 16-19 February 1982. Int. Dev. Res.Center, Ottawa, Ont., Canada. pp. 73-78.

Sarong MA, 2010. Pengelolaan Kerang Mangrove Geloina erosa (Solander, 1786) Berdasarkan Aspek Biologi di kawasan pesisir Barat Kabupaten Aceh Besar.Insitut Pertanian Bogor. 161 hal.


(6)

Sitorus, H. 2004. Analisis Beberapa Karakteristik Lingkungan Perairan yang Mempengaruhi Akumulasi Logam Berat Timbal dalam Tubuh Kerang Darah di Perairan Pesisir Timur Sumatera Utara. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan Dan Perikanan Indonesia. Jilid 11 (1); 53-50.

Soetjipta, 1993. Dasar-dasar Ekologi Hewan. Depdikbud Dikti. Fabio UGM. Yogyakarta. Hal 22.

Tamsar., Emiyarti., Nurgayah, W., 2013. Studi Laju Pertumbuhan dan Tingkat Eksploitasi Kerang Kalandue (Polymesoda erosa) pada Daerah Hutan Mangrove di Teluk Kendari.

Tugiyono, 2007. Bioakumulasi Logam Hg dan Pb Di Perairan Teluk Lampung, Propinsi Lampung. J. Sains MIPA. 13(1): 44 – 48.

Tomascik, T., Mah. A. J., Nontji. A., Moosa. M. K. 1997. The Ecology of Indonesian Seas. Part II. Periplus Editions, Singapore.

Trisyani, N., Irawan. B., Rorana. N. 2007. Faktor lingkungan yang mempengaruhi kepadatan lorjuk (Solen vaginalis) di perairan pantai timur Surabaya. Prosiding Seminar Nasional Moluska Dalam Penelitian, Konservasi dan Ekonomi, Semarang, 17 Juli 2007.

Verween A.,Vincx M., Degraer S. 2007. The effect of Temperature and Salinity On the Survival of Mytilopsis Leucophaeata larvae (Mollusca, Bivalvia): The search for environmental limits. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 348: 111–120.

Whitten, A.J., M. Mustafa dan G.S. Henderson. 1997. Ekologi Sulawesi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta 120 hal.

Wijayanti, H.M. 2007. Kajian Kualitas Perairan Di Pantai Kota Bandar Lampung Berdasarkan Komunitas Hewan Makrobenthos. Universitas Diponegoro. Semarang. Thesis

Yap, C.K., Razeff, S.M.R., Edward, F.B., Tan, S.G., 2009. Heavy Metal Concentrations (Cu, Fe, Ni and Zn) in The Clam, Glauconome virens, Collected From The Northern Intertidal Areas of Peninsular Malaysia. Malays. Appl. Biol. 38(1): 29–35.

Young, A., Serna, E. 1982. Philippines. In: Bivalve Culture in Asia and the Pacific:. F.B. Davy and M. Graham (eds). Proc. Workshop Held in Singapore 16- 19 February. Int. Dev. Res. Center, Ottawa, Ont., Canada. pp. 55-68.