Analisis Komponen Pertumbuhan wilayah Sebelum, Pada Masa, dan

Rp 3.823.563, ini mengidentifikan bahwa setiap terjadi perubahan pertumbuhan nasional, maka sektor ekonomi tersebut dipengaruhi oleh perubahan kebijakan nasional. Hal ini berarti jika terjadi perubahan kebijakan ekonomi nasional, maka kontribusi sektor industri pengolahan juga akan mengalami perubahan. Komponen pertumbuhan proporsional sebagai pengaruh kedua pertumbuhan nasional menjelaskan mengenai perbedaan kenaikan PDB tingkat nasional dan kenaikan PDB sektor perekonomian secara nasional. Dengan demikian, persentase komponen PP untuk semua sektor di seluruh provinsi di Indonesia sama besar, yang membedakannya hanya kontribusi masing-masing sektor ekonomi. Secara keseluruhan sebelum terjadi krisis, pertumbuhan proporsional mengakibatkan terjadinya peningkatan PDRB Jawa Barat sebesar Rp 300.871 juta 0,67 persen, pada masa krisis sebesar Rp 1.119.348 juta 1,72 dan setelah krisis sebesar Rp -66,887 juta -0,11 persen, lihat Tabel 9. Jika ditinjau berdasarkan sektor perekonomian nasional sebelum krisis yang memiliki persentase PP positif PP0 adalah sektor listrik, gas dan air bersih, sektor bangunan, sektor industri pengolahan, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, sektor pengangkutan dan komunikasi, dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Hal ini mengidentifikasikan bahwa sektor-sektor ekonomi tersebut di Jawa Barat memiliki pertumbuhan yang cepat. Sektor yang memiliki pertumbuhan paling cepat adalah sektor listrik, gas dan air bersih sebesar 22,74 persen. Sedangkan sektor yang memiliki persentase PP yang negatif PP0, ini berarti memiliki pertumbuhan yang lambat. Dalam hal ini sektor yang memiliki nilai PP negatif adalah sektor pertanian, sektor jasa-jasa serta sektor pertambangan dan penggalian. Tabel 5.5. Analisis Shift Share Menurut Sektor Perekonomian di Provinsi Jawa Barat Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Proporsional PPi Jawa Barat Sebelum Krisis Ekonomi Pada Masa Krisis Ekonomi Setelah Krisis Ekonomi Sektor Perekonomian Juta Rupiah Persen Juta Rupiah Persen Juta Rupiah Persen 1. Pertanian -1.374.838 -17,23 815.218 9,38 -395.443 -4,91 2. Pertambangan dan Penggalian -210.318 -5,66 229.778 7,20 -535.072 -17,12

3. Industri Pengolahan

1.713.604 13,54 1.325.328 5,56 -282.415 -1,20

4. Listrik, Gas dan Air Bersih

194.479 22,74 460.294 34,74 39.793 1,92 5. Bangunan 511.725 20,77 -950.672 -26,27 157.890 7,77 6. Perdag, Hotel dan Restoran 13.442 0,16 -701.256 -5,51 256.721 2,46

7. Pengangkutan dan Komunikasi

48.769 2,27 117.147 3,57 762.188 23,58 8. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 86.915 4,24 -627.836 -19,97 116.483 4,28 9. Jasa-jasa -682.906 -15,74 451.348 8,42 -187.032 -3,52 Total 300.871 0,67 1.119.348 1,72 -66.887 -0,11 Sumber : Lampiran 7 Sektor perekonomian yang memiliki laju pertumbuhan yang paling lambat berada pada sektor pertanian yakni sebesar -17,23 persen. Pada masa krisis hampir seluruh sektor perekonomian memiliki nilai PP yang positif. Sektor perekonomian yang memiliki PP positif adalah sektor listrik, gas dan air bersih, sektor pertanian, sektor jasa-jasa, sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan serta sektor pengangkutan dan komunikasi. Sedangkan sektor yang memiliki nilai PP negatif adalah sektor bangunan, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan serta sektor perdagangan hotel dan restoran. Setelah krisis, sektor industri pengolahan mengalami pergeseran yang cukup signifikan dari sektor yang memiliki pertumbuhan cepat sebelum krisis 13,54 persen menjadi pertumbuhan lambat -1,20 persen setelah krisis. Sektor industri pengolahan mengalami pertumbuhan yang lambat disebabkan bahan baku yang digunakan sebagian besar masih berasal dari impor sehingga biaya produksinya tinggi. Pergeseran yang cukup signifikan juga terjadi pada sektor bangunan, dari sektor yang memiliki laju pertumbuhan lambat pada saat krisis -26,27 persen menjadi sektor yang memiliki pertumbuhan yang cepat setelah krisis 7,77 persen. Kemampuan daya saing suatu sektor ekonomi dibandingkan dengan sektor ekonomi di wilayah lainnya disebut sebagai Pertumbuhan Pangsa Wilayah PPW. Apabila PPW bernilai positif maka dapat dikatakan bahwa sektor ekonomi tersebut dapat berdaya saing baik, sebaliknya apabila PPW bernilai negatif berarti sektor ekonomi tersebut tidak dapat bersaing dengan baik apabila dibandingkan dengan wilayah lain. Pengaruh daya saing merupakan komponen ketiga dari perubahan PDRB di Jawa Barat yang tidak setara dengan perubahan nasional, menyebabkan secara keseluruhan PDRB Jawa Barat sebelum krisis ekonomi meningkat sebesar 10,91 persen, pada saat terjadi krisis dan setelah krisis ekonomi PDRB Jawa Barat menurun sebesar -7,30 ; -0,37 persen, lihat Tabel 5.6. Hal ini berarti sebelum terjadi krisis secara umum sektor perekonomian di Jawa Barat memiliki daya saing yang baik terhadap wilayah lainnya. Sedangkan pada saat dan setelah krisis ekonomi, sektor perekonomian di Jawa Barat tidak dapat berdaya saing baik dengan sektor ekonomi di wilayah lainnya. Tabel 5.6. Analisis Shift Share Menurut Sektor Perekonomian di Provinsi Jawa Barat Berdasarkan Komponen Pangsa Wilayah PPWi Jawa Barat Sebelum Krisis Ekonomi Pada Masa Krisis Ekonomi Setelah Krisis Ekonomi Sektor Perekonomian Juta Rupiah Persen Juta Rupiah Persen Juta Rupiah Persen 1. Pertanian 300.089 3,76 -604.604 -6,96 -499.887 -6,21 2. Pertambangan dan Penggalian -830.570 -22,35 10.731 0,34 -470.649 -15,06 3. Industri Pengolahan 3.687.736 29,15 -1.080.748 -4,53 116.443 0,49 4. Listrik, Gas Air Bersih -127.643 -14,92 199.652 15,07 -9.030 -0,44

5. Bangunan -198.993

-8,07 -613.668 -16,96 318.251 15,66 6. Perdag, Hotel Restoran 1.257.139 14,95 -1.794.962 -14,11 -262.733 -2,52 7. Pengangkutan Komunikasi 317.286 14,80 -344.853 -10,50 -657.658 -20,35 8. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 142.442 6,95 112.013 3,56 14.869 0,55 9. Jasa-jasa 319.408 7,36 -643.788 -12,01 1.225.159 23,05 Total 4.866.894 10,91 -4.760.226 -7,30 -225.234 -0,37 Sumber : Lampiran 8 Adapun sektor ekonomi yang mengalami pergeseran daya saing yang cukup signifikan dari sektor yang memiliki daya saing baik sebelum krisis menjadi tidak berdaya saing pada saat krisis adalah sektor industri pengolahan 29,15 persen menjadi -4,53 persen, akan tetapi setelah krisis sektor tersebut mampu bersaing kembali dengan baik terhadap wilayah lainnya 0,49 persen. Membaiknya daya saing dari sektor industri pengolahan setelah krisis, adalah karena mulai stabilnya kondisi perekonomian maka harga barang-barang pun mulai stabil sehingga biaya produksi dari sektor industri pengolahan yang sebagian bahan bakunya berasal dari impor menjadi turun. Setelah krisis sektor pertanian memiliki daya saing yang kurang baik disebabkan oleh rendahnya dukungan kelembagaan pemerintah. Hal ini dikarenakan kelembagaan yang ada lebih terfokus pada sektor yang memberikan kontribusi yang besar terhadap pembentukan PDRB Jawa Barat, beralihnya lahan pertanian menjadi non pertanian. Sektor yang juga mengalami pergeseran kemampuan daya saing yang cukup signifikan dari tidak dapat bersaing dengan baik menjadi dapat bersaing dengan baik setelah krisis ekonomi adalah sektor bangunan. Faktor penyebab membaiknya daya saing pada sektor bangunan adalah semakin membaiknya bisnis properti serta akses pasar yang ditunjang oleh membaiknya sarana dan prasana sosial ekonomi, meningkatnya permintaan pemukiman penduduk, pusat perbelanjaan, gedung-gedung bertingkat dan sarana penunjang ekonomi lainnya.

5.4. Pergeseran Bersih dan Profil pertumbuhan Sektor-sektor

Perekonomian Provinsi Jawa Barat Sebelum, Pada Masa, dan Setelah Krisis Ekonomi 1993-1996, 1997-2001, dan 2002-2005 Nilai Pergeseran Bersih PB merupakan penjumlahan antara PP dan PPW. Apabila hasil penjumlahan tersebut bernilai positif, dapat dikatakan bahwa pertumbuhan sektor perekonomian tersebut di Jawa Barat tergolong kedalam kelompok progresif. Nilai Pergeseran Bersih PB yang negatif mengidentifikasikan bahwa pertumbuhan sektor perekonomian pada wilayah Jawa Barat termasuk lamban. Berdasarkan Tabel 5.7, secara keseluruhan nilai PB Provinsi Jawa Barat sebelum krisis memiliki pertumbuhan yang progresif sebesar Rp 5.167.766 juta 11,59 persen. Sedangkan pada saat krisis dan setelah krisis Provinsi Jawa Barat tergolong kedalam kelompok pertumbuhan lamban yakni sebesar Rp-3.640.878 juta -5,59 persen ; Rp-292.121 juta -0,48 persen. Sektor Bangunan merupakan sektor yang mengalami pergeseran cukup signifikan dari progresif sebelum krisis 12,69 persen menjadi lamban pada saat krisis -43,22 persen dan kemudian setelah krisis kembali memiliki daya saing baik 23,43 persen. Tabel 5.7. Pergeseran Bersih Provinsi Jawa Barat Sebelum, Pada Masa, dan Setelah Krisis Ekonomi PBi Jawa Barat Sebelum Krisis Ekonomi Pada Masa Krisis Ekonomi Setelah Krisis Ekonomi Sektor Perekonomian Juta Rupiah Persen Juta Rupiah Persen Juta Rupiah Persen 1. Pertanian -1.074.748 -13,47 210.614 2,42 -895.330 -11,13 2. Pertambangan dan Penggalian -1.040.888 -28,01 240.509 7,54 -1.005.721 -32,17 3. Industri Pengolahan 5.401.340 42,69 244.579 1,03 -165.971 -0,70 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 66.836 7,81 659.945 49,81 30.763 1,48

5. Bangunan 312.732

12,69 -1.564.340 -43,22 476.141 23,43 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 1.270.581 15,11 -2.496.218 -19,62 -6.011 -0,06 7. Pengangkutan dan Komunikasi 366.055 17,07 -227.706 -6,93 104.530 3,23 8. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 229.357 11,20 -515.823 -16,41 131.352 4,83

9. Jasa-jasa

-363.498 -8,38 -192.439 -3,59 1.038.127 19,53 Total 5.167.766 11,59 -3.640.878 -5,59 -292.121 -0,48 Sumber : Lampiran 9 Selain itu ada juga sektor perekonomian yang mengalami pergeseran nilai PB yaitu sektor jasa-jasa dari sektor yang termasuk dalam kelompok pertumbuhan lamban baik sebelum maupun pada saat krisis -8,38 ; -3,59 persen menjadi sektor yang termasuk dalam kelompok pertumbuhan progresif setelah krisis 19,53 persen. Profil pertumbuhan sektor perekonomian digunakan untuk mengevaluasi pertumbuhan sektor perekonomian dengan cara mengekspresikan persen perubahan PPij dan PPWij. Persentase PP diletakkan pada sumbu horizontal sebagai absis, sedangkan persentase PPW diletakkan pada sumbu vertikal sebagai ordinat. Profil pertumbuhan Provinsi Jawa Barat sebelum krisis, pada masa krisis dan setelah krisis ekonomi dapat di lihat pada Gambar 5.1. Pada masa sebelum terjadi krisis ekonomi, di Provinsi Jawa Barat terlihat bahwa sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi serta sektor keuangan dan jasa perusahaan berada pada kuadan I. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor-sektor perekonomian tersebut merupakan sektor yang memiliki pertumbuhan yang cepat disertai daya saing yang baik dibandingkan dengan sektor ekonomi di wilayah lainnya. Sektor industri pengolahan dapat berdaya saing dengan baik karena hampir disebagian wilayah pembangunan di Jawa Barat sektor industri pengolahannya berkembang dengan pesat, selain itu juga karena besarnya pangsa pasar penjualan hasil produksinya. Sedangkan untuk sektor perdagangan, hotel dan restoran memiliki daya saing baik dan pertumbuhan cepat disebabkan, meningkatnya jumlah kunjungan wisata ke Jawa Barat sehingga meningkatkan kontribusi dari sub sektor hotel dan sub sektor restoran. Sektor pengangkutan dan komunikasi serta sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan memiliki pertumbuhan cepat dan daya saing baik, karena kondisi Jawa Barat yang strategis sebagai wilayah hinterland Jakarta sehingga sarana dan prasarana yang ada berkembang dengan baik. Sektor yang termasuk ke dalam kuadran II adalah sektor bangunan dan sektor listrik, gas dan air bersih. Hal ini menunjukkan bahwa keduaa sektor tersebut memiliki pertumbuhan yang cepat, akan tetapi tidak dapat bersaing baik dengan sektor ekonomi di wilayah lainnya. Sektor bangunan tidak berdaya saing baik karena sebagian besar bahan bakunya berasal dari impor sehingga keunggulan komparatif di Provinsi Jawa Barat tidak tersedia. Sedangkan sektor listrik, gas dan air bersih memiliki pertumbuhan yang baik karena produk akhir dari sektor tersebut merupakan kebutuhan pokok masyarakat, sedangkan daya saingnya kurang baik disebabkan alat-alat produksi yang digunakan sebagian besar masih berasal dari impor sehingga keunggulan komparatif di Jawa Barat